"Assalamu'alaikum." Salam dari Alan yang tidak dijawab oleh Amira.
Amira pun menjauh saat Alan hendak mengecup keningnya. Biasanya Alan selalu disambut baik oleh Amira. Amira menyalami tangan Alan dan sebaliknya Alan mengecup kening sang istri. Namun, malam ini Amira hanya cemberut dan menjauhi Alan.
Pria dua puluh delapan tahun itu mengernyitkan dahi, dia tidak mengerti dengan sikap sang istri yang berubah dingin. Amira pun tidak ingin membuka suara. Dia berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
Amira melirik sekilas suaminya yang masih berdiri di ruang tamu. Pria itu tampak kebingungan, tetapi Amira tetap mengabaikannya. Amira masih kesal terhadap suaminya itu karena beberapa hari ini selalu pulang malam tanpa memberi kabar.
Amira mengira Alan telah berubah. Nomor telepon Alan yang sulit sekali dihubungi, pesan Amira yang juga jarang dibalas, dan dihitung dari satu minggu lalu Alan selalu pulang larut tanpa memberi kabar bahkan beberapa kali tidak pulang ke rumah.
Amira tidak pernah keberatan dengan pekerjaan Alan yang menuntut pria itu untuk selalu siap siaga di manapun berada. Tetapi, yang membuat Amira marah karena Alan mulai mengabaikannya. Karena itulah Amira memiliki pemikiran buruk tentang suaminya itu.
"Apa aku punya salah?" tanya Alan setelah menyusul Amira dan berdiri di belakangnya.
Amira memutar bola matanya malas. Alan saja tidak sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya sendiri. Amira semakin meradang, mendiamkan Alan adalah pilihan yang tepat untuk Amira.
"Amira, jawab pertanyaan Mas, dong." Alan mengikuti ke mana kaki Amira melangkah, seperti anak kecil yang merengek kepada ibunya.
"Kalau Mas ada salah, Mas minta maaf."
Brak...
Amira membanting piring di atas telenan kayu. Untung saja tidak pecah, kalau saja pecah, mungkin pecahannya sudah melayang-layang di udara.
"Mas tidak sadar sama apa yang telah Mas perbuat?" sentak Amira tiba-tiba, amarahnya sudah tidak bisa dipendam lagi. Alan hanya berkedip dan bergeming di depan Amira. Pria itu tampak berusaha memahami apa yang dikatakan oleh Amira.
"Ya...karena Mas tidak tahu makanya bertanya, Amira." Alan meraih kedua tangan Amira. Alan tidak membiarkan istrinya itu lepas dari genggamannya.
"Amira tahu kalau Mas Alan selingkuh." Amira mulai membuka suara, apa yang ada dipikirannya selama ini akhirnya terucapkan juga. Amira hanya bisa memendam dan memendam. Namun, setelah perubahan sikap Alan, Amira mulai berani mengungkapkan keresahannya.
Wajah Alan mendadak pias, dahinya berkerut sampai-sampai kedua alisnya hampir bertaut dan menyatu. Alan semakin mengeratkan genggamannya pada kedua tangan Amira. Kedua netranya mengisyaratkan ketakutan yang sampai kini Amira tidak mengetahui alasannya.
"Kamu bicara apa, sih? Siapa yang telah memberi gosip buruk itu, Sayang?" Alan menangkup wajah Amira. Kini keduanya saling menyelami perasaan masing-masing.
Bodohnya, air mata sudah mengapung di atas kelopak mata Amira. Dia tidak ingin terus menerus curiga terhadap suaminya tanpa menemukan jawaban yang pasti. Sikap Alan dan semua perubahan pada pria itu membuat Amira yakin bahwa Alan ada wanita lain di belakangnya.
"Mas Alan sudah tidak sayang lagi sama Amira seperti dulu. Mas Alan mulai mengabaikan seorang istri yang selalu menunggu kepulangan sang suami. Mas Alan tidak pernah memahami bagaimana khawatirnya Amira saat Mas Alan tidak memberi kabar apalagi sampai tidak pulang ke rumah."
