Share

Aku Bosan Menjadi Istrimu
Aku Bosan Menjadi Istrimu
Penulis: Nyla Amatullah

Petaka Uang Gaji

"Rin, hari ini kamu gajian, 'kan? Jangan lupa kasihkan semuanya ke aku, buat ditabung, Buat jaga-jaga saja kalau ada perlu mendadak. Kita harus hemat mulai sekarang. Sini biar aku bawa uangnya!" ujar Mas Haris panjang lebar.

Sontak aku menghentikan langkah kaki. Aku kaget dibuatnya. Apa aku tidak salah dengar? Semuanya, dia bilang? Ini uangku, hasil keringatku, kenapa harus dia yang mengatur?

Memang, biasanya seperti itu. Gajiku dari hasil mengajar akan dipegang Mas Haris setengahnya, untuk ditabung. Bukan semuanya. Aku keberatan, sangat keberatan.

Ya, aku memang dipaksa Mas Haris menabung buat masa depan, tapi masa depan yang bagaimana? Selama ini, kehidupan kami tetap sama. Begini-begini saja, bahkan, motorkupun tetap yang dulu bapak belikan sebagai hadiah wisuda. Lantas masa depan yang bagaimana, yang dia maksud?

Hari ini aku baru saja menerima gaji. Mas Haris bahkan selalu hafal tanggal berapa aku gajian. Aku sudah hafal nasihatnya tiap selesai gajian, harus menabung. Seakan, menabung itu hal yang wajib, haram jika dilanggar.

Namun, kali ini dia meminta semuanya. Semua tanpa sepeserpun buat peganganku. Sepertinya ada yang tidak beres.

Sebenarnya niat Mas Haris memang bagus, tapi aku tidak suka caranya. Bukankah uang istri, suami tidak berhak mencampuri? Aku juga tidak pernah diperlihatkan buku rekening tabungan kami. Itu semua membuatku curiga.

"Sekarang waktunya aku beli skincare sama baju, Mas," aku menjawab dengan berat hati.

Bulan ini memang skincareku banyak yang habis, dan aku juga ingin beli baju serta keperluan yang lain. Sebelum menikah aku bebas menggunakan uang gaji untuk kesenanganku. Kini, untuk beli bedak saja aku harus sembunyi-sembunyi dari Mas Haris. Mas Haris tak suka aku membeli bedak dan sejenisnya, pemborosan katanya.

"Kok, sekarang kamu bantah, Rin?. Biasanya kan memang uangmu harus ditabung buat jaga-jaga saja. Kamu enggak ikhlas?" Mas Haris menghela nafas gusar. Jelas sekali gurat wajahnya menunjukkan kekecewaan, tapi, bukankah aku yang harusnya kecewa?

"Menabung memang penting, Mas, kalau sudah ada sisa, tapi, aku juga punya kebutuhan sendiri, Mas. Aku juga ingin beli baju, bedak dan memberi ibuku, Mas. Lagian, kenapa harus semuanya?"

Mas Haris terdiam. Sepertinya dia memang sedang menyembunyikan sesuatu. Terlihat dari raut mukanya yang tak nyaman saat berbicara denganku.

"Baju terus yang kamu pikirkan." Akhirnya dia berucap.

"Apa, Mas? Aku beli baju dari hasil keringatku lho, Mas. Pernahkah aku meminta uang Mas buat beli keperluanku? Uang belanja dari Mas saja tidak cukup sekedar untuk makan satu bulan," sungutku kesal.

Aku mulai tersulut emosi. Bagaimana tidak, aku pulang kerja, lelah fisik dan pikiran, berharap di rumah bisa menenangkan diri, malah diajak duel.

Kurang bersyukurkah aku? Bukannya aku tidak bersyukur atas pemberian suamiku, namun, nafkah yang diberikannya tak seberapa. Aku harus ekstra hemat agar kebutuhan perut kami cukup sampai gajian berikutnya. Gaji yang diberikannya untukku jauh dari kata cukup, sekedar untuk kebutuhan rumah.

Aku sengaja bekerja sampingan sebagai penjual kosmetik secara online untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Entahlah kemana gaji Mas Haris mengalir, mungkin diberikan kepada Ibunya tanpa sepengetahuanku.

Mas Haris memang mengharuskanku berbagi gaji dengan Ibunya. Sebenarnya aku tak masalah Mas Haris memberi ibunya, namun yang kuberatkan, jatah ibunya lebih banyak dari jatahku, istrinya. Bahkan, untuk kebutuhan dapur, aku yang sering menutupi. Mas Haris tahunya gajinya cukup untuk satu bulan.

"Gajiku 'kan harus kubagi dengan ibu, Rin. Aku anak lelakinya, jadi kewajibanku menafkahi ibu dan adikku. Kamu mau, punya suami yang durhaka pada ibunya? Kamu mau aku membantah kata-kata ibu." Mas Haris semakin berapi-api.

"Terus, kamu tidak mencukupi kebutuhan istrimu, bukankah itu juga durhaka kepada istri, Mas. Aku tidak pernah melarangmu berbakti pada ibumu, Mas, tapi setidaknya, lihatlah kehidupan istrimu dulu. Sudahkah nafkahnya tercukupi?" Aku tak kalah emosi.

Kepalaku yang pusing, ditambah perut sudah keroncongan, membuatku gampang tersulut emosi.

"Kamu memang enggak bisa diatur sekarang, Rin. Mulai berani membantah."

"Sudahlah, Mas. Tiap habis gajian, selalu ada saja yang diributkan. Aku capek, Mas ribut terus. Andai Mas bisa adil padaku dan ibu, aku tak mempermasalahkan gajiku semua ditabung. Andai Mas bisa mencukupi kebutuhanku, aku tak akan berbicara seperti ini. Mas seolah menutup mata dengan keperluan pribadiku. Aku bosan, Mas." Aku berlalu ke kamar dengan perasaan yang susah digambarkan. Letih sekali jiwa dan pikiranku. Air mata yang sedari tadi tertahan, akhirnya lolos juga.

Aku juga seorang wanita. Aku juga bisa sedih dan menangis. Bukankah hati wanita begitu lembut?

Terdengar, Mas Haris menyalakan mesin motornya. Kudengar suara deru motor Mas Haris, namun suaranya semakin menjauh , pastilah dia ke rumah ibunya, untuk mengadu. Aku menangis sejadi-jadinya meratapi kenyataan hidupku sekarang.

Aku bosan, menjalani hidup yang penuh drama ini. Masalah utamanya selalu uang. Bukan kami kekurangan uang, ekonomi kami cukup bagus. Sebenarnya gaji mas Haris saja lebih dari cukup untuk kehidupan kami tanpa aku harus capek bekerja.

Andai Mas Haris tak memberikan separuh lebih gajinya pada Ibu, tak mungkin kami sering bertengkar. Andai Mas Haris bisa memperlakukanku dan Ibunya dengan adil, aku tak mungkin menghalangi baktinya pada ibu.

Selama ini, aku sudah cukup bersabar dengan sikap Mas Haris. Tiga tahun bukanlah waktu sebentar. Seumur pernikahan kami, belum pernah Mas Haris memberi gajinya secara utuh kepadaku. Dia bilang, ini semua sebagai bakti pada ibunya. Iya, berbakti pada ibunya dengan mendholimi istrinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status