Mag-log in"Dressnya kependekan," komentar Arsenio yang sedang menggulung lengan jaket miliknya yang kebesaran di tubuh mungil Kirania.
"Kan Kira gak tahu kalau bakalan pergi naik motor," sahut Kirania dengan wajah cemberutnya. Siapa yang menyangka jika empat ban mobilnya kempes semua. Sekarang ia berakhir menumpang dengan Arsenio yang kebetulan sedang membawa motor, karena pria itu takut kena macet. "Lain kali jangan dipakai lagi," ucap Arsenio, nada suaranya terdengar semakin datar saja. "Kalau lagi naik motor?" tanya Kirania polos. "Mau naik motor, naik mobil, tetap jangan dipakai lagi," balas Arsenio, sambil memasangkan helm ke kepala Kirania. "Kenapa emangnya?" tanya Kirania, kali ini dengan nada suara heran. Arsenio menghela napas panjang, lantas memandang gadis di hadapannya itu yang semakin terlihat manis saja dalam balutan jaket kebesaran serta helm pink di kepala. Tangannya terulur, mencubit gemas pipi chubby Kirania. "Ayo naik," ucap Arsenio, sambil memasang helm full facenya. "Om!" "Hm ...." "Besok motornya ganti vespa aja ya?" Arsenio seketika tergelak. "Ketinggian ya?” “Iya, susah banget naiknya,” gerutu Kirania. “Sini saya bantu.” Arsenio mengulurkan tangannya ke belakang, membantu Kirania untuk memanjat jok motornya yang tinggi. "Pegangan," ucap Arsenio, setelah Kirania duduk nyaman. "Ini udah pegangan," balas Kirania, yang mencengkram kuat kedua sisi kemeja yang Arsenio pakai. Arsenio menghela napas, lantas meraih kedua tangan Kirania dan menuntunnya dengan lembut melingkari pinggangnya. "Nanti jatuh kalau pegangannya kayak gitu." "I-iya, Om," gumam Kirania, mendadak merasa gugup. Ragu-ragu ia mengeratkan pelukannya di pinggang Arsenio. Arsenio memperbaiki posisi kaca spion bagian kanan, sehingga sekarang wajah gugup Kirania terpampang di sana. Ia tersenyum kecil di balik helm full facenya, lantas mulai melajukan motor meninggalkan basement dengan kecepatan sedang. Selama dalam perjalanan, Kirania mati-matian menahan rasa gugupnya, ketika sesekali tangan Arsenio bergerak lembut mengusap tangannya yang melingkar manis di pinggang pria itu. Usapan lembut yang mengantarkan Kirania pada rasa nyaman, aman dan tenang yang ia cari selama ini. Tanpa sadar, Kirania mengulas senyum kecil, dan lebih mengeratkan pelukannya lagi. -oOo- "APA MAKSUDMU DITOLAK?!" Kirania tersentak kala suara bentakan keras itu terdengar. Ia mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Terlalu asik melamun, ia sampai tidak sadar jika sekarang sudah berada di dalam penthouse—ia baru saja pulang dari jalan-jalan di mall bersama teman-temannya. Dan suara bentakan keras tadi, berasal dari ruangan yang baru saja ia lewati. "Bukannya kau sendiri yang mengatakan padaku, jika tanda tangan persetujuan dari Kirania sebagai pemilik warisan saja sudah cukup?!" Kirania tidak berniat menguping. Tapi ketika namanya dibawa-bawa, ia jadi penasaran—apa yang membuat Devanka sampai semarah itu. "Saya pikir juga begitu, Nyonya. Tapi pihak pengadilan tiba-tiba meragukan Anda sebagai calon wali waris untuk Nona Kirania." Pintu ruangan yang tidak tertutup rapat, membuat Kirania bisa mendengar percakapan di dalam sana dengan cukup jelas. Seingatnya itu adalah suara Bram—notaris keluarganya. "Sebenarnya secara hukum, ibu tiri memang tidak bisa