Seperti melihat sosok maling, spontan aku menutup kembali pintu dengan sekuat tenaga yang tersisa setelah mengetahui tamu yang tak kuundang berdiri di depan rumah. Namun sayang, pintu tak sempat tertutup karena dia refleks mendorong pintu dengan kuat dan cepat. Serasa sia-sia, tenaga yang kukeluarkan tak sebanding dengan tenaganya, sehingga pintu terbuka kembali.
"Key, tolong jangan usir aku. Biarkan aku menjelaskan semuanya." Tamu itu tak lain adalah Bastian."Beraninya kamu menginjak rumahku, kamu nggak takut ketahuan suamiku kalau kamu datang menemuiku."Kupasang wajah jutek dan tatapan tak suka, berharap dia segera pergi dari sini. Aku khawatir Mas Ikbal tiba-tiba pulang dan melihat kedatangannya di sini. Apa yang akan aku jelaskan tentangnya? Apa aku akan mengaku, Bastian adalah mantanku?"Suamimu nggak ada di rumah, kan?" Dengan enteng dia mengatakan hal benar itu.Bagaimana dia tahu kalau suamiku sedang keluar dan tidak di rumah? Apa dia sudah memata-mataiku di sekitar rumahku sejak pagi tadi?"Untuk apa kamu datang ke sini?" ketusku dengan nada sedikit keras tanpa menoleh. Pandanganku menerawang di jalan raya depan rumah."Kamu nggak membiarkan aku masuk? Duduk dan minum teh dulu, mungkin?" Lalu, dia melangkah masuk tanpa sungkan.Heran, entah kenapa aku membiarkan dia masuk begitu saja. Tanpa kupersilakan, dia pun duduk di sofa dengan santai sambil mengedarkan pandangan di sekeliling rumah. Gita yang dari tadi bersembunyi di belakangku, kini berani memunculkan diri setelah melihat Bastian duduk."Semalam Gita mimpi pangelan, gantengnya seperti Om ini." Gita berjalan mendekatinya.Aku hampir tak percaya mendengar ucapan Gita dan bocah itu berjalan mendekati Bastian. Mimpi? Apakah dia sedang berbohong? Namun, bagaimana mungkin bocah tiga tahun sudah bisa mengada-ngada sebuah peristiwa?"Oh, ya?" Bastian menyahut dan memegang pucuk kepalanya dengan lembut.Gita mengangguk dan naik ke sofa, lalu duduk di pangkuannya. Anak itu juga mengalungkan lengan ke leher, memeluk dan menyandarkan kepala ke da d4 Bastian dan pria itu membalas pelukannya.Kaget melihat pemandangan antara Gita dan Bastian yang menurutku sedikit rancu. Dia bukan anak yang mudah akrab dengan orang yang baru dikenal. Apalagi bocah itu baru dua kali bertemu dengan Bastian setelah kemarin di acara itu. Namun, aku menangkap tatapan Gita terhadap Bastian tadi, seolah-olah dia sangat mengenali Bastian.Anakku sering melakukan pelukan terhadap Mas Ikbal, menurutku wajar karena hubungan mereka ayah dan anak. Namun, apa yang dilakukan Gita terhadap Bastian, kok, aku merasa sedikit janggal? Seperti kena pelet, Gita bisa langsung pepet kepadanya."Gita, sini, Sayang." Aku berharap dia tidak terlalu dekat secara fisik dengan Bastian.Dia malah menggelengkan kepala dan mempertahankan pelukannya. Malah yang aku perhatikan, dia semakin mempererat pelukan tersebut seakan-akan enggan melepaskannya. Sungguh, aku tidak nyaman dengan pemandangan itu. Aku berjalan mendekati dan berusaha menarik tubuh Gita agar dia mau melepas pelukannya."Sini, Sayang," kataku dengan lembut sambil menarik badannya."Biarkan seperti ini dulu, Key. Ini pelukannya erat sekali. Kamu bisa menyakiti jika memaksa menarik." Bastian menepis tanganku lalu menarik jemari hingga aku pun terduduk di sofa, di sampingnya.Apa kabar jantung? Iya, jantungku sedang tak normal, berdebar tak karuan saat jarak kita sedekat ini. Debaran yang sama kembali aku rasakan saat masih bersamanya dulu.Apalagi saat Bastian dengan berani menggenggam jemari dan menatapku lekat. Merasa terbius dengan pesonanya, aku pun enggan menepis dan membiarkan genggaman itu bertahan.Aku mulai berharap kalau saja waktu bisa berhenti berputar, ingin aku berada dalam kondisi seperti itu lebih lama lagi. Pikiran pun mulai berandai-andai kalau saja waktu juga bisa berjalan mundur, kembali ke masa saat kita masih menjalin hubungan. Pasti hidup kita akan terasa jauh lebih bahagia lagi."Andaikan saja dulu kalau kita jadi dan sudah menikah, mungkin kita juga akan mempunyai