Beranda / Rumah Tangga / Aku Bukan Satu-Satunya / Tidak Menemukan Jawaban

Share

Tidak Menemukan Jawaban

Penulis: Rose Bloom
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-14 00:03:40

Tidak ada jawaban lebih tepatnya wanita tak dikenal itu mematikan ponselnya. Amira tidak bisa menghubungi wanita itu lagi. Dia sangat kecewa karena tidak bisa menemukan fakta tentang hubungan Alan dengan wanita itu. 

Alan segera merampas ponselnya sangat kasar dari tangan Amira. Tatapan hangat Alan entah menghilang ke mana, Amira tidak lagi diperlakukan lembut seperti sebelum kejadian ini terjadi. Alan berubah dalam waktu yang teramat singkat. 

"Apa kamu benar-benar selingkuh, Mas? Jelaskan padaku siapa wanita itu sebelum aku tahu sendiri dari orang lain," desak Amira tidak sabar. 

Bukannya menjawab, Alan memberikan Amira tatapan marah. Alan balik badan dan membiarkan istrinya dibuai penasaran. Pria itu menuju lemari dan mengambil sebuah jaket berwana hitam dari dalamnya. 

Amira mengerutkan kening, Alan memilih kabur dari pertanyaan Amira dan juga ingin menjauh dari masalah yang dibuat oleh pria itu sendiri. Amira menarik lengan Alan sampai-sampai pria itu bertatapan mata. 

"Mau ke mana, Mas?" tanya Amira dengan nada suaranya yang menggebu-gebu. 

"Mas, jawab pertanyaanku!" Amira menarik lengan Alan, yang diharapkan jawabannya hanya menepis tangan Amira sampai memerah. 

Alan berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun. Pundak Amira naik turun berusaha menetralkan pengap yang memenuhi dadanya. Amira luruh ke lantai, tangisnya ia biarkan terbuang meratapi kehidupan rumah tangga yang berusaha ia bangun seindah mungkin.

 Suara mesin mobil milik Alan terdengar. Kontan Amira bangkit dan berlari ke luar rumah untuk menahan Alan. Sayangnya, sebelum Amira sempat menahan sang suami, mobil Alan telah menghilang dari pandangan Amira.

Berjam-jam Amira menunggu Alan kembali ke rumah, sampai-sampai dirinya melupakan belum memasukkan sesuap makanan ke dalam perutnya. Amira tidak merasa lapar padahal tubuhnya mulai lemas tak bertenaga. 

Dia memikirkan sang suami. Entah di mana pria itu berada, bersama siapa saat ini, dan bagaimana keadaannya apakah serapuh Amira atau terlihat bahagia. Amira banyak berspekulasi sendiri saat ini. Banyak pikiran buruk yang mengaungi otaknya. Amira hanya bisa menangis dan mengharap Alan pulang ke rumah malam ini juga. 

Sayang seribu sayang hingga keesokan paginya Alan juga tak kunjung datang. Tak terasa Amira telah menunggu Alan lebih dari sepuluh jam hingga tertidur di atas sofa yang ada di ruang tamu. Amira meraup wajahnya kasar.

"Ada di mana kamu, Mas?" Amira mondar-mandir di tepi jendela, dia berusaha menelepon ponsel Alan tetapi nomornya tidak aktif. 

Pandangan Amira mendadak mengabur, kepalanya pening dan dia kehilangan pijakannya. Amira bertumpu pada dinding, mungkin karena perutnya kosong sejak kemarin sehingga membuat Amira tumbang seperti sekarang. 

Amira menuju dapur dan mencari makanan yang bisa ia makan sekarang juga. Roti dengan selai kacang menjadi santapan pertama dipagi hari ini.

Tiba-tiba Amira dikejutkan dengan ponselnya yang berdering nyaring. Dengan cepat angan Amira meraih ponsel, mungkin saja panggilan dari Alan. Tanpa melihat namanya terlebih dahulu, amira mendial ikon hijau untuk menjawab telepon. 

"Halo, Mas. Kamu di mana?" tanya Amira dengan nada terburu-buru. 

["Hah? Mas katamu? Ini aku, Luna."] Suara wanita di seberang telepon mengejutkan Amira. Amira kontan mendesah berat, dia berpikir bahwa panggilan tersebut dari suaminya.

