POV Keysha
Setelah masuk ke mobil Mas Ikbal, aku dan Gita mencium punggung tangannya. Kulihat suamiku memamerkan deretan gigi putih bak model iklan pasta gigi meski kutahu dia sedang menyimpan lelah di wajah."Sorry, apa aku telat?""Enggak kok, Mas. Kamu kelihatan kecapean sekali, kamu udah makan?"Rasa khawatir tak bisa kubendung, aku tak mau dia sakit. Kemacetan di jalan benar-benar sudah menguras sepenuhnya pikiran dan tenaganya. Namun, mau bagaimana lagi? Aku terpaksa merepotkan dia yang harus menjemput karena aku sendiri belum berani naik taksi malam hari. Begitupun Mas Ikbal, ia pasti akan melarangku."Udah tadi di rest area. Ini kita langsung pulang, ya." Aku menggangguk menanggapinya.Mobil melaju meninggalkan tempat acara. Dalam perjalanan, diam menemani kami. Mungkin Mas Ikbal terlalu lelah menempuh kemacetan tadi, sedangkan Gita sudah tertidur pulas dalam dekapanku. Aku? Aku masih sedikit kaget dengan pertemuan yang tak kurencanakan dengan Bastian barusan.Raga memang ada di dalam mobil tetapi pikiranku sedang menari memikirkan peristiwa tak terduga tadi. Aku mencoba mencerna apa yang baru kualami. Seperti mimpi, tetapi ini kenyataan. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya setelah peristiwa delapan tahun yang silam.Mengapa dia baru muncul sekarang? Ke mana saja dia selama ini? Apa alasannya dia meninggalkan aku? Bahkan rela meninggalkan negara ini dan beralih ke negara sakura? Apa saja yang dilakukan selain kuliah di sana? Begitu banyak pertanyaan yang mulai mengusik benak. Ingin kutanyakan langsung, tetapi entah mengapa di pertemuan tadi lidahku mendadak kelu, otakku buntu, rasa penasaran seolah hilang dan apapun tentangnya mendadak tak ingin kuketahui.Bohong, iya aku sedang membohongi diri sendiri. Apa yang barusan aku ucapkan, itu semua alibiku saja karena aku sudah bersuami. Jika belum, tentu saja aku akan mempertahankan hubungan kita yang dulu.Saat ditinggal berdua di meja itu, jujur detak jantungku sudah susah kuatur untuk tidak berdegub kencang. Aku hanya berusaha menutupi rasa canggung dan bersikap tegar di depannya. Debaran yang sama seperti saat aku masih bersamanya dulu. Apakah rasa cinta itu masih ada tersisa untuknya?Itulah sebabnya mengapa aku berusaha menghindari pertemuan reuni. Aku bahkan menghindari kontak mata dengannya. Aku terlalu takut tidak bisa mengendalikan perasaanku. Aku khawatir cintaku akan bersemi kembali. Padahal, selama ini aku sudah mati-matian bahkan sengaja menyibukkan diri agar bisa melupakannya, tetapi pertemuan tadi berhasil mengusik pikiran dan membuatku mengingat masa-masa bersamanya.Tak kupungkiri, pesonanya begitu kuat memikat, tatapan yang begitu kurindukan, senyuman menawan yang selalu membuat nyaman, dan satu lagi, perhatian yang membuat merasa aku dimiliki seutuhnya.Dia yang dulu dan dia yang sekarang secara fisik juga terlihat beda. Tubuh yang sekarang terlihat lebih berisi dan atletis, rambut cepak lebih rapi dan wajah lebih bersih, tampan dan dewasa. Satu lagi yang bisa aku rasakan yaitu aura wibawa terpancar dari gaya dia berbicara, penampilan juga seperti eksekutif muda.Ah, kenapa aku jadi mikiri dia? Kenapa bayangan wajahnya hadir dalam pikiranku? Hush, Bastian, pergilah kamu dari pikiranku. Aku sudah berusaha melupakan dan berhasil membuang kenangan kita dengan kehadiran Mas Ikbal. Lantas, mengapa kamu malah hadir kembali?"Kita sudah sampai."Suara Ikbal dan sentuhan di pucuk kepala membuyarkan lamunanku tentang Bastian. Huh, saking fokus memikirkan tentang Bastian, aku tidak menyadari bahwa Mas Ikbal sudah memarkirkan mobil di garasi.Lalu, aku menggendong Gita yang masih pulas dalam dekapanku dan membawanya