"Bisa-bisanya kamu selingkuh sama sahabatku, Erwin!” seru Ayunda dengan suara cukup keras.
Hati istri mana yang tidak sakit melihat sendiri dengan mata kepalanya saat sang suami tengah bermesraan dengan sahabatnya sendiri di kantor? Tubuh Ayunda bahkan sampai gemetaran karena tidak menyangka akan menyaksikan sendiri hal kotor ini. Dia pikir kedekatan keduanya selama ini sebatas sekretaris dan atasan saja. Siapa sangka, keduanya berkhianat? Di sisi lain, Erwin tampak tidak merasa bersalah. Pria itu bahkan menatap Ayunda sinis. "Cukup Ayunda! Nggak usah teriak-teriak!" ucap pria itu dengan suara pelan, tetapi penuh penekanan. Ayunda sontak tertawa kehilangan akal. "Aku udah berusaha jadi istri yang baik buat kamu, tapi apa yang kamu lakukan ke aku?" kecewa wanita itu. "Alah! Nggak usah mendramatisir keadaan, Ayunda atau kamu mau semua orang tahu bahwa anak itu adalah anak haram, hah?!" ucap Erwin sambil menunjuk perut buncit Ayunda, “kamu wanita murahan yang bahkan tak tahu ayah anakmu ada di mana, kan?” Deg! Ayunda terkesiap. Lima bulan pernikahan mereka, keduanya memang tidak satu kalipun melakukan hubungan suami istri. Bukan karena Ayunda menolak, tetapi Erwin yang merasa jijik padanya karena sudah mengandung anak dari pria lain. Padahal, suaminya itu jelas-jelas sudah tahu keadaannya dan meyakinkan bahwa dia memang ingin bertanggungjawab kala wanita itu tengah putus asa. Erwin yang memang selama ini mengejar Ayunda–bahkan berjanji merawat anak itu seperti anak kandungnya sendiri, hingga dia akhirnya luluh juga. Bahkan mencoba mencintai pria itu meski sulit. Tapi sekarang, pria ini memperlakukannya seperti sampah? Lantas bagaimana menjalani pernikahan yang sulit ini? "Bukankah sejak awal kamu sudah tahu keadaan aku? Justru kamu yang mengatakan siap menjadi ayah dari anak ini. Lalu kenapa—" "Waktu itu, aku khilaf kayanya. Mana mungkin ada yang sudi punya istri seperti seperti kamu, kan?” potong Erwin, tanpa peduli kata-katanya begitu kejam, “pokoknya, jangan sampai kamu bicara tentang tadi pada salah satu sahabatmu atau pada orang tuamu!” “Jika itu terjadi, maka mereka juga akan tahu tentang anak haram itu bukan anakku!" ancam Erwin lagi, "kau mau citra baik keluarga besarmu hancur? Belum lagi, betapa kecewanya mereka nanti?” Pria itu lalu tersenyum miring setelah merasa berhasil mengancam istri pajangannya itu. Ditinggalkannya Ayunda yang masih mengepalkan tangannya–menahan marah. Keluarga wanita itu memang tak ada yang tahu jika anaknya bukanlah anak Erwin, melainkan anak dari mantan kekasihnya yang pergi tanpa kabar! Air mata yang tertahan, akhirnya luruh juga di pipi putih Ayunda. Tak lama, wanita itu memutuskan pergi dari sana dan mengendarai mobilnya. Menenangkan diri meski pergi tanpa arah. Bahkan, angin yang berhembus kencang pun tak lagi terasa olehnya yang kini tanpa jaket. Sayangnya, kegundahan hati Ayunda tak kunjung reda, hingga dia pun memilih berjalan kaki. Lagi-lagi, tanpa arah dan tujuan yang jelas. Perasaannya begitu sakit. Dia ditinggal kekasihnya dalam keadaan hamil seorang diri dan dijanjikan pertanggungjawaban. Tapi, pria itu pergi tanpa kabar. Belum lagi, Ayunda akhirnya dinikahi oleh Erwin, tapi berakhir dikhianati dengan wanita yang notabenenya sahabatnya sendiri. Jika begini, mengapa