Share

Amira Untuk Alan

Penulis: Rose Bloom
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-26 14:19:37

"Assalamu'alaikum." Salam dari Alan yang tidak dijawab oleh Amira.

Amira pun menjauh saat Alan hendak mengecup keningnya. Biasanya Alan selalu disambut baik oleh Amira. Amira menyalami tangan Alan dan sebaliknya Alan mengecup kening sang istri. Namun, malam ini Amira hanya cemberut dan menjauhi Alan.

Pria dua puluh delapan tahun itu mengernyitkan dahi, dia tidak mengerti dengan sikap sang istri yang berubah dingin. Amira pun tidak ingin membuka suara. Dia berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.

Amira melirik sekilas suaminya yang masih berdiri di ruang tamu. Pria itu tampak kebingungan, tetapi Amira tetap mengabaikannya. Amira masih kesal terhadap suaminya itu karena beberapa hari ini selalu pulang malam tanpa memberi kabar. 

Amira mengira Alan telah berubah. Nomor telepon Alan yang sulit sekali dihubungi, pesan Amira yang juga jarang dibalas, dan dihitung dari satu minggu lalu Alan selalu pulang larut tanpa memberi kabar bahkan beberapa kali tidak pulang ke rumah.

Amira tidak pernah keberatan dengan pekerjaan Alan yang menuntut pria itu untuk selalu siap siaga di manapun berada. Tetapi, yang membuat Amira marah karena Alan mulai mengabaikannya. Karena itulah Amira memiliki pemikiran buruk tentang suaminya itu.

"Apa aku punya salah?" tanya Alan setelah menyusul Amira dan berdiri di belakangnya.

Amira memutar bola matanya malas. Alan saja tidak sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya sendiri. Amira semakin meradang, mendiamkan Alan adalah pilihan yang tepat untuk Amira. 

"Amira, jawab pertanyaan Mas, dong." Alan mengikuti ke mana kaki Amira melangkah, seperti anak kecil yang merengek kepada ibunya. 

"Kalau Mas ada salah, Mas minta maaf."

Brak...

Amira membanting piring di atas telenan kayu. Untung saja tidak pecah, kalau saja pecah, mungkin pecahannya sudah melayang-layang di udara. 

"Mas tidak sadar sama apa yang telah Mas perbuat?" sentak Amira tiba-tiba, amarahnya sudah tidak bisa dipendam lagi. Alan hanya berkedip dan bergeming di depan Amira. Pria itu tampak berusaha memahami apa yang dikatakan oleh Amira.

"Ya...karena Mas tidak tahu makanya bertanya, Amira." Alan meraih kedua tangan Amira. Alan tidak membiarkan istrinya itu lepas dari genggamannya. 

"Amira tahu kalau Mas Alan selingkuh." Amira mulai membuka suara, apa yang ada dipikirannya selama ini akhirnya terucapkan juga. Amira hanya bisa memendam dan memendam. Namun, setelah perubahan sikap Alan, Amira mulai berani mengungkapkan keresahannya. 

Wajah Alan mendadak pias, dahinya berkerut sampai-sampai kedua alisnya hampir bertaut dan menyatu. Alan semakin mengeratkan genggamannya pada kedua tangan Amira. Kedua netranya mengisyaratkan ketakutan yang sampai kini Amira tidak mengetahui alasannya. 

"Kamu bicara apa, sih? Siapa yang telah memberi gosip buruk itu, Sayang?" Alan menangkup wajah Amira. Kini keduanya saling menyelami perasaan masing-masing. 

Bodohnya, air mata sudah mengapung di atas kelopak mata Amira. Dia tidak ingin terus menerus curiga terhadap suaminya tanpa menemukan jawaban yang pasti. Sikap Alan dan semua perubahan pada pria itu membuat Amira yakin bahwa Alan ada wanita lain di belakangnya. 

"Mas Alan sudah tidak sayang lagi sama Amira seperti dulu. Mas Alan mulai mengabaikan seorang istri yang selalu menunggu kepulangan sang suami. Mas Alan tidak pernah memahami bagaimana khawatirnya Amira saat Mas Alan tidak memberi kabar apalagi sampai tidak pulang ke rumah."