masuk ke rumah. Menggantikan pakaian dengan hati-hati, berharap dia tidak bangun dan membiarkannya tidur sampai pagi."Aku mandi dulu, ya," bisik Mas Ikbal setelah mengunci pintu rumah.Setelah mengurus Gita, aku membersihkan tubuh dengan mandi di kamar tamu karena kamar mandi kamar sedang dipakai Mas Ikbal.Hanya butuh waktu dua puluh menit menit, aku keluar dari kamar mandi, lalu aku melangkah kaki ke kamar untuk segera beristirahat. Saat sampai di dalam kamar, aku melihat Mas Ikbal sedang duduk bersandaran, memainkan ponselnya. Sepertinya dia sedang menungguku masuk ke kamar."Kamu belum tidur, Mas?" tanyaku sambil duduk di meja rias untuk melakukan rutinitas skincare-ku."Iya, aku tunggu kamu. Oh, ya, gimana tadi acara reuninya? Seru?"Sedikit kaget, kenapa Mas Ikbal mendadak menanyakan hal ini? Apa Mas Ikbal tahu apa yang kualami tadi? Eh, tidak, tidak mungkin dia tahu tentang Bastian. Kita tidak pernah membahasnya, bahkan keluargaku pun tak pernah membicarakan tentang Bastian di depannya. Mungkin Mas Ikbal hanya basa-basi ingin mengetahui cerita dan pengalamanku di acara tersebut."Ya, begitu. Kumpul-kumpul sama teman lama, udah lama nggak lihat dan dengar kabar mereka. Banyak yang berubah, ada yang udah nikah, ada yang masih jomblo, ada yang bawa anaknya. Gita juga tadi senang, sambil bawa-bawa balon," jawabku panjang lebar bersikap setenang mungkin agar dia tak curiga."Sorry, ya, tadi aku nggak bisa nemani kamu. Macet bikin aku capek banget."Ikbal berjalan menuju meja rias dan memijat bahuku lembut. Kedua mata kita bertemu di balik pantulan cermin meja rias."Enggak papa, Mas."Aku berdiri dan menghadap ke arahnya, mendekat lalu memeluknya. Ada rasa bersalah karena tanpa sepengetahuannya aku bertemu dengan mantanku. Namun, aku tak mungkin menceritakan pertemuanku ini kepadanya. Aku bahkan tak berani membayangkan apa reaksinya jika aku berkata jujur tentang pertemuan tadi. Apa dia akan marah, atau malah akan bersikap biasa saja?Mas Ikbal mendaratkan kecupan di keningku dan membalas pelukanku lebih erat."Besok kayaknya aku harus ke kantor, mau menyerahkan berkas hasil rapat pertemuan tadi dengan klien. Harusnya tadi aku drop-in ke kantor, tapi udah terlalu malam, jadi aku batalin. Lagipula tadi aku takut, kamu tunggunya terlalu lama, makanya langsung jemput kamu aja.""Besok Sabtu lho, Mas." Aku mengingatkannya."Iya, cuma drop-in aja, soalnya berkas itu penting sekali. Aku, kan, baru kerja di kantor itu tiga bulan, biar terlihat bagus performaku di mata manajermen. Apalagi aku langsung dijabat manajer di sana. Aku harus bertanggungjawab dengan proyekku."Mas Ikbal mencoba memberi pengertian karena dia terpaksa harus lembur di hari libur. Mendengar penjelasan suamiku, aku mengangguk mengerti."Yuk, sekarang kita tidur, tubuh kita juga punya hak untuk beristirahat."Mas Ikbal menggiring tubuhku menuju ke kasur, lalu dia pun merebahkan badan di sampingku. Hening seketika. Tak butuh waktu yang lama, aku sudah mendengar dengkuran halus darinya.Ikbal Hardisuryo, lelaki yang sudah menikah denganku. Dia lelaki yang sudah menjadi imam dalam hidupku. Lelaki yang sudah menjadi ayah untuk anakku, Gita dan menjadi tulang punggung untuk keluarga kecilku. Lelaki lembut yang sabar menunggu aku membuka hati untuknya. Pernikahan kita berdasarkan perjodohan yang tidak saling kenal. Mama terpaksa melakukan perjodohan ini karena beliau tidak mau aku terpuruk kesedihan mendalam akibat perlakuan Bastian yang pergi tanpa pamit."Jika ada satu pintu kebahagiaan tertutup, maka bersabarlah, akan ada pintu kebahagiaan lainnya yang terbuka lebar menantimu. Mungkin orang itu Nak Ikbal. Kenapa kamu tidak mencoba membuka hati untuknya?"Itulah kalimat yang membuatku sadar dan bangkit dari keterpurukan yang selama ini aku alami. Menanti kabar yang tak pasti padahal di depan ada sosok lelaki yang sudah tulus dan siap membahagiakan aku."Mama yakin, beriringan dengan waktu, cinta bisa tumbuh dengan sendirinya karena terbiasa hidup bersama." Itulah kata
