Rasanya, hangat sinar matahari semakin mencakar-cakar kulit di tubuh Alan. Tiba-tiba napasnya tercekat dan dadanya mulai sesak saat melihat sorot kebencian di mata Amira. "Aku atau dia?"Lagi dan lagi pertanyaan itu bak bom atom yang siap mengoyak-oyak tubuh Alan. Disaat seperti ini, disaat posisinya terjepit seperti sekarang dia harus bisa mengendalikan diri dan tidak boleh panik. "Kamu tenang dulu, ya. Kan kita bisa bahas ini secara empat mata." Alan mencengkeram kedua bahu Amira. "Aku ingin kamu jawab di sini, aku tidak ingin perasaan kamu abu-abu antara aku dan dia." Amira mendesah panjang, dia tidak ada pilihan lain selain menekan Alan. "Mas, kamu itu laki-laki dan harus tegas dengan pilihanmu," ujar Amira tidak ingin memberi Alan waktu untuk berpikir. "Mas, kamu bilang sangat menanti anak ini. Jangan buat dia kecewa." Kayla pun tidak membiarkan keadaan ini dimenangkan oleh Amira. Perasaan cemburu sama-sama menyelimuti hati Amira ataupun Kayla. Keduanya pun sama-sama ingin m
"Beri aku kesempatan."Kedua bola mata Amira membeliak lebar, dia tidak menyangka bahwa Bram akan memohon seperti padanya. Amira menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa menerima pria itu untuk urusan cinta. Amira bukan wanita yang pantas untuk Bram. Sebentar lagi statusnya menjadi janda akan menjadi aib bagi pria itu. Bram adalah pengacara ternama, memiliki nama besar yang tidak boleh Amira corengkan. Amira bukanlah wanita yang pantas bersanding dengan Bram. Terlebih hati atau pun perasaan Amira bukanlah pasar yang seenaknya dimasukin oleh banyak orang. Amira bukanlah wanita yang mudah jatuh cinta, perasaannya pun saat ini masih tertuju pada Alan. "Maaf, aku tidak....""Aku yang akan membuktikannya sendiri," potong Bram cepat tidak membiarkan Amira untuk melanjutkan pemikirannya. Sudah pasti Amira akan menolaknya, Bram tidak akan menyerah. "Aku akan tetap berusaha sampai kamu mau melihatku sebagai pria, bukan sebagai teman atau pengacaramu," katanya dengan sorot mata yang menggebu
"Kamu benar-benar ingin kembali ke kota, Nak?"Bu Mina terus mengawasi sang anak yang sedang melipat baju di atas tempat tidurnya. Amira hanya diam, dia sedang berkelut dengan isi kepalanya yang rumit. Sejak tiga hari yang lalu, Amira tidak banyak bicara. Dia hanya menjawab seperlunya saat ditanya ibu ataupun ayahnya. Semenjak kejadian di rumah sakit, Amira menjadi pendiam bahkan tidak ingin bertemu dengan siapapun. Amira melarikan diri dari masalah yang ia tinggalkan di kota. Amira butuh istirahat untuk menghadapi kenyataan yang akan datang. Amira pun tidak memberitahu Luna jika dirinya kabur ke rumah kedua orang tuanya. Sebagai orang tua, Bu Mina sangat sakit hati melihat putri semata wayangnya tidak memiliki gairah hidup. Bu Mina mengerti dengan keadaan Amira yang begitu sulit. Bagaimanapun juga Bu Mina tidak bisa membantu selain berdoa dan meminta yang terbaik untuk Amira. Bu Mina menarik napas panjang, dia menitikkan bulir-bulir bening sehingga membasahi kedua pipinya. Bu Min
"Bagaimana, Lun?" Luna yang baru saja keluar dari perusahaan terkejut akan kedatangan Alan. Luna memijit kedua pelipisnya, meskipun begitu tidak bisa menghilangkan denyut yang mendera kepalanya ini. Alan terus mengganggunya sejak kehilangan kontak dengan Amira. Luna saja juga tidak tahu dimana keberadaaan sahabat satu-satunya itu, seakan-akan Amira lenyap ditelan bumi. Luna sangat khawatir dengan keadaan Amira saat ini, sudah dua hari sahabatnya itu menghilang. Di kantor pun sudah tertera izin cuti tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan Luna. "Aku juga tidak tahu, Lan." Luna menghela napas, dia merogoh tas untuk mengambil ponsel. Siapa tahu Amira telah mengiriminya pesan. Namun, saat dilihat tidak ada satu pesan pun dari Amira. "Aku juga mencarinya, tetapi teleponku saja tidak diangkat." Luna menghela napas berat, dia takut terjadi sesuatu dengan Amira."Apa dia diculik?" Alan memasang raut khawatir membuat Luna geli melihat wajahnya. "Yang benar saja kamu, Lan.""Atau dia dicu
