Alan mengambil jas dokternya pada sandaran kursi. Dia tidak ingin membuat Amira menunggu lama. Alan tahu akan kesalahan yang telah diperbuatnya saat ini, membuat Amira menunggu dan tidak memberi kabar apapun sejak tadi malam.
Alan terpaksa melakukannya, bahkan ponselnya sengaja ia matikan agar aktivitas dan perbuatan yang dilakukannya saat ini tidak diketahui oleh istrinya tersebut. Alan menghembukan napas resah, dia bergegas menuju lobi rumah sakit.
"Mas, mau ke mana?" tanya seseorang yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Tangan Alan pun ditarik olehnya membuat pria itu menoleh sejenak.
"Aku harus pergi, Amira menungguku," jawab Alan dengan raut wajah khawatir. Detik itu juga cekalan pada tangan Alan mengendur.
Setelah kepergian Alan, hanya ada Sandi dan orang itu saja di kamar pasien ini. Sandi kebingungan, dia seperti manusia yang tak tentu arah. Entah perbuatannya ini benar atau justru akan membuat seseorang terluka, yang pastinya dia telah memegang suatu rahasia besar.
"Permisi." Sandi menundukkan badan dan setelahnya menyusul Alan yang telah menghilang dari balik pintu.
Di lobi rumah sakit, Amira sudah tidak sabar ingin bertemu sang suami. Degup jantungnya pun berdetak kencang, meskipun telah menikah Amira merasa bahwa mereka berdua masih sepasang kekasih.
Memikirkan itu saja membuat kedua sudut bibirnya terangkat, sikap Alan yang dulu dan sekarang masih sama. Itulah mengapa Amira sangat mencintai Alan.
Amira jadi teringat masa-masa mereka berdua dipertemukan. Dimulai saat keduanya berada di bangku kuliah. Mereka berdua berbeda jurusan. Amira jurusan sastra sedangkan Alan kedokteran.
Amira terpesona dengan sosok Alan yang sangat berwibawa saat membawakan materi di ruang auditorium kala itu. Wajah dan suara pria itu menjadi sorotan bahkan dikagum-kagumi oleh seluruh mahasiswa, sama halnya dengan Amira.
"Amira." Suara Alan membuyarkan lamunan Amira. Kontan Amira yang merasa dipanggil menoleh ke sumber suara.
Alan berlari ke arahnya, senyum Amira semakin tinggi. Alan selalu berlari saat hendak menghampiri Amira, jika ditanya alasannya karena pria itu tidak ingin membuat Amira menunggu terlalu lama. Hal sekecil itu membuat Amira merasa sangat dicintai.
"Apa kamu menungguku sangat lama?" tanya Alan dengan deru napas tak beraturan. Amira hanya menggeleng lemah. "Maafkan aku karena membuatmu khawatir dan sampai mengunjungiku ke rumah sakit."
"Aku tahu kamu pasti sibuk, Mas. Sudah makan siang?"
Alan menggelengkan kepalanya, "Belum.""Ish." Amira mencibir kesal, jika Alan fokus terhadap sesuatu pasti melupakan kesehatannya sendiri.Amira mengangkat kotak kue yang dibawanya tadi. "Slice cake matcha kesukaan Mas Alan," celetuk Amira girang. Alan pun tak kalah senangnya saat sang istri membawakan makanan kesukaannya.
"Kita makan sama-sama, ya." Alan mengangguk antusias. Mereka berdua melupakan Sandi yang masih mematung di belakang Alan. Amira melongok sejenak memandang seseorang yang menyaksikan keromantisan mereka bedua. Sandi tersenyum canggung saat ditatap Amira.
"Sandi, kamu bisa ikut makan bersama kami," ajak Amira sangat ramah.
"Oh tidak perlu, Mbak. Pekerjaan saya masih banyak. Kalau begitu saya permisi." Sandi membungkukkan badan, setelahnya meninggalkan Amira dan Alan berdua saja.Disalah satu bangku taman, Amira dan Alan menghabiskan waktu berdua yang jarang sekali mereka miliki saat pekerjaan sama-sama membelenggu mereka. Amira berpikir seharusnya mereka berdua menyempatkan diri untuk rehat sejenak dan bersantai seperti yang dilakukan saat ini.
Alan menyuapkan sepotong kue ke dalam mulutnya, tak lupa juga menyuapkan ke mulut Amira. Amira merasa beruntung memiliki suami yang baik dan pengertian seperti Alan.
Dia masih tidak menyangka pria tampan yang digemari banyak wanita menjadi suami Amira saat ini. Padahal Amira tidak begitu menonjol seperti wanita-wanita yang menyukai Alan, namun pria itu memilihnya dan saat ini mereka berdua tinggal dalam satu atap yang sama.
"Tadi malam ada pasien darurat ya?" tanya Amira memecah keheningan diantara keduanya.
Alan mematung sejenak, pria itu memalingkan wajah dan melihat ke sembarang arah, sedangkan Amira masih menunggu jawaban. Bibir Alan terasa kelu untuk mengeluarkan suara, otaknya berputar untuk memberi penjelasan yang cocok untuk Amira.
"Iya."
"Bagaimana dengan keadaan pasien itu, Mas?""Oh? Hem... Pasien itu masih membutuhkan pengawasan dokter, semoga saja segera membaik," balas Alan tidak ingin memperpanjang pembicaraan. Amira hanya mengangguk, mungkin Alan tidak bisa membocorkan riwayat pasiennya meskipun terhadap istri Alan sendiri."Ponsel Mas Alan kenapa tidak bisa dihubungi?" Amira memberenggut kesal. Amira masih teringat betapa kebingungannya dia saat menunggu telepon suaminya itu.
Amira bisa mengerti jika Alan tidak membalas pesannya, namun tadi malam dan sampai siang tadi ponsel Alan tidak bisa dihubungi. Amira sampai berpikir yang tidak-tidak karena ponsel Alan tidak aktif.
Alan merogoh saku celananya. Dia menunjukkan layar ponselnya yang menghitam kepada Amira. Pasti Amira berpikir bahwa ponsel Alan memang kehabisan dayanya, namun Alan memang sengaja mematikannya. Alan tidak ingin sesuatu yang ia sembunyikan terungkap.
"Emm... M-mati ponselnya." Alan terkekeh kecil, setidaknya hal ini bisa menjadi bukti agar Amira percaya padanya.
Amira tidak bertanya lebih lanjut, rasa ingin tahunya menguap setelah Alan memberi alasan yang masuk akal. Amira menyeruput es jeruknya dan saat menoleh ke samping kiri tanpa sengaja dia melihat seorang wanita hamil berdiri di tepi taman.
Amira mengernyitkan dahi, wanita itu seperti memandang ke arahnya. Amira menengok ke kanan dan kiri untuk memastikan sekelilingnya. Mungkin saja wanita itu bukan memandang Amira ataupun Alan. Namun, di taman ini hanya ada Amira dan Alan saja.
Alan mendongak mengikuti arah pandang sang istri. Betapa terkejutnya dia saat melihat wanita hamil sedang berdiri dengan tiang infus yang dibawanya. Alan sampai tersedak kue, dia terbatuk-batuk sampai memerah wajahnya.
"Astaga, Mas, pelan-pelan makannya." Amira menyodorkan minuman ke arah Alan. Setelah itu barulah Alan bisa bernapas lega.
Amira hendak melihat wanita hamil itu tadi, namun Alan segera menangkup wajah Amira agar bisa berhadapan satu sama lain. Amira terkejut dengan perbuatan Alan tersebut, namun dia tidak menaruh curiga apapun. Amira tersenyum lebar saat Alan juga tersenyum ke arahnya.
"Maafkan Mas, ya. Malam ini Mas lembur lagi. Ada riset yang harus Mas selesaikan," kata Alan dengan nada sendu.