"Maaf, aku tidak fokus," jawab Amira lemah. 

Sudah pasti Luna mengolokolok Amira yang teralu mencintai Alan. Terkadang sikap Amira tersebut membuat Luna cemburu karena Amira lebih perhatian terhadap Alan dari pada sahabatnya. Ya, statusnya sudah berubah, otomatis Amira akan mendahului Alan sebagai masa depannya. 

Tidak salah jika sebagai sahabat Luna cemburu terhadap Alan. Karena sebelum menikah, Amira lebih dekat dengan Luna dan saling bergantung satu sama lain. Setelah Amira menikah, Luna merasa kesepian.

["Mengapa kamu tidak bisa dihubungi sejak tadi malam?"] tanya Luna berterus terang. 

"Emm...." Amira mencoba mencari jawaban. "Aku menghabiskan hari libur bersama Mas Alan." Amira terkekeh kecil dengan kebohongan yang ia buat. Faktanya Amira betengkar dengan sang suami.

["Oh, sekarang hari Senin. Cepat bersiap ke kantor karena jam delapan akan ada rapat,"] ujar Luna justru membuat Amira terkejut. 

"Rapat?"

["Ya. Sampai jumpa di kantor."]

"Tunggu, tunggu. Rapat apa?"

Bip....

Panggilan terputus dan akhirnya Amira sangat penasaran dengan rapat yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Jika sudah urusan pekerjaan, Amira harus tepat waktu. Amira segera bangkit untuk bersiap pergi bekerja. 

***

Bunga-bunga di taman terlihat menyejukkan. Kelopak-kelopaknya bergoyang-goyang saat terhembus angin. Hati Amira menjadi damai saat melihat bunga bermekaran sangat indah. 

Amira termenung di bangku taman yang letaknya ada di roof top gedung kantor. Tempat ini selalu menjadi pelarian ketika Amira merasa penat. Sekarang juga taman ini menjadi tempat pelarian Amira setelah sekelabat pertengkaran dengan Alan melintas kembali di pikirannya. 

Amira memegangi ponsel dan berharap panggilannya terhubung ke ponsel Alan ataupun Alan terlebih dahulu menghubunginya. Namun, sampai detik ini pada jam makan siang ponsel Amira masih senyap.

"Huuuuffffttttt...."

Hembusan napas Amirapun menjadi sangat berat, dia berpikir kembali mungkin perbuatannya kemarin sangat keterlaluan sehingga membuat Alan marah besar. Amira berpikir ulang bisa saja dirinya yang salah. 

"Haruskah aku meminta maaf?" lirih Amira berbicara pada ponselnya. 

"Apa aku kirim pesan saja pada Mas Alan?" 

Monolognya sama sekali tak bisa membantu Amira memecahkan masalah. Amira membuka aplikasi pesan, disaat mengetik suatu kalimat ia menjadi ragu dan menghapusnya kembali. 

Masa bodo dengan harga dirinya, toh Amira mengirim pesan kepada Alan bukan kepada pria lain. Amira mengetikkan sesuatu di atas layar ponsel. Jari-jari Amira terlihat luwes saat mengetik pesan.

Tentu saja Amira mengatakan permintaan maaf atas sikapnya yang terlalu lancang memainkan ponel Alan tanpa seizin pria itu. Dan juga Amira meminta maaf karena telah berkata kasr terhadap Alan.

Klik. 

Satu ketukan berhasil mengirimkan isi hati Amira kepada suaminya. Amira sedikit lega, semoga saja pesan Amira ini menjadi bahan pertimbangan bagi Alan untuk pulang ke rumah. Setelah kembali Amira akan meminta maaf secara langsung kepada Alan. 

Lima menit bahkan sepuluh menit Amira menunggu, tetapi tidak ada balasan. Amira menggigiti kukunya karena gugup. Status nomor Alan masih online, tetapi pesan Amira tidak dibuka apalafgi dibaca. Amira menjadi risau, degup jantungnya mendadak berdetak tak karuan. 

"Apa aku keterlaluan tadi malam?" gumam Amira sedangkan suaranya nyaris gemetar. 

Tak sabar lagi, Amira menelepon ponsel suaminya itu. Pada dering ketiga panggilan diterima oleh Alan. Amira menghembuskan napas lega. Senyumnya mengembang karena Alan tidak mengabaikannya.