Pecah sudah tangis Amira. Mungkin bagi Alan masalah ini dinilai biasa-biasa saja, namun bagi Amira satu kabar itu sangat penting dan sesingkat apapun pesan dari sang suami mampu menenangkan hati Amira. Sayangnya, Alan mengabaikan satu perhatian kecil itu.
"Mas Alan berubah, Mas Alan sudah tidak cinta Amira lagi."
"Hei... Kata siapa itu? Amira, di hidup Mas...hanya ada satu wanita yang sangat Mas sayangi setelah ibu. Yaitu kamu, Sayang." Lagi, Alan menangkup wajah Amira dan mengusap air matanya.
"Maafkan Mas jika beberapa hari ini kurang perhatian sama kamu. Mas sayang dan cinta banget sama Amira. Setelah kamu tenang akan Mas jelaskan alasannya."
Alan memeluk tubuh Amira, wanita mungil yang tidak bisa berbuat apa-apa itu balik memeluk tubuh Alan sangat erat. Amira sangat merindukan sang suami, merindukan Alan yang menurutnya telah berubah.
Amira akan dengarkan penjelasan Alan sesuai janji pria itu. Amira akan berusaha mengerti jika memang hal itu yang terbaik untuk mereka berdua. Tetapi, sejatinya wanita dan seorang istri hanya butuh sang suami selalu ada di sampingnya dan mengerti perasaannya.
Amira menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sebisa mungkin dia tidak ingin menjadi wanita yang egois. Namun, batin Amira selalu mengatakan bahwa Alan sedang berbohong padanya.
Amira mempunyai firasat aneh setelah pesan-pesan asing itu masuk beberapa kali pada ponsel Alan. Perasaan itu berlanjut dengan sikap Alan saat ini yang membuat firasatnya semakin kuat.
Hingga waktu subuh pun menjelang, Amira bangun dari tidurnya. Dia berusaha menata hati kembali dan mungkin lebih baik melupakan kejadian tadi malam. Amira tidak ingin suasana hatinya memburuk terus menerus.
Amira berusaha memahami sang suami, pekerjaannya dan juga kesibukannya. Jika selalu curiga akan berakibat fatal terhadap rumah tangganya. Amira tidak ingin keharmonisan di dalam rumah tangganya ini runtuh hanya karena rasa cemburu yang dialami Amira.
"Kamu sudah bangun?" Belum sempat menoleh, tubuh Amira ditarik hingga terbelenggu dalam dekapan Alan.
Amira tersenyum kecil, sikap manis Alan mampu meruntuhkan kecemasannya. Amira balik memeluk tubuh kekar Alan dan menghirup aroma khas tubuh suaminya itu. Di dalam hati, Amira berdoa agar hubungannya dengan Alan semakin dekat dan harmonis.
"Amira mau sholat subuh, Mas," rengek Amira karena Alan terus-menerus mengecup kedua pipinya.
"Bukan cuma kamu, Mas juga."
"Ya sudah lepaskan!" Amira mendorong dada Alan agar menjauh darinya.
"Katanya kangen, dipeluk-peluk kok tidak mau?"
Mata bulat Amira kontan melebar, mungkin saat ini kedua pipinya tengah merona merah.
"Ka-kata siapa Amira kangen?" Amira gugup bahkan tidak sanggup menatap manik mata milik suaminya itu.
"Tadi malam marah-marah itu kan bentuk protes karena kangen."
"Apaan sih, Mas? Amira biasa saja, kok."
Setelah mengatakan itu, Amira bangkit berdiri. Dia tidak ingin jika Alan memergokinya salah tingkah dan menggoda Amira lagi. Perkataan Alan itu membuat Amira sangat malu, Amira menepuk kedua pipinya yang terasa hangat. Alan memang pandai membuat Amira melayang-layang ke udara.
Sreeekkk...
