Share

Priaku Yang Hilang

Author: Rose Bloom
last update Last Updated: 2023-01-01 20:24:03

Langit semakin cerah dengan warna birunya yang sangat cantik. Awan putih pun ikut berkumpul menambah hiasan di atas sana. Amira termenung di tepi jendela sembari merasakan angin yang berhembus sejuk. 

Sesekali menghela napas agar sesak di dadanya berhasil keluar dari tubuh. Pagi ini sangat cerah, Amira pun juga harus ceria. Toh, Alan juga memutuskan untuk tinggal di rumah menghabiskan hari Minggu bersama Amira. Seharusnya Amira senang karena ada Alan yang setia menemani hari liburnya. 

Ting...

Amira menoleh ke belakang, dering pesan masuk terdengar dan entah ponsel Amira atau ponsel Alan, karena kedua ponsel mereka memiliki nada dering yang sama. Amira mendekati nakas yang ada di samping ranjang. 

Amira meraih ponselnya sendiri, namun tidak ada satu pesan masuk di ponselnya. Amira melirik ponsel Alan yang sebelumnya berada di samping ponsel Amira. Awalnya dia sangat ragu untuk mengecek ponsel milik suaminya itu, meskipun begitu rasa penasaran Amira sangat tinggi. Terpaksa Amira mengecek ponsel Alan untuk melihat pesan itu.

Sebelumnya Amira menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan bahwa Alan tidak ada didekatnya. Sebisa mungkin Amira tidak membuat suara bahkan dia mengendap-endap saat menuju tepi jendela.

"Siapa orang ini?" lirih Amira keheranan. Pasalnya pesan itu dari nomor yang tidak dikenal. 

"Tunggu." Amira mengingat-ingat kembali nomor yang ia lihat saat itu. "Nomor yang sama dengan pengirim pesan beberapa hari lalu."

Amira segera membuka pesan tersebut. Sebelah tangannya mengepal sangat kuat, sebelah tangannya lagi mencengkeram ponsel Alan. 

"Apa maksudnya ini?" cetus Amira dengan nada tinggi.

Tangannya segera mendial ikon telepon yang ada di pojok aplikasi pesan. Degup jantungnya semakin cepat, Amira tidak sabar ingin mendengar suara orang itu dan bertanya banyak hal kepadanya.

Selama ini Amira hanya menerka dan menduga siapa orang dibalik nomor asing itu. Dia masih berusaha mempercayai Alan. Tetapi, pesan pagi ini benar-benar membuatnya meradang. Kepercayaan yang ia berikan untuk suaminya seketika menguap menjadi debu. Amira masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

Trek... Suara bising di seberang telepon terdengar.

["Halo."]

Deg...

Suara wanita seperti yang Amira duga. Tubuh Amira lemas seketika. Amira mencengkeram ujung kaos yang dikenakannya. Dia masih tidak mau membuka suara, Amira ingin wanita itu berbicara terlebih dahulu.

["Mas, aku tidak menyangka kamu akan meneleponku. Biasanya kamu langsung datang ke rumah."]

Deru napas Amira semakin memburu, rasa panas karena emosi menjalar ke seluruh tubuh. 

"K-kamu siapa?" tanya Amira terbata-bata. Suasana menjadi hening, orang di seberang telepon pun mendadak diam, padahal Amira ingin wanita itu membalas pertanyaan Amira.

"Hei, jawab! KAMU SIAPA?"

"AMIRA!!!" teriak Alan dari belakang Amira. Kontan tangan Amira yang memegang ponsel menyembunyikan ponsel Alan itu ke belakang punggungnya. 

Alan berjalan mendekati Amira dengan raut wajah marahnya. Pria itu tampak buru-buru dan setelah di depan Amira, Alan berusaha merebut ponselnya. 

Amira tidak akan membiarkan Alan merampas ponsel itu. Sekuat tenaga Amira mencengkeram ponsel Alan dan menjauhi suaminya. Alan terus mengerjar, suami Amira itu pula tidak mau menyerah.

"Amira kembalikan!" 