Pecah sudah tangis Amira. Mungkin bagi Alan masalah ini dinilai biasa-biasa saja, namun bagi Amira satu kabar itu sangat penting dan sesingkat apapun pesan dari sang suami mampu menenangkan hati Amira. Sayangnya, Alan mengabaikan satu perhatian kecil itu.

"Mas Alan berubah, Mas Alan sudah tidak cinta Amira lagi."

"Hei... Kata siapa itu? Amira, di hidup Mas...hanya ada satu wanita yang sangat Mas sayangi setelah ibu. Yaitu kamu, Sayang." Lagi, Alan menangkup wajah Amira dan mengusap air matanya. 

"Maafkan Mas jika beberapa hari ini kurang perhatian sama kamu. Mas sayang dan cinta banget sama Amira. Setelah kamu tenang akan Mas jelaskan alasannya."

Alan memeluk tubuh Amira, wanita mungil yang tidak bisa berbuat apa-apa itu balik memeluk tubuh Alan sangat erat. Amira sangat merindukan sang suami, merindukan Alan yang menurutnya telah berubah. 

Amira akan dengarkan penjelasan Alan sesuai janji pria itu. Amira akan berusaha mengerti jika memang hal itu yang terbaik untuk mereka berdua. Tetapi, sejatinya wanita dan seorang istri hanya butuh sang suami selalu ada di sampingnya dan mengerti perasaannya.

Amira menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sebisa mungkin dia tidak ingin menjadi wanita yang egois. Namun, batin Amira selalu mengatakan bahwa Alan sedang berbohong padanya. 

Amira mempunyai firasat aneh setelah pesan-pesan asing itu masuk beberapa kali pada ponsel Alan. Perasaan itu berlanjut dengan sikap Alan saat ini yang membuat firasatnya semakin kuat.

Hingga waktu subuh pun menjelang, Amira bangun dari tidurnya. Dia berusaha menata hati kembali dan mungkin lebih baik melupakan kejadian tadi malam. Amira tidak ingin suasana hatinya memburuk terus menerus. 

Amira berusaha memahami sang suami, pekerjaannya dan juga kesibukannya. Jika selalu curiga akan berakibat fatal terhadap rumah tangganya. Amira tidak ingin keharmonisan di dalam rumah tangganya ini runtuh hanya karena rasa cemburu yang dialami Amira.

"Kamu sudah bangun?" Belum sempat menoleh, tubuh Amira ditarik hingga terbelenggu dalam dekapan Alan. 

Amira tersenyum kecil, sikap manis Alan mampu meruntuhkan kecemasannya. Amira balik memeluk tubuh kekar Alan dan menghirup aroma khas tubuh suaminya itu. Di dalam hati, Amira berdoa agar hubungannya dengan Alan semakin dekat dan harmonis. 

"Amira mau sholat subuh, Mas," rengek Amira karena Alan terus-menerus mengecup kedua pipinya.

"Bukan cuma kamu, Mas juga."

"Ya sudah lepaskan!" Amira mendorong dada Alan agar menjauh darinya.

"Katanya kangen, dipeluk-peluk kok tidak mau?" 

Mata bulat Amira kontan melebar, mungkin saat ini kedua pipinya tengah merona merah. 

"Ka-kata siapa Amira kangen?" Amira gugup bahkan tidak sanggup menatap manik mata milik suaminya itu.

"Tadi malam marah-marah itu kan bentuk protes karena kangen." 

"Apaan sih, Mas? Amira biasa saja, kok."

Setelah mengatakan itu, Amira bangkit berdiri. Dia tidak ingin jika Alan memergokinya salah tingkah dan menggoda Amira lagi. Perkataan Alan itu membuat Amira sangat malu, Amira menepuk kedua pipinya yang terasa hangat. Alan memang pandai membuat Amira melayang-layang ke udara. 

Sreeekkk...

Tangan Amira dirarik paksa, Amira yang tak siap pun terkejut bahkan setengah berteriak. Alan menahan tengkuk sang istri dan mendekatkan bibirnya ke bibir Amira. 