"Untuk apa kamu ke sini?" Hari masih pagi, sinar matahari pun masih sembunyi-sembunyi untuk menampilkan kegagahannya. Alan menghela napas berat saat melihat Bram di depannya. Padahal sebelumnya dia telah berdoa agar dijauhkan dari hari buruk. Melihat Bram serasa dunianya saat ini menghitam.Bram pun menampakkan ketidaksukaannya terhadap Alan. Dua pria yang dulunya saling berteman baik menjadi musuh karena seorang wanita, ya...siapa lagi kalau bukan Amira wanita yang mereka sukai secara bersamaan. "Bukan urusan kamu." Bram membalas pertanyaan Alan dengan ogah-ogahan. Dua mobil mereka saling berhadapan, Alan dan Bram duduk di bagian depan mobil mereka dan sedang menunggu sesuatu. Alan menatap rumah kontrakan Amira, terlihat sangat kotor akibat debu-debu yang menempel di lantai. Bunga-bunga di halamannya pun sangat layu. Alan berpikir jauh bahwa Amira tidak pulang ke rumah ini. Lalu, di mana Amira? Paman, bibi, dan Luna pun tidak tahu di mana keberadaan Amira. "Tidak mungkin, dia...
"Aku tidak mau tahu, pokoknya harus dirawat."Suara yang sedikit lantang itu membuat banyak pasang mata memandang heran ke arah Luna. Bagaimana dia tidak khawatir jika sahabat satu-satunya pingsan dan terjatuh dari bis? Luna tidak ingin ada cedera serius pada Amira. Namun, Amira menentang keras keinginan Luna tersebut. Dia sadar sebelum sampai di rumah sakit. Luna menangis histeris, suaranya yang cempreng itu membangunkan Amira dari pingsannya. Bikin malu saja. Amira ingin sekali membekap mulut Luna, sayangnya tangan kirinya terpasang jarum infus sehingga tangannya terasa kebas dan sakit. "Aku bilang kalau aku baik-baik saja. Tidak ada luka-luka di tubuhku, kepalaku, atau wajahku." Amira meraba seluruh tubuhnya agar Luna percaya. Amira tidak ingin dirawat di tempat yang berbau obat-obatan ini. "Kamu itu sakit, AMIRA!" "Aku akan panggilkan dokter untuk memeriksamu secara menyeluruh. Kalau perlu kita lakukan saja CT Scan, tes MRI atau semacamnya lah."Amira menarik ujung kemeja Lun
Layaknya seorang ratu, semua kebutuhan Amira dipenuhi oleh Alan. Bahkan Amira tidak diperbolehkan turun dari tempat tidur. Amira menebalkan hatinya, dia hanya bersikap biasa-biasa saja padahal kedua pipinya beberapa kali bersemu merah. "Dia pintar sekali membuatku tersipu malu," ucapnya lirih saat Alan pergi dari kamar untuk mengambilkan Amira air minum.Pantas saja Amira sangat jatuh hati terhadap Alan, pasalnya pria itu sangat pintar mengambil hatinya. Hanya segelas air saja mampu membuat Amira jatuh cinta kembali kepada pria itu. Kata-katanya terlalu manis sampai Amira tidak bisa membedakan dunia nyata dan kehidupan dongeng. Kisah cintanya terlalu abu-abu untuk saat ini. "Kamu butuh apa lagi?" tanya Alan sembari menaruh gelas bening di atas nakas tempat tidur. Amira hanya menggelengkan kepala. Selepas minum obat kedua matanya sangat berat untuk terbuka. "Ya sudah kalau begitu tidur saja. Kamu harus banyak istirahat," ujar Alan lembut. Amira menurut, dia memejamkan kedua matany
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak