Dengan gerak cepat, Ceisya langsung menatap ke arah tangannya yang masih merasa dicekal.
"Kamu? Lepaskan!" Ceisya langsung menggerakkan tangan ke atas dan bawah. Berharap cekalan di tangan terlepas.
"Tidak baik seorang perempuan keluyuran di jalanan sendirian."
Ceisya langsung melengos, meski tangan laki-laki itu masih menyentuh kulit mulusnya.
"Lebih tidak baik lagi jika laki-laki yang tidak dikenal tiba-tiba langsung mencekal tangan perempuan," sindir telak Ceisya.
"Oh, maaf." Ibas sadar diri dan langsung melepaskan pergelangan tangan Ceisya. Kedua mata laki-laki itu membulat ketika melihat pergelangan tangan Ceisya berwarna merah. Mungkin karena terlalu erat menggenggamnya.
"Mau apa kamu kemari?" Ceisya merasa tidak nyaman karena Ibas selalu mengikuti langkahnya. Padahal ia sudah berjalan beberapa langkah. Sial. Mobil diparkir terlalu jauh.
"Hanya ingin ketemu sama kamu."
Ceisya mengentakkan kaki. "Maaf aku tidak ada keperluan dan urusan sama kamu."
"Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."
Dari pertama melihat Ceisya sejak pernikahan Tante Sentari, Ibas sudah menaruh hati kepada Ceisya.
Laki-laki mana yang tidak terikat dengan Ceisya. Tinggi. Tubuh semampai. Kulit putih. Cantik. Rambut panjang sepinggang. Kedua mata agak sipit mirip orang Korea.
"Tidak perlu berlebihan. Aku bisa sendiri dan tidak perlu dipastikan baik-baik saja." Ceisya sengaja menekankan di setiap katanya. Berharap Ibas segera pergi dari hadapannya.
"Bukankah aku wajib memberikan perhatian kepada calon tunanganku sendiri?" Ibas berkata dengan bangga.
Bukan main terkejutnya Ceisya mendapatkan pengakuan seperti itu. "Apa? Calon tunangan? Gila kamu!" Gadis itu langsung mempercepat langkah menuju tempat parkir. Sayangnya untuk menuju ke sana harus melewati taman yang cukup luas.
"Ya. Aku sudah mengumumkan ke semua orang jika kamu adalah calon tunangan aku."
"Benar-benar gila kamu," ucap gadis yang kesal tanpa memandang lawan bicaranya.
"Aku memang gila karena cinta kamu." Ibas tersenyum penuh nafsu.
"Aku tidak mencintaimu." Ceisya memberikan ultimatum keras. Sejak ayah menikah dengan Sentari, laki-laki ini sangat lancang mendekatinya terus. Apalagi sekarang jam kerja, seharusnya Ibas ada di proyek.
"Tapi aku sangat mencintaimu." Ibas tidak akan pernah gentar ataupun menyerah.
"Aku sudah memiliki pacar." Terpaksa Ceisya memberi tahu kalau dirinya sudah punya pasangan.
"Aku tidak percaya." Ibas tertawa lebar.
"Terserah kamu mau percaya atau tidak. Intinya aku sudah punya pacar dan tidak akan melirik laki-laki lain. Termasuk kamu."
"Aku tidak pernah melihat kamu jalan sama pacar kamu."
"Bukan urusan kamu. Lagian kalau aku mau jalan juga tidak akan memberitahukan sama kamu."
Ceisya berjalan lebih cepat untuk menghindari orang gila seperti Ibas. Lama-lama Ceisya bisa ikutan gila.
"Tinggalkan pacar kamu itu dan terima aku sebagai calon tunangan kamu."
"Maaf. Tidak bisa. Cari saja perempuan lain. Masih banyak perempuan lain yang mau menerima kamu apa adanya."
"Aku tidak mau perempuan lain. Aku maunya kamu." Ibas sangat keras kepala.
"Sudah aku bilang tidak. Jangan suka memaksa." Lama-lama berdekatan dengan Ibas, bulu kuduk Ceisya berdiri karena takut.
"Tapi aku adalah tipe orang yang pelaksanaan," ucap Ibas tersenyum tidak bersalah.
Ceisya kaget setengah mati dengan penuturan Ibas. Mata pun memandang sekitar. Sepi. Benar-benar sepi. Tidak ada orang yang melintas di taman menuju parkiran, kecuali dirinya dan Ibas.
"Pergilah. Aku tidak mau berurusan dengan kamu," usir Ceisya secara halus.
Di luar dugaan, tangan nakal Ibas menarik pinggang Ceisya menuju hadapan Ibas. Ditangkupkan kedua tangan di belakang tubuh Ceisya agar gadis itu tidak lepas dan kabur.
Ceisya bukan main terkejutnya karena perbuatan gila Ibas. Posisi mereka sudah seperti orang berpelukan.
"Lepaskan!" pekik Ceisya sambil memukul dada milik Ibas.
Di wajah laki-laki itu sama sekali tidak terbersit rasa bersalah. Malah tersenyum. Mungkin karena secara tidak langsung sudah berhasil memeluk Ceisya.
"Lepaskan! Kalau tidak, aku akan teriak kencang," ancam Ceisya karena merasa risi dengan posisi mereka sekarang.
"Aku tidak akan melepaskan kamu."
Wajah Ceisya memucat. Ancaman darinya tidak berlaku untuk Ibas.
"Aku teriak sekarang."
"Silakan," tantang Ibas tidak takut.
"Tolong!" pekik Ceisya sangat kencang. Berharap ada yang akan menolongnya.
"Tidak akan ada yang mendengarkan teriakan kamu. Lihat saja situasi sekitar sangat sepi."
Ceisya kembali melirik ke arah kanan dan kiri. Benar saja sepi. Tidak ada orang yang melintas.
Kalau sudah seperti ini timbul penyesalan pada Ceisya. Menyesal kenapa mengajak Maya ke kafe sesepi ini. Kedua, menyesal kenapa tadi tidak lewat jalan trotoar belakang yang lumayan ada beberapa kendaraan melintas, meski agak jauh menuju parkiran.
"Lepaskan!" perintah Ceisya.
"Aku akan melepaskan jika kamu mau menuruti keinginan aku." Beribu ide cemerlang berputar-putar di dalam kepala Ibas.
"Apa?" Ceisya bertanya. Siapa tahu Ibas menginginkan uang. Di tas masih ada sisa uang pembelian ponsel. Siapa tahu Ibas mau melepaskannya. "Uang?"
"Tidak." Ibas menggeleng.
"Lantas apa?" Diam-diam Ceisya melirik ke atas. Sebenarnya Ibas tidak terlalu buruk jika dilihat dari fisik, hanya saja sifatnya tidak jauh berbeda dengan ibu tirinya jika sudah menginginkan sesuatu.
"Kamu."
"Sudah aku bilang tidak!"
Entah keberanian darimana tiba-tiba Ceisya menendang perut bagian bawah laki-laki itu.
Ibas mengerang kesakitan. Pasalnya perut sama sekali belum diisi. Jadwal makan siang malah digunakan untuk mengintai ke mana perginya Ceisya.
Pelan-pelan rengkuhan tangan Ibas mengendur. Dan ini adalah kesempatan emas Ceisya untuk melarikan diri dari laki-laki yang tergila-gila kepadanya.
"Awas kau!" rintih Ibas sambil memegang perutnya yang terasa sakit seperti mau pecah. Pasalnya tendangan Ceisya lumayan keras. Tebakan Ibas salah tentang Ceisya. Ternyata gadis itu tidak selemah yang Ibas bayangkan.
"Sial!" pekik Ibas menjatuhkan tubuhnya ke atas rerumputan. Kedua mata yang sedikit menyipit melihat Ceisya yang sudah berlari jauh meninggalkan Ibas yang tengah kesakitan.
