Beberapa bulan lalu … keadaan Ayunda sedang tidak baik-baik saja.
Gadis itu mabuk berat setelah merayakan hari ulang tahun salah satu sahabatnya di sebuah apartemen. Sepertinya, ada yang sengaja menukar koktail tanpa alkohol miliknya dengan minuman yang seharusnya tak ia minum. "Ayunda…." Samar-samar, ia merasakan David–sahabat dan asisten kakaknya itu–sedang menepuk-nepuk pipinya. Pria itu memang ditugaskan untuk menjemputnya malam ini. Tentu, dia tak menolak karena Ayunda dan dirinya diam-diam menjalin hubungan. Ya, mereka terpaksa menyembunyikannya karena David terlahir dari keluarga sederhana, sementara keluarga Ayunda mencari calon menantu yang setara. Meski demikian, Ayunda berjanji akan membuka rahasia itu setelah lulus S2 di tahun depan! "Kak David, kok ganteng banget sih?" ucap Ayunda tanpa sadar. Tubuhnya yang panas seolah mendamba sentuhan David yang tampak terkesiap. Untungnya, pria itu berhasil mengendalikan diri. Setelah memastikan tidak ada yang melihat seperti apa keadaan Ayunda saat ini, dia pun hendak keluar dari kamar. Sayangnya, Ayunda menahannya. "Kak David, jangan pergi.” Dia bahkan memeluk David dan melumat bibir pria itu untuk pertama kali! "Ayunda, lepaskan. Jangan sampai ada yang melihat aku di sini," ucap David sambil berusaha untuk melepaskan dirinya. Hanya saja, pengaruh alkohol terlalu kuat. Ayunda kembali berdiri di atas ranjang kemudian memeluk David membuat langkah kaki pria itu pun harus tertahan kembali. Lagi-lagi Ayunda pun melingkarkan tangannya pada tengkuk lehernya. Seakan tak ingin David pergi untuk meninggalkan dirinya begitu saja. Kemudian tanpa sengaja Ayunda pun terjatuh yang tentunya membuat David ikut terjatuh karena tarikan Ayunda yang refleks. Otak David semakin tidak karuan saat terjatuh menimpa tubuh Ayunda. "Mereka udah ngapa-ngapain tadi sama pacarnya di sana," ucap Ayunda semakin tidak karuan, “masa aku peluk aja, gak boleh?” Tapi David tak perduli, dia pun terus berusaha untuk menguasai dirinya. "Ayunda, kamu akan menyesal–" Hanya saja, Ayunda justru kembali melumat bibir David tanpa ampun. Tangannya berkeliaran, hingga David kehilangan kontrol atas dirinya. Bagaimanapun dia adalah seorang pria dewasa dan normal! Hasrat yang telah menggebu karena ulah Ayunda yang memang ia cintai pun tak terbendung malam itu. *** “Akkh…” Pagi harinya Ayunda terbangun dengan kepala yang begitu pusing. Dia langsung memijat kepalanya yang terasa pusing dan menatap sekelilingnya, hingga menyadari kini tanpa sehelai benang pun! Kepingan-kepingan ingatan pun mulai bertebaran di kepalanya…. "Jadi ini nyata?" gumamnya, tak percaya. Ayunda pikir kejadian kemarin hanyalah mimpi! Jika saja Ayunda tahu itu nyata, dia tak akan mungkin menggoda David dengan brutalnya meskipun mereka berdua saling mencintai. Lalu di mana David? Toktoktok! Suara ketukan pintu kamar menyadarkan gadis itu. Cepat-cepat Ayunda pun membereskan pakaiannya yang berserakan di lantai, kemudian dia pun segera menuju kamar mandi. "Yunda?" panggil Wina. "Yunda lagi mandi, Ma," jawab Ayunda setengah berteriak dari dalam sana. "Kamu ngampus nggak hari ini?" "Iya, Ma," jawab Ayunda lagi. "Mama pinjam mobil kamu ya, Mama ada acara di kantor Papa. Kamu berangkat bareng David aja, mobil Mama di bengkel," ucap Wina lagi. "Iya, Ma." Tak ada pilihan lain. Ayunda pun harus pergi kuliah bersama dengan David. Kini keduanya berada di dalam mobil dalam diam. Jika biasanya Ayunda akan banyak bercerita namun tidak dengan kali ini. Dia duduk di samping David, tapi tatapannya terus ke luar dengan perasaan