Tangan Amira dirarik paksa, Amira yang tak siap pun terkejut bahkan setengah berteriak. Alan menahan tengkuk sang istri dan mendekatkan bibirnya ke bibir Amira.
Setengah terkejut, namun Amira dibuat mabuk kepayang. Lumatan demi lumatan yang memanggut bibir Amira membuat wanita itu semakin mencintai Alan. Amira memejamkan kedua matanya mengikuti ritme panggutan Alan yang semakin dalam memainkan perannya sebagai suami.
Tidak mau melepaskan sang suami, Amira melingkarkan kedua tanggannya ke leher Alan.
Alan pun tersenyum sembari mengatakan kalimat ampuh yang membuat Amira kehilangan pijakannya, "Amira untuk Alan, bukan yang lainnya."
"Kalau begitu izin membawa Amira untuk bertemu orang tua saya." Alan sangat canggung dan formal. Bahkan sampai membungkuk di depan ayah Amira. Alan dan Amira meninggalkan rumah paman dan bibi. Mereka segera menemui orang tua Alan untuk meminta restu. Setelah kepergian mereka, keheningan menyelimuti rumah paman dan bibi. Mereka berkelut dengan pikiran masing-masing. "Apa mungkin jika hubungan mereka diteruskan?" Bibi Hanum memecah konsentrasi mereka. Ayah, ibu, dan paman Amira memandangnya intens. "Apa kalian tidak khawatir?" Ya, Bibi Hanum yang sangat khawatir jika Amira dan Alan kembali bersama. Ada perasaan tidak ikhlas jika Amira yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri berbaikan dengan Alan dan keluarganya setelah Amira disakiti batinnya berkali-kali. "Mereka saling jatuh cinta," jawab Ayah Arif. "Jangan hanya karena cinta, coba pikirkan saat....""Bu, mereka sudah berjodoh. Mereka sudah ditakdirkan untuk bersama. Semesta pun merestui mereka untuk kembali bersama lagi, jika s
Alan sudah jauh lebih sehat. Butuh waktu tiga hari untuk dirawat di rumah sakit, dan juga atas ocehan Amira yang memaksa Alan untuk makan dan minum obat setiap harinya membuat pria itu lebih cepat pulih. Akhirnya hari ini Alan sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter juga manusia, dia bisa sakit dan lemah. Amira tidak memperbolehkan Alan untuk bekerja setelah ini sampai benar-benar tubuhnya pulih. Alan tidak membantah, dia sangat senang karena Amira sangat perhatian padanya. Bahkan selama sakit dia tidak membiarkan Amira jauh darinya, Alan bersikap manja melebihi anak kecil. Amira merapikan barang-barang Alan di kamar, lebih tepatnya di kamar yang ada di rumah mereka dulu tinggal bersama. Amira belum memutuskan untuk tinggal dan kembali dengan Alan. Selama di rumah sakit pun mereka belum mebahasnya lagi, Amira dan Alan fokus untuk penyembuhan. "Sayang," panggil Alan sedangkan Amira terus merapikan barang-barang tanpa menoleh kesumber suara. "Kamu bersiap ya, kita makan di luar." B
Drrrtttt.... Drrrttt....Getaran di ponsel Amira mengalihkan perhatiannya. Dia kesulitan mengambil ponsel karena sebelah tangannya ia gunakan untuk mendorong koper. Ada telepon masuk dari Sandi. Amira termenung sejenak, tidak biasanya Sandi meneleponnya jika bukan sesuatu yang sangat mendesak. Perlahan-lahan Amira menggeser panel hijau dari ponselnya. Suara Sandi terdengar sangat kecil, Amira tidak bisa mendengarnya karena suara mesin kereta yang terlalu bising. Amira mencoba mencari tempat yang lega, tetapi desakan dari penumpang membuatnya kesulitan bergerak. ["Halo Amira, apa kau mendengarku?"] ucap Sandi dari seberang telepon karena beberapa kali memanggil nama Amira tidak ada sahutan darinya." Aku tidak bisa mendengarmu, aku masih di stasiun di sini sangat ramai," balas Amira dengan nadanya yang keras. ["Bisakah kamu ke rumah sakit sekarang juga?"]"Apa? Tolong yang keras!"["Bisakan kamu ke rumah sakit sekarang? Dokter Alan membutuhkanmu."]Deg....Seketika jantung Amira men