Amira berpura-pura memanyunkan bibirnya, namun dia mengerti dan harus ikhlas jika Alan memilih pekerjaannya yang suci ini. Menolong dan menyelamatkan nyawa seseorang adalah pekerjaan mulia, bahkan Amira sangat mendukung pekerjaan Alan ini.
"Yah, tidur sama guling lagi."
"Maaf, ya.""Amira paham kok, Mas." Amira tersenyum kecil, meskipun berat harus dia lakukan.Alan menghembuskan napasya. Dia menengok ke tempat wanita hamil itu berdiri, Alan tidak menemukan wanita itu lagi. Alan menundukkan kepala, degup jantungnya berangsur normal. Rasa takut ini selalu menghantui Alan, setidaknya untuk sekarang Alan bisa mengatur sendiri masalahnya ini.
"Kalau begitu izin membawa Amira untuk bertemu orang tua saya." Alan sangat canggung dan formal. Bahkan sampai membungkuk di depan ayah Amira. Alan dan Amira meninggalkan rumah paman dan bibi. Mereka segera menemui orang tua Alan untuk meminta restu. Setelah kepergian mereka, keheningan menyelimuti rumah paman dan bibi. Mereka berkelut dengan pikiran masing-masing. "Apa mungkin jika hubungan mereka diteruskan?" Bibi Hanum memecah konsentrasi mereka. Ayah, ibu, dan paman Amira memandangnya intens. "Apa kalian tidak khawatir?" Ya, Bibi Hanum yang sangat khawatir jika Amira dan Alan kembali bersama. Ada perasaan tidak ikhlas jika Amira yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri berbaikan dengan Alan dan keluarganya setelah Amira disakiti batinnya berkali-kali. "Mereka saling jatuh cinta," jawab Ayah Arif. "Jangan hanya karena cinta, coba pikirkan saat....""Bu, mereka sudah berjodoh. Mereka sudah ditakdirkan untuk bersama. Semesta pun merestui mereka untuk kembali bersama lagi, jika s
Alan sudah jauh lebih sehat. Butuh waktu tiga hari untuk dirawat di rumah sakit, dan juga atas ocehan Amira yang memaksa Alan untuk makan dan minum obat setiap harinya membuat pria itu lebih cepat pulih. Akhirnya hari ini Alan sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter juga manusia, dia bisa sakit dan lemah. Amira tidak memperbolehkan Alan untuk bekerja setelah ini sampai benar-benar tubuhnya pulih. Alan tidak membantah, dia sangat senang karena Amira sangat perhatian padanya. Bahkan selama sakit dia tidak membiarkan Amira jauh darinya, Alan bersikap manja melebihi anak kecil. Amira merapikan barang-barang Alan di kamar, lebih tepatnya di kamar yang ada di rumah mereka dulu tinggal bersama. Amira belum memutuskan untuk tinggal dan kembali dengan Alan. Selama di rumah sakit pun mereka belum mebahasnya lagi, Amira dan Alan fokus untuk penyembuhan. "Sayang," panggil Alan sedangkan Amira terus merapikan barang-barang tanpa menoleh kesumber suara. "Kamu bersiap ya, kita makan di luar." B
Drrrtttt.... Drrrttt....Getaran di ponsel Amira mengalihkan perhatiannya. Dia kesulitan mengambil ponsel karena sebelah tangannya ia gunakan untuk mendorong koper. Ada telepon masuk dari Sandi. Amira termenung sejenak, tidak biasanya Sandi meneleponnya jika bukan sesuatu yang sangat mendesak. Perlahan-lahan Amira menggeser panel hijau dari ponselnya. Suara Sandi terdengar sangat kecil, Amira tidak bisa mendengarnya karena suara mesin kereta yang terlalu bising. Amira mencoba mencari tempat yang lega, tetapi desakan dari penumpang membuatnya kesulitan bergerak. ["Halo Amira, apa kau mendengarku?"] ucap Sandi dari seberang telepon karena beberapa kali memanggil nama Amira tidak ada sahutan darinya." Aku tidak bisa mendengarmu, aku masih di stasiun di sini sangat ramai," balas Amira dengan nadanya yang keras. ["Bisakah kamu ke rumah sakit sekarang juga?"]"Apa? Tolong yang keras!"["Bisakan kamu ke rumah sakit sekarang? Dokter Alan membutuhkanmu."]Deg....Seketika jantung Amira men
