Share

Ancaman atau Tekanan?

"Sa, lo dicariin tuh," ucap Raka sambil melihat ke arah seorang perempuan yang berdiri di depan kelas. Ia tidak berani menunjuk perempuan itu, karena ia tau perempuan itu adalah orang yang paling ditakuti di sekolah ini.

Perlahan Aksa mulai membuka matanya. Dengan perasaan kesal ia mengucek matanya. Setelah itu ia melihat ke arah seorang perempuan yang berani-beraninya mengganggu waktu tidurnya. Dan, ia langsung menghela nafas panjang setelah tau siapa perempuan itu.

"Sebaiknya lo bicara di luar, semuanya udah ketakutan," ucap Raka dengan suara kecil, agar perempuan yang sedang ia bicarakan tidak mendengar ucapannya.

Kehadiran perempuan itu menghadirkan sebuah rasa takut kepada semua orang yang ada di sekitarnya. Rasa takut akan ditindas, dibentak, dan segala hal yang paling ditakutkan oleh para murid lain. Bahkan hanya dengan sebuah tatapan dari perempuan itu bisa membuat murid lain lari terbirit-birit.

"Merepotkan," ucap Aksa. Ia pun berdiri lalu menghampiri perempuan tersebut. Saat sudah berada tepat di depan perempuan itu, ia langsung menggenggam tangannya lalu menarik perempuan itu keluar dari kelas.

Ia tau kalau dirinya akan dalam masalah karena sudah berani-beraninya menggenggam tangan perempuan yang menjadi idola di sekolah ini, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perempuan itu tetap berada di dalam kelasnya dan membuat masalah yang lebih besar.

Setelah sampai di taman sekolah ia melepaskan genggamannya. Ia berbalik lalu memandang mata perempuan itu.

"Kenapa?" tanya Aksa.

"Ayah gua pengen ketemu sama lo," jawab Pitaloka.

Mata Aksa langsung membulat sempurna setelah mendengar itu. Ia sudah berusaha mungkin agar tidak begitu masuk ke dalam kehidupan Pitaloka, tetapi kenapa sekarang ayah perempuan itu ingin menemuinya. Ia tau kalau ini bukan lah pertanda yang baik untuk dirinya. Ayah Pitaloka itu pasti akan membuatnya menyesal karena telah mengenal Pitaloka.

"Ada keperluan apa?"

"Entah, mungkin ayah gua pengen lihat seberapa pantas lo buat selalu ada di samping gua."

"Jangan berharap lebih, bisa saja saya akan berperilaku buruk di depan ayah Anda, agar Anda dijauhkan dari saya."

"Gua tau lo nggak bakal ngelakuin itu."

"Anda terlalu positif thinking."

"Karena gua tau cuma lo yang bisa gantiin Cakra di kehidupan gua. Jangan bikin kepercayaan gua rusak."

"Jangan pernah berharap sama manusia, karena itu bisa bikin Anda sakit hati."

Aksa sangat-sangat tidak habis pikir kalau dirinya harus bertemu dengan ayahnya Pitaloka. Sekarang Aksa merasakan perasaan bingung, cemas, takut, dan bimbang menjadi satu. Membuat otaknya tidak bisa berpikir jernih dan terus memikirkan apa yang akan terjadi saat ia bertemu dengan ayahnya Pitaloka.

*****

Sekarang Aksa berada di sebuah cafe. Ia di cafe ini bukan dalam rangka bertemu dengan ayahnya Pitaloka, melainkan dalam rangka melarikan diri. Ia akan menggunakan alasan ketiduran di cafe agar ia tidak perlu menemui orang itu. Sebuah alasan yang masuk akal, tetapi juga akan mengundang masalah.

Aksa masih fokus membaca buku novel. Matanya tertuju pada kalimat-kalimat yang sedang ia baca. Sesekali ia juga tersenyum saat membaca adegan lucu.

Tiba-tiba konsentrasi hancur saat ia merasakan ada seseorang yang duduk di kursi depannya. Seingatnya ia tidak memberitahu siapapun kalau dirinya ada berada di cafe ini. Perlahan ia mulai mengalihkan pandangannya, yang tadi selalu memandang novel sekarang memandang orang yang duduk di kursi depannya.

Semua usahanya sia-sia saat menyadari kalau orang yang duduk di depannya adalah ayahnya Pitaloka berada di hadapannya. Ia tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan orang itu sekarang. Padahal ia sudah repot-repot pergi ke cafe agar bisa menghindari orang tersebut.