kacau. Cit! Ayunda terkesiap ketika David menepikan mobil dan mulai menatapnya. "Sayang," panggil David. Ayunda pun menoleh tapi air matanya juga ikut menetes dari pelupuk matanya, bibirnya begitu berat untuk berbicara setelah menyadari apa yang terjadi tadi malam. Kemudian David pun menariknya ke dalam pelukannya, berusaha untuk menenangkan hati Ayunda. "Aku akan tanggung jawab," kata David dengan yakin. Karena dia tahu apa yang kini tengah menjadi beban pikiran kekasihnya tersebut. "Kakak, janji?" tanya Ayunda dengan suara bergetar hebat. "Iya, Kakak sayang sama kamu. Kita akan menikah." David pun mengecup kening Ayunda. Pria itu tampak menyesal karena telah merenggut kesucian Ayunda sebelum waktunya. "Jangan sedih lagi, dalam waktu dekat ini keluarga Kakak akan datang ke rumah kamu." Ayunda akhirnya mengangguk. Dia hanya ingin menikah dengan David secepatnya apapun yang terjadi. Bahkan, wanita itu tidak lagi memikirkan apakah nantinya keluarganya akan sangat terkejut mendengar semuanya? Sayangnya, setelah mengucapkan janji tersebut, David tidak bisa dihubungi sama sekali! Bahkan, pria itu tidak memberitahu padanya kemana dia pergi. Ayunda cemas. Dia pun memutuskan untuk menemui Kakaknya. Mungkin, dia tahu ke mana David pergi, kan? "Kak," panggil Ayunda sambil berjalan masuk ke ruang kerja sang Kakak. "Apa?" tanya Zidan bingung dengan keberadaan sang adik. Ayunda pun tampak ragu untuk mengutarakan tujuannya. "Hey, kalau mau melamun pergi sana!" kesal Zidan karena sang adik tak juga bersuara. "Kamu mau ngapain ke sini?" "Kak David dimana ya, Kak?" akhirnya setelah dengan susah payahnya dia pun berhasil mengutarakan pertanyaan. "David?" tanya Zidan lagi seakan penuh rasa penasaran. Selama ini, tidak pernah satu kali pun Ayunda bertanya tentang David. Kenapa tiba-tiba…?Ting! Terdengar suara ponsel, tapi bukan suara ponselnya. Seketika itu dia pun teringat akan ponsel Tere yang dia simpan pada laci mejanya tersebut. Ternyata benar, ada sebuah pesan masuk. Zidan pun membukanya dan melihat isi pesannya. [Tere, kamu dimana sih? Aku kangen tahu] Keysa. [Tere, serius nggak sih kamu istrinya Pak Zidan?] Keysa. [Tere, ketemu yuk]Keysa. Zidan pun memilih untuk mengabaikan perasa tersebar, bahkan dia tidak mengijinkan Tere berteman dengan Keysa lagi karena takut kembali terjerumus. Zidan pun mulai membuka bagian galeri foto dan dia menatap ada banyak gambar wajah Tere di sana. Semakin jauh semakin melihat banyak wajah, termasuk wajah Ayunda. Tapi Zidan juga melihat ada banyak foto Tere dengan menggunakan pakaian seksi berpose layaknya model. Zidan semakin penasaran, tapi benar saja ada banyak sekali gambar seksi berpose. Zidan bingung apakah Tere adalah wanita nakal? "Tapi waktu itu dia masih perawan," gumamnya penuh tanya. Zidan s
Zidan mulai menatap foto yang terpajang pada dinding, disana ada foto Tere dan mendiang sang Mama. Kemudian ada foto tiga bersahabat, Tere, Ayunda dan Lisa. "Kayaknya ini diturunin aja deh," katanya sambil menarik kursi meja rias untuk dia naiki. Sepertinya Tere tidak ingin memajang foto dengan wajah salah satu sahabatnya yang seorang pengkhianat. Dengan tidak sabar Tere pun menaiki kursi dan akhirnya kehilangan keseimbangannya. "Aaaaa!" serunya sambil memegang foto di tangannya setelah berhasil dia ambil. "Tere," dengan cepat Zidan pun menahannya dan ternyata dia memeluk Tere, sialnya justru muka Zidan mengenai gundukan besar Tere. "Maaf, Mas, Tere nggak sengaja. Kayaknya kursinya udah nggak bagus," kata Tere sambil melepaskan dirinya. Zidan pun mengangguk sambil mengusap wajahnya. Mungkin tidak menyadari, tapi apa yang dirasakan sudah terlalu menegang. "Mas, nggak marah sama Tere kan?" tanya Tere memastikan. Mungkin dia begitu bahagia hingga jadi lebih banyak b
Seperti kemarin, hari ini pun Tere harus duduk diam di sofa sambil memainkan ponselnya. Tidak ada yang menarik untuknya, tapi dia hanya diam saja. Hari-harinya sangat melelahkan sekali karena terasa hampa.Tujuan hidup tidak ada, menjalani dengan kehampaan dan hidup dengan orang yang tidak dia inginkan.Menyedihkan.Tere sudah putus asa, menurutnya tak ada lagi cahaya kebahagiaan untuk dirinya selamanya akan terkurung seperti ini. "Selamat pagi, Bos." Zidan pun menatap arah pintu dimana ada Reza di sana. Begitu juga dengan Tere. Reza yang memilih aman pun tidak menatap Tere sama sekali. Dia hanya fokus menatap sang Bos. Tapi Zidan yang sejenak berpikir keras jika mungkin Tere masih memiliki perasaan pada Reza. Tidak bisa dibiarkan.Reza pernah dicintai oleh Tere? Dia juga harus bisa, jika tidak hingga harga dirinya dihadapan Reza. "Bos, saya hanya ingin melaporkan tentang rumah nyonya Miska," kata Reza yang mengutarakan tujuannya. Tere yang semula sudah kembali m
Benar saja saat malam harinya Zidan tidur di kamar, bahkan dia tidur lebih awal dengan alasan lelah. Padahal Tere ingin tidur dengan Wina. "Ma, Tere tidur di kamar tamu aja ya," pintanya pada Wina. "Kok di kamar tamu?" Tere tidak bisa mengungkapkan bahwa dirinya takut tidur satu ranjang dengan Zidan, dia takut peristiwa itu terulang lagi. Dia takut jika hamil lagi. "Sekarang kamu tidur sana, sebenarnya Papa sedang sakit. Jadi, Mama juga was-was jika tidak menjaganya," terang Wina. Tere pun merasa tidak enak hati mendengar ucapan Wina. "Ya udah, Mama balik ke kamar aja, Tere minta maaf ya, Ma." "Tidak perlu minta maaf, ingat! Kamu anak Mama." Tere pun mengangguk, dia sangat menyayangi Wina. Setelah Wina pergi kini dia pun menatap ranjang dimana ada Zidan di sana. Kemudian dia pun memilih untuk duduk di sisi lain. Dia masih menimbang-nimbang tidur di samping Zidan atau tidak. Sedangkan sofa sudah dipindahkan. Hingga Sesaat kemudian Zidan pun bangun, dia duduk
"Kita kembali ke kantor ya?" kata Zidan dengan penuh harap. Tere pun menatapnya dengan tatapan nanar, dia ingin di rumah saja tapi bisakah Zidan mengerti. "Yuk," Zidan pun segera meraih tangannya agar segera pergi. "Aku di sini aja, pengen istirahat," Tere pun mencoba untuk menolak. "Ayolah, temani Mas ya," Zidan sedikit memaksa karena tidak bisa meninggalkan Tere sendiri. Mungkin di rumah tersebut ada banyak orang, tapi pasti Tere lebih memilih untuk berada di kamar dan sudah pasti dia hanya sendiri. Zidan takut Tere mencoba mengakhiri hidupnya lagi, Tere sudah putus asa. Jalan hidupnya seperti buntu, dia benar-benar tidak ingin melanjutkan hidupnya lagi. Sudah berulangkali dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya tapi masih bisa dicegah. "Ayo," kata Zidan lagi yang tidak bisa mengambil resiko. Dengan terpaksa Tere pun kembali mengikuti Zidan, meskipun rasanya sangat lelah. Dimobil dia hanya diam, begitupun juga saat kembali ke kantor. Dia hanya diam sambil duduk di