"Kenapa Mas? Apa yang Mas Alan sembunyikan sampai-sampai Amira tidak boleh melihat ponsel Mas Alan?" Tanpa sadar Amira meninggikan suaranya. 

Selama megenal Alan, Amira tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar ataupun suara nada tinggi dari pria itu. Namun, hari ini hanya karena Amira mengecek ponselnya, Alan marah bahkan meninggikan suaranya.

"Kamu tidak boleh lancang!" sentak Alan tiba-tiba, Amira pun terkejut mendengarnya. "Itu ponsel aku dan tidak seharusnya kamu membuka tanpa izinku."

Tangis Amira mengalir ke kedua pipinya. Mendengar ucapan Alan membuat hatinya sungguh sakit. Saat masih menjadi kekasih, Alan tidak pernah melarang Amira untuk memainkan ponsel pria itu. Awal-awal menikah pun Alan tidak pernah marah saat Amira ketahuan membuka ponselnya. 

Alan yang sekarang telah berubah. Ada yang pria itu sembunyikan dari Amira. Alan juga menyembunyikan identitas wanita itu, seolah-olah Amira tidak boleh tahu siapa dia. Jika tidak ada masalah besar, tidak mungkin Alan sampai marah hanya karena Amira menyentuh ponselnya.

"Siapa wanita itu, Mas?" tanya Amira berterus terang. Gemuruh di hatinya semakin mengeluarkan asap kekecewaan. Amira ingin tahu kebenaran yang Alan sembunyikan.

"Bukan siapa-siapa." Alan menjawab tanpa memandang sang istri. Dari situlah Amira menaruh curiga yang teramat besar. 

"Bukan siapa-siapa katamu, Mas? Kalau begitu mengapa dia mengirim fotonya dalam keadaan tidak memakai hijab bahkan berpakaian mini seperti itu?"

Alan tidak bisa menjawab, dia sibuk menghindari tatapan mata Amira. Amira pernah mengatakan bahwa mulut bisa berucap bohong, tetapi tatapan mata mengisyaratkan arti kesungguhan. Amira bisa mendengar kebohongan yang diucapkan sang suami, tetapi dia bisa melihat bahwa Alan tengah menyembunyikan kesalahannya.

Alan mendesah panjang, dia mendekati Amira. Namun, Amira mundur dua langkah, Alan tampak frustasi karena kejadian yang tak terduga dipagi hari ini. 

"Di-dia orang asing, Sayang." Kini, suara Alan melembut. Dia berusaha meyakinkan Amira agar percaya lagi padanya.

"Tidak mungkin. Orang ini selalu mengirimu pesan dan aku pernah membaca pesan-pesan sebelumnya," jawab Amira dengan dadanya yang naik turun menahan emosi.

"Apa?! Kamu melihatnya?"

"Ya!"

"Kamu mulai lancang, Amira."

"Aku istrimu, Mas." Amira menepuk dadanya dengan keras. Meskipun begitu tak menghilangkan rasa sesak yang berkumpul menjadi satu.

"Apa melihat ponselmu saja butuh izin?" tanya Amira sendu. Sampai detik ini pun dia tidak menyangka bahwa Alan telah banyak berubah.

"Ya, itu harus. Kamu tahu sopan santun kan? Ponsel itu adalah benda pribadiku." Lagi dan lagi Alan meninggikan suaranya. 

Wajah Amira berubah pias, perkataan Alan sungguh menyakitinya. Pria yang selalu lemah lembut dan menunjukkan kasih sayang kepada Amira telah menghilang. Amira tidak menemukan jati diri suaminya yang dulu.

Wanita itulah penyebabnya, wanita itu yang membuat Alan berubah. Amira menghidupkan ponsel Alan. Dia mencari nomor tanpa nama yang mengirim pesan kepada Alan. Amira akan menelepon wanita itu lagi sampai membuka suara siapa dia sebenarnya.

Melihat aksi Amira yang nekat, Alan segera mendekati Amira dan berusaha merebut ponselnya. Amira melompat ke atas ranjang , lalu berdiri menantang Alan. Tangan kanannya menunjuk Alan agar tetap diam di tempatnya berdiri.