Seperti melihat sosok maling, spontan aku menutup kembali pintu dengan sekuat tenaga yang tersisa setelah mengetahui tamu yang tak kuundang berdiri di depan rumah. Namun sayang, pintu tak sempat tertutup karena dia refleks mendorong pintu dengan kuat dan cepat. Serasa sia-sia, tenaga yang kukeluarkan tak sebanding dengan tenaganya, sehingga pintu terbuka kembali."Key, tolong jangan usir aku. Biarkan aku menjelaskan semuanya." Tamu itu tak lain adalah Bastian."Beraninya kamu menginjak rumahku, kamu nggak takut ketahuan suamiku kalau kamu datang menemuiku." Kupasang wajah jutek dan tatapan tak suka, berharap dia segera pergi dari sini. Aku khawatir Mas Ikbal tiba-tiba pulang dan melihat kedatangannya di sini. Apa yang akan aku jelaskan tentangnya? Apa aku akan mengaku, Bastian adalah mantanku?"Suamimu nggak ada di rumah, kan?" Dengan enteng dia mengatakan hal benar itu.Bagaimana dia tahu kalau suamiku sedang keluar dan tidak di rumah? Apa dia sudah memata-mataiku di sekitar rumahku
Bisa kurasakan tatapan Bastian masih penuh harap agar kita masih bisa bersatu kembali. Tatapan itu seakan memberikan celah untuk memulai harapan baru bersamanya. Mengapa harapan kita bisa sama?Bahkan, senyuman menawan yang mengulas sangat indah di bibirnya mengingatku kembali ke masa-masa indah dulu. Tak sadar, aku membalas menyunggingkan bibir seolah mengiyakan apa yang barusan di-andai-kannya."Key, apa kamu bahagia selama ini tanpa aku?" Genggaman itu masih nyaman kurasakan, tetapi tidak dengan hatiku setelah mendengar ucapannya barusan. Tak bisa kubendung lagi airmata menetes begitu saja. Mengapa aku jadi lemah dan cengeng? Aku terbawa suasana."Hey, kamu kenapa?" Dia mengusap air mata di pipi. "Are you ok?"Bukannya semakin tenang, rasa sakit yang tersisa selama ini sudah aku pendam, kuluapkan dengan isakkan tangis di depannya. Bahu terasa berguncang karena tangisan yang tercurahkan.Bahagia? Arti bahagia itu sangat luas. Bahagia dalam arti yang bagaimana maksudnya? Jika ditany
"Mama kenapa, Lin? Ngomong yang jelas." Aku pun ikut panik dibuatnya."Mama pingsan, Kak."Astaga, ternyata apa yang kutakutkan terjadi. Kenapa dan bagaimana ini bisa terjadi? Pertanyaan itu berputar di benakku."Aku ke sana sekarang, Lin. Kamu jagain Mama dulu." Aku mengakhiri panggilan secara sepihak. Meski tidak paham persis apa yang terjadi, aku tahu penyakit yang diderita Mama, beliau pasti kelelahan. Aku harus segera melihat keadaannya."Kenapa, Key?" Raut wajah Bastian pun tampak panik ketika mendengar kata Mama kusebut."Mama pingsan, aku harus ke sana." Suaraku bergetar."Ayo, aku anter." Bergegas dia beranjak bangkit dari sofa.Aku mengiyakan karena aku tidak ada alasan menolaknya, dalam pikiranku segera mengetahui kondisi dan memberikan pertolongan kepada Mama.Aku menggendong Gita dan melangkah masuk ke dalam mobil sedan hitam. Bastian melajukan mobil sedangkan aku menunjukkan jalan ke rumah Mama. Pria tersebut belum tahu alamat rumah dihuni Mama sekarang. Dia hanya perna
