Tere merebahkan dirinya pada ranjang, ucapