LOGINSetelah tujuh hari mengurung diri di penthouse, pasca meninggalnya Pradipta. Hari ini Kirania menyetujui ajakan teman-temannya untuk jalan-jalan ke luar.
"Selamat siang!" sapa Devanka dengan senyum cerahnya seperti biasa. "Wah ... lihatlah betapa cantiknya Kirania kita siang ini." Kirania yang baru saja menuruni tangga, hanya memberikan senyuman tipis sebagai balasan. Matanya lalu tanpa sengaja melirik ke arah meja makan, membuat pandangannya bertemu dengan Jeff. Pria itu memang punya kebiasaan akan pulang untuk makan siang. "Tante senang, akhirnya kamu udah mau jalan-jalan ke luar." Devanka mengusap puncak kepala Kirania lembut. "Ayo duduk, Sayang. Kita makan siang bareng dulu." Langkah Kirania menjadi grogi, saat mata elang Jeff tidak lepas menatapnya. Entah kenapa ia merasa tatapan Jeff begitu tajam, seperti tengah menelanjanginya. "Kak Helena mana, Tante?" tanya Kirania. Sebenarnya hanya basa-basi untuk meredam rasa gugup akibat tatapan penuh intimidasi Jeff. "Lagi siap-siap di kamar. Kan siang ini dia mau terbang ke Paris," jawab Devanka. "Paris?" Devanka mengangguk. "Menghadiri acara Paris Fashion Week disana. Dia diundang sebagai salah satu modelnya." Kirania mengangguk-anggukkan kepalanya. Tepat saat itu, Helena turun—lengkap dengan tas serta kopernya yang dibawakan oleh tiga orang Maid. "Ma, aku berangkat ya," pamit Helena, mencium pipi kanan dan kiri Devanka. "Loh, kamu gak makan dulu?" tanya Devanka. "Udah gak keburu, Ma. Takut kena macet," balas Helena, berjalan menghampiri Jeff. "Aku berangkat ya, Sayang," kata Helena, masih sempat-sempatnya duduk di pangkuan sang suami. "Aku antar?" tanya Jeff, berbasa-basi. Helena tersenyum, mengusap rahang kokoh suaminya dengan mesra. "Gak usah. Kamu kan harus ke kantor lagi habis makan siang ini, kan? Kalau kamu antar aku, yang ada kamu kejebak macet." Ia lalu mendekatkan wajahnya, berniat hendak mencium bibir Jeff. Namun suaminya itu malah menghindar, membuatnya cukup tersinggung. "Gak enak. Ada Mama sama Kira," ucap Jeff, suaranya terdengar datar. "Gak papa kok, Jeff." Devanka terkekeh geli. "Iya kan, Ra?" Kirania hanya membalas dengan senyum tipis yang terlihat canggung. Matanya sempat tanpa sengaja beradu pandang dengan mata elang Jeff, sebelum ia buru-buru memalingkan wajahnya. Mencoba bersikap biasa saja, walaupun tatapan Jeff begitu menusuk. "Kamu kenapa sih, kok kayaknya belakangan ini sikap kamu jadi lebih dingin gitu sama aku?" tanya Helena dengan nada suaranya yang terdengar tersinggung. "Kamu aja yang terlalu sensitif. Aku biasa aja," jawab Jeff dengan nada datar. "Terlalu sensitif kata kamu? Jeff, aku ini istri kamu, aku bisa ngerasain setiap perubahan sikap kamu, mau sekecil apapun itu." Suara Helena semakin terdengar tidak bersahabat. Jeff menghela napas berat. "Jangan mulai, Helena." "See? Sekarang kamu bahkan kelihatan males sama aku." "Karena aku gak mau ribut sama kamu!" Jeff menyahut cepat, tanpa sadar suaranya naik satu oktaf. Detik berikutnya, meja makan itu berubah hening, hanya terdengar suara napas yang berat dari Helena dan Jeff. Sementara Devanka dan Kirania duduk dengan kaku, tidak tahu harus berbuat apa. Mata mereka