Share

Bab 5

Ikbal Hardisuryo, lelaki yang sudah menikah denganku. Dia lelaki yang sudah menjadi imam dalam hidupku. Lelaki yang sudah menjadi ayah untuk anakku, Gita dan menjadi tulang punggung untuk keluarga kecilku. Lelaki lembut yang sabar menunggu aku membuka hati untuknya.

Pernikahan kita berdasarkan perjodohan yang tidak saling kenal. Mama terpaksa melakukan perjodohan ini karena beliau tidak mau aku terpuruk kesedihan mendalam akibat perlakuan Bastian yang pergi tanpa pamit.

"Jika ada satu pintu kebahagiaan tertutup, maka bersabarlah, akan ada pintu kebahagiaan lainnya yang terbuka lebar menantimu. Mungkin orang itu Nak Ikbal. Kenapa kamu tidak mencoba membuka hati untuknya?"

Itulah kalimat yang membuatku sadar dan bangkit dari keterpurukan yang selama ini aku alami. Menanti kabar yang tak pasti padahal di depan ada sosok lelaki yang sudah tulus dan siap membahagiakan aku.

"Mama yakin, beriringan dengan waktu, cinta bisa tumbuh dengan sendirinya karena terbiasa hidup bersama." Itulah katanya lagi saat aku menolak perjodohan dengan alasan tidak mencintai Mas Ikbal.

Mama mengakui, dirinya dan papa menikah juga berdasarkan perjodohan antara kedua nenek Keysha.

"Papa dan mama merasakan cinta dan sayang itu tumbuh setelah kita menikah. Mungkin juga, perasaan itu akan tumbuh di antara kamu dan Nak Ikbal setelah menikah nanti."

Iya, akhirnya aku menyetujui perjodohan Mama setelah 3 tahun tidak ada kabar dari Bastian.

Mas Ikbal adalah keponakan dari teman papa. Kedua teman tersebut terlibat dalam kontrak proyek kerja sehingga mereka sangat akrab dan berinisiatif untuk menjodohkan kita. Apalagi posisi manajer yang disandang Mas Ikbal waktu itu, membuat papa begitu menyukainya.

Beda dengan sikap Papa kepada Bastian waktu itu, seakan-akan ada dendam di antara kedua mereka. Papa begitu meremehkannya, bahkan sering menentang hubungan kita. Walaupun Bastian adalah mahasiswa terbaik, mendapatkan gelar sarjana dalam kurun waktu tiga tahun dengan nilai cumlaude waktu itu di universitas kita. Dia bahkan satu-satunya mahasiswa yang mendapatkan beasiswa S2 di Jepang. Lantas itu, tak bisa meluluhkan hati Papa untuk menerima sebagai calon menantunya.

"Pinter aja nggak cukup untuk menafkahi keluarga." Masih teringat jelas ucapan Papa sebelum dia meninggalkan kami untuk selamanya.

Dalam pernikahan satu tahun pertama, Mas Ikbal dengan sabar menungguku tanpa sentuhan fisik alias tidak menuntut hak batinnya sebagai seorang suami. Pernikahan hambar selama 1 tahun telah kujalani bersama Mas Ikbal, tetapi dia selalu berusaha menjadi suami perhatian, lembut dan baik.

Bahkan dia membolehkan aku untuk bekerja di salah satu perusahaan untuk mengusir kebosananku. Aku bahkan tidak melakukan kewajibanku sebagai seorang istri untuk melayani seorang suami.

Pekerjaan rumah yang kulakukan hanya sekadar menyapu dan mencuci pakaian. Untuk makan, kebanyakan kita memesan via online. Mas Ikbal sama sekali tidak mengeluh untuk masalah ini. Suami idaman, bukan?

Aku tidak mempunyai mertua, karena kedua orangtuanya sudah meninggal sejak ia duduk di bangku SMA. Dia hanya mempunyai seorang adik perempuan, itu pun sudah berkeluarga dan menetap di Kalimantan, ikut suaminya yang bekerja di bagian pertambangan.

