Share

Bab 4

POV Keysha

Setelah masuk ke mobil Mas Ikbal, aku dan Gita mencium punggung tangannya. Kulihat suamiku memamerkan deretan gigi putih bak model iklan pasta gigi meski kutahu dia sedang menyimpan lelah di wajah.

"Sorry, apa aku telat?"

"Enggak kok, Mas. Kamu kelihatan kecapean sekali, kamu udah makan?"

Rasa khawatir tak bisa kubendung, aku tak mau dia sakit. Kemacetan di jalan benar-benar sudah menguras sepenuhnya pikiran dan tenaganya. Namun, mau bagaimana lagi? Aku terpaksa merepotkan dia yang harus menjemput karena aku sendiri belum berani naik taksi malam hari. Begitupun Mas Ikbal, ia pasti akan melarangku.

"Udah tadi di rest area. Ini kita langsung pulang, ya." Aku menggangguk menanggapinya.

Mobil melaju meninggalkan tempat acara. Dalam perjalanan, diam menemani kami. Mungkin Mas Ikbal terlalu lelah menempuh kemacetan tadi, sedangkan Gita sudah tertidur pulas dalam dekapanku. Aku? Aku masih sedikit kaget dengan pertemuan yang tak kurencanakan dengan Bastian barusan.

Raga memang ada di dalam mobil tetapi pikiranku sedang menari memikirkan peristiwa tak terduga tadi. Aku mencoba mencerna apa yang baru kualami. Seperti mimpi, tetapi ini kenyataan. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya setelah peristiwa delapan tahun yang silam.

Mengapa dia baru muncul sekarang? Ke mana saja dia selama ini? Apa alasannya dia meninggalkan aku? Bahkan rela meninggalkan negara ini dan beralih ke negara sakura? Apa saja yang dilakukan selain kuliah di sana? Begitu banyak pertanyaan yang mulai mengusik benak. Ingin kutanyakan langsung, tetapi entah mengapa di pertemuan tadi lidahku mendadak kelu, otakku buntu, rasa penasaran seolah hilang dan apapun tentangnya mendadak tak ingin kuketahui.

Bohong, iya aku sedang membohongi diri sendiri. Apa yang barusan aku ucapkan, itu semua alibiku saja karena aku sudah bersuami. Jika belum, tentu saja aku akan mempertahankan hubungan kita yang dulu.

Saat ditinggal berdua di meja itu, jujur detak jantungku sudah susah kuatur untuk tidak berdegub kencang. Aku hanya berusaha menutupi rasa canggung dan bersikap tegar di depannya. Debaran yang sama seperti saat aku masih bersamanya dulu. Apakah rasa cinta itu masih ada tersisa untuknya?

Itulah sebabnya mengapa aku berusaha menghindari pertemuan reuni. Aku bahkan menghindari kontak mata dengannya. Aku terlalu takut tidak bisa mengendalikan perasaanku. Aku khawatir cintaku akan bersemi kembali. Padahal, selama ini aku sudah mati-matian bahkan sengaja menyibukkan diri agar bisa melupakannya, tetapi pertemuan tadi berhasil mengusik pikiran dan membuatku mengingat masa-masa bersamanya.

Tak kupungkiri, pesonanya begitu kuat memikat, tatapan yang begitu kurindukan, senyuman menawan yang selalu membuat nyaman, dan satu lagi, perhatian yang membuat merasa aku dimiliki seutuhnya.

Dia yang dulu dan dia yang sekarang secara fisik juga terlihat beda. Tubuh yang sekarang terlihat lebih berisi dan atletis, rambut cepak lebih rapi dan wajah lebih bersih, tampan dan dewasa. Satu lagi yang bisa aku rasakan yaitu aura wibawa terpancar dari gaya dia berbicara, penampilan juga seperti eksekutif muda.

Ah, kenapa aku jadi mikiri dia? Kenapa bayangan wajahnya hadir dalam pikiranku? Hush, Bastian, pergilah kamu dari pikiranku. Aku sudah berusaha melupakan dan berhasil membuang kenangan kita dengan kehadiran Mas Ikbal. Lantas, mengapa kamu malah hadir kembali?

"Kita sudah sampai."

