"Perjanjian apa maksud kamu?" Alan ikut bangkit setelah mendengar kata perjanjian yang diucapkan sang istri. Amira berjalan menuju koper yang teronggoh dengan tenang di samping lemari. Kontan Alan membulatkan mata karena Amira menyeret kopernya yang berat. Amira belum membongkar ataupun mengeluarkan semua isi yang ada di dalam koper, dia berpikir jika sewaktu-waktu harus pergi dari rumah ini tidak perlu repot-repot mengemas barangnya lagi. "Tidak. Jika kamu berpikir untuk pergi dari rumah ini, Mas tidak akan pernah mengabulkannya," kata Alan seraya menggelengkan kepalanya. "Oke." Amira memutar bola matanya jengah.Amira mengambil bantal dan selimut cadangan yang ada di dalam lemari. Alan mengerutkan dahinya tidak paham dengan apa yang akan dilakukan oleh sang istri. Amira berpikir dan memutuskannya sendiri tanpa berunding dengan Alan. "Perjanjiannya adalah kita pisah ranjang dan pisah kamar," ujar Amira mengungkapkan keinginannya. "APA?" Tanpa menunggu jawaban dari Alan, Amira
Amira dan Luna masih belum bertegur sapa. Padahal mereka berdua duduk bersebelahan. Amira berpikir bahwa dia yang harus meminta maaf terlebih dahulu. Masa bodo dengan harga diri, meminta maaf lebih dulu bukan masalah besar. Amira sudah menyusun banyak kata di dalam otaknya, dia hanya perlu mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya, tetapi rasa gugup entah mengapa tiba-tiba datang dan degup jantungnya berdetak kencang. Hanya bicara dengan Luna saja gugup seperti ini, apalagi berbicara dengan bos besar. Amira melirik meja sebelah, Luna tampak tenang dan biasa saja dalam mengerjakan pekerjaannya. Amira mendesah panjang, rasanya hanya dirinya yang gusar atau Luna memang tidak ingin berbaikan dengannya. Kalau begitu Amira yang akan memulai dari pada mereka berdua tetap diam dan dingin sikap seperti sekarang. "Lun.""Mir."Mereka berdua tertegun dan saling pandang. Amira balik badan karena gugup, begitu pula dengan Luna. Mereka berdua selalu seperti ini, jika bertengkar dan mau berbaikan
“Mm-masuklah,” ucap Bram terbata-bata. Amira dan Luna mengikuti pria di depannya yang masuk ke dalam villa berlantai dua ini. Bram belum berani menyapa Luna, mungkin gugup atau takut untuk menyapa lebih dahulu. Luna pun diam saja, enggan membuka suara atau sekedar tersenyum ke arah Bram.Mereka bertiga duduk berseberangan. Bram menatap Luna sejak tadi, sedangkan yang ditatap hanya menunduk. Amira bisa melihat interaksi canggung diantara Bram dan Luna, dia memutar otak untuk mencairkan suasana. “Kamu menyambut tamu dengan kosongan seperti ini,” ujar Amira memutus tatapan Bram pada sang sahabat. “Oh iya maaf.” Bram bangkit, pria itu masih mengenakan jas dan setelan kantornya. Entah urusan apa yang mengharuskan Amira datang ke villanya yang luas ini, tetapi tidak apa di sini lebih nyaman dan tidak ada orang yang bisa mendengar percakapan mereka. Bram kembali dengan nampan yang di atasnya tersuguhkan satu teko bening yang Amira yakini berisi teh. Ada tiga cangkir dan sepiring biskui
Hari sudah gelap, Amira kembali ke rumah sedikit larut. Dia pulang sehabis adzan isya’ tanpa memberi kabar apapun kepada Alan. Amira sengaja mematikan ponselnya agar Alan tidak bisa menghubunginya. Benar saja saat Amira turun dari taxi, Alan tengah berdiri di depan gerbang karena menunggunya kembali ke rumah. Raut wajah Alan menegang, pasti pria itu marah dan sangat khawatir dengan keberadaan Amira yang tidak diketahui sebelumnya. “Assalamu’alaikum,” salam Amira lirih, dia sangat lelah setelah melalui hari yang begitu panjang. Amira menyalami tangan kanan Alan. Bagaimanapun juga, Alan masih berstatus sebagai suaminya. Setelah itu Amira masuk begitu saja ke dalam rumah. Alan menarik tangan Amira, Amira pun menghentikan langkahnya lalu menghadap Alan. Suaminya itu tampak memendam emosi, dahinya berkerut dan alisnya hampir bertaut. Amira sudah menyiapkan diri sebelum kembali ke rumah, dia siap menerima teguran ataupun amarah dari suaminya itu. “Dari mana kamu?” tanya Alan tanpa sada