"Halo, Mas Alan. Amira minta maaf tentang kejadian kemarin. Mas kapan pulang? Amira akan minta maaf langsung saat Mas di rumah."

Amira mengernyitkan dahinya karena Aln tidak bersuara sedikitpun. Amira menengok layar ponsel yang masih tersambung ke ponsel Alan. 

"Halo, Mas Alan ada di mana?"

Rose Bloom

Halo manteman, welcome di cerita Rosie yang pertama ini yah. Semoga kalian suka dan ikuti terus cerita Amira dan Alan.

| 5
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (9)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
asli ini gambaran istri sah yg bodoh dan tolol dan tidak punya harga diri dan aku muakkk baca ceritamu thor yg selalu memojpkkan istri sah dengan kedunguannya apalagi ini istri dokter dan beke4ja lagi tapi dibikin tolol ama penulis.. ceritamu kog memuakkan ya
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
cukup sampai disini saja bacanya... tokohnya dungunya kebangetan
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
tu lh kau bodoh,,laki selingkuh masih kau yg minta maaf,,mati lh kau di pebodoh sama tu laki..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Menjadi Satu-Satunya

    "Kalau begitu izin membawa Amira untuk bertemu orang tua saya." Alan sangat canggung dan formal. Bahkan sampai membungkuk di depan ayah Amira. Alan dan Amira meninggalkan rumah paman dan bibi. Mereka segera menemui orang tua Alan untuk meminta restu. Setelah kepergian mereka, keheningan menyelimuti rumah paman dan bibi. Mereka berkelut dengan pikiran masing-masing. "Apa mungkin jika hubungan mereka diteruskan?" Bibi Hanum memecah konsentrasi mereka. Ayah, ibu, dan paman Amira memandangnya intens. "Apa kalian tidak khawatir?" Ya, Bibi Hanum yang sangat khawatir jika Amira dan Alan kembali bersama. Ada perasaan tidak ikhlas jika Amira yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri berbaikan dengan Alan dan keluarganya setelah Amira disakiti batinnya berkali-kali. "Mereka saling jatuh cinta," jawab Ayah Arif. "Jangan hanya karena cinta, coba pikirkan saat....""Bu, mereka sudah berjodoh. Mereka sudah ditakdirkan untuk bersama. Semesta pun merestui mereka untuk kembali bersama lagi, jika s

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Restu Keempat Orang Tua

    Alan sudah jauh lebih sehat. Butuh waktu tiga hari untuk dirawat di rumah sakit, dan juga atas ocehan Amira yang memaksa Alan untuk makan dan minum obat setiap harinya membuat pria itu lebih cepat pulih. Akhirnya hari ini Alan sudah diperbolehkan untuk pulang. Dokter juga manusia, dia bisa sakit dan lemah. Amira tidak memperbolehkan Alan untuk bekerja setelah ini sampai benar-benar tubuhnya pulih. Alan tidak membantah, dia sangat senang karena Amira sangat perhatian padanya. Bahkan selama sakit dia tidak membiarkan Amira jauh darinya, Alan bersikap manja melebihi anak kecil. Amira merapikan barang-barang Alan di kamar, lebih tepatnya di kamar yang ada di rumah mereka dulu tinggal bersama. Amira belum memutuskan untuk tinggal dan kembali dengan Alan. Selama di rumah sakit pun mereka belum mebahasnya lagi, Amira dan Alan fokus untuk penyembuhan. "Sayang," panggil Alan sedangkan Amira terus merapikan barang-barang tanpa menoleh kesumber suara. "Kamu bersiap ya, kita makan di luar." B

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Ternyata Bukan Akhir

    Drrrtttt.... Drrrttt....Getaran di ponsel Amira mengalihkan perhatiannya. Dia kesulitan mengambil ponsel karena sebelah tangannya ia gunakan untuk mendorong koper. Ada telepon masuk dari Sandi. Amira termenung sejenak, tidak biasanya Sandi meneleponnya jika bukan sesuatu yang sangat mendesak. Perlahan-lahan Amira menggeser panel hijau dari ponselnya. Suara Sandi terdengar sangat kecil, Amira tidak bisa mendengarnya karena suara mesin kereta yang terlalu bising. Amira mencoba mencari tempat yang lega, tetapi desakan dari penumpang membuatnya kesulitan bergerak. ["Halo Amira, apa kau mendengarku?"] ucap Sandi dari seberang telepon karena beberapa kali memanggil nama Amira tidak ada sahutan darinya." Aku tidak bisa mendengarmu, aku masih di stasiun di sini sangat ramai," balas Amira dengan nadanya yang keras. ["Bisakah kamu ke rumah sakit sekarang juga?"]"Apa? Tolong yang keras!"["Bisakan kamu ke rumah sakit sekarang? Dokter Alan membutuhkanmu."]Deg....Seketika jantung Amira men