seorang anak seusia Gita, " ucapnya dengan senyuman cinta yang bisa kurasakan.Bisa kurasakan tatapan Bastian masih penuh harap agar kita masih bisa bersatu kembali. Tatapan itu seakan memberikan celah untuk memulai harapan baru bersamanya. Mengapa harapan kita bisa sama?Bahkan, senyuman menawan yang mengulas sangat indah di bibirnya mengingatku kembali ke masa-masa indah dulu. Tak sadar, aku membalas menyunggingkan bibir seolah mengiyakan apa yang barusan di-andai-kannya."Key, apa kamu bahagia selama ini tanpa aku?" Genggaman itu masih nyaman kurasakan, tetapi tidak dengan hatiku setelah mendengar ucapannya barusan. Tak bisa kubendung lagi airmata menetes begitu saja. Mengapa aku jadi lemah dan cengeng? Aku terbawa suasana."Hey, kamu kenapa?" Dia mengusap air mata di pipi. "Are you ok?"Bukannya semakin tenang, rasa sakit yang tersisa selama ini sudah aku pendam, kuluapkan dengan isakkan tangis di depannya. Bahu terasa berguncang karena tangisan yang tercurahkan.Bahagia? Arti bahagia itu sangat luas. Bahagia dalam arti yang bagaimana maksudnya? Jika ditany
"Mama kenapa, Lin? Ngomong yang jelas." Aku pun ikut panik dibuatnya."Mama pingsan, Kak."Astaga, ternyata apa yang kutakutkan terjadi. Kenapa dan bagaimana ini bisa terjadi? Pertanyaan itu berputar di benakku."Aku ke sana sekarang, Lin. Kamu jagain Mama dulu." Aku mengakhiri panggilan secara sepihak. Meski tidak paham persis apa yang terjadi, aku tahu penyakit yang diderita Mama, beliau pasti kelelahan. Aku harus segera melihat keadaannya."Kenapa, Key?" Raut wajah Bastian pun tampak panik ketika mendengar kata Mama kusebut."Mama pingsan, aku harus ke sana." Suaraku bergetar."Ayo, aku anter." Bergegas dia beranjak bangkit dari sofa.Aku mengiyakan karena aku tidak ada alasan menolaknya, dalam pikiranku segera mengetahui kondisi dan memberikan pertolongan kepada Mama.Aku menggendong Gita dan melangkah masuk ke dalam mobil sedan hitam. Bastian melajukan mobil sedangkan aku menunjukkan jalan ke rumah Mama. Pria tersebut belum tahu alamat rumah dihuni Mama sekarang. Dia hanya perna
Hatiku kacau ketika tahu Mama pingsan tadi. Lebih kacau lagi saat aku menyadari penyebabnya karena kelelahan mencari rupiah untuk melangsungkan hidupnya. Iya, dulu sebelum Papa meninggal, hidup kami serba berkecukupan bahkan bisa dikatakan hidup di atas rata-rata. Rumah megah dilengkapi dengan beberapa pelayan, mobil mewah dengan supir siap antar. Kapan dan di mana pun kita mau berlibur, tinggal pilih saja, tidak ada masalah sama sekali.Papa, seorang pengusaha kontraktor di mana mempunyai puluhan karyawan yang mengabdi untuk perusahaanya. Kerjaan Mama di rumah hanyalah mengurus kami dan mengikuti beberapa arisan di lingkungan tetangga dan teman sosialitanya.Namun malang, perusahaan Papa akhirnya mencapai titik terendah, salah satu karyawan melarikan uang perusahaan milyaran rupiah. Ditambah dengan tindakan korupsi yang dilakukan karyawan lainnya, dengan menggantikan bahan bangunan oplosan sehingga menyebabkan bangunan klien yang dikelola Papa mengalami keruntuhan dan menjatuhkan ba
Ibu Naila dipindahkan ke kamar perawatan tipe VVIP yang dipesan Bastian. Terlalu mewah, ingin rasanya Keysha melayangkan protes kepadanya. Namun, pemilik mata bundar itu tidak tahu bagaimana cara menghubunginya. Ia lupa menanyakan nomor ponsel pria itu. Mau bertanya kepada Ayu, tetapi ada rasa gengsi yang masih menggerogoti hati. Akhirnya dia mengurungkan niat.Entah karena kenyamanan kamar atau efek obat yang sudah diminum, akhirnya Naila bisa tertidur pulas. Gita juga ikut lelap di sofa empuk yang ada di ruang beraroma desinfektan.Melihat kondisi sudah terasa kondusif, Elina pun mendekati sang kakak untuk mendapatkan jawaban dari sejuta pertanyaan yang sudah menghantuinya sejak pagi tadi."Kak, kenapa pesan kamar ini, sih?"Elina menarik tangannya dan bertanya setengah berbisik agar mama tak mendengar percakapan mereka."Mana kutahu, Bastian yang pesan kamar ini." Keysha menaikkan kedua bahu bersamaan."Kakak tahu, kan, biaya rumah sakit nggak murah, asuransi Mama udah nunggak, ngg