Amira tidak bisa tidur, dia sangat penasaran dengan tamunya yang datang. Namun, dari kamarnya ini tidak terdengar suara Alan, seharusnya Alan menyambut tamu itu atau menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Amira keluar dari kamar untuk melihat situasi sekaligus akan menyambut tamu itu sebagai penghormatan. Amira berjalan dengan hati-hati, dia memegang kepalanya dan menekannya sedikit agar rasa pusingnya mereda. “Siapa yang datang, Mas?” tanya Amira setelah keluar dari kamarnya. Alan menoleh ke belakang dengan rasa terkejutnya, sedangkan Amira melongok ke luar pintu untuk melihat tamunya yang datang dipagi hari ini. Amira pun juga terkejut dengan tamu yang tiba-tiba mengunjungi rumah mereka.“Beri mama jalan,” ucap Ratna sekaligus mendorong tubuh Alan dan Amira. Amira dan Alan saling bergeser. Hari masih pagi sekali, tetapi ibu Alan sudah berdiri di depan rumah mereka dan entah apa maunya. Amira mengerutkan dahi, ternyata tidak hanya ibu Alan saja yang datang, kakak perempuan Alan juga d
Marah pun rasanya hanya membuang-buang tenaga, apa yang Amira lakukan pasti akan berujung sia-sia. Percuma saja jika Amira berusaha tampak baik di depan Alan, ibu mertua dan kakaknya, harga diri Amira tetap saja diinjak-injak. Padahal sebelumnya Amira berpikir mengalah adalah keputusan yang tepat, nyatanya dia semakin dibuat sakit hati. Jika dirinya hany dimaki sebagai istri yang tidak becus, kemungkinan Amira bisa menahannya. Namun, lagi- dan lagi ibu mertuanya membandingkan Amira dengan Kayla. Amira belum pernah bertatap muka langsung dengan wanita itu apalagi berbicara satu sama lain, dia juga tidak tahu sebaik apakah wanita itu sampai-sampai ibu mertuanya sangat mengidamkan Kayla. Namun, bukan berarti dirinya harus dibandingkan bahkan diolok-olok lebih buruk. Istri manapun tidak akan rela jika harga dirinya dicaci maki bahkan dibandingkan dnegan wanita lain. Amira tidak sehebat dan sekuat itu, dia juga punya hati nurani yang bisa terluka kapan saja. Masa bodo dengan Kayla, jika
Pintu kamar mandi terbuka, Alan keluar sembari menggosok rambutnya yang basah. Dia terkejut karena ibunya tiba-tiba berdiri di depan pintu. Alan tersenyum karena ibunya berkacak pinggang seerti sedang marah padanya. "Ada apa si, Ma?" tanya Alan berusaha menggoda ibunya agar tidak marah. Alan juga menggelitiki pinggang sang ibu."Istri kamu itu... Oh bukan, sebentar lagi akan menjadi mantan istri."Alan membulatkan matanya lebar, dia terhenyak mendengar penuturan sang ibu. Alan mendesah panjang, dia mulai emosi padahal sejak tadi dia berusaha menahan amarah agar tidak meledak-ledak. Alan berusaha mentolerir perbuatan sang ibu terhadap Amira, dia masih berpikir bahwa wanita yang ia hadapi adalah ibunya sendiri.Namun, semakin Alan membiarkannya, sang ibu semakin membuat Alan takut. Alan takut karena keberadaan ibunya di rumah ini akan membut Amira semakin jauh, tak hanya itu ibunya juga menyakiti perasaan Amira dengan kata-katanya.Alan harus bertindak, dia tidak ingin Amira mengatakan
Sejak kedatangan ibu Alan ke rumahnya ini, hampir setiap hari Amira pulang larut malam. Amira masih sakit hati dengan ucapan yang dikatakan Ratna, dia juga lelah berpura-pura baik-baik saja disaat melihat wajah sang suami. Amira ingin bebas, meskipun hatinya belum sepenunya ikhlas, Amira akan tetap menceraikan Alan dan membiarkan pria itu bahagia bersama istri pertamanya. Amira hanya akan menjadi penonton dan melanjutkan hidupnya. Seperti yang dikatakan Ratna tempo hari, Amira memang tidak becus menjadi seorang istri. Amira akui bahwa dirinya banyak kekurangan berbanding terbalik dengan istri pertama Alan yang dinilai sebagai istri idaman. Asna pun juga meminta Amira untuk menceraikan Alan. Amira akan turuti kemauan mereka. Mereka takut bahwa Alan menjadi pria menyedihkan, tetapi mereka tidak bisa melihat kepedihan hati yang dirasakan Amira karena ulah Alan. Baik Ratna ataupun Asna, keduanya sama-sama egois. "Dari mana saja kamu?" sentak Alan tiba-tiba saat menyambut kedatangan A