"Mas Zidan mode cemburu," celetuk Ayunda yang sudah berada di kamar sang Kakak. Bahkan Zidan juga baru menyadari, tapi tentunya Ayunda bisa masuk dengan mudah karena pintu masih terbuka lebar. Zidan pun segera melepas pelukannya dan dia mendekati sang adik, tanpa bicara dia mendorong sang adik untuk keluar dari kamarnya. "Cemburu tanda apa? Marah tanda apa? Kalau curiga itu karna.....nananaaaaaa......" sambil ditarik Ayunda mengejek Zidan sambil bernyanyi dan itu semakin membuat Zidan kesal bukan main. Setelah itu pintu pun terkunci, Zidan kembali menghampiri Tere yang kini masih berdiri di tempatnya dengan punggung yang bergetar. "Tere, bisa kan kamu maafin, Mas? Mas, nggak marah," kata Zidan lagi. "Aku udah cape hidup, kayaknya aku hidup cuma nyusahin orang aja. Hari ini Reza orang yang nggak bersalah sama sekali karena aku kehilangan pekerjaannya," jawab Tere. "Dia bersalah." "Dimana salahnya? Terlihat dia sangat membutuhkan pekerjaannya. Kamu ceraikan saja aku, aku
Ting. Zidan pun tiba di lobi, dia pun mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Tere. Ternyata matanya melihat orang tersebut yang sedang setengah berlari keluar dari lobi. Dengan cepat Zidan pun mengejarnya dan akhirnya dia pun berhasil meraih tangan Tere. "Kamu mau kemana?" tanya Zidan. Meskipun tangan Tere berusaha untuk lepas tapi Zidan tetap memegangnya dengan erat. "Aku capek, aku nggak ngerti lagi sama kamu. Aku udah nyerah, kayaknya aku mati aja," jawaban sambil menangis. "Kamu bicara apa? Aku minta maaf," Zidan terus berusaha untuk meredam emosi Tere. "Aku cape." "Aku minta maaf, kita balik ke dalam ya. Nggak enak dilihat sama orang." Tere pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Aku mau pulang, dan aku bisa pulang sendiri," ucapnya. "Tere, biar Mas antar." Zidan tak lagi melepaskan tangan Tere, dia tak mau Tere pulang sendiri. Zidan yakin jika dibiarkan dia tidak akan pulang ke rumah. Bahkan sepanjang perjalanan menuju rumah pun Tere ter
Zidan terus menatap wajah Tere dengan tajam, dia tak sadar dirinya sedang menahan rasa marah yang begitu besar. Dia pun berjalan ke arah Tere dengan kedua tangannya di dalam sakunya. "Apa yang dikatakan oleh Ayunda benar?" tanyanya. Tere pun mendongkak menatapnya, tapi tak mengerti kenapa Zidan bertanya hal demikian. "JAWAB!" Katanya lagi dengan suara yang meninggi. Saat itu Tere pun tersentak mendengarnya dan dia pun cepat-cepat berdiri karena ketakutan. Zidan pun mulai sadar dengan ucapannya barusan. Zidan menarik napas dalam-dalam setelah menghembus dengan perlahan. Dia harus bisa menahan dirinya, jangan sampai emosinya tak terkendali. Kenapa dia lupa dengan keadaan Tere saat ini? Padahal Tere sudah tidak begitu ketakutan lagi saat berdekatan dengannya. Kini wajah gadis itu terlihat memucat dengan mata yang berkaca-kaca. "Maaf," kata Zidan dengan nada suara yang kini lebih pelan. Kemudian mengambil mineral dan diberikan pada Tere. Dengan tangan bergetar
Zidan pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali, dia sedang tegang karena tak ingin malu pada Tere jika ketahuan berbohong. "Kemari lah," katanya menuju ranjang. Degh! Tere pun menggelengkan kepalanya karena takut. "Naik ke sini agar bisa memperbaiki dasi ini dengan benar," terang Zidan agar Tere tidak berpikir yang lainnya. Tere pun merasa lega, awalnya mengira bahwa Zidan akan melakukan hal sebelumnya. Ya, hal layaknya suami istri. Untuk satu itu dia tidak siap. Dia masih takut, Zidan kasar, selain itu dia juga takut hamil lagi, lagi-lagi dengan alasan yang sama. Entah sampai kapan dia akan seperti ini, tapi sungguh semuanya membuatnya merasa semakin was-was. "Tere," panggil Zidan. Tere pun mengangguk kemudian perlahan dia pun berdiri di atas ranjang dan kini dia yang lebih tinggi. Tere yang sedikit berjongkok membuat posisinya terlihat lebih condong. Tapi apa yang terjadi? Zidan malah memikirkan hal lain. Ya, dia memikirkan dada Tere yang sangat besar