Ikbal Hardisuryo, lelaki yang sudah menikah denganku. Dia lelaki yang sudah menjadi imam dalam hidupku. Lelaki yang sudah menjadi ayah untuk anakku, Gita dan menjadi tulang punggung untuk keluarga kecilku. Lelaki lembut yang sabar menunggu aku membuka hati untuknya.
Pernikahan kita berdasarkan perjodohan yang tidak saling kenal. Mama terpaksa melakukan perjodohan ini karena beliau tidak mau aku terpuruk kesedihan mendalam akibat perlakuan Bastian yang pergi tanpa pamit."Jika ada satu pintu kebahagiaan tertutup, maka bersabarlah, akan ada pintu kebahagiaan lainnya yang terbuka lebar menantimu. Mungkin orang itu Nak Ikbal. Kenapa kamu tidak mencoba membuka hati untuknya?"Itulah kalimat yang membuatku sadar dan bangkit dari keterpurukan yang selama ini aku alami. Menanti kabar yang tak pasti padahal di depan ada sosok lelaki yang sudah tulus dan siap membahagiakan aku."Mama yakin, beriringan dengan waktu, cinta bisa tumbuh dengan sendirinya karena terbiasa hidup bersama." Itulah katanya lagi saat aku menolak perjodohan dengan alasan tidak mencintai Mas Ikbal.Mama mengakui, dirinya dan papa menikah juga berdasarkan perjodohan antara kedua nenek Keysha."Papa dan mama merasakan cinta dan sayang itu tumbuh setelah kita menikah. Mungkin juga, perasaan itu akan tumbuh di antara kamu dan Nak Ikbal setelah menikah nanti."Iya, akhirnya aku menyetujui perjodohan Mama setelah 3 tahun tidak ada kabar dari Bastian.Mas Ikbal adalah keponakan dari teman papa. Kedua teman tersebut terlibat dalam kontrak proyek kerja sehingga mereka sangat akrab dan berinisiatif untuk menjodohkan kita. Apalagi posisi manajer yang disandang Mas Ikbal waktu itu, membuat papa begitu menyukainya.Beda dengan sikap Papa kepada Bastian waktu itu, seakan-akan ada dendam di antara kedua mereka. Papa begitu meremehkannya, bahkan sering menentang hubungan kita. Walaupun Bastian adalah mahasiswa terbaik, mendapatkan gelar sarjana dalam kurun waktu tiga tahun dengan nilai cumlaude waktu itu di universitas kita. Dia bahkan satu-satunya mahasiswa yang mendapatkan beasiswa S2 di Jepang. Lantas itu, tak bisa meluluhkan hati Papa untuk menerima sebagai calon menantunya."Pinter aja nggak cukup untuk menafkahi keluarga." Masih teringat jelas ucapan Papa sebelum dia meninggalkan kami untuk selamanya.Dalam pernikahan satu tahun pertama, Mas Ikbal dengan sabar menungguku tanpa sentuhan fisik alias tidak menuntut hak batinnya sebagai seorang suami. Pernikahan hambar selama 1 tahun telah kujalani bersama Mas Ikbal, tetapi dia selalu berusaha menjadi suami perhatian, lembut dan baik.Bahkan dia membolehkan aku untuk bekerja di salah satu perusahaan untuk mengusir kebosananku. Aku bahkan tidak melakukan kewajibanku sebagai seorang istri untuk melayani seorang suami.Pekerjaan rumah yang kulakukan hanya sekadar menyapu dan mencuci pakaian. Untuk makan, kebanyakan kita memesan via online. Mas Ikbal sama sekali tidak mengeluh untuk masalah ini. Suami idaman, bukan?Aku tidak mempunyai mertua, karena kedua orangtuanya sudah meninggal sejak ia duduk di bangku SMA. Dia hanya mempunyai seorang adik perempuan, itu pun sudah berkeluarga dan menetap di Kalimantan, ikut suaminya yang bekerja di bagian pertambangan.Seiring berjalan waktu, semuanya berubah. Perlahan, aku mulai merasakan perasaan yang berbeda. Mungkin sikap sabar, lembut dan perhatian yang kudapat setiap hari dari Mas Ikbal, akhirnya meluluhkan bekunya hatiku, yang selama ini sulit dicairkan lelaki manapun. Seolah membenarkan pepatah yang dikatakan Mama, cinta akan tumbuh karena terbiasa bersama. Tumbuh rasa yang entah apa itu namanya, aku pun sulit mendeskripsikannya. Yang pasti, aku sudah rela dan mau dijadikan istri Mas Ikbal seutuhnya.Di tahun kedua pernikahan