"Aku mencintaimu."
Satu kalimat terpampang di layar monitor milik Ceisya. Kedua mata mengerjap secara perlahan. Hatinya melambung tinggi. Andai saja orang yang mengatakan itu ada di hadapan Ceisya, pastinya gadis itu langsung berlari untuk memeluknya secara erat.
Laki-laki pemilik nama Rayanka Yagiz adalah sosok yang selalu menampilkan tubuh yang membelakangi. Satu tahun berkenalan di dunia maya dengan Ceisya selalu saja menampilkan foto seperti itu. Belum pernah memberikan foto pada bagian wajahnya.
Namun, bagi Ceisya itu tidak masalah. Gadis ini merasa jika Rayanka adalah sosok yang dikirim Tuhan untuknya.
"Brak!"
Tanpa permisi, tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan keras. Menyebabkan benda itu menghantam dinding kamar dan membuat pemilik kamar tersentak kaget.
"Astaghfirullahaladzim," ucap Ceisya sembari memegang dada yang sudah berdegup sangat kencang. Sorot tatapan tajam tertuju kepada Ceisya yang sudah ketakutan setengah mati.
"Masih berhubungan dengan pacar khayalan kamu itu?" seloroh wanita itu dengan nada bicara penuh ketus di setiap katanya.
Tangan Ceisya langsung bergerak cepat menutup benda pipih, tetapi sengaja tidak menutup sempurna karena layar monitor yang masih menyala. Benda ini harus dipertahankan dikarenakan HP kena sita ibu tirinya gara-gara sering berhubungan dengan Rayanka.
"Ti-dak," balas Ceisya terbata-bata. Didekapnya laptop agar menyatu dengan tubuhnya. Pokoknya tidak boleh ada seorang pun yang mengambil harta satu-satunya ini.
"Jangan bohong!" hardik wanita yang memiliki nama Sentari dengan penuh tidak suka. Kejadian ini tidak hanya sekali, tetapi berulang kali. Bahkan setiap hari.
"Mau aku sita laptop itu?" ancam ibu tiri yang selalu jahat kepada Ceisya. Bagi Sentari, gadis ini adalah satu-satunya penghalang untuk menguasai harta ayah dari Ceisya.
"Jangan," lirih Ceisya sembari menggeleng. "A-ku lagi mengerjakan tugas kuliah."
Mau tidak mau Ceisya harus berbohong kepada ibu tirinya. Padahal sejujurnya Ceisya bukan tipe anak yang tidak suka berbohong.
"Aku tidak suka kamu berbohong!" hardik Sentari merasa tidak suka.
Wanita itu mendekat dengan wajah yang tidak bisa berpaling sedikit pun kepada Ceisya.
Merasa mendapatkan tatapan seperti itu, Ceisya langsung merapatkan punggung menyatu dengan kursi yang sedang diduduki.
"Apa aku harus memaksa membuka laptop agar aku percaya?" Sentari sampai mendekatkan wajahnya kepada Ceisya. Tubuh gadis yang sedang merasa terancam, seketika langsung bergidik ngeri.
Seketika Ceisya langsung menggeleng. "Ja-ngan. Aku tidak berbohong," ucap gadis itu sambil terbata-bata.
"Mau laptop itu aku buang?" Sentari melirik ke arah benda yang sedang dipertahankan Ceisya.
Hubungan Ceisya dengan ibu tirinya memang tidak pernah akur. Wanita itu bisa menjadi iblis jika tidak ada ayah Ceisya, tetapi seketika akan berubah menjadi bidadari tanpa sayap jika Ramon sudah hadir di dalam rumah.
Awalnya Ceisya ragu mengizinkan ayahnya untuk menikah lagi. Pasalnya sejak melihat pertama kali Sentari, hati Ceisya mengatakan jika wanita itu tidak baik. Dan, semua terbukti setelah pernikahan ayahnya terjadi. Sentari menunjukkan sifat aslinya.
Wajah gadis itu memucat. Laptop dipeluk seerat mungkin. Jangan sampai harta benda satu-satunya berpindah kepada ibu tiri yang tidak menyukai Ceisya dari pertama.
"Jangan! Ini milik aku satu-satunya. Kamu boleh ambil yang lain, tapi jangan ini," ucap Ceisya tidak gentar mempertahankan laptop.
Bagaimana jadinya kalau laptop ini beneran dibanting? Banyak tugas-tugas kuliah yang belum disimpan di flash disk.
"Jauhi pacar khayalan kamu itu!" Perintah yang sudah sering keluar dari bibir Sentari, tetapi sama sekali tidak digubris oleh Ceisya.
"Dia ada. Real. Dia bukan khayalan," ucap Ceisya membela kekasihnya.
"Kamu adalah perempuan bodoh di dunia ini. Perempuan murahan. Pacaran tetapi tidak pernah ketemu sama orangnya," sindir Sentari dengan ucapan yang sangat sinis.
Darah mengalir begitu cepat menuju ke arah otak. Seketika wajah Ceisya langsung memerah karena diberi kata-kata kasar. Ia tidak rela dikatakan murahan.
"Coba buka mata kamu lebar-lebar! Banyak laki-laki di luar sana yang mengaku masih lajang, tetapi nyatanya sudah memiliki pasangan. Siapa tahu pacar kamu seperti itu."
Seketika Ceisya langsung menggeleng. "Tidak. Dia tidak seperti itu." Gadis cantik ini sangat percaya dengan pacar dunia mayanya, meski mereka belum pernah ketemu.
"Masih mau dibohongi dengan janji manis dia?" sindir Sentari kembali dengan nada sinis.
Keduanya sekarang terdiam dengan pikiran masing-masing.
Terlebih untuk Ceisya yang merasa jika omongan ibu tirinya ada benarnya juga.
Rayanka selama ini memberikan banyak janji. Dari akan segera menemui Ceisya. Sampai memberikan janji akan membawa Ceisya menuju pelaminan. Namun, sampai satu tahun ini belum terbukti.
"Baiklah kalau seperti itu. Bawa laki-laki itu ke sini secepatnya. Kalau tidak ..." Sentari melirik ke arah Ceisya.
Sementara itu, Ceisya hanya menarik napas panjang karena tahu kelanjutan dari pembicaraan itu.
"Menikah dengan pilihan Tante," lanjut Sentari dengan tersenyum licik.
Tubuh Ceisya langsung merapat ke arah dinding. Cobaan semakin hari, semakin berat. Apalagi setelah ayahnya jatuh kepada wanita yang salah.
"Aku tidak mau. Aku masih ingin meneruskan kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Aku tidak ingin menikah di usia muda."
Tawa Sentari meledak dengan hebat. Ceisya sampai ngeri melihat isi mulut Sentari.
"Jangan sampai kamu menjadi perawan tua hanya gara-gara menunggu laki-laki yang salah," ucap Sentari sambil menutup pintu kamar dengan keras.
Jika dipikir-pikir, Ceisya lebih baik menjadi perawan tua dibandingkan harus mendapatkan ibu seperti ini.
"Bagaimana tawaran untuk menikah dengan Ibas?"
Ceisya sampai bergidik ngeri membayangkan pemuda itu yang pernah ke rumah. Meski laki-laki itu sudah mendapatkan pekerjaan sebagai mandor proyek, tetapi Ceisya tidak pernah tertarik sedikit pun. Lirikan Ibas menunjukkan jika laki-laki itu tidak cukup dengan satu perempuan.
"Sepertinya ayah kamu bakal merestui jika kalian menikah."
Ceisya tidak suka jika ayahnya dibawa-bawa. Andai ayah tahu kelakuan istri barunya, pasti sudah mengakhiri pernikahan yang keduanya.
"Tidak. Aku tidak mau menikah dengan Ibas."
Kedua alis Sentari menyatu. Tujuan menikahkan Ceisya dengan Ibas agar anak gadisnya tidak berada satu atap di rumah ini. "Masih kekeh dengan pacar khayalan kamu itu!"
Sentari sengaja menyenggol jam di atas meja. Dua baterai kecil sampai terlempar keluar ketika penutup kecil terlepas.
"Bukankah sudah dijelaskan dari awal kalau aku tidak ingin menikah dulu." Ceisya sampai menaikkan nada suara karena jam itu adalah hadiah ulang tahun dari Maya—sahabatnya.
"Sekarang kamu berani bentak Tante!" Sentari merasa tidak terima mendapatkan perlakuan dari anak tirinya.
Ceisya sadar karena telah berlaku tidak sopan meski wanita itu terus menyerang mentalnya habis-habisan.
"Maaf. Aku tidak bermaksud membentak. Intinya saat ini aku belum siap untuk menikah. Masa depan aku masih panjang."
Sentari tidak puas dengan pembelaan Ceisya. "Apa kurangnya Ibas? Dia punya pekerjaan tetap. Dia punya penghasilan. Atau kamu pandang fisik terhadap Ibas?"
Suara wanita itu tidak kalah tinggi. Untung saja Ramon tidak ada di rumah.
"Saya tidak memandang Ibas sesuai dugaan Tante." Bagi Ceisya, umur Ibas sudah seperti adik almarhumah mamah. Terlalu tua bagi Ceisya.
Ceisya didorong dengan kencang oleh Sentari. Untung saja laptop sudah diam-diam diamankan dalam almari.
Tubuh gadis itu terjerembab di atas pembaringan. Sentari tertawa puas melihat anak tirinya menderita.
Suara derit pintu mengagetkan keduanya. Tubuh tiba-tiba langsung mematung.
"Ayah?" panggil Ceisya karena hatinya merasa tenang saat ayahnya datang. Namun, tidak dengan Sentari yang sudah ketakutan setengah mati.
Sentari segera menjauh dari Ceisya. Wajahnya masih pucat dan otaknya tidak bisa digunakan untuk berpikir. Biasanya Ramon akan mengabari kalau hendak pulang ke rumah.Jangan-jangan Ramon mendengarkan pertengkaran dengan Ceisya, pikir Sentari dalam hati.Kalau iya, pasti setelah ini Sentari akan didepak dari rumah ini karena Ramon sangat menyayangi anak tunggalnya."Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?" tanya seorang ayah kepada anaknya dengan penuh nada kekhawatiran."Tiga hari ayah menanyakan kamu mau makan apa, tetapi pesan itu tidak terkirim," lanjut Ramon berusaha mendekat kepada dua orang perempuan yang masih mematung karena kehadirannya."Aku ...," ucap Ceisya bingung. Jangan sampai keceplosan menjawab kalau ponsel ditahan oleh ibu tirinya. Gadis ini pun mencari cara seribu alasan yang tepat agar ayahnya tidak menaruh kecurigaan."Iya. Mana ponsel kamu?" Ramon mendadak bingung. Pasalnya, Ceisya adalah orang yang tidak bisa jauh dari ponsel. Apalagi sejak istri Ramon meningga
Dengan gerak cepat, Ceisya langsung menatap ke arah tangannya yang masih merasa dicekal."Kamu? Lepaskan!" Ceisya langsung menggerakkan tangan ke atas dan bawah. Berharap cekalan di tangan terlepas."Tidak baik seorang perempuan keluyuran di jalanan sendirian."Ceisya langsung melengos, meski tangan laki-laki itu masih menyentuh kulit mulusnya."Lebih tidak baik lagi jika laki-laki yang tidak dikenal tiba-tiba langsung mencekal tangan perempuan," sindir telak Ceisya."Oh, maaf." Ibas sadar diri dan langsung melepaskan pergelangan tangan Ceisya. Kedua mata laki-laki itu membulat ketika melihat pergelangan tangan Ceisya berwarna merah. Mungkin karena terlalu erat menggenggamnya."Mau apa kamu kemari?" Ceisya merasa tidak nyaman karena Ibas selalu mengikuti langkahnya. Padahal ia sudah berjalan beberapa langkah. Sial. Mobil diparkir terlalu jauh."Hanya ingin ketemu sama kamu."Ceisya mengentakkan kaki. "Maaf aku tidak ada keperluan dan urusan sama kamu." "Aku hanya ingin memastikan kam
"Aku tidak tahu. Aku tidak ketemu sama Ibas." Ceisya menyembunyikan perubahan wajahnya agar tidak diketahui oleh Sentari.Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ceisya. Sikap Sentari memang di luar dugaan."Apa yang kamu lakukan," tutur Ceisya sambil memegang pipinya yang sangat sakit. Pasti kulit di pipi berwarna merah.Ini adalah perbuatan tidak menyenangkan yang dialami pertama kali oleh Ceisya. Ayahnya saja tidak pernah melakukan hal seperti ini. Kenapa Sentari yang merupakan adalah orang lain berani melakukan ini?""Pelajaran buat kamu agar jangan kurang ajar," balas Sentari dengan penuh penekanan di setiap katanya. Ia sangat menjaga kata-katanya agar tidak mengganggu istirahat Ramon."Siapa yang kurang ajar?" Ceisya mulai berani menentang Sentari. "Perbaiki dulu sikap kamu sebelum bicara."Sentari mulai meradang. Emosi yang ia tahan, akhirnya lepas kontrol."Dasar anak tidak tahu diri!"Ceisya melipat kedua tangan di depan dada. "Apa? Anak? Siapa yang jadi anak Tante?"Tangan m
Koper kecil yang biasa tergeletak di atas lemari, terpaksa diturunkan Ceisya untuk mengemasi pakaian yang akan dibawa.Beberapa pakaian dilempar kasar di atas koper yang sudah terbuka. Kali ini Sentari merasa di atas awan karena sudah berhasil membujuk Ramon. Ceisya merasa kesal, sedih, marah dikarenakan ayahnya lebih membela wanita itu dibandingkan anaknya sendiri.Ditarik koper sampai roda berputar. Saat membuka pintu, Ceisya masih melihat kedua orang tuanya di ruang tengah. Sayangnya, Ayah Ceisya masih perang batin dan memilih memalingkan wajah saat anaknya berdiri dekat dengan dirinya.Ceisya menatap ayahnya yang masih tidak mau melihat ke arah dirinya."Jika ini memang keputusan ayah, aku akan pergi dari sini."Suara Ceisya terdengar parau seperti orang hendak menangis. Setelah ditunggu beberapa detik, ternyata tidak ada balasan dari Ramon."Sampai kapanpun, aku akan menunggu ayah meminta maaf jika tuduhan yang ayah berikan kepada aku itu tidak benar," lanjut Ceisya menarik koper
Telinga Ceisya bergetar hebat dengan kata-kata Rayanka yang menginginkan perpisahan tanpa alasan. Kelopak mata bagian bawah milik Ceisya terasa sangat berat. Buliran bening sudah meronta-ronta untuk dilepaskan. "Apa aku tidak salah dengar?" Ceisya terbata-bata mengatakan hal itu. Ponsel juga ditekankan lebih kuat dengan telinga. Suara embusan napas Rayanka di seberang sana terdengar kuat. "Tidak. Kamu tidak salah dengar." Ceisya mundur beberapa langkah. Sampai pada akhirnya tubuhnya jatuh pada kursi di taman kota. Lampu taman terlihat temaram, layaknya ikut meratapi kesedihan yang dialami Ceisya. "Ray? Apa kamu sedang ada masalah? Jika iya, tolong katakan! Siapa tahu aku bisa bantu kamu," pinta Ceisya penuh harap "Tidak. Kamu salah. Aku baik-baik saja. Aku sedang tidak ada masalah." Ceisya berpikir cepat. "Apa kamu sedang sakit?" "Aku sehat," balas Rayanka memalingkan wajahnya karena Ceisya di sana menatap dengan intens. Ceisya hanya bisa menatap wajah Rayanka dari jauh. Laki
Ibas berjalan kesana kemari sambil menunggu sang Tante datang. Mereka sudah janjian di taman pinggir kota. Benar saja, dalam waktu lima menit datanglah wanita yang menjadi ibu sambung Ceisya. "Ke mana perginya gadis itu?" tanya Ibas kepada Sentari. "Aku sudah mencari sampai ke tempat sahabat Ceisya, tetapi tidak ada." Sentari memasang wajah biasa saja. Entah kenapa Ibas terlalu ambisi dengan anak angkatnya. "Kamu bisa cari lagi sampai ketemu," balas Sentari. Ibas naik pitam. "Harus cari ke mana lagi? Apa perlu teman satu kampus harus aki datangi satu per satu?" Tatapan Ibas sekarang tertuju kepada Sentari. "Apa kamu sengaja melenyapkan Ceisya selamanya?" Sentari panik. "Tidak. Aku hanya memberi pelajaran agar gadis itu menurut saja." "Buktinya sekarang Ceisya pergi entah ke mana." "Besok kita cari bersama. Hari sudah larut malam." Ibas mendengkus kesal. "Keburu gadis itu pergi menjauh." Laki-laki usia matang hatinya sangat kecewa dengan tantenya. Padahal perjanjian awal akan
Ceisya merasakan kesakitan di bagian kepala. Dengan mata yang masih terpejam, pelan-pelan tangan meraba ke bagian kepala dan menemukan perban melingkari kepala. Gadis itu pun panik dan segera membuka mata. Saat sudah siuman, Ceisya tidak merasakan lembabnya tepian sungai dan tidak juga terdengar arus. Ruangan yang sekarang ditempati Ceisya berwarna putih dengan bau obat-obatan yang sangat menyengat hidung. "Aku di mana?" Ceisya mengubah posisi dari terlentang menjadi duduk di tepi tempat tidur. Tubuh Ceisya sangat sakit, terutama di bagian kaki. Mata pun menatap ke bawah. Benar saja, terdapat luka. Namun, luka itu tidak parah. Ceisya pelan-pelan mengingat apa yang sudah terjadi menimpa mereka. Ia telah membuat seseorang celaka karenanya. 'Oh jadi seperti ini rumah sakit di penjara?' batin Ceisya karena ia berada di ruangan sendiri. Tidak ada satu pun pasien yang berada di ruangan ini kecuali Ceisya. Gadis yang masih melamun dikejutkan dengan suara pintu yang terbuka. Di sana buk
Ceisya merasa ketakutan hebat ketika berhadapan dengan pasien yang belum membuka mata.'Bagaimana aku membayar ini semua? Bahkan aku tidak membawa uang sepeser pun. Bagaimana kalau Kaivan melaporkan ini semua ke polisi?'Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Ceisya. Baru kali ini merasakan ketakutan yang luar biasa. Mengalahkan ketika berhadapan dengan Ibas atau pun Sentari.Jika waktu kejadian, Ceisya melihat Kaivan secara samar-samar. Sosok sekarang lebih terlihat jelas. Laki-laki berperawakan tinggi, memiliki kulit putih, rambut sedikit berwarna cokelat, tetapi tidak menghapus ketampanan.Tangan Ceisya meraih tangan yang terhubung selang infus. "Aku minta maaf."Seharusnya Ceisya yang berada di IGD. Terbujur tidak sadarkan diri, bukan Kaivan.Melihat Kaivan yang belum membuka mata, Ceisya semakin didera rasa bersalah. Ia pun berniat keluar dari ruangan yang membuatnya semakin bersalah.Ketika Ceisya membuka pintu, sosok gadis itu sangat terkejut. Di depan sana terdapat rombon