tertuju kepada Helena dan Jeff, berharap agar situasi yang mendadak tegang ini bisa mereda. Tapi yang terjadi selanjutnya malah sebaliknya. "Ini pasti gara-gara dia, kan?!" Helana menunjuk tajam ke arah Kirania, suaranya penuh dengan tuduhan, membuat Kirania kontan menegang di tempatnya duduk. "Apa hubungannya sama Kirania? Kamu jangan nyari-nyari tumbal untuk disalahkan, Helena!" Jeff mengernyit. Ada nada heran sekaligus tidak terima dalam suaranya. "Kamu pikir aku buta gitu?! Belakangan ini, kan, kamu emang lebih sering ngurusin dia daripada aku. Kamu sendiri yang bilang sama aku, kalau kamu khawatir sama psikologis Kirania pasca ditinggal Papa. Kamu itu suami aku, apa psikiater dia sih?!" Cecar Helena, diakhiri dengan bentakan keras. "Lo juga!" Helena berpindah menatap Kirania tajam. "Mau lo mengurung diri sampai ratusan tahun ke depan juga gak ada gunanya! Bokap juga gak akan tiba-tiba bangkit dari kubur, hanya karena lo depresi! Jadi, gak usah caper sama laki orang! Dasar beban!" "HELENA!" bentak Jeff. "See?! Kamu bahkan bentak aku cuma untuk belain dia!" "Karena kamu udah berlebihan! Gak usah drama bisa gak?!" "JADI MENURUT KAMU PERASAAN AKU CUMA SEBATAS DRAMA GITU?!" "Udah cukup!" Lerai Devanka, merasa sudah tidak tahan lagi mendengar perdebatan anak dan menantunya yang semakin memanas. "Apa-apaan sih kalian? Gak malu ribut di depan Mama sama Kirania kayak gini, huh?" Hening. Sementara Helena mengatur napasnya yang memburu karena emosinya tersulut, Kirania justru hanya menundukkan kepalanya, sembari meremas kedua tangannya di atas pangkuan. Jantungnya berdegup kencang, tidak nyaman dalam situasi ini. Ia ingin pergi, tapi tubuh mendadak kaku. Andaikan saja Helena tahu bahwa setiap kali Jeff datang kepadanya, Kirania juga rasanya ingin menghilang dari bumi ini. Penthouse ini bahkan sudah seperti neraka untuknya. Setiap hari, ia harus bisa melawan rasa takut karena tinggal satu atap dengan pria yang setiap kali melihatnya seperti hendak menelanjanginya. "Harusnya kamu berterimakasih sama Kirania, karena masih diizinkan tinggal di penthouse ini. Kalau dia mau, dia bisa aja ngusir kamu kapanpun," ucap Jeff tiba-tiba, terdengar sarkas. Ucapan Jeff kali ini cukup membuat bukan hanya Helena, tapi Devanka juga ikut tercengang. Kirania bahkan ikut mengangkat kepalanya, matanya sempat beradu pandang dengan Jeff, sesaat suara Devanka terdengar setelahnya. "Jeff! Gak seharusnya kamu ngomong kayak gitu," tegur Devanka, tak ayal ikut tersinggung mendengarnya. Jeff tersenyum miring, tatapannya berpindah pada Devanka. "Kenapa? Salah? Penthouse dan 90 persen aset Maheswara ini punya Kirania. Mama, dan Helena gak punya apa-apa di penthouse ini. Jadi, yang seharusnya dibilang beban di sini siapa?" PLAK! Tepat ketika tamparan Helena mendarat mulus di pipi Jeff, Kirania juga berdiri dari kursinya—tidak lagi tahan untuk tetap berada di tengah-tengah keributan yang menyeret-nyeret namanya. "Kira duluan semuanya," pamit Kirania, dengan kepala tertunduk. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Kirania buru-buru berbalik pergi. Ketika pintu lift akhirnya terbuka, Kirania langsung masuk. Ia lantas menekan tombol B, untuk menuju ke basement. Ketika sampai di basement, Kirania pikir ia sudah bisa bernapas lega. Tapi ternyata ia salah besar, karena selanjutnya ia mendapati keempat ban mobilnya kempes. Matanya langsung membeliak tidak percaya. "Kok kempes sih? Mana langsung empat lagi." Kirania menggerutu, merasa heran sekaligus juga frustasi. "Kenapa mobilnya?" tanya sebuah suara. "Kempes," jawab Kirania tanpa sadar, tanpa menoleh. "Kenapa bisa kempes?" "Gak tahu. Dikempesin jin kali." Detik berikutnya, Kirania baru menyadari ada yang salah. Dari tadi ada suara yang terus menyahuti ucapannya, padahal kan ia sendirian di basement ini. Perasaan Kirania mulai tidak enak, bulu kuduknya merinding. Dengan perlahan, ia menolehkan kepalanya ke belakang. "Astaga jin ...!" Kirania berteriak terkejut, lalu sedetik kemudian menutup mulutnya dengan tangan. Matanya membola. "Emang ada jin setampan saya?" "Om Arsen?! Ngagetin aja. Kira pikir tadi siapa," gerutu Kirania. Pria dengan setelan kantoran itu terkekeh kecil. "Non Kira ngapain di sini? Mau kemana, hm?" Kirania menghela napas berat. Ia baru saja akan menjawab, sesaat ketika matanya menangkap sosok Jeff dari kejauhan. Matanya membola, dan dengan panik ia mencari tempat untuk bersembunyi—tidak lupa menarik serta Arsenio bersamanya. "Ada apa?" tanya Arsenio bingung, tapi tetap saja menurut. "Ada Kak Jeff," bisik Kirania, sembari mengintip di balik pilar persembunyian mereka. "Terus? Kenapa harus ngumpet?" tanya Arsenio, mengernyit. "Saya kan pernah bilang, gak usah takut, kalau dia macam-macam tinggal kamu tendang aja selangkangannya." "Susah, Om. Kak Jeff, apalagi dikombo sama Kak Helena, itu udah kayak pasangan nyi roro kidul sama jin tomang tahu gak. Serem ...," keluh Kirania, bergidik ngeri. Arsenio tak ayal tergelak mendengarnya, sebelum mulutnya tiba-tiba dibekap, dan tubuhnya didorong hingga terhimpit di pilar itu oleh Kirania. "Bersembunyi! Dia nengok ke sini, Om, dia nengok. Mati lah kita ...," bisik Kirania panik, menyembunyikan wajahnya di dada bidang Arsenio. Sementara Arsenio membeku kaku, tidak bisa bergerak karena Kirania yang menghimpit tubuhnya. Ia menelan salivanya susah payah, bahkan tanpa sadar menahan napas. Dalam posisi sedekat ini, Kirania bisa merasakan detak jantung Arsenio. Ia mendongak, menatap pria itu yang ternyata juga tengah menunduk menatapnya. Netra mereka bertemu pandang. "Om ...," bisik Kirania. "Hm?" sahut Arsenio singkat. Matanya tidak putus menatap intens sepasang mata indah di hadapannya itu. "Om punya riwayat sakit jantung ya? Ini detak jantung, Om, kenceng banget loh," gumam Kirania khawatir, sambil menempelkan telinganya di dada Arsenio, seolah memastikan. "N-non." Suara Arsenio tercekat serak. "Ya?" Kirania kembali mendongak menatap Arsenio dengan polos. "Kenapa? Om sakit? Muka nya merah banget." "Non!" Arsenio menggeram, menangkap kedua tangan Kirania yang membingkai wajahnya. Lantas membalik posisi, sehingga kini gadis itu lah yang terkurung oleh tubuh besarnya. "O-om?" Kirania menggigit bibir bawahnya kuat—merasa gugup dengan tatapan Arsenio yang terlihat berbeda. Tatapan pria itu tampak menggelap. Arsenio menahan