"Kamu yakin akan pergi hari ini juga?"Bibi Hanum membantu Amira memasukkan barang-barang penting ke koper yang akan ia bawa ke desa. Amira hanya menganggukkan kepala, suasana hatinya sedang buruk. Apa yang dia harapkan tidak muncul juga hingga detik ini. Amira ikhlas jika kisah cintanya harus berakhir sekarang, lebih tepatnya benar-benar berakhir tanpa ada pemikiran kedua kalinya. Dia berhenti menunggu Alan dan memilih untuk pergi dari kota. Dia akan merasa nyaman jika tinggal dari desa, mungkin Amira bisa melupakan Alan jika jauh dari pria itu. "Kamu tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting, buang jauh-jauh pemikiran buruk. Sudah jangan berpikiran buruk atau yang lainnya, yang penting kamu dan dedek bayi sehat." Bibi Hanum mengatakan seperti itu agar membuat Amira tenang. Amira hanya terkekeh kecil mendengar bibinya yang begitu cerewet sejak kemarin. Dia khawatir Amira akan berlarut-larut sedih karena Alan tidak datang lagi ke rumah ini. "Apa sudah siap?" Paman Oki yang suda
"Paman izinkan aku bertemu dengan Amira." Alan memohon bahkan hampir bersujud di kaki Paman Oki. Namun, Paman Oki mencegah Alan melakukannya. Sebagai suami Alan sangat khawatir dengan keadaan Amira apalagi saat ini istrinya sedang mengandung. Amira pasti membutuhkan Alan di sisinya. Sayangnya, setiap datang ke rumah paman Amira, mereka tidak mengizinkan Alan untuk bertemu walau hanya satu menit saja. Paman dan Bibi Amira selalu mengusir Alan, atau mengunci rumah dan tidak menemui Alan hingga dia sendiri pergi dari rumah itu. Tampak kekecewaan yang teramat besar dari paman dan bibi Amira. Tentu saja, siapa yang tidak kecewa saat seseorang yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri disakiti hatinya berulang kali. Alan mengakui kesalahannya, jika ia disuruh bersujud pun akan ia lakukan. Alan akan merendahkan dirinya untuk menebus segala kesalahan yang telah ia perbuat pada Amira."Pergilah! Jangan datang lagi ke sini, biarkan Amira hidup tenang," ucap Paman Oki memalingkan wajahnya
"Amira... Amira... Tunggu dengarkan Mas dulu."Alan mengejar Amira yang baru saja turun dari mobil taxi. Hampir lima kali lebih Alan mengunjungi rumah paman dan bibi Amira, tetapi dia tidak pernah diizinkan untuk bertemu dengan Amira. Alan tidak menyerah, dia selalu datang ke rumah ini. Dan beruntungnya saat dia baru sampai, Amira pun juga baru datang entah dari mana. Alan menahan lengan Amira, wanitanya itu sama sekali tidak mau memandang Alan. Seolah tak sudi berurusan dengan Alan lagi. Alan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya masih pria yang sama seperti awal pertama kali mereka bertemu. "Sayang, kita perbaiki lagi dari awal ya." Amira masih membelakangi Alan, tak kuasa menahan rindu Alan memeluk tubuh mungil Amira dari belakang. "Bukan kita yang harus diperbaiki, Mas. Tapi kamu sendiri yang harus diperbaiki." Amira berkata lantang, padahal dia berusaha mengontrol emosinya, sayangnya melihat Alan membuatnya muak. "Aku tahu, terus di sampingku, bimbing aku. Aku memang keterlal