Setengah terkejut, namun Amira dibuat mabuk kepayang. Lumatan demi lumatan yang memanggut bibir Amira membuat wanita itu semakin mencintai Alan. Amira memejamkan kedua matanya mengikuti ritme panggutan Alan yang semakin dalam memainkan perannya sebagai suami. 

Tidak mau melepaskan sang suami, Amira melingkarkan kedua tanggannya ke leher Alan. 

Alan pun tersenyum sembari mengatakan kalimat ampuh yang membuat Amira kehilangan pijakannya, "Amira untuk Alan, bukan yang lainnya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wanita lemah dan dungu memang pantas dibohongi dan diselingkuhi. dikasih petunjuk bukannya mikir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Kembalilah Dengannya

    "Amira... Amira... Tunggu dengarkan Mas dulu."Alan mengejar Amira yang baru saja turun dari mobil taxi. Hampir lima kali lebih Alan mengunjungi rumah paman dan bibi Amira, tetapi dia tidak pernah diizinkan untuk bertemu dengan Amira. Alan tidak menyerah, dia selalu datang ke rumah ini. Dan beruntungnya saat dia baru sampai, Amira pun juga baru datang entah dari mana. Alan menahan lengan Amira, wanitanya itu sama sekali tidak mau memandang Alan. Seolah tak sudi berurusan dengan Alan lagi. Alan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya masih pria yang sama seperti awal pertama kali mereka bertemu. "Sayang, kita perbaiki lagi dari awal ya." Amira masih membelakangi Alan, tak kuasa menahan rindu Alan memeluk tubuh mungil Amira dari belakang. "Bukan kita yang harus diperbaiki, Mas. Tapi kamu sendiri yang harus diperbaiki." Amira berkata lantang, padahal dia berusaha mengontrol emosinya, sayangnya melihat Alan membuatnya muak. "Aku tahu, terus di sampingku, bimbing aku. Aku memang keterlal

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Amira dan Bram

    Pagi yang hangat ini membuat Amira bersemangat. Dia sudah pulih, dan kini memutuskan tinggal dengan paman dan bibi untuk sementara sebelum kembali ke desa tempat orang tuanya tinggal, karena masih ada urusan yang harus Amira selesaikan di kota ini. Amira sudah berpikir panjang, dia akan hidup damai di desa bersama kedua orang tuanya dan demi kesehatannya agar bayi yang dikandungnya juga sehat. Kata dokter setres akan membuatnya dalam masalah, Amira tidak ingin egois karena dirinya sekarang adalah seorang ibu. Jadi, dia harus mengutamakan kesehatan bayinya. Pikiran Amira saat ini lebih tenang, dia mengesampingkan masalah-masalah yang terjadi padanya. Amira menutup semua akses Alan untuk menghubunginya, bahkan dia menyuruh paman dan bibi untuk tidak menerima Alan datang ke rumah ini."Apa kamu yakin mau berangkat ke kantor?" Bibi Hanum menahan tangan Amira karena khawatir keponakannya itu jatuh sakit lagi. "Iya, Nak. Paman antar saja ya, meskipun pakai motor itu lebih aman dari pada

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Dari Hati ke Hati

    "Bisahkah kita bicara?" tanya Luna tanpa ekspresi. Bram hanya menganggukkan kepala. Setelahnya Luna berjalan lebih dulu dan diekori oleh Bram. Pria itu hanya diam, sebelumnya dia telah menyiapkan diri jika keadaan seperti sekarang ini terjadi. Bram akan terima sumpah serapah dari mantan kekasihnya itu, atau dia akan terima jika Luna memarahinya habis-habisan. Bram akui bahwa dirinya pria jahat yang telah mempermainkan hati seorang wanita yang sangat baik seperti Luna. Namun, disaat dia sadar bahwa dirinya salah Bram segera memutuskan hubungan mereka agar Luna tidak berharap banyak padanya. Tetap saja perpisahan mereka menciptakan luka yang amat besar di hati Luna. Di taman rumah sakit yang bunga-bunganya mulai bermekaran, dan cuaca pun mendukung kesejukan hari ini. Bram dan Luna diam sesaat sejak mereka duduk disalah satu kursi taman. Luna masih menyiapkan diri untuk mengungkapkan apa yang telah ia pendam sejak lama. Dan Bram pun kini sedang berkelut dengan pikirannya. "Aku...," u