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Perpisahan yang Memilukan

    "Kamu yakin akan pergi hari ini juga?"Bibi Hanum membantu Amira memasukkan barang-barang penting ke koper yang akan ia bawa ke desa. Amira hanya menganggukkan kepala, suasana hatinya sedang buruk. Apa yang dia harapkan tidak muncul juga hingga detik ini. Amira ikhlas jika kisah cintanya harus berakhir sekarang, lebih tepatnya benar-benar berakhir tanpa ada pemikiran kedua kalinya. Dia berhenti menunggu Alan dan memilih untuk pergi dari kota. Dia akan merasa nyaman jika tinggal dari desa, mungkin Amira bisa melupakan Alan jika jauh dari pria itu. "Kamu tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting, buang jauh-jauh pemikiran buruk. Sudah jangan berpikiran buruk atau yang lainnya, yang penting kamu dan dedek bayi sehat." Bibi Hanum mengatakan seperti itu agar membuat Amira tenang. Amira hanya terkekeh kecil mendengar bibinya yang begitu cerewet sejak kemarin. Dia khawatir Amira akan berlarut-larut sedih karena Alan tidak datang lagi ke rumah ini. "Apa sudah siap?" Paman Oki yang suda

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Mungkin Saja Menyerah?

    "Paman izinkan aku bertemu dengan Amira." Alan memohon bahkan hampir bersujud di kaki Paman Oki. Namun, Paman Oki mencegah Alan melakukannya. Sebagai suami Alan sangat khawatir dengan keadaan Amira apalagi saat ini istrinya sedang mengandung. Amira pasti membutuhkan Alan di sisinya. Sayangnya, setiap datang ke rumah paman Amira, mereka tidak mengizinkan Alan untuk bertemu walau hanya satu menit saja. Paman dan Bibi Amira selalu mengusir Alan, atau mengunci rumah dan tidak menemui Alan hingga dia sendiri pergi dari rumah itu. Tampak kekecewaan yang teramat besar dari paman dan bibi Amira. Tentu saja, siapa yang tidak kecewa saat seseorang yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri disakiti hatinya berulang kali. Alan mengakui kesalahannya, jika ia disuruh bersujud pun akan ia lakukan. Alan akan merendahkan dirinya untuk menebus segala kesalahan yang telah ia perbuat pada Amira."Pergilah! Jangan datang lagi ke sini, biarkan Amira hidup tenang," ucap Paman Oki memalingkan wajahnya

  • Aku Bukan Satu-Satunya   Kembalilah Dengannya

    "Amira... Amira... Tunggu dengarkan Mas dulu."Alan mengejar Amira yang baru saja turun dari mobil taxi. Hampir lima kali lebih Alan mengunjungi rumah paman dan bibi Amira, tetapi dia tidak pernah diizinkan untuk bertemu dengan Amira. Alan tidak menyerah, dia selalu datang ke rumah ini. Dan beruntungnya saat dia baru sampai, Amira pun juga baru datang entah dari mana. Alan menahan lengan Amira, wanitanya itu sama sekali tidak mau memandang Alan. Seolah tak sudi berurusan dengan Alan lagi. Alan hanya ingin membuktikan bahwa dirinya masih pria yang sama seperti awal pertama kali mereka bertemu. "Sayang, kita perbaiki lagi dari awal ya." Amira masih membelakangi Alan, tak kuasa menahan rindu Alan memeluk tubuh mungil Amira dari belakang. "Bukan kita yang harus diperbaiki, Mas. Tapi kamu sendiri yang harus diperbaiki." Amira berkata lantang, padahal dia berusaha mengontrol emosinya, sayangnya melihat Alan membuatnya muak. "Aku tahu, terus di sampingku, bimbing aku. Aku memang keterlal

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status