Share

AMBISI

Dengan gerak cepat, Ceisya langsung menatap ke arah tangannya yang masih merasa dicekal.

"Kamu? Lepaskan!" Ceisya langsung menggerakkan tangan ke atas dan bawah. Berharap cekalan di tangan terlepas.

"Tidak baik seorang perempuan keluyuran di jalanan sendirian."

Ceisya langsung melengos, meski tangan laki-laki itu masih menyentuh kulit mulusnya.

"Lebih tidak baik lagi jika laki-laki yang tidak dikenal tiba-tiba langsung mencekal tangan perempuan," sindir telak Ceisya.

"Oh, maaf." Ibas sadar diri dan langsung melepaskan pergelangan tangan Ceisya. Kedua mata laki-laki itu membulat ketika melihat pergelangan tangan Ceisya berwarna merah. Mungkin karena terlalu erat menggenggamnya.

"Mau apa kamu kemari?" Ceisya merasa tidak nyaman karena Ibas selalu mengikuti langkahnya. Padahal ia sudah berjalan beberapa langkah. Sial. Mobil diparkir terlalu jauh.

"Hanya ingin ketemu sama kamu."

Ceisya mengentakkan kaki. "Maaf aku tidak ada keperluan dan urusan sama kamu." 

"Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja." 

Dari pertama melihat Ceisya sejak pernikahan Tante Sentari, Ibas sudah menaruh hati kepada Ceisya.

Laki-laki mana yang tidak terikat dengan Ceisya. Tinggi. Tubuh semampai. Kulit putih. Cantik. Rambut panjang sepinggang. Kedua mata agak sipit mirip orang Korea.

"Tidak perlu berlebihan. Aku bisa sendiri dan tidak perlu dipastikan baik-baik saja." Ceisya sengaja menekankan di setiap katanya. Berharap Ibas segera pergi dari hadapannya.

"Bukankah aku wajib memberikan perhatian kepada calon tunanganku sendiri?" Ibas berkata dengan bangga.

Bukan main terkejutnya Ceisya mendapatkan pengakuan seperti itu. "Apa? Calon tunangan? Gila kamu!" Gadis itu langsung mempercepat langkah menuju tempat parkir. Sayangnya untuk menuju ke sana harus melewati taman yang cukup luas.

"Ya. Aku sudah mengumumkan ke semua orang jika kamu adalah calon tunangan aku."

"Benar-benar gila kamu," ucap gadis yang kesal tanpa memandang lawan bicaranya.

"Aku memang gila karena cinta kamu." Ibas tersenyum penuh nafsu.

"Aku tidak mencintaimu." Ceisya memberikan ultimatum keras. Sejak ayah menikah dengan Sentari, laki-laki ini sangat lancang mendekatinya terus. Apalagi sekarang jam kerja, seharusnya Ibas ada di proyek.

"Tapi aku sangat mencintaimu." Ibas tidak akan pernah gentar ataupun menyerah.

"Aku sudah memiliki pacar." Terpaksa Ceisya memberi tahu kalau dirinya sudah punya pasangan.

"Aku tidak percaya." Ibas tertawa lebar.

"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Intinya aku sudah punya pacar dan tidak akan melirik laki-laki lain. Termasuk kamu."

"Aku tidak pernah melihat kamu jalan sama pacar kamu."

"Bukan urusan kamu. Lagian kalau aku mau jalan juga tidak akan memberitahukan sama kamu."

Ceisya berjalan lebih cepat untuk menghindari orang gila seperti Ibas. Lama-lama Ceisya bisa ikutan gila.

"Tinggalkan pacar kamu itu dan terima aku sebagai calon tunangan kamu."

"Maaf. Tidak bisa. Cari saja perempuan lain. Masih banyak perempuan lain yang mau menerima kamu apa adanya."

"Aku tidak mau perempuan lain. Aku maunya kamu." Ibas sangat keras kepala.

"Sudah aku bilang tidak. Jangan suka memaksa." Lama-lama berdekatan dengan Ibas, bulu kuduk Ceisya berdiri karena takut.

"Tapi aku adalah tipe orang yang pelaksanaan," ucap Ibas tersenyum tidak bersalah.

Ceisya kaget setengah mati dengan penuturan Ibas. Mata pun memandang sekitar. Sepi. Benar-benar sepi. Tidak ada orang yang melintas di taman menuju parkiran, kecuali dirinya dan Ibas.

"Pergilah. Aku tidak mau berurusan dengan kamu," usir Ceisya secara halus.

Di luar dugaan, tangan nakal Ibas menarik pinggang Ceisya menuju hadapan Ibas. Ditangkupkan kedua tangan di belakang tubuh Ceisya agar gadis itu tidak lepas dan kabur.

Ceisya bukan main terkejutnya karena perbuatan gila Ibas. Posisi mereka sudah seperti orang berpelukan.

"Lepaskan!" pekik Ceisya sambil memukul dada milik Ibas.

Di wajah laki-laki itu sama sekali tidak terbersit rasa bersalah. Malah tersenyum. Mungkin karena secara tidak langsung sudah berhasil memeluk Ceisya.

"Lepaskan! Kalau tidak, aku akan teriak kencang," ancam Ceisya karena merasa risi dengan posisi mereka sekarang.

"Aku tidak akan melepaskan kamu."

Wajah Ceisya memucat. Ancaman darinya tidak berlaku untuk Ibas.

"Aku teriak sekarang."

"Silakan," tantang Ibas tidak takut.

"Tolong!" pekik Ceisya sangat kencang. Berharap ada yang akan menolongnya.

"Tidak akan ada yang mendengarkan teriakan kamu. Lihat saja situasi sekitar sangat sepi."

Ceisya kembali melirik ke arah kanan dan kiri. Benar saja sepi. Tidak ada orang yang melintas.

Kalau sudah seperti ini timbul penyesalan pada Ceisya. Menyesal kenapa mengajak Maya ke kafe sesepi ini. Kedua, menyesal kenapa tadi tidak lewat jalan trotoar belakang yang lumayan ada beberapa kendaraan melintas, meski agak jauh menuju parkiran.

"Lepaskan!" perintah Ceisya.

"Aku akan melepaskan jika kamu mau menuruti keinginan aku." Beribu ide cemerlang berputar-putar di dalam kepala Ibas.

"Apa?" Ceisya bertanya. Siapa tahu Ibas menginginkan uang. Di tas masih ada sisa uang pembelian ponsel. Siapa tahu Ibas mau melepaskannya. "Uang?"

"Tidak." Ibas menggeleng.

"Lantas apa?" Diam-diam Ceisya melirik ke atas. Sebenarnya Ibas tidak terlalu buruk jika dilihat dari fisik, hanya saja sifatnya tidak jauh berbeda dengan ibu tirinya jika sudah menginginkan sesuatu.

"Kamu."

"Sudah aku bilang tidak!"

Entah keberanian darimana tiba-tiba Ceisya menendang perut bagian bawah laki-laki itu.

Ibas mengerang kesakitan. Pasalnya perut sama sekali belum diisi. Jadwal makan siang malah digunakan untuk mengintai ke mana perginya Ceisya.

Pelan-pelan rengkuhan tangan Ibas mengendur. Dan ini adalah kesempatan emas Ceisya untuk melarikan diri dari laki-laki yang tergila-gila kepadanya.

"Awas kau!" rintih Ibas sambil memegang perutnya yang terasa sakit seperti mau pecah. Pasalnya tendangan Ceisya lumayan keras. Tebakan Ibas salah tentang Ceisya. Ternyata gadis itu tidak selemah yang Ibas bayangkan.

"Sial!" pekik Ibas menjatuhkan tubuhnya ke atas rerumputan. Kedua mata yang sedikit menyipit melihat Ceisya yang sudah berlari jauh meninggalkan Ibas yang tengah kesakitan.

"Awas aku. Akan aku balas. Bahkan lebih sakit dari ini," janji Ibas. 

Laki-laki itu sedikit menyingkap baju yang dikenakan. "Sial!"

Jahitan akibat operasi usus buntu minggu lalu kembali mengeluarkan darah. Rasanya sakit, perih.

Sementara itu, Ceisya berlari dengan nafas terengah-engah menuju mobil. Saking takutnya, gadis itu sampai bolak-balik terjatuh karena efek ketakutan yang luar biasa.

Setelah menggapai pintu mobil, Ceisya buru-buru masuk dan mengunci. Ia tidak mau melihat bagaimana wajahnya sekarang. Pasti sangat pucat.

Dengan hati-hati, gadis itu menjalankan mobil. Ia tidak mau, Ibas mengejar kembali dan menangkapnya. Untuk ke depannya, Ceisya harus hati-hati. Siapa tahu Ibas bisa menemukan kehadirannya di mana pun juga.

***

Perasaan Ceisya masih cemas gara-gara kejadian tadi. Ini adalah pertama kalinya ada laki-laki yang berbuat tidak baik kepadanya.

Ketika sampai depan rumah, Perasaan takut itu pun masih ada. Karena ketakutan sekarang adalah harus berurusan lagi dengan Sentari.

Setelah menutup mobil rapat-rapat, Ceisya memasuki rumah dengan hati-hati. Mobil ayah masih ada di halaman. Setidaknya nanti akan aman-aman saja di dalam rumah.

Baru juga menutup pintu depan, lagi-lagi Ceisya diberikan kejutan karena ada seseorang yang menarik tangannya dengan keras. Kenapa harus tangan lagi yang menjadi korban?

"Tante?" Ceisya berhasil menemukan siapa pelaku yang menyeret tangannya.

Tatapan tajam penuh amarah mengarah kepada siapa yang datang.

"Apa yang kamu lakukan terhadap Ibas?" hardik Sentari meluapkan emosi yang sudah ditahan sejak tadi.

Ceisya kebingungan setengah mati. Kenapa Sentari bisa tahu apa yang telah dilakukan Ceisya kepada Ibas?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status