"Jangan halangi aku atau kamu akan menyesalinya nanti, Mas." Deru napas Amira memburu, apalagi jantungnya berdetak begitu kencang.

"Apa-apaan kamu? Kembalikan ponsel Mas, Sayang." Alan mencoba membujuk, tetapi niat Amira telah bulat untuk menyelidiki si pengirim pesan.

Bunyi dering di ponsel terdengar, Amira mendekatkan ponsel ke telinganya. Alan semakin frustasi, begitu pula dengan Amira. Meskipun dirinya ingin tahu apa hubungan Alan dengan wanita itu, namun di dalam lubuk hatinya, Amira merasa takut bahwa Alan mengkhianatinya. 

                                                                           

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Menjadi Satu-Satunya

    "Kalau begitu izin membawa Amira untuk bertemu orang tua saya." Alan sangat canggung dan formal. Bahkan sampai membungkuk di depan ayah Amira. Alan dan Amira meninggalkan rumah paman dan bibi. Mereka segera menemui orang tua Alan untuk meminta restu. Setelah kepergian mereka, keheningan menyelimuti rumah paman dan bibi. Mereka berkelut dengan pikiran masing-masing. "Apa mungkin jika hubungan mereka diteruskan?" Bibi Hanum memecah konsentrasi mereka. Ayah, ibu, dan paman Amira memandangnya intens. "Apa kalian tidak khawatir?" Ya, Bibi Hanum yang sangat khawatir jika Amira dan Alan kembali bersama. Ada perasaan tidak ikhlas jika Amira yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri berbaikan dengan Alan dan keluarganya setelah Amira disakiti batinnya berkali-kali. "Mereka saling jatuh cinta," jawab Ayah Arif. "Jangan hanya karena cinta, coba pikirkan saat....""Bu, mereka sudah berjodoh. Mereka sudah ditakdirkan untuk bersama. Semesta pun merestui mereka untuk kembali bersama lagi, jika s

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Restu Keempat Orang Tua

    Alan sudah jauh lebih sehat. Butuh waktu tiga hari untuk dirawat di rumah sakit, dan juga atas ocehan Amira yang memaksa Alan untuk makan dan minum obat setiap harinya membuat pria itu lebih cepat pulih. Akhirnya hari ini Alan sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter juga manusia, dia bisa sakit dan lemah. Amira tidak memperbolehkan Alan untuk bekerja setelah ini sampai benar-benar tubuhnya pulih. Alan tidak membantah, dia sangat senang karena Amira sangat perhatian padanya. Bahkan selama sakit dia tidak membiarkan Amira jauh darinya, Alan bersikap manja melebihi anak kecil. Amira merapikan barang-barang Alan di kamar, lebih tepatnya di kamar yang ada di rumah mereka dulu tinggal bersama. Amira belum memutuskan untuk tinggal dan kembali dengan Alan. Selama di rumah sakit pun mereka belum mebahasnya lagi, Amira dan Alan fokus untuk penyembuhan. "Sayang," panggil Alan sedangkan Amira terus merapikan barang-barang tanpa menoleh kesumber suara. "Kamu bersiap ya, kita makan di luar." B

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Ternyata Bukan Akhir

    Drrrtttt.... Drrrttt....Getaran di ponsel Amira mengalihkan perhatiannya. Dia kesulitan mengambil ponsel karena sebelah tangannya ia gunakan untuk mendorong koper. Ada telepon masuk dari Sandi. Amira termenung sejenak, tidak biasanya Sandi meneleponnya jika bukan sesuatu yang sangat mendesak. Perlahan-lahan Amira menggeser panel hijau dari ponselnya. Suara Sandi terdengar sangat kecil, Amira tidak bisa mendengarnya karena suara mesin kereta yang terlalu bising. Amira mencoba mencari tempat yang lega, tetapi desakan dari penumpang membuatnya kesulitan bergerak. ["Halo Amira, apa kau mendengarku?"] ucap Sandi dari seberang telepon karena beberapa kali memanggil nama Amira tidak ada sahutan darinya." Aku tidak bisa mendengarmu, aku masih di stasiun di sini sangat ramai," balas Amira dengan nadanya yang keras. ["Bisakah kamu ke rumah sakit sekarang juga?"]"Apa? Tolong yang keras!"["Bisakan kamu ke rumah sakit sekarang? Dokter Alan membutuhkanmu."]Deg....Seketika jantung Amira men

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Perpisahan yang Memilukan

    "Kamu yakin akan pergi hari ini juga?"Bibi Hanum membantu Amira memasukkan barang-barang penting ke koper yang akan ia bawa ke desa. Amira hanya menganggukkan kepala, suasana hatinya sedang buruk. Apa yang dia harapkan tidak muncul juga hingga detik ini. Amira ikhlas jika kisah cintanya harus berakhir sekarang, lebih tepatnya benar-benar berakhir tanpa ada pemikiran kedua kalinya. Dia berhenti menunggu Alan dan memilih untuk pergi dari kota. Dia akan merasa nyaman jika tinggal dari desa, mungkin Amira bisa melupakan Alan jika jauh dari pria itu. "Kamu tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting, buang jauh-jauh pemikiran buruk. Sudah jangan berpikiran buruk atau yang lainnya, yang penting kamu dan dedek bayi sehat." Bibi Hanum mengatakan seperti itu agar membuat Amira tenang. Amira hanya terkekeh kecil mendengar bibinya yang begitu cerewet sejak kemarin. Dia khawatir Amira akan berlarut-larut sedih karena Alan tidak datang lagi ke rumah ini. "Apa sudah siap?" Paman Oki yang suda

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Mungkin Saja Menyerah?

    "Paman izinkan aku bertemu dengan Amira." Alan memohon bahkan hampir bersujud di kaki Paman Oki. Namun, Paman Oki mencegah Alan melakukannya. Sebagai suami Alan sangat khawatir dengan keadaan Amira apalagi saat ini istrinya sedang mengandung. Amira pasti membutuhkan Alan di sisinya. Sayangnya, setiap datang ke rumah paman Amira, mereka tidak mengizinkan Alan untuk bertemu walau hanya satu menit saja. Paman dan Bibi Amira selalu mengusir Alan, atau mengunci rumah dan tidak menemui Alan hingga dia sendiri pergi dari rumah itu. Tampak kekecewaan yang teramat besar dari paman dan bibi Amira. Tentu saja, siapa yang tidak kecewa saat seseorang yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri disakiti hatinya berulang kali. Alan mengakui kesalahannya, jika ia disuruh bersujud pun akan ia lakukan. Alan akan merendahkan dirinya untuk menebus segala kesalahan yang telah ia perbuat pada Amira."Pergilah! Jangan datang lagi ke sini, biarkan Amira hidup tenang," ucap Paman Oki memalingkan wajahnya

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Kembalilah Dengannya

    "Amira... Amira... Tunggu dengarkan Mas dulu."Alan mengejar Amira yang baru saja turun dari mobil taxi. Hampir lima kali lebih Alan mengunjungi rumah paman dan bibi Amira, tetapi dia tidak pernah diizinkan untuk bertemu dengan Amira. Alan tidak menyerah, dia selalu datang ke rumah ini. Dan beruntungnya saat dia baru sampai, Amira pun juga baru datang entah dari mana. Alan menahan lengan Amira, wanitanya itu sama sekali tidak mau memandang Alan. Seolah tak sudi berurusan dengan Alan lagi. Alan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya masih pria yang sama seperti awal pertama kali mereka bertemu. "Sayang, kita perbaiki lagi dari awal ya." Amira masih membelakangi Alan, tak kuasa menahan rindu Alan memeluk tubuh mungil Amira dari belakang. "Bukan kita yang harus diperbaiki, Mas. Tapi kamu sendiri yang harus diperbaiki." Amira berkata lantang, padahal dia berusaha mengontrol emosinya, sayangnya melihat Alan membuatnya muak. "Aku tahu, terus di sampingku, bimbing aku. Aku memang keterlal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status