"Kamu yakin akan pergi hari ini juga?"Bibi Hanum membantu Amira memasukkan barang-barang penting ke koper yang akan ia bawa ke desa. Amira hanya menganggukkan kepala, suasana hatinya sedang buruk. Apa yang dia harapkan tidak muncul juga hingga detik ini. Amira ikhlas jika kisah cintanya harus berakhir sekarang, lebih tepatnya benar-benar berakhir tanpa ada pemikiran kedua kalinya. Dia berhenti menunggu Alan dan memilih untuk pergi dari kota. Dia akan merasa nyaman jika tinggal dari desa, mungkin Amira bisa melupakan Alan jika jauh dari pria itu. "Kamu tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting, buang jauh-jauh pemikiran buruk. Sudah jangan berpikiran buruk atau yang lainnya, yang penting kamu dan dedek bayi sehat." Bibi Hanum mengatakan seperti itu agar membuat Amira tenang. Amira hanya terkekeh kecil mendengar bibinya yang begitu cerewet sejak kemarin. Dia khawatir Amira akan berlarut-larut sedih karena Alan tidak datang lagi ke rumah ini. "Apa sudah siap?" Paman Oki yang suda
"Paman izinkan aku bertemu dengan Amira." Alan memohon bahkan hampir bersujud di kaki Paman Oki. Namun, Paman Oki mencegah Alan melakukannya. Sebagai suami Alan sangat khawatir dengan keadaan Amira apalagi saat ini istrinya sedang mengandung. Amira pasti membutuhkan Alan di sisinya. Sayangnya, setiap datang ke rumah paman Amira, mereka tidak mengizinkan Alan untuk bertemu walau hanya satu menit saja. Paman dan Bibi Amira selalu mengusir Alan, atau mengunci rumah dan tidak menemui Alan hingga dia sendiri pergi dari rumah itu. Tampak kekecewaan yang teramat besar dari paman dan bibi Amira. Tentu saja, siapa yang tidak kecewa saat seseorang yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri disakiti hatinya berulang kali. Alan mengakui kesalahannya, jika ia disuruh bersujud pun akan ia lakukan. Alan akan merendahkan dirinya untuk menebus segala kesalahan yang telah ia perbuat pada Amira."Pergilah! Jangan datang lagi ke sini, biarkan Amira hidup tenang," ucap Paman Oki memalingkan wajahnya
"Amira... Amira... Tunggu dengarkan Mas dulu."Alan mengejar Amira yang baru saja turun dari mobil taxi. Hampir lima kali lebih Alan mengunjungi rumah paman dan bibi Amira, tetapi dia tidak pernah diizinkan untuk bertemu dengan Amira. Alan tidak menyerah, dia selalu datang ke rumah ini. Dan beruntungnya saat dia baru sampai, Amira pun juga baru datang entah dari mana. Alan menahan lengan Amira, wanitanya itu sama sekali tidak mau memandang Alan. Seolah tak sudi berurusan dengan Alan lagi. Alan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya masih pria yang sama seperti awal pertama kali mereka bertemu. "Sayang, kita perbaiki lagi dari awal ya." Amira masih membelakangi Alan, tak kuasa menahan rindu Alan memeluk tubuh mungil Amira dari belakang. "Bukan kita yang harus diperbaiki, Mas. Tapi kamu sendiri yang harus diperbaiki." Amira berkata lantang, padahal dia berusaha mengontrol emosinya, sayangnya melihat Alan membuatnya muak. "Aku tahu, terus di sampingku, bimbing aku. Aku memang keterlal