kita, aku hamil anak Mas Ikbal. Selama kehamilanku, Mas Ikbal semakin menunjukkan rasa sayang dan perhatian. Aku diperlakukan bak putri raja yang selalu dimanja. Semua keinginanku dituruti dengan mudah. Lantaran karirnya sebagai manajer di kantor membuat keuangan di keluarga kita tidak begitu dipermasalahkan.Akhirnya sampai Gita dilahirkan, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku dan memilih menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, mengurus suami dan anak. Aku mulai belajar memasak dari aplikasi merah dan mengasuh anak sendiri tanpa dibantu Mama. Lantaran kondisi kesehatan mama semakin hari semakin menurun sejak Papa meninggal karena serangan jantung.Sudah tiga tahun ini, aku mengabdi untuk keluarga kecilku. Selama lima tahun pernikahan kami, tidak pernah terjadi percecokan yang besar, hanya beberapa masalah kecil yang mudah diselesaikan dalam satu malam. Mas Ikbal tidak pernah membentak, hanya kadang wajah masam yang tercetakndi wajah tampannya. Namun, biasanya itu pun tak akan bertahan lama.***Aku mencium punggung tangan Mas Ikbal saat dia sudah menyelesaikan sarapan dan siap berangkat ke kantor. Lalu, dia membalas mencium keningku sebagai rutinitas aktifitas pagi hari saat sebelum dia berangkat ke kantor."Aku berangkat ya," pamitnya setelah dia menarik diri. "Habis aku dari kantor, nanti kita jalan-jalan, beli kebutuhan rumah. Ajak Mama dan Elina kalau mereka mau ikut." Aku mengangguk seraya mengembangkan senyuman."Hati-hati, ya, Mas."Aku mengantarnya sampai ke garasi mobil dan dia melajukan mobil meninggalkan rumah. Aku menunggu sampai mobil membelok ke tikungan sampai bayangan mobil itu tak terlihat lagi. Membalikkan badan, melangkah masuk ke dalam rumah, aku memastikan apakah Gita sudah bangun. Aku masuk ke kamar setelah mengunci pintu rumah."Selamat pagi, Bunda."Kulihat Gita sudah duduk manis di kasur dengan rambut acak-acakan khas anak-anak. Gita-lah, semangat baruku untuk bangkit dan membuatku berani mulai membuka lembaran baru dengan Mas Ikbal. Gita-lah penyambung antara aku dan Mas Ikbal."Pagi, Sayang. Gimana tidurnya? Mimpi apa semalam?"Aku suka berkomunikasi dengan batita-ku ini, berharap bisa menambah kosakata dalam berbahasa."Mimpi bertemu pangelan, Bun."Suara khas cadelnya membuatku refleks tersenyum. Gita mengerti banyak hal sebab sering kuceritakan dongeng sebelum dia tidur."Pangeran? Pasti gantengnya seperti Ayah, ya?" Dia mengangguk semangat.Bunyi bel terdengar bersamaan ucapanku yang terakhir."Eh, ada tamu yang datang. Yuk, kita bukain pintunya." Aku mengajak Gita keluar kamar untuk membuka pintu bareng."Sapa sih yang bertamu pagi-pagi? Sepertinya aku nggak ada janji pagi ini dengan siapapun."Aku bermonolog dalam hati sambil menuju ke pintu. Kubuka kuncinya dan mata melebar seketika kala kulihat siapa tamu yang berdiri di depan pintu. Hatiku tak karuan, panik, dan kaget.Seperti melihat sosok maling, spontan aku menutup kembali pintu dengan sekuat tenaga yang tersisa. Namun, pintu tak sempat tertutup karena tamu yang tak diundang itu refleks ikut mendorong pintu dengan kuat dan cepat. Serasa sia-sia, tenaga yang kukeluarkan tak sebanding dengan tenaganya sehingga pintu terbuka lebar selebar senyuman di bibirnya.Seperti melihat sosok maling, spontan aku menutup kembali pintu dengan sekuat tenaga yang tersisa setelah mengetahui tamu yang tak kuundang berdiri di depan rumah. Namun sayang, pintu tak sempat tertutup karena dia refleks mendorong pintu dengan kuat dan cepat. Serasa sia-sia, tenaga yang kukeluarkan tak sebanding dengan tenaganya, sehingga pintu terbuka kembali."Key, tolong jangan usir aku. Biarkan aku menjelaskan semuanya." Tamu itu tak lain adalah Bastian."Beraninya kamu menginjak rumahku, kamu nggak takut ketahuan suamiku kalau kamu datang menemuiku." Kupasang wajah jutek dan tatapan tak suka, berharap dia segera pergi dari sini. Aku khawatir Mas Ikbal tiba-tiba pulang dan melihat kedatangannya di sini. Apa yang akan aku jelaskan tentangnya? Apa aku akan mengaku, Bastian adalah mantanku?"Suamimu nggak ada di rumah, kan?" Dengan enteng dia mengatakan hal benar itu.Bagaimana dia tahu kalau suamiku sedang keluar dan tidak di rumah? Apa dia sudah memata-mataiku di sekitar rumahku
Bisa kurasakan tatapan Bastian masih penuh harap agar kita masih bisa bersatu kembali. Tatapan itu seakan memberikan celah untuk memulai harapan baru bersamanya. Mengapa harapan kita bisa sama?Bahkan, senyuman menawan yang mengulas sangat indah di bibirnya mengingatku kembali ke masa-masa indah dulu. Tak sadar, aku membalas menyunggingkan bibir seolah mengiyakan apa yang barusan di-andai-kannya."Key, apa kamu bahagia selama ini tanpa aku?" Genggaman itu masih nyaman kurasakan, tetapi tidak dengan hatiku setelah mendengar ucapannya barusan. Tak bisa kubendung lagi airmata menetes begitu saja. Mengapa aku jadi lemah dan cengeng? Aku terbawa suasana."Hey, kamu kenapa?" Dia mengusap air mata di pipi. "Are you ok?"Bukannya semakin tenang, rasa sakit yang tersisa selama ini sudah aku pendam, kuluapkan dengan isakkan tangis di depannya. Bahu terasa berguncang karena tangisan yang tercurahkan.Bahagia? Arti bahagia itu sangat luas. Bahagia dalam arti yang bagaimana maksudnya? Jika ditany
"Mama kenapa, Lin? Ngomong yang jelas." Aku pun ikut panik dibuatnya."Mama pingsan, Kak."Astaga, ternyata apa yang kutakutkan terjadi. Kenapa dan bagaimana ini bisa terjadi? Pertanyaan itu berputar di benakku."Aku ke sana sekarang, Lin. Kamu jagain Mama dulu." Aku mengakhiri panggilan secara sepihak. Meski tidak paham persis apa yang terjadi, aku tahu penyakit yang diderita Mama, beliau pasti kelelahan. Aku harus segera melihat keadaannya."Kenapa, Key?" Raut wajah Bastian pun tampak panik ketika mendengar kata Mama kusebut."Mama pingsan, aku harus ke sana." Suaraku bergetar."Ayo, aku anter." Bergegas dia beranjak bangkit dari sofa.Aku mengiyakan karena aku tidak ada alasan menolaknya, dalam pikiranku segera mengetahui kondisi dan memberikan pertolongan kepada Mama.Aku menggendong Gita dan melangkah masuk ke dalam mobil sedan hitam. Bastian melajukan mobil sedangkan aku menunjukkan jalan ke rumah Mama. Pria tersebut belum tahu alamat rumah dihuni Mama sekarang. Dia hanya perna
Hatiku kacau ketika tahu Mama pingsan tadi. Lebih kacau lagi saat aku menyadari penyebabnya karena kelelahan mencari rupiah untuk melangsungkan hidupnya. Iya, dulu sebelum Papa meninggal, hidup kami serba berkecukupan bahkan bisa dikatakan hidup di atas rata-rata. Rumah megah dilengkapi dengan beberapa pelayan, mobil mewah dengan supir siap antar. Kapan dan di mana pun kita mau berlibur, tinggal pilih saja, tidak ada masalah sama sekali.Papa, seorang pengusaha kontraktor di mana mempunyai puluhan karyawan yang mengabdi untuk perusahaanya. Kerjaan Mama di rumah hanyalah mengurus kami dan mengikuti beberapa arisan di lingkungan tetangga dan teman sosialitanya.Namun malang, perusahaan Papa akhirnya mencapai titik terendah, salah satu karyawan melarikan uang perusahaan milyaran rupiah. Ditambah dengan tindakan korupsi yang dilakukan karyawan lainnya, dengan menggantikan bahan bangunan oplosan sehingga menyebabkan bangunan klien yang dikelola Papa mengalami keruntuhan dan menjatuhkan ba
Ibu Naila dipindahkan ke kamar perawatan tipe VVIP yang dipesan Bastian. Terlalu mewah, ingin rasanya Keysha melayangkan protes kepadanya. Namun, pemilik mata bundar itu tidak tahu bagaimana cara menghubunginya. Ia lupa menanyakan nomor ponsel pria itu. Mau bertanya kepada Ayu, tetapi ada rasa gengsi yang masih menggerogoti hati. Akhirnya dia mengurungkan niat.Entah karena kenyamanan kamar atau efek obat yang sudah diminum, akhirnya Naila bisa tertidur pulas. Gita juga ikut lelap di sofa empuk yang ada di ruang beraroma desinfektan.Melihat kondisi sudah terasa kondusif, Elina pun mendekati sang kakak untuk mendapatkan jawaban dari sejuta pertanyaan yang sudah menghantuinya sejak pagi tadi."Kak, kenapa pesan kamar ini, sih?"Elina menarik tangannya dan bertanya setengah berbisik agar mama tak mendengar percakapan mereka."Mana kutahu, Bastian yang pesan kamar ini." Keysha menaikkan kedua bahu bersamaan."Kakak tahu, kan, biaya rumah sakit nggak murah, asuransi Mama udah nunggak, ngg
Namun, percakapan itu terputus ketika Gita berlari melepas genggamannya. "Oma," panggil Gita setelah melihat dan berlari ke arah sang nenek yang tengah duduk berhadapan dengan lelaki masa lalu, Bastian."Hallo, Cucu kesayangan." Naila mencium kening cucu satu-satunya.Dengan langkah berat, Keysha masuk ke dalam rumah dan pandangan mengarah sekilas ke lelaki berkemeja panjang marron yang terbalut sempurna di tubuh. Dasi hitam yang melingkar leher menambah aura kewibawaan.Pria bertubuh tegap itu pun beranjak bangkit dan menghampiri Keysha yang masih betah berdiri di dekat pintu."Hai," sapanya dengan menyebarkan senyuman yang merupakan pemandangan favorit Keysha, dulu. Perempuan itu menatap pria yang kini jaraknya sangat dekat, ada rasa rindu di hati setelah beberapa hari tidak berjumpa. Dia tidak sanggup membalas menyapa, mendadak lidahnya menjadi kaku. Namun, mengapa aroma parfum khas maskulin milik Bastian sungguh memanjakan indra penciuman. Seolah terhipnotis, dia pun enggan mele
Mendapatkan penolakan itu, Bastian sedikit malu tetapi untuk menyembunyikan rasa tersebut, pun pintar beralibi."Ups, sorry, tadi aku kira kamu istriku yang sedang mengantar suaminya berangkat kerja." Ada senyum di wajah, tetapi senyuman itu terkesan dibuat-buat. Sementara Keysha melempar tatapan malas menanggapi alasannya."Ya, sudah, aku berangkat dulu."Bastian kembali masuk ke mobil melalui pintu depan mobil. Tak lama kemudian, mobil menghilang dari pandangan Keysha yang sengaja menunggu sampai mobil menjauh.Diam-diam hatinya seperti tersentil setelah mendengar salah satu kalimat Bastian tadi."Aku kira kamu istriku yang sedang mengantar suaminya berangkat kerja." Kalimat itu kembali terniang dalam benaknya. Dia terlihat senyum-senyum sendiri sembari melangkah masuk ke dalam rumah. Oh, No, Keysha, stop thinking about Bastian. Bastian is not yours. ***"Ma, tadi ngapain Bastian datang?" tanyanya setelah duduk di samping Naila sambil memijat tangan yang sudah mulai berkeriput.
Setelah membantu Naila di dapur dan Gita masih tertidur pulas di kamar, Keysha sudah mulai mencari lowongan kerja yang berhubungan dengan gelar sarjananya di beberapa sosmed. Dia terlalu fokus mencari info tentang pekerjaan yang cocok untuknya."Setidaknya dengan bekal gelar sarjanaku dan surat itikad baik dari ex-perusahaan di mana tempat aku bekerja dulu, aku masih bisa diterima di perusahaan lain, walau umur dan statusku yang sudah bekeluarga. Ya, mudah-mudah diberi kemudahan dan kelancaran. Amin." Keysha berdoa dalam hati.Sore hari saat Elina pulang dari aktifitasnya, Keysha pun pamit pulang ke rumah. Dia berniat akan sampai di rumah terlebih dahulu sebelum Mas Ikbal.Sesampai di rumah, dia mengurus Gita dan memasak beberapa menu untuk disantap bersama dengan keluarga kecilnya. Beruntung Gita termasuk anak yang penurut dan tidak rewel. Bocah berambut tipis itu suka membaca buku cerita bergambar. Keysha memang mendidiknya dengan tanpa ponsel. Selain menjadi anak yang tidak kreatif