Ia melihat ke sekelilingnya dan ternyata sudah dipenuhi oleh para penjaga. Bulu kuduknya seketika berdiri saat melihat wajah mereka semua menakutkan. Dan, sekarang tidak ada sedikitpun celah untuknya melarikan diri.

"Masih ada sekitar dua puluh menit sebelum pertemuan, jadi kenapa Anda di sini?" tanya Aksa dengan nada pelan.

"Kalau kamu memang sepintar yang dibilang anak saya, coba tebak alasan saya ke sini," ucap Gino.

"Anak Anda cuma bercanda, dia melebih-lebihkan cerita."

"Saya ke sini bukan untuk mendengarkan omong kosong."

Aksa tersentak mendengar itu. Ia tersenyum tipis saat mulai merasakan tekanan yang begitu kuat dari tatapan Gino. Benar kata Gino, ini bukan saatnya untuk membual tentang hal yang nggak diperlukan. Karena, ini menyangkut tentang Pitaloka.

"Anda ke sini untuk meminta saya menjauhi anak anda," ucap Aksa menebak maksud dari kedatangan Gino.

"Itu memang keinginan saya, tapi ini lebih penting dari itu. Ini keinginan anak saya. Dia ingin kamu jadi ojek pribadinya," ucap Gino. Memang berat baginya harus membiarkan sosok laki-laki yang tidak ia kenal mengantar-jemput anak semata wayangnya.

"Saya rasa Anda tidak kekurangan orang kalau cuma untuk mengantar-jemput anak anda sendiri."

"Benar juga, tapi nggak ada ayah yang mau melihat anaknya sedih."

"Anda terlalu memanjakan anak anda."

"Dia anak semata wayang saya, jadi wajar saja kalau saya ingin dia bahagia."

Tidak ada orang tua yang tidak ingin anaknya bahagia. Bahkan ada yang rela merelakan hal yang berharga bagi dirinya sendiri demi kebahagiaan anaknya. Itu lah yang sekarang yang dilakukan oleh Gino. Membiarkan anaknya dekat dengan seorang laki-laki yang belum ia kenal.

"Saya pelajar, jadi saya tugas saya belajar bukannya mengantar-jemput anak Anda," ucap Aksa. Ia tau kalau Gino punya niat baik, tetapi caranya saja yang salah. Ia rasa selama ini Gino lah yang menyebabkan Pitaloka memiliki sifat yang manja, dan ingin menang sendiri.

"Alvin Aksa Saputra. Kelas X MIPA 2. Anak beasiswa," ucap Gino dengan tempo lambat."

"Anda mengancam saya?"

"Kamu memang pintar."

Gino tersenyum karena Aksa tau maksud dari perkataannya. Jadi, ia tidak harus repot-repot menjelaskan secara gamblang ancaman yang akan ia berikan. 

Aksa tau jelas kalau Gino sedang memberikan tekanan sekaligus ancaman kepada dirinya. Gino sengaja mengancam dirinya dengan menggunakan beasiswanya. Jika, beasiswa Aksa dicabut ia akan benar-benar tidak bisa bersekolah di SMA itu lagi.

"Ini bukan parasitisme. Ini mutualisme, karena saya akan membayar kamu, selama kamu menjadi tukang ojek anak saya," ucap Gino. Ini adalah sebuah simbiosis mutualisme jika ia dan Aksa berkerja sama. Aksa akan bekerja dengannya untuk menjaga putrinya, sedangkan Gino akan membayar semua kerja keras Aksa.

"Menurut saya ini adalah sebuah ancaman dari pada sebuah hubungan kerja sama," ucap Aksa.

"Bagus lah kalau kamu berpikir begitu, karena saya sedang mengancam kamu."

"Anda pikir saya takut dengan ancaman Anda?"

"Benar-benar anak yang liar. Tapi, sifat itu lah yang buat kamu lebih menarik dari pada Cakra."

Gino tidak habis pikir kalau Aksa tidak takut sedikit pun dengan ancamannya. Kalau saja orang yang berada di hadapannya ini adalah orang lain, pasti orang itu akan menuruti semua kemauannya. Ia sangat-sangat tertarik untuk menjadikan Aksa salah satu dari pengawalnya.

"Selama kamu bisa bahagia

Itu sudah cukup

Karena kebahagiaan mu

Adalah kebahagiaan ku

Juga"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status