Hatiku kacau ketika tahu Mama pingsan tadi. Lebih kacau lagi saat aku menyadari penyebabnya karena kelelahan mencari rupiah untuk melangsungkan hidupnya. Iya, dulu sebelum Papa meninggal, hidup kami serba berkecukupan bahkan bisa dikatakan hidup di atas rata-rata. Rumah megah dilengkapi dengan beberapa pelayan, mobil mewah dengan supir siap antar. Kapan dan di mana pun kita mau berlibur, tinggal pilih saja, tidak ada masalah sama sekali.Papa, seorang pengusaha kontraktor di mana mempunyai puluhan karyawan yang mengabdi untuk perusahaanya. Kerjaan Mama di rumah hanyalah mengurus kami dan mengikuti beberapa arisan di lingkungan tetangga dan teman sosialitanya.Namun malang, perusahaan Papa akhirnya mencapai titik terendah, salah satu karyawan melarikan uang perusahaan milyaran rupiah. Ditambah dengan tindakan korupsi yang dilakukan karyawan lainnya, dengan menggantikan bahan bangunan oplosan sehingga menyebabkan bangunan klien yang dikelola Papa mengalami keruntuhan dan menjatuhkan ba
Ibu Naila dipindahkan ke kamar perawatan tipe VVIP yang dipesan Bastian. Terlalu mewah, ingin rasanya Keysha melayangkan protes kepadanya. Namun, pemilik mata bundar itu tidak tahu bagaimana cara menghubunginya. Ia lupa menanyakan nomor ponsel pria itu. Mau bertanya kepada Ayu, tetapi ada rasa gengsi yang masih menggerogoti hati. Akhirnya dia mengurungkan niat.Entah karena kenyamanan kamar atau efek obat yang sudah diminum, akhirnya Naila bisa tertidur pulas. Gita juga ikut lelap di sofa empuk yang ada di ruang beraroma desinfektan.Melihat kondisi sudah terasa kondusif, Elina pun mendekati sang kakak untuk mendapatkan jawaban dari sejuta pertanyaan yang sudah menghantuinya sejak pagi tadi."Kak, kenapa pesan kamar ini, sih?"Elina menarik tangannya dan bertanya setengah berbisik agar mama tak mendengar percakapan mereka."Mana kutahu, Bastian yang pesan kamar ini." Keysha menaikkan kedua bahu bersamaan."Kakak tahu, kan, biaya rumah sakit nggak murah, asuransi Mama udah nunggak, ngg
Namun, percakapan itu terputus ketika Gita berlari melepas genggamannya. "Oma," panggil Gita setelah melihat dan berlari ke arah sang nenek yang tengah duduk berhadapan dengan lelaki masa lalu, Bastian."Hallo, Cucu kesayangan." Naila mencium kening cucu satu-satunya.Dengan langkah berat, Keysha masuk ke dalam rumah dan pandangan mengarah sekilas ke lelaki berkemeja panjang marron yang terbalut sempurna di tubuh. Dasi hitam yang melingkar leher menambah aura kewibawaan.Pria bertubuh tegap itu pun beranjak bangkit dan menghampiri Keysha yang masih betah berdiri di dekat pintu."Hai," sapanya dengan menyebarkan senyuman yang merupakan pemandangan favorit Keysha, dulu. Perempuan itu menatap pria yang kini jaraknya sangat dekat, ada rasa rindu di hati setelah beberapa hari tidak berjumpa. Dia tidak sanggup membalas menyapa, mendadak lidahnya menjadi kaku. Namun, mengapa aroma parfum khas maskulin milik Bastian sungguh memanjakan indra penciuman. Seolah terhipnotis, dia pun enggan mele
Mendapatkan penolakan itu, Bastian sedikit malu tetapi untuk menyembunyikan rasa tersebut, pun pintar beralibi."Ups, sorry, tadi aku kira kamu istriku yang sedang mengantar suaminya berangkat kerja." Ada senyum di wajah, tetapi senyuman itu terkesan dibuat-buat. Sementara Keysha melempar tatapan malas menanggapi alasannya."Ya, sudah, aku berangkat dulu."Bastian kembali masuk ke mobil melalui pintu depan mobil. Tak lama kemudian, mobil menghilang dari pandangan Keysha yang sengaja menunggu sampai mobil menjauh.Diam-diam hatinya seperti tersentil setelah mendengar salah satu kalimat Bastian tadi."Aku kira kamu istriku yang sedang mengantar suaminya berangkat kerja." Kalimat itu kembali terniang dalam benaknya. Dia terlihat senyum-senyum sendiri sembari melangkah masuk ke dalam rumah. Oh, No, Keysha, stop thinking about Bastian. Bastian is not yours. ***"Ma, tadi ngapain Bastian datang?" tanyanya setelah duduk di samping Naila sambil memijat tangan yang sudah mulai berkeriput.