suaminya itu tidak menikah dengan sahabatnya saja sejak awal? Sambil melangkahkan kakinya, Ayunda merasa semakin hancur. Kini dirinya mulai bertanya-tanya, apakah dia tidak layak dicintai? Lalu, bagaimana dengan anaknya nanti? Ayunda menghela napas. Merasa tak kuat lagi, dia pun akhirnya duduk di sisi jalanan sambil terus menangis keras berharap bisa meringankan sedikit beban. Namun, nasib sial sepertinya tidak bisa dilewatkan oleh Ayunda karena dia mendadak dihampiri oleh dua orang preman! "Kalian mau apa?" tanya Ayunda penuh rasa takut. “Hahaha….” Preman itu tertawa sambil menatap kalung di leher Ayunda. “Mau ini!” Srak! Tanpa kata, preman itu menarik kalung tersebut dengan sangat kuat sebelum kabur. Sayangnya, Ayunda langsung terdorong, hingga kepalanya pun membentur bahu jalan. Entah apa yang terjadi, Ayunda merasa tubuhnya terasa dingin. Kepala wanita itu juga memberat, sementara penglihatannya menggelap. “Anakku?” lirih Ayunda sebelum kesadarannya menghilang.Tere hanya diam, tatapan matanya ke arah luar tapi dia merasa kosong. Dunianya yang dulu begitu indah kini berubah menjadi gelap penuh luka. Dia juga bingung kenapa masih hidup sampai detik ini. Padahal dia sudah lelah dan ingin menyerah. Dimana letak kebahagiaan yang sesungguhnya? Adakah tiba saat itu nantinya? Kapan? Entahlah, tak ada yang dapat menjawab semua pertanyaannya tersebut. Ketika itu Zidan pun mulai menepikan mobilnya dan melihat Tere. "Kamu mau eskrim?" tanyanya. Tere pun bingung, dia ingin makan eskrim ataupun tidak. Makan saja kebingungan? "Ayo turun," kata Zidan. Zidan pun segera turun dan membuka pintu untuk Tere. Tapi Tere malah menggelengkan kepalanya, dia menolak untuk turun. "Kenapa?" "Aku malu, aku disini aja," katanya. "Kenapa harus malu?" "Aku disini aja," kata Tere lagi. "Tidak perlu malu, ada aku," ucap Zidan yang terlihat memaksanya. Terpaksa Tere pun ikut turun, sambil mencengkram bagian bawah piamanya dia pun berjal
Pagi ini tak ada drama yang terjadi di kamar mandi. Dia bisa keluar tanpa terkunci di dalam sana "Ayo makan." Tere pun segera memakannya semetara Zidan ada di dalam kamar mandi. Sambil mengunyah sarapannya dia menatap kunci yang terjatuh di lantai. Dengan perasaan was-was dia pun meraihnya, kemudian segera membuka pintu. Ketika pintu terbuka dia pun mulai melihat ke luar sana. Dengan perasaan cemas dia pun berjalan keluar. Dia mengedarkan pandangannya untuk memastikan tidak ada siapapun yang melihatnya. Ini kesempatan bagus untuk pergi. Tapi saat dia sedang melewati ruang keluarga dia pun malah bertemu dengan Ayunda. "Tere?" Ayunda terkejut melihat Tere yang keluar dari kamar. Begitu juga dengan Tere. "Aku bosan di kamar terus," ucapnya. "Tere, kamu mau kemana? Kamu mau pergi? Kamu tidak sayang sama Mama?" tanya Wina. Tere pun menggelengkan kepalanya dengan cepat karena panik. Maksudnya bukan tidak sayang, tapi bagaimana lagi dia ingin pergi dari sana t