Namun, percakapan itu terputus ketika Gita berlari melepas genggamannya. "Oma," panggil Gita setelah melihat dan berlari ke arah sang nenek yang tengah duduk berhadapan dengan lelaki masa lalu, Bastian."Hallo, Cucu kesayangan." Naila mencium kening cucu satu-satunya.Dengan langkah berat, Keysha masuk ke dalam rumah dan pandangan mengarah sekilas ke lelaki berkemeja panjang marron yang terbalut sempurna di tubuh. Dasi hitam yang melingkar leher menambah aura kewibawaan.Pria bertubuh tegap itu pun beranjak bangkit dan menghampiri Keysha yang masih betah berdiri di dekat pintu."Hai," sapanya dengan menyebarkan senyuman yang merupakan pemandangan favorit Keysha, dulu. Perempuan itu menatap pria yang kini jaraknya sangat dekat, ada rasa rindu di hati setelah beberapa hari tidak berjumpa. Dia tidak sanggup membalas menyapa, mendadak lidahnya menjadi kaku. Namun, mengapa aroma parfum khas maskulin milik Bastian sungguh memanjakan indra penciuman. Seolah terhipnotis, dia pun enggan mele
Mendapatkan penolakan itu, Bastian sedikit malu tetapi untuk menyembunyikan rasa tersebut, pun pintar beralibi."Ups, sorry, tadi aku kira kamu istriku yang sedang mengantar suaminya berangkat kerja." Ada senyum di wajah, tetapi senyuman itu terkesan dibuat-buat. Sementara Keysha melempar tatapan malas menanggapi alasannya."Ya, sudah, aku berangkat dulu."Bastian kembali masuk ke mobil melalui pintu depan mobil. Tak lama kemudian, mobil menghilang dari pandangan Keysha yang sengaja menunggu sampai mobil menjauh.Diam-diam hatinya seperti tersentil setelah mendengar salah satu kalimat Bastian tadi."Aku kira kamu istriku yang sedang mengantar suaminya berangkat kerja." Kalimat itu kembali terniang dalam benaknya. Dia terlihat senyum-senyum sendiri sembari melangkah masuk ke dalam rumah. Oh, No, Keysha, stop thinking about Bastian. Bastian is not yours. ***"Ma, tadi ngapain Bastian datang?" tanyanya setelah duduk di samping Naila sambil memijat tangan yang sudah mulai berkeriput.
Setelah membantu Naila di dapur dan Gita masih tertidur pulas di kamar, Keysha sudah mulai mencari lowongan kerja yang berhubungan dengan gelar sarjananya di beberapa sosmed. Dia terlalu fokus mencari info tentang pekerjaan yang cocok untuknya."Setidaknya dengan bekal gelar sarjanaku dan surat itikad baik dari ex-perusahaan di mana tempat aku bekerja dulu, aku masih bisa diterima di perusahaan lain, walau umur dan statusku yang sudah bekeluarga. Ya, mudah-mudah diberi kemudahan dan kelancaran. Amin." Keysha berdoa dalam hati.Sore hari saat Elina pulang dari aktifitasnya, Keysha pun pamit pulang ke rumah. Dia berniat akan sampai di rumah terlebih dahulu sebelum Mas Ikbal.Sesampai di rumah, dia mengurus Gita dan memasak beberapa menu untuk disantap bersama dengan keluarga kecilnya. Beruntung Gita termasuk anak yang penurut dan tidak rewel. Bocah berambut tipis itu suka membaca buku cerita bergambar. Keysha memang mendidiknya dengan tanpa ponsel. Selain menjadi anak yang tidak kreatif
Memperhatikan sikapnya yang pasrah, Ikbal pun ikut merebahkan tubuh, mendekat lalu melingkari tangan ke perut Keysha yang kini terbaring membelakanginya."Ngambek, ya?"Keysha menggeliat geli mendengar bisikan dan dibalas dengan gelengan. Ikbal tahu, jika Keysha merasa sesuatu yang tidak mengenakan di hati, dia lebih memilih menghindar dan diam tanpa memberitahu perasaan sesungguhnya."Kalau aku bilang boleh, kamu masih ngambek nggak?"bisiknya lagi.Mendengar kata boleh, seketika membuat mata Keysha berbinar dan tersenyum lebar. Dia mengubah posisi tubuh dan berbalik menghadap suaminya. "Beneran boleh?" Dia memastikan apa yang didengar tadi bukanlah mimpi."Aku nggak bilang boleh. Aku cuma bilang kalau." Ikbal menekan kata kalau."Ih, nge-prank, ya?" Wajah tekuknya dimunculkan lagi sambil mencubit perut Ikbal.Ikbal meringis kesakitan sambil sesekali terkekeh. "Cium dulu dong, nanti aku bolehin." Ikbal mengerlingkan mata dan mengulum senyuman genit.Keysha menangkap tingkah 'nakal' s