napasnya sejenak, sebelum akhirnya menyambar bibir Kirania tanpa izin. Melumatnya dengan lembut, tapi cukup menggebu. Ia bisa merasakan tubuh Kirania yang menegang. "Jangan terlalu sering seperti itu. Saya takut jika nantinya saya tidak bisa mengendalikan diri. Saya sayang Non Kira, bukan karena nafsu," bisik Arsenio lembut dengan suara seraknya, lantas memeluk Kirania erat-erat."Dressnya kependekan," komentar Arsenio yang sedang menggulung lengan jaket miliknya yang kebesaran di tubuh mungil Kirania. "Kan Kira gak tahu kalau bakalan pergi naik motor," sahut Kirania dengan wajah cemberutnya. Siapa yang menyangka jika empat ban mobilnya kempes semua. Sekarang ia berakhir menumpang dengan Arsenio yang kebetulan sedang membawa motor, karena pria itu takut kena macet. "Lain kali jangan dipakai lagi," ucap Arsenio, nada suaranya terdengar semakin datar saja. "Kalau lagi naik motor?" tanya Kirania polos. "Mau naik motor, naik mobil, tetap jangan dipakai lagi," balas Arsenio, sambil memasangkan helm ke kepala Kirania. "Kenapa emangnya?" tanya Kirania, kali ini dengan nada suara heran. Arsenio menghela napas panjang, lantas memandang gadis di hadapannya itu yang semakin terlihat manis saja dalam balutan jaket kebesaran serta helm pink di kepala. Tangannya terulur, mencubit gemas pipi chubby Kirania. "Ayo naik," ucap Arsenio, sambil memasang he
Setelah tujuh hari mengurung diri di penthouse, pasca meninggalnya Pradipta. Hari ini Kirania menyetujui ajakan teman-temannya untuk jalan-jalan ke luar. "Selamat siang!" sapa Devanka dengan senyum cerahnya seperti biasa. "Wah ... lihatlah betapa cantiknya Kirania kita siang ini." Kirania yang baru saja menuruni tangga, hanya memberikan senyuman tipis sebagai balasan. Matanya lalu tanpa sengaja melirik ke arah meja makan, membuat pandangannya bertemu dengan Jeff. Pria itu memang punya kebiasaan akan pulang untuk makan siang. "Tante senang, akhirnya kamu udah mau jalan-jalan ke luar." Devanka mengusap puncak kepala Kirania lembut. "Ayo duduk, Sayang. Kita makan siang bareng dulu." Langkah Kirania menjadi grogi, saat mata elang Jeff tidak lepas menatapnya. Entah kenapa ia merasa tatapan Jeff begitu tajam, seperti tengah menelanjanginya. "Kak Helena mana, Tante?" tanya Kirania. Sebenarnya hanya basa-basi untuk meredam rasa gugup akibat tatapan penuh intimidasi Jeff. "Lagi sia
"Saya tahu kita semua disini masih dalam kondisi berduka. Namun, wasiat ini sudah menjadi amanat dari Tuan Pradipta, sebelum beliau berpulang. Jadi, saya harus membacakannya pagi ini." Suara Bram memecah keheningan ruangan keluarga yang telah diisi oleh Devanka, Helena, Jeff, dan Kirania. Selaku orang kepercayaan mendiang Pradipta, Arsenio ikut mendampingi pembacaan surat wasiat malam ini. Mata pria itu tidak putus memperhatikan Kirania. Gadis itu tampak rapuh dan rentan. Wajah dan matanya yang sembab, bukan hanya menggambarkan gurat kesedihan yang sangat dalam. Tapi juga tampak tertekan. "Baik, bisa saya mulai?" Tanya Bram, menatap semua anggota keluarga."Ya, silahkan," kata Arsenio datar. Bram menarik napas dalam-dalam, membuka dokumen yang ada di tangannya, dan mulai membacakannya."Surat wasiat. Telah bertanda tangan di bawah ini, nama Pradipta Maheswara. Menyatakan dengan sadar dan tanpa paksaan, membuat surat pernyataan wasiat waris. Bahwa saya adalah pemilik harta kekayaan
"Tahanlah sebentar," ucap Arsenio, meniup perlahan luka di telapak tangan Kirania. Kirania hanya diam dan membiarkan Arsenio merawat luka di telapak tangan kanannya yang tadi menggenggam beling. Diam-diam matanya tidak putus memperhatikan pria itu, membuat ingatannya terlempar pada kejadian beberapa menit yang lalu—momen intim mereka. "Apa gerangan yang sedang Tuan Putri pikirkan, hm?" tanya Arsenio, dengan nada menggoda sambil melanjutkan membalut tangan Kirania dengan perban. "Hm? Mikirin apa?" ulang Arsenio, matanya menatap lurus ke mata Kirania. "Mikirin cara bunuh diri lagi?" Kirania cepat-cepat menggeleng. "E-enggak. Kira gak mikirin apa-apa," gumamnya pelan. Ia hendak menarik tangannya, tapi Arsenio menahannya dengan genggaman kuat, namun tetap terasa lembut dan tidak menyakitinya. Ia menundukkan kepala—menghindari mata Arsenio yang tak kunjung putus menatapnya intens. "Berjanjilah pada saya, bahwa kamu tidak akan melakukan hal nekad seperti ini lagi," ucap Arsen
Arsenio menangkap tangan Kirania dan menahannya kuat. "Lepas! Saya mohon jangan nekad, Non." Alih-alih melepaskannya, Kirania justru menggenggam beling itu lebih kuat sehingga semakin melukai tangan gadis itu. "Saya mohon jangan seperti ini, Non. Lepaskan belingnya, ini akan melukaimu." Sorot mata Arsenio yang sarat akan kekhawatiran juga permohonan, bertemu dengan sorot mata Kirania yang memancarkan kesedihan, rasa lelah, maupun keputusasaan yang mendalam. Air mata gadis itu berurai deras. "Semua keluarga Kira udah gak ada, Om. Semuanya ninggalin, Kira. Mama, lalu Papa. Gak ada lagi yang tersisa bagi Kira di dunia ini. Jadi untuk apa lagi Kira hidup? Lebih baik Kira pergi bersama mereka. Kira mau ketemu Papa," bisik Kirania parau, suaranya hampir tidak terdengar, tenggelam dalam tangisnya. Arsenio menggeleng tegas. "Tidak. Tuan Pradipta pasti tidak akan suka jika Non Kira menemuinya dengan cara seperti ini." "Biarkan Kira mati! Kira gak mau hidup kayak gini, Om. Gak mau
"Brengsek! Berani-beraninya kau menyentuh Nona Kira! Biadab!" maki Arsenio yang tengah memukuli Jeff dengan membabi buta. Serangan telak yang tidak terelakkan oleh Jeff yang berada di bawah kukungan tubuh besar Arsenio. “Aku sudah curiga sedari tadi ketika melihatmu masuk ke dalam kamar Nona Kira, tapi aku menahan diriku untuk tidak menerobos masuk.” Arsenio baru menghentikan pukulannya setelah wajah Jeff babak belur. Ia bangkit dari atas tubuh Jeff yang terkapar tidak berdaya, napasnya memburu hebat. Ia lantas berbalik ke arah Kirania yang menangis sesegukan di atas ranjang, menarik selimut dan menutupi tubuh Kirania yang sudah setengah telanjang itu. "Om ...." isak Kirania, seakan mengadu pada pria berusia 40 tahunan itu. "Tenanglah, Non. Semua akan baik-baik saja." Arsenio melepaskan ikatan pada tangan Kirania dengan lembut, agar tidak menyakiti gadis itu. Setelah ikatan pada tangan Kirania terlepas, Arsenio kemudian melilitkan selimut di tubuh gadis itu. Saat ia hendak men