"Lepas!" pinta Tere sambil berusaha untuk melepaskan diri. "Tidak apa, kau kedinginan kan?" tanya Zidan yang masih saja memeluk Tere dengan erat. "Aku mohon lepaskan," kata Tere lagi. Akhirnya Zidan pun memilih untuk menurut pada keinginan Tere agar tidak memperkeruh keadaan. Walaupun Tere terlihat kedinginan tapi entah kenapa dia menolak untuk dipeluk. Bahkan sesaat kemudian Tere pun bergerak turun dari ranjang. "Kenapa?" tanya Zidan bingung melihat sikap Tere. "Aku tidur di sofa aja," katanya. Kemudian segera merebahkan dirinya tak lupa juga menyelimuti tubuhnya. "Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Zidan lagi. Tere pun memilih diam, dia memilih untuk menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Rasanya sangat dingin sekali, dan sebenarnya ranjang lebih nyaman dari pada sofa tetapi tidak masalah. Dia lebih takut jika saja Zidan kembali menggila seperti malam itu. Dia takut jika itu terulang lagi. Bahkan Tere juga tak ingin hamil lagi, apa lagi dia sudah meras
Zidan kembali menutup pintu kamar, tak lupa menguncinya dan dia pun memasukkan kuncinya ke dalam saku celananya. Kali ini Tere melihatnya dengan jelas, pantas saja dia tidak bisa melarikan diri karena pintu terkunci dan ternyata Zidan yang menyimpanya. Namun, kali ini dia hanya diam saja. Dia masih terlalu terharu dengan perhatian Wina padanya. Kasih sayang Wina begitu tulus dan membuatnya menjadi bersemangat untuk bisa sembuh. Saat itu dia pun merasa mual dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Dia pun memuntahkan isi perutnya, selama menjalani pemulihan dia sering kali merasa mual. Tapi saat dia akan keluar tiba-tiba saja pintu tidak bisa dibuka dan bertepatan dengan lampu yang mati. Tere mulai menatap sekelilingnya, tapi yang ada hanya kegelapan saja. Dia pun berusaha untuk tenang, tapi tidak bisa, dia mulai merasa cemas dan dia takut dengan ruangan gelap dan sempit. Dia pun bersandar pada dinding dengan keringat dingin yang mulai mengguyur tubuhnya, dia mulai mera
Zidan memutar hasil rekaman video dimana Tere dan dokter barusan berbicara. Dia mengamati setiap yang dikatakan oleh Tere, jujur saja dia juga tak menyangka ternyata dirinya yang menyebabkan Tere menjadi seperti ini. Dia pun mulai merasa bersalah dan ingin memperbaiki semuanya. Mungkin awalnya dia hanya mendengar dari mulut orang lain, tapi kali ini dia mendengar dari mulut Tere sendiri. *** Kini Zidan menatap Tere yang duduk di sudut kamar sambil memeluk lututnya. Dia pun mendekati kemudian berjongkok. "Kamu duduk di ranjang ya, takutnya disini masuk angin," kata Zidan. Tere pun menggelengkan kepalanya, dia sangat tersiksa karena keadaannya sekarang. Tulangnya terasa sangat remuk, sulit untuk menggambarkannya. Yang jelas dia sangat tersiksa. "Aku bantu," Zidan pun segera mengangkatnya hingga kini berbaring di atas ranjang. Kemudian dia pun menyelimuti Tere yang meringkuk seperti bayi. "Hay, semuanya," seru Ayunda yang membawa makanan. Berikut Wina yang juga
Beberapa hari kemudian... Sekujur tubuh Tere semakin terasa dingin, dia menggigil hebat dan tulangnya terasa remuk. Rasa sakitnya jauh berkali-kali lipat dari sebelumnya. Dia merasa inilah penderitaan paling mengerikan, andaikan saja tak ada yang mengetahui mungkin kini dirinya masih memakainya. "Minum lagi obatnya agar meringankan rasa sakitnya," kata Zidan. Tere langsung membuka mulut dan menelannya, semakin hari rasanya semakin menyiksa. Dia berguling-guling di ranjang tanpa hentinya, kamar layaknya sebuah rumah yang hancur. Tere yang memporak-porandakan kamar tersebut. Beberapa hari ini dia terus berjuang untuk bisa pulih dari efek samping pemakaian obat terlarang. Zidan yang kini berdiri di depan pintu kamar tampak berbicara pada sang dokter. "Saya kira dia masih bisa pulih, pemakaian kurang lebih dua bulan masih dikatakan belum sebagai pemakai lama," terang sang dokter. "Apa ada cara untuk bisa memulihkan nya lebih cepat? Maksud saya mungkin pengobatan yang
"Tere," sapa Ayunda setelah Dokter keluar. Tere pun memilih untuk menyimpan wajahnya dibalik selimut. Dia malu karena merasa menjadi seseorang yang begitu rendah. "Kamu udah nyobain cumi buatan Mama belom?" tanya Ayunda seakan menganggap semuanya biasa saja. Tapi Tere masih memilih untuk diam. Ayunda pun tersenyum kemudian melempar tubuhnya ke atas ranjang. Dia benar-benar santai seakan tak ada masalah sama sekali. "Kamu harus makan lho, tadi tangga Mama sampai kena pisau waktu masak," lanjut Ayunda. Tere pun mulai mengangkat kepalanya mendengar apa yang dikatakan oleh Ayunda. "Makan gih, kasihan Mama kalau kamu nggak makan. Takutnya Mama sedih, kamu tahu kan gimana semangatnya Mama masak?" ucap Ayunda yang tak ada habisnya berusaha untuk membujuk sang sahabat agar mengisi perutnya. Ayunda pun meraih piring yang diletakkan Wina sebelumnya pada meja, kemudian memberikan pada Tere. "Minimal kamu makan dikit lah, biar Mama nggak terlalu sedih," ucap Ayunda lagi samb
Tok tok tok... Terdengar suara ketukan pintu, Zidan pun langsung bangkit dari ranjang untuk membukanya. "Tere udah bangun?" tanya Wina. "Udah, Ma," jawab Zidan. Wina pun masuk dan melihat Tere duduk di atas ranjang sambil memeluk lututnya. Tubuhnya terlihat bergetar hebat, dia kedinginan dan ini bukan karena demam biasa. Ini pengaruh obat terlarang yang dia konsumsi selama ini. Tubuhnya mulai mengalami penurunan kesehatan, dia merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Dia mulai ketakutan, berhalusinasi dan juga kesakitan. Memang ketika dia kembali menggunakan maka tubuhnya akan langsung segar, tapi kesegaran itu hanya sesaat. Sebenarnya dia sedang merusak dirinya dan akan mati konyol dibuatnya. Beruntung bisa diketahui oleh orang-orang disekitarnya, sehingga kini dia mulai mendapatkan penanganan yang serius dan tepat. Namun dia sudah kehilangan calon anaknya, merasa dia adalah pembunuh anaknya sendiri. Ini akan menjadi teror terburuk selama hidupnya. Buka
Setelah beberapa kali mencoba melarikan diri, akhirnya Zidan memutuskan untuk Tere pun dibawa pulang ke rumah, sebab jika di rumah Tere bisa merasa lebih nyaman. Mungkin jika di rumah sakit dia terkurung dan suasana yang begitu membosankan membuatnya semakin stres. "Aku mau pergi, tolong biarkan aku pergi!" serunya sambil terus bergerak sekuat tenaga untuk bisa melepaskan dirinya. Kini kedua tangannya terikat, begitu juga dengan kedua kakinya. Jika tidak dia akan terus berusaha untuk melarikan diri. "Saya permisi dulu," pamit sang dokter. "Dok, apakah tidak bisa diberikan suntik penenang?" tanya Zidan. "Saya tidak bisa membiarkan pasien tergantung pada suntik penenang, ada waktunya suntik penenang diberikan, dia harus bisa mengendalikan dirinya sendiri, ini adalah awal yang sulit tapi harus memulainya," ucap sang dokter. Zidan pun mengangguk lemah, dia mengerti dengan penjelasan sang dokter. Tapi dia juga kasihan pada Tere yang tak hentinya memberontak dengan keringa