Share

7. Dia suami yang baik

Part 7

Aku dan Mas Aris sudah sampai di kontrakan. Tak banyak yang kami bawa, hanya baju-baju untuk ganti. Sesulit inikah hidup sebagai orang tak punya? Hingga dibenci sama ibu sendiri? Atau... Adakah alasan yang lainnya yang tidak kumengerti?

Rasanya hari hari kulalui begitu berat. Tapi bukankah kita harus bersabar?

Aku membaringkan Reza di kasur lantai. Tangan dan pundak terasa begitu pegal karena hampir seharian menggendong si bungsu. Aryan pun berbaring di sampingnya.

"Maafin kami ya, Nak. Kalian harus tidur hanya beralaskan kasur lantai yang tipis," ujarku dengan nada tertahan.

Air mataku terus saja mengalir, enggan untuk berhenti walau aku menyekanya berkali-kali.

"Dek, udah jangan menangis terus. Istirahatlah," ucap mas Aris. Dia mengisik bahuku dengan pelan.

"Sekarang mandilah dulu, biar badanmu segar. Kita gantian, Mas juga mau mandi seharian rasanya begitu lelah."

Aku mengangguk, bangkit dari duduk dan meraih handuk dalam tas ransel. Gegas masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan air kran untuk bebersih diri.

Guyuran air membuat tubuh ini menjadi fresh kembali. Anak-anak tadi gak sempat mandi karena kericuhan di rumah. Setelah sampai di sini mereka justru kelelahan dan langsung tertidur.

Mas Aris terlihat lebih tenang seolah tak ada sesuatu yang terjadi. Berbeda denganku, kecamuk di dada begitu sulit dihilangkan.

"Mas, apa kamu gak sakit hati sama ucapan ibu?" tanyaku. Aku ingin tahu responnya, pasalnya dia lihat sendiri ibu marah marah seperti orang kesetanan.

Dia menghela nafas panjangnya dan kemudian tersenyum. Kali ini Mas Aris membelai pipiku dengan lembut, menghapus sisa air mata yang menggenang di pelupuk.

"Ya, kalau dipikirkan terus menerus, sakit itu pasti ada. Tapi walau bagaimanapun juga, beliau tetap ibu kita. Beliau satu-satunya orang tua yang kita punya, dek. Sudah dari kecil mas tidak punya orang tua, luntang-lantung tidak jelas dan menjadi  anak jalanan. Berkat bapakmu, hidup mas berubah menjadi lebih baik. Ya, bapakmu adalah penolong mas disaat mas terpuruk. Beliau mengenalkan mas pada seorang ustadz, dan sampai mas menjadi marbot masjid. Mas belajar mengaji disana. Dan hal itu juga yang membuat mas bersemangat untuk bekerja apa saja yang penting halal. Semua karena bapakmu dan pak ustadz yang selalu menasehati mas dalam kebaikan," ucap Mas Aris panjang lebar. Dia tetap berbicara dengan santun dan juga lembut.

Dia menghela nafas panjangnya lagi, sambil menatap langit-langit. Mengenang kejadian yang sudah lama berlalu.

"Hingga akhirnya mas bertemu denganmu. Iya, mas suka kamu dari awal kita bertemu. Ternyata malah kau putri dari malaikat penolongku. Semuanya terjadi begitu saja. Mas sempat mengutarakan maksud mas ke bapakmu. Bapak belum memberi jawaban. Tapi... selang beberapa hari mas dengar kamu akan dijodohkan dengan Rendi, putra Pak Nyoto. Jadi lebih baik mas mundur... Tapi siapa sangka kamu malah menemui mas, disaat hari perjodohanmu dan mengajak mas lari. Kau ingat? Kamu sangat keras kepala tidak mau pulang sampai mengancam untuk bunuh diri. Mas serba salah saat itu. Mas bingung bagaimana menghadapimu. Ibumu sudah marah, situasi benar benar kacau. Tapi akhirnya bapakmu menikahkan kita, dan mengajak kita pulang. Walaupun ibu tak pernah setuju dengan pernikahan kita sampai sekarang. Tapi mas tidak akan pernah membencinya. Ibu adalah istri malaikat penolong mas. Dan ibu juga yang sudah melahirkan bidadari seperti kamu. Mana mungkin mas membenci orang yang sudah menghadirkanmu ke dunia ini. Ya kan?"

Dia tersenyum lagi kepadaku, ucapannya membuatku sedikit tersipu. Mas Aris, kenapa ya ada orang sesabar ini seperti dirimu. Kamu tak pernah menganggap buruk orang lain. Kamu juga justru mendoakan orang yang sudah membenci kita dengan doa doa yang terbaik. Ya ampun, Mas, aku sangat beruntung bisa diperistri olehmu. Lelaki hebat, penyabar, penyayang dan pekerja keras. Kamupun sangat bertanggung jawab pada keluarga.

"Jangan benci pada ibu ya, Dek. Ibu orang yang sudah sangat berjasa kepada kita. Walaupun ibu suka marah-marah, tapi dalam hatinya, pasti beliau sayang sama kita. Kamu yang sabar ya dek, kita doakan ibu agar bisa menerima kita kembali. Mas yakin, suatu hari nanti hati ibu akan luluh dengan kehadiran kita. Jadi jangan menyerah ya."

"Tapi sampai kapan mas?"

"Kita tidak tahu sampai kapan, tapi setidaknya jangan menyerah untuk berdoa. Sabar dulu ya dek, mungkin ini sudah jalan hidup yang harus kita lalui."

Aku mengangguk. Sungguh aku sangat bersyukur, suamiku sangat bijaksana. Biarpun kami kekurangan harta tapi aku tidak kekurangan kasih sayang dari suami. Dia sangat bertanggung jawab.

Tapi, berbeda bagi ibu... ibu selalu mengungkit kalau mas Aris miskin. Apakah hanya harta yang menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang? Apakah rumah, mobil, jabatan, prestasi kerja hanya itu kah yang bisa dinilai bahwa orang akan bahagia atau tidak?

"Sudah ya dek, jangan menangis lagi. Saatnya kita memulai lembaran baru. Sekarang, kita akan belajar mandiri. Di sini, bersama keluarga kecil kita. Alihkan perhatianmu ke hal yang lain, buatlah dirimu sibuk, terserah kamu mau lakukan apa. Jangan terlalu pikirkan ucapan ibu. Nanti kamu bisa sakit kalau tekanan batin seperti itu terus menerus. Sayang sama hatimu, Dek. Sayang kalau terus menerus memendam marah dan kecewa, itu tak baik buat kesehatanmu. Mulai sekarang, Mas akan berusaha lebih keras lagi untukmu dan anak-anak. Apalagi kita gak perlu pisah, bisa tiap hari ketemu, Mas pasti semangat banget jalani hari hari."

"Iya mas, terima kasih. Terima kasih sudah menghibur hati ini. Terima kasih sudah menenangkan hatiku, Mas."

"Iya sayang, sekarang, tidurlah ini sudah malam. Maaf ya, untuk sementara mas baru bisa menyewakan rumah seperti ini untukmu. Kita prihatin dulu ya, sayang. Mas memang masih belum mampu membahagiakanmu secara materi. Tapi insyaallah sampai kapanpun mas akan menyayangimu dan anak-anak. Semoga kelak, Mas bisa membelikanmu rumah yang layak untuk kita tinggali bersama."

"Aamiin ... Iya mas, Alhamdulillah. Seperti inipun aku senang. Yang penting aku selalu bersamamu."

Aku memeluknya, merasakan kehangatan tubuhnya. Mas Aris mengecup puncak kepalaku dengan lembut dan penuh kasih sayang. Kami pun akhirnya terlelap di tempat yang baru. Rasanya begitu damai dan tentram, takkan ada lagi yang mengomentari segala hal yang kulakukan. Terima kasih untuk segalanya, Mas. Aku jadi punya kekuatan dan semangat lagi.

"Hei, kenapa belum tidur?" tanya Mas Aris.

Aku mendongak dan hanya tersenyum, memandang wajah suamiku. Meski tak begitu tampan tapi bagiku dia sangat manis. Dan dia adalah malaikat dalam hidupku.

"Tidur dulu, Dek. Mimpi yang indah ya sayang, mas mencintaimu, Dek," ungkapnya lembut membuatku terlelap.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status