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Hati Yang Lapang

    "Dia sudah sadar," ujar Paman Amira yang masih setia berada di rumah sakit untuk menemani keponakannya itu.Alan dengan wajah bahagianya segera memasuki kamar inap yang ditempati Amira. Namun, dia tidak menemukan Amira di sana. "Amira di mana, Paman?" Paman Oki menunjuk arah di mana Amira berada. Alan segera menyusul, dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sang pujaan hati. Dentuman detak jantung Alan bertalu begitu riang, seperti halnya dia akan bertemu dengan gadis yang baru ia temui untuk pertama kalinya. Waktu seolah melambat, desiran angin seolah menjadi musik pengiring langkah-langkah kaki Alan. Alan bisa melihat wajah pucat nan cantik itu dalam keadaan damai sedang menatap pemandangan di depannya melalui kaca jendela. Amira duduk di kursi roda, tubuhnya yang kurus membuat Alan seperti dihantam batu besar. Bukti bahwa Alan tidak bisa menjaga dan gagal memberikan usaha yang terbaik untuk Amira. "Amira," ucapnya lembut. Namun, sang pemilik nama masih enggan untuk menoleh.

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Tidak Bisa Mengelak Lagi

    Pintu dibanting kuat-kuat !!!Dubraakkk....Sang empu rumah yang sedang berkumpul di ruang tengah terkejut mendengar suara debuman keras itu dari luar. Alan menghampiri seluruh anggota keluarganya dengan wajahnya yang memerah. Yang pertama kali menghampiri Alan adalah sang ibu, bersuara dengan nada lembut menenangkan untuk meredakan emosi Alan. "Ada apa, Nak? Datang-datang kok banting pintu?"Alan tidak menjawab, kedua manik matanya mencari sosok wanita yang ingin ia beri pelajaran. Kayla yang masih duduk di kursinya, bersembunyi dibalik punggung ibu Alan."Di mana Kayla?""Ada apa? Apa karena Amira lagi? Berulah apa lagi dia?" tanya Asna, kakak Alan yang seketika itu juga mendapat pelototan dari Alan. "Jaga ucapanmu, Mbak."Detik itu juga semua orang kebingungan. Kayla masih bersembunyi, perasaannya tidak enak. Tidak mungkin Alan tahu apa yang telah diperbuatnya, dia tidak perlu takut karena tidak ada bukti yang bisa menyudutkannya.Kayla berusaha bangkit, perutnya yang kian membes

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Terungkap

    "Apa maksudmu?"Bram yang tidak sabar menarik kerah kemeja Sandi. Semua orang menunggu penjelasan dari dokter muda itu. Sandi memantapkan diri, dia menahan lengan Bram untuk mengendurkan cengekeramannya."Aku-aku yang memberitahu Kayla bahwa Amira sedang hamil.""Apa? Kita berusaha untuk menyembunyikannya. Mengapa kamu melakukannya?" Nada Luna mulai meninggi, dia tahu jika kehamilan Amira tersebar sahabatnya itu tidak akan aman. Keluarga Alan akan meragukan kehamilan Amira dan akan membuat Amira sangat sedih, begitu pula masih ada bayang-bayang Kayla yang selalu mengusik kehidupan Amira, arena itu kehamilannya dirahasiakan agar Amira bisa hidup dengan tenang. "Maafkan aku. Tujuanku agar Kayla sadar akan posisinya. Aku yakin bahwa Kayla yang merencanakan kecelakaan ini, karena kejadian sebelumnya juga ulah wanita itu.""Jangan mengada-ada, Kayla tidak akan melakukan kejahatan seperti ini."Hanum murka saat melihat Alan lebih membela istri keduanya. Jelas-jelas Amira sedang dalam keada

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status