menjadi wali waris untuk anak tirinya. Tapi berhubung Nona Kirania tidak punya saudara ataupun kerabat sedarah, Anda sebagai ibu tiri masih bisa dipertimbangkan menjadi wali waris, asalkan—" "Asalkan apa?" "Pihak pengadilan meminta satu saksi dari pihak Nona Kirania sebagai pendamping. Dan orang itu haruslah dipilih langsung oleh Nona Kirania." "Sudah sangat jelas Kirania akan memilih Arsenio sebagai saksi pendamping. Tapi, Arsenio ... dia jelas tidak akan mau memberikan tanda tangannya." Kirania terpaku di tempatnya berdiri. Kenapa Arsenio sampai tidak mau memberikan tanda tangan? Bukankah pengalihan sementara warisan miliknya ini, demi kebaikan Maheswara Group juga? "Dan satu lagi Nyonya, pihak pengadilan juga mulai mencurigai kematian mendadak Tuan Pradipta. Sehingga pihak pengadilan akan semakin memperketat pemeriksaan terkait kelayakan Anda nantinya sebagai wali waris.” PRANG! Suara pecahan kaca dari dalam sana, membuat Kirania menyudahi aksi mengupingnya. Ia mengendap-endap menaiki tangga—menuju kamarnya di lantai dua. "Kau sudah pulang?" Deg Tubuh Kirania menegang, ketika suara Devanka terdengar. Dengan jantung berdebar kencang, ia memutar poros tubuhnya. Tapi ternyata, pertanyaan Devanka tadi bukanlah ditujukan untuknya. Melainkan untuk Jeff, yang berdiri tidak jauh dari ruangan tempat Kirania menguping tadi. Sejak kapan pria itu berdiri di sana? Kirania menelan salivanya susah payah, saat sorot dingin mata Jeff sempat tertuju ke arahnya cukup lama. Ia gelagapan dan langsung berlalu masuk ke dalam kamar, sebelum Devanka menyadari kehadirannya. Hal itu terus menghantuinya sampai pukul dua belas malam, tapi mata Kirania belum mau terpejam. Kirania bangun dari tempat tidurnya dan berjalan keluar kamar. Penthouse sudah tampak sepi, hanya ada cahaya remang-remang dari lampu yang menyala redup. Ia membawa langkahnya ke arah ruang keluarga, berdiri di depan pigura besar Pradipta. Kirania yang sedang termenung, tiba-tiba dikejutkan dengan sepasang tangan kekar yang memeluknya dari belakang. "What's wrong?" bisik Jeff dengan suara seraknya. "Sudah jam 12 malam, kenapa belum tidur, hm?" "Ki-kira haus, Kak," jawab Kirania berdusta, sembari melepaskan tangan Jeff yang melingkar di pinggangnya. Saat Kirania akan berlalu menuju dapur, pergelangan tangannya dicekal oleh Jeff. Ia menoleh dan mendongak menatap Jeff. "K-kenapa, Kak?" Pria itu tidak menjawabnya. Dan selama semenit penuh, Jeff hanya memandangnya. Bukan tatapan tajam yang mengintimidasi, melainkan tatapan yang seakan menyelam dalam ke matanya—seolah berusaha membaca isi pikirannya. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan." Sebaris kalimat itu membuat Kirania terpaku, matanya tidak berkedip menatap Jeff. "Apa kakak tahu sesuatu?" tanya Kirania, memberanikan diri. Jeff tidak langsung menjawab, tangan kekarnya terulur merengkuh pinggang mungil Kirania. Sementara satu tangan yang lain, naik membelai pipi Kirania lembut. "Hm ... lebih banyak darimu," jawab Jeff singkat, matanya tetap menatap Kirania dalam. "Apa, Kak?" tanya Kirania, penasaran. "Banyak hal yang Kira tidak mengerti disini. Papa yang tiba-tiba meninggal, surat pengalihan sementara warisan Kira yang ditolak pengadilan, Om Arsen yang mendadak tidak bisa dihubungi, dan kematian Papa—" Suara Kirania tiba-tiba tercekat. Mendadak dadanya terasa sesak, dan napasnya tertahan. "—apa benar karena serangan jantung, atau justru dibu—" Jeff membungkam bibir Kirania dengan ciumannya. Melumat bibir mungil itu untuk menelan ucapan yang akan keluar, mengabaikan rontaan Kirania. PRANG! Hanya suara pecahan kaca di tengah keheningan malam itu lah yang membuat tautan bibir Jeff terlepas. Baik Jeff maupun Kirania, lantas menoleh ke asal suara. Di dekat tangga—berdiri Devanka dengan wajah terkejutnya. Suara pecahan kaca tadi, berasal dari gelas yang jatuh dari genggaman tangan wanita itu. "K-kalian ....""Dressnya kependekan," komentar Arsenio yang sedang menggulung lengan jaket miliknya yang kebesaran di tubuh mungil Kirania. "Kan Kira gak tahu kalau bakalan pergi naik motor," sahut Kirania dengan wajah cemberutnya. Siapa yang menyangka jika empat ban mobilnya kempes semua. Sekarang ia berakhir menumpang dengan Arsenio yang kebetulan sedang membawa motor, karena pria itu takut kena macet. "Lain kali jangan dipakai lagi," ucap Arsenio, nada suaranya terdengar semakin datar saja. "Kalau lagi naik motor?" tanya Kirania polos. "Mau naik motor, naik mobil, tetap jangan dipakai lagi," balas Arsenio, sambil memasangkan helm ke kepala Kirania. "Kenapa emangnya?" tanya Kirania, kali ini dengan nada suara heran. Arsenio menghela napas panjang, lantas memandang gadis di hadapannya itu yang semakin terlihat manis saja dalam balutan jaket kebesaran serta helm pink di kepala. Tangannya terulur, mencubit gemas pipi chubby Kirania. "Ayo naik," ucap Arsenio, sambil memasang he
Setelah tujuh hari mengurung diri di penthouse, pasca meninggalnya Pradipta. Hari ini Kirania menyetujui ajakan teman-temannya untuk jalan-jalan ke luar. "Selamat siang!" sapa Devanka dengan senyum cerahnya seperti biasa. "Wah ... lihatlah betapa cantiknya Kirania kita siang ini." Kirania yang baru saja menuruni tangga, hanya memberikan senyuman tipis sebagai balasan. Matanya lalu tanpa sengaja melirik ke arah meja makan, membuat pandangannya bertemu dengan Jeff. Pria itu memang punya kebiasaan akan pulang untuk makan siang. "Tante senang, akhirnya kamu udah mau jalan-jalan ke luar." Devanka mengusap puncak kepala Kirania lembut. "Ayo duduk, Sayang. Kita makan siang bareng dulu." Langkah Kirania menjadi grogi, saat mata elang Jeff tidak lepas menatapnya. Entah kenapa ia merasa tatapan Jeff begitu tajam, seperti tengah menelanjanginya. "Kak Helena mana, Tante?" tanya Kirania. Sebenarnya hanya basa-basi untuk meredam rasa gugup akibat tatapan penuh intimidasi Jeff. "Lagi sia
"Saya tahu kita semua disini masih dalam kondisi berduka. Namun, wasiat ini sudah menjadi amanat dari Tuan Pradipta, sebelum beliau berpulang. Jadi, saya harus membacakannya pagi ini." Suara Bram memecah keheningan ruangan keluarga yang telah diisi oleh Devanka, Helena, Jeff, dan Kirania. Selaku orang kepercayaan mendiang Pradipta, Arsenio ikut mendampingi pembacaan surat wasiat malam ini. Mata pria itu tidak putus memperhatikan Kirania. Gadis itu tampak rapuh dan rentan. Wajah dan matanya yang sembab, bukan hanya menggambarkan gurat kesedihan yang sangat dalam. Tapi juga tampak tertekan. "Baik, bisa saya mulai?" Tanya Bram, menatap semua anggota keluarga."Ya, silahkan," kata Arsenio datar. Bram menarik napas dalam-dalam, membuka dokumen yang ada di tangannya, dan mulai membacakannya."Surat wasiat. Telah bertanda tangan di bawah ini, nama Pradipta Maheswara. Menyatakan dengan sadar dan tanpa paksaan, membuat surat pernyataan wasiat waris. Bahwa saya adalah pemilik harta kekayaan
"Tahanlah sebentar," ucap Arsenio, meniup perlahan luka di telapak tangan Kirania. Kirania hanya diam dan membiarkan Arsenio merawat luka di telapak tangan kanannya yang tadi menggenggam beling. Diam-diam matanya tidak putus memperhatikan pria itu, membuat ingatannya terlempar pada kejadian beberapa menit yang lalu—momen intim mereka. "Apa gerangan yang sedang Tuan Putri pikirkan, hm?" tanya Arsenio, dengan nada menggoda sambil melanjutkan membalut tangan Kirania dengan perban. "Hm? Mikirin apa?" ulang Arsenio, matanya menatap lurus ke mata Kirania. "Mikirin cara bunuh diri lagi?" Kirania cepat-cepat menggeleng. "E-enggak. Kira gak mikirin apa-apa," gumamnya pelan. Ia hendak menarik tangannya, tapi Arsenio menahannya dengan genggaman kuat, namun tetap terasa lembut dan tidak menyakitinya. Ia menundukkan kepala—menghindari mata Arsenio yang tak kunjung putus menatapnya intens. "Berjanjilah pada saya, bahwa kamu tidak akan melakukan hal nekad seperti ini lagi," ucap Arsen
Arsenio menangkap tangan Kirania dan menahannya kuat. "Lepas! Saya mohon jangan nekad, Non." Alih-alih melepaskannya, Kirania justru menggenggam beling itu lebih kuat sehingga semakin melukai tangan gadis itu. "Saya mohon jangan seperti ini, Non. Lepaskan belingnya, ini akan melukaimu." Sorot mata Arsenio yang sarat akan kekhawatiran juga permohonan, bertemu dengan sorot mata Kirania yang memancarkan kesedihan, rasa lelah, maupun keputusasaan yang mendalam. Air mata gadis itu berurai deras. "Semua keluarga Kira udah gak ada, Om. Semuanya ninggalin, Kira. Mama, lalu Papa. Gak ada lagi yang tersisa bagi Kira di dunia ini. Jadi untuk apa lagi Kira hidup? Lebih baik Kira pergi bersama mereka. Kira mau ketemu Papa," bisik Kirania parau, suaranya hampir tidak terdengar, tenggelam dalam tangisnya. Arsenio menggeleng tegas. "Tidak. Tuan Pradipta pasti tidak akan suka jika Non Kira menemuinya dengan cara seperti ini." "Biarkan Kira mati! Kira gak mau hidup kayak gini, Om. Gak mau
"Brengsek! Berani-beraninya kau menyentuh Nona Kira! Biadab!" maki Arsenio yang tengah memukuli Jeff dengan membabi buta. Serangan telak yang tidak terelakkan oleh Jeff yang berada di bawah kukungan tubuh besar Arsenio. “Aku sudah curiga sedari tadi ketika melihatmu masuk ke dalam kamar Nona Kira, tapi aku menahan diriku untuk tidak menerobos masuk.” Arsenio baru menghentikan pukulannya setelah wajah Jeff babak belur. Ia bangkit dari atas tubuh Jeff yang terkapar tidak berdaya, napasnya memburu hebat. Ia lantas berbalik ke arah Kirania yang menangis sesegukan di atas ranjang, menarik selimut dan menutupi tubuh Kirania yang sudah setengah telanjang itu. "Om ...." isak Kirania, seakan mengadu pada pria berusia 40 tahunan itu. "Tenanglah, Non. Semua akan baik-baik saja." Arsenio melepaskan ikatan pada tangan Kirania dengan lembut, agar tidak menyakiti gadis itu. Setelah ikatan pada tangan Kirania terlepas, Arsenio kemudian melilitkan selimut di tubuh gadis itu. Saat ia hendak men