Suara Ikbal dan sentuhan di pucuk kepala membuyarkan lamunanku tentang Bastian. Huh, saking fokus memikirkan tentang Bastian, aku tidak menyadari bahwa Mas Ikbal sudah memarkirkan mobil di garasi.

Lalu, aku menggendong Gita yang masih pulas dalam dekapanku dan membawanya masuk ke rumah. Menggantikan pakaian dengan hati-hati, berharap dia tidak bangun dan membiarkannya tidur sampai pagi.

"Aku mandi dulu, ya," bisik Mas Ikbal setelah mengunci pintu rumah.

Setelah mengurus Gita, aku membersihkan tubuh dengan mandi di kamar tamu karena kamar mandi kamar sedang dipakai Mas Ikbal.

Hanya butuh waktu dua puluh menit menit, aku keluar dari kamar mandi, lalu aku melangkah kaki ke kamar untuk segera beristirahat. Saat sampai di dalam kamar, aku melihat Mas Ikbal sedang duduk bersandaran, memainkan ponselnya. Sepertinya dia sedang menungguku masuk ke kamar.

"Kamu belum tidur, Mas?" tanyaku sambil duduk di meja rias untuk melakukan rutinitas skincare-ku.

"Iya, aku tunggu kamu. Oh, ya, gimana tadi acara reuninya? Seru?"

Sedikit kaget, kenapa Mas Ikbal mendadak menanyakan hal ini? Apa Mas Ikbal tahu apa yang kualami tadi? Eh, tidak, tidak mungkin dia tahu tentang Bastian. Kita tidak pernah membahasnya, bahkan keluargaku pun tak pernah membicarakan tentang Bastian di depannya. Mungkin Mas Ikbal hanya basa-basi ingin mengetahui cerita dan pengalamanku di acara tersebut.

"Ya, begitu. Kumpul-kumpul sama teman lama, udah lama nggak lihat dan dengar kabar mereka. Banyak yang berubah, ada yang udah nikah, ada yang masih jomblo, ada yang bawa anaknya. Gita juga tadi senang, sambil bawa-bawa balon," jawabku panjang lebar bersikap setenang mungkin agar dia tak curiga.

"Sorry, ya, tadi aku nggak bisa nemani kamu. Macet bikin aku capek banget."

Ikbal berjalan menuju meja rias dan memijat bahuku lembut. Kedua mata kita bertemu di balik pantulan cermin meja rias.

"Enggak papa, Mas."

Aku berdiri dan menghadap ke arahnya, mendekat lalu memeluknya. Ada rasa bersalah karena tanpa sepengetahuannya aku bertemu dengan mantanku. Namun, aku tak mungkin menceritakan pertemuanku ini kepadanya. Aku bahkan tak berani membayangkan apa reaksinya jika aku berkata jujur tentang pertemuan tadi. Apa dia akan marah, atau malah akan bersikap biasa saja?

Mas Ikbal mendaratkan kecupan di keningku dan membalas pelukanku lebih erat.

"Besok kayaknya aku harus ke kantor, mau menyerahkan berkas hasil rapat pertemuan tadi dengan klien. Harusnya tadi aku drop-in ke kantor, tapi udah terlalu malam, jadi aku batalin. Lagipula tadi aku takut, kamu tunggunya terlalu lama, makanya langsung jemput kamu aja."

"Besok Sabtu lho, Mas." Aku mengingatkannya.

"Iya, cuma drop-in aja, soalnya berkas itu penting sekali. Aku, kan, baru kerja di kantor itu tiga bulan, biar terlihat bagus performaku di mata manajermen. Apalagi aku langsung dijabat manajer di sana. Aku harus bertanggungjawab dengan proyekku."

Mas Ikbal mencoba memberi pengertian karena dia terpaksa harus lembur di hari libur. Mendengar penjelasan suamiku, aku mengangguk mengerti.

"Yuk, sekarang kita tidur, tubuh kita juga punya hak untuk beristirahat."

Mas Ikbal menggiring tubuhku menuju ke kasur, lalu dia pun merebahkan badan di sampingku. Hening seketika. Tak butuh waktu yang lama, aku sudah mendengar dengkuran halus darinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status