Seiring berjalan waktu, semuanya berubah. Perlahan, aku mulai merasakan perasaan yang berbeda. Mungkin sikap sabar, lembut dan perhatian yang kudapat setiap hari dari Mas Ikbal, akhirnya meluluhkan bekunya hatiku, yang selama ini sulit dicairkan lelaki manapun. Seolah membenarkan pepatah yang dikatakan Mama, cinta akan tumbuh karena terbiasa bersama. Tumbuh rasa yang entah apa itu namanya, aku pun sulit mendeskripsikannya. Yang pasti, aku sudah rela dan mau dijadikan istri Mas Ikbal seutuhnya.

Di tahun kedua pernikahan kita, aku hamil anak Mas Ikbal. Selama kehamilanku, Mas Ikbal semakin menunjukkan rasa sayang dan perhatian. Aku diperlakukan bak putri raja yang selalu dimanja. Semua keinginanku dituruti dengan mudah. Lantaran karirnya sebagai manajer di kantor membuat keuangan di keluarga kita tidak begitu dipermasalahkan.

Akhirnya sampai Gita dilahirkan, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku dan memilih menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, mengurus suami dan anak. Aku mulai belajar memasak dari aplikasi merah dan mengasuh anak sendiri tanpa dibantu Mama. Lantaran kondisi kesehatan mama semakin hari semakin menurun sejak Papa meninggal karena serangan jantung.

Sudah tiga tahun ini, aku mengabdi untuk keluarga kecilku. Selama lima tahun pernikahan kami, tidak pernah terjadi percecokan yang besar, hanya beberapa masalah kecil yang mudah diselesaikan dalam satu malam. Mas Ikbal tidak pernah membentak, hanya kadang wajah masam yang tercetakndi wajah tampannya. Namun, biasanya itu pun tak akan bertahan lama.

***

Aku mencium punggung tangan Mas Ikbal saat dia sudah menyelesaikan sarapan dan siap berangkat ke kantor. Lalu, dia membalas mencium keningku sebagai rutinitas aktifitas pagi hari saat sebelum dia berangkat ke kantor.

"Aku berangkat ya," pamitnya setelah dia menarik diri. "Habis aku dari kantor, nanti kita jalan-jalan, beli kebutuhan rumah. Ajak Mama dan Elina kalau mereka mau ikut." Aku mengangguk seraya mengembangkan senyuman.

"Hati-hati, ya, Mas."

Aku mengantarnya sampai ke garasi mobil dan dia melajukan mobil meninggalkan rumah. Aku menunggu sampai mobil membelok ke tikungan sampai bayangan mobil itu tak terlihat lagi. Membalikkan badan, melangkah masuk ke dalam rumah, aku memastikan apakah Gita sudah bangun. Aku masuk ke kamar setelah mengunci pintu rumah.

"Selamat pagi, Bunda."

Kulihat Gita sudah duduk manis di kasur dengan rambut acak-acakan khas anak-anak. Gita-lah, semangat baruku untuk bangkit dan membuatku berani mulai membuka lembaran baru dengan Mas Ikbal. Gita-lah penyambung antara aku dan Mas Ikbal.

"Pagi, Sayang. Gimana tidurnya? Mimpi apa semalam?"

Aku suka berkomunikasi dengan batita-ku ini, berharap bisa menambah kosakata dalam berbahasa.

"Mimpi bertemu pangelan, Bun."

Suara khas cadelnya membuatku refleks tersenyum. Gita mengerti banyak hal sebab sering kuceritakan dongeng sebelum dia tidur.

"Pangeran? Pasti gantengnya seperti Ayah, ya?" Dia mengangguk semangat.

Bunyi bel terdengar bersamaan ucapanku yang terakhir.

"Eh, ada tamu yang datang. Yuk, kita bukain pintunya." Aku mengajak Gita keluar kamar untuk membuka pintu bareng.

"Sapa sih yang bertamu pagi-pagi? Sepertinya aku nggak ada janji pagi ini dengan siapapun."

Aku bermonolog dalam hati sambil menuju ke pintu. Kubuka kuncinya dan mata melebar seketika kala kulihat siapa tamu yang berdiri di depan pintu. Hatiku tak karuan, panik, dan kaget.

Seperti melihat sosok maling, spontan aku menutup kembali pintu dengan sekuat tenaga yang tersisa. Namun, pintu tak sempat tertutup karena tamu yang tak diundang itu refleks ikut mendorong pintu dengan kuat dan cepat. Serasa sia-sia, tenaga yang kukeluarkan tak sebanding dengan tenaganya sehingga pintu terbuka lebar selebar senyuman di bibirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status