"Awas aku. Akan aku balas. Bahkan lebih sakit dari ini," janji Ibas.
Laki-laki itu sedikit menyingkap baju yang dikenakan. "Sial!"
Jahitan akibat operasi usus buntu minggu lalu kembali mengeluarkan darah. Rasanya sakit, perih.
Sementara itu, Ceisya berlari dengan nafas terengah-engah menuju mobil. Saking takutnya, gadis itu sampai bolak-balik terjatuh karena efek ketakutan yang luar biasa.
Setelah menggapai pintu mobil, Ceisya buru-buru masuk dan mengunci. Ia tidak mau melihat bagaimana wajahnya sekarang. Pasti sangat pucat.
Dengan hati-hati, gadis itu menjalankan mobil. Ia tidak mau, Ibas mengejar kembali dan menangkapnya. Untuk ke depannya, Ceisya harus hati-hati. Siapa tahu Ibas bisa menemukan kehadirannya di mana pun juga.
***
Perasaan Ceisya masih cemas gara-gara kejadian tadi. Ini adalah pertama kalinya ada laki-laki yang berbuat tidak baik kepadanya.
Ketika sampai depan rumah, Perasaan takut itu pun masih ada. Karena ketakutan sekarang adalah harus berurusan lagi dengan Sentari.
Setelah menutup mobil rapat-rapat, Ceisya memasuki rumah dengan hati-hati. Mobil ayah masih ada di halaman. Setidaknya nanti akan aman-aman saja di dalam rumah.
Baru juga menutup pintu depan, lagi-lagi Ceisya diberikan kejutan karena ada seseorang yang menarik tangannya dengan keras. Kenapa harus tangan lagi yang menjadi korban?
"Tante?" Ceisya berhasil menemukan siapa pelaku yang menyeret tangannya.
Tatapan tajam penuh amarah mengarah kepada siapa yang datang.
"Apa yang kamu lakukan terhadap Ibas?" hardik Sentari meluapkan emosi yang sudah ditahan sejak tadi.
Ceisya kebingungan setengah mati. Kenapa Sentari bisa tahu apa yang telah dilakukan Ceisya kepada Ibas?
"Aku tidak tahu. Aku tidak ketemu sama Ibas." Ceisya menyembunyikan perubahan wajahnya agar tidak diketahui oleh Sentari.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ceisya. Sikap Sentari memang di luar dugaan."Apa yang kamu lakukan," tutur Ceisya sambil memegang pipinya yang sangat sakit. Pasti kulit di pipi berwarna merah.Ini adalah perbuatan tidak menyenangkan yang dialami pertama kali oleh Ceisya. Ayahnya saja tidak pernah melakukan hal seperti ini. Kenapa Sentari yang merupakan adalah orang lain berani melakukan ini?""Pelajaran buat kamu agar jangan kurang ajar," balas Sentari dengan penuh penekanan di setiap katanya. Ia sangat menjaga kata-katanya agar tidak mengganggu istirahat Ramon."Siapa yang kurang ajar?" Ceisya mulai berani menentang Sentari. "Perbaiki dulu sikap kamu sebelum bicara."Sentari mulai meradang. Emosi yang ia tahan, akhirnya lepas kontrol."Dasar anak tidak tahu diri!"Ceisya melipat kedua tangan di depan dada. "Apa? Anak? Siapa yang jadi anak Tante?"Tangan m
Koper kecil yang biasa tergeletak di atas lemari, terpaksa diturunkan Ceisya untuk mengemasi pakaian yang akan dibawa.Beberapa pakaian dilempar kasar di atas koper yang sudah terbuka. Kali ini Sentari merasa di atas awan karena sudah berhasil membujuk Ramon. Ceisya merasa kesal, sedih, marah dikarenakan ayahnya lebih membela wanita itu dibandingkan anaknya sendiri.Ditarik koper sampai roda berputar. Saat membuka pintu, Ceisya masih melihat kedua orang tuanya di ruang tengah. Sayangnya, Ayah Ceisya masih perang batin dan memilih memalingkan wajah saat anaknya berdiri dekat dengan dirinya.Ceisya menatap ayahnya yang masih tidak mau melihat ke arah dirinya."Jika ini memang keputusan ayah, aku akan pergi dari sini."Suara Ceisya terdengar parau seperti orang hendak menangis. Setelah ditunggu beberapa detik, ternyata tidak ada balasan dari Ramon."Sampai kapanpun, aku akan menunggu ayah meminta maaf jika tuduhan yang ayah berikan kepada aku itu tidak benar," lanjut Ceisya menarik koper
Telinga Ceisya bergetar hebat dengan kata-kata Rayanka yang menginginkan perpisahan tanpa alasan. Kelopak mata bagian bawah milik Ceisya terasa sangat berat. Buliran bening sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. "Apa aku tidak salah dengar?" Ceisya terbata-bata mengatakan hal itu. Ponsel juga ditekankan lebih kuat dengan telinga. Suara embusan napas Rayanka di seberang sana terdengar kuat. "Tidak. Kamu tidak salah dengar." Ceisya mundur beberapa langkah. Sampai pada akhirnya tubuhnya jatuh pada kursi di taman kota. Lampu taman terlihat temaram, layaknya ikut meratapi kesedihan yang dialami Ceisya. "Ray? Apa kamu sedang ada masalah? Jika iya, tolong katakan! Siapa tahu aku bisa bantu kamu," pinta Ceisya penuh harap "Tidak. Kamu salah. Aku baik-baik saja. Aku sedang tidak ada masalah." Ceisya berpikir cepat. "Apa kamu sedang sakit?" "Aku sehat," balas Rayanka memalingkan wajahnya karena Ceisya di sana menatap dengan intens. Ceisya hanya bisa menatap wajah Rayanka dari jauh. Laki
Ibas berjalan kesana kemari sambil menunggu sang Tante datang. Mereka sudah janjian di taman pinggir kota. Benar saja, dalam waktu lima menit datanglah wanita yang menjadi ibu sambung Ceisya. "Ke mana perginya gadis itu?" tanya Ibas kepada Sentari. "Aku sudah mencari sampai ke tempat sahabat Ceisya, tetapi tidak ada." Sentari memasang wajah biasa saja. Entah kenapa Ibas terlalu ambisi dengan anak angkatnya. "Kamu bisa cari lagi sampai ketemu," balas Sentari. Ibas naik pitam. "Harus cari ke mana lagi? Apa perlu teman satu kampus harus aki datangi satu per satu?" Tatapan Ibas sekarang tertuju kepada Sentari. "Apa kamu sengaja melenyapkan Ceisya selamanya?" Sentari panik. "Tidak. Aku hanya memberi pelajaran agar gadis itu menurut saja." "Buktinya sekarang Ceisya pergi entah ke mana." "Besok kita cari bersama. Hari sudah larut malam." Ibas mendengkus kesal. "Keburu gadis itu pergi menjauh." Laki-laki usia matang hatinya sangat kecewa dengan tantenya. Padahal perjanjian awal akan
Ceisya merasakan kesakitan di bagian kepala. Dengan mata yang masih terpejam, pelan-pelan tangan meraba ke bagian kepala dan menemukan perban melingkari kepala. Gadis itu pun panik dan segera membuka mata. Saat sudah siuman, Ceisya tidak merasakan lembabnya tepian sungai dan tidak juga terdengar arus. Ruangan yang sekarang ditempati Ceisya berwarna putih dengan bau obat-obatan yang sangat menyengat hidung. "Aku di mana?" Ceisya mengubah posisi dari terlentang menjadi duduk di tepi tempat tidur. Tubuh Ceisya sangat sakit, terutama di bagian kaki. Mata pun menatap ke bawah. Benar saja, terdapat luka. Namun, luka itu tidak parah. Ceisya pelan-pelan mengingat apa yang sudah terjadi menimpa mereka. Ia telah membuat seseorang celaka karenanya. 'Oh jadi seperti ini rumah sakit di penjara?' batin Ceisya karena ia berada di ruangan sendiri. Tidak ada satu pun pasien yang berada di ruangan ini kecuali Ceisya. Gadis yang masih melamun dikejutkan dengan suara pintu yang terbuka. Di sana buk
Ceisya merasa ketakutan hebat ketika berhadapan dengan pasien yang belum membuka mata.'Bagaimana aku membayar ini semua? Bahkan aku tidak membawa uang sepeser pun. Bagaimana kalau Kaivan melaporkan ini semua ke polisi?'Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Ceisya. Baru kali ini merasakan ketakutan yang luar biasa. Mengalahkan ketika berhadapan dengan Ibas atau pun Sentari.Jika waktu kejadian, Ceisya melihat Kaivan secara samar-samar. Sosok sekarang lebih terlihat jelas. Laki-laki berperawakan tinggi, memiliki kulit putih, rambut sedikit berwarna cokelat, tetapi tidak menghapus ketampanan.Tangan Ceisya meraih tangan yang terhubung selang infus. "Aku minta maaf."Seharusnya Ceisya yang berada di IGD. Terbujur tidak sadarkan diri, bukan Kaivan.Melihat Kaivan yang belum membuka mata, Ceisya semakin didera rasa bersalah. Ia pun berniat keluar dari ruangan yang membuatnya semakin bersalah.Ketika Ceisya membuka pintu, sosok gadis itu sangat terkejut. Di depan sana terdapat rombon
Randi mendengkus kesal. Percuma seharian mengkhawatirkan Kaivan jika pada akhirnya laki-laki itu malah lebih peduli kepada perempuan asing."Huft. Seharusnya kamu lebih mengkhawatirkan masa depan kamu," sindir Randi.Sementara itu, Ceisya yang berada di belakang Randi hanya bisa menggigit bibirnya sendiri. Sepertinya Kaivan belum menyadari keberadaan Ceisya."Di mana perempuan itu? Cepat katakan!" Kaivan sampai menyingkap selimut dengan logo rumah sakit.Kaivan hanya bisa menelan pahit setelah mengetahui apa yang terjadi dengan kakinya. Penuh dengan perban. Sia-sia perawatan pedicure dua hari yang lalu. Andai Kaivan tidak menolong gadis itu. Andai Kaivan tidak jatuh pasti sudah bisa bergerak bebas."Tahu sendiri kan sekarang kalau kamu tidak bisa jalan?" Randi paham apa yang sedang dipikirkan aktor tersebut."Jawab pertanyaan aku tadi!" Ceisya yang sudah panas dingin tidak bisa berkutik."Oh. Ternyata kamu lebih mementingkan perempuan itu, dibandingkan dengan masa depan kamu sendiri.
"Siapa perempuan itu?" Laura bertanya secara intens. Ia terus mengingat semua pemain dari inti sampai figuran. Tidak ada yang seperti tadi di ruangan ini. Ada rasa aneh jika Kaivan berteman dengan perempuan seperti tadi."Teman."Laura tidak percaya. "Yakin sekedar teman?" "Iya.""Tapi aku tidak percaya," tukas Laura dengan ketus."Terserah kamu. Aku juga tidak butuh, kamu mau percaya atau tidak." Dari awal, Kaivan terus menghindari kontak mata dengan Laura."Kaiv?" Laura dengan nada tinggi. Ternyata Kaivan sama saja. Tidak di lokasi syuting atau di rumah sakit. Selalu ketus dan terus menghindar.Kaivan yang merasa dipanggil hanya menjawab dengan deheman. Itu malah membuat Laura semakin kesal."Aku takut jika perempuan itu akan mengganggu hubungan kita."Kedua alis Kaivan saling bertaut. "Apa kata kamu? Hubungan kita? Sepertinya aku harus mengingatkan kamu jika kita tidak pernah dekat atau pun menjalin hubungan."Kaivan sampai menekankan di setiap kata-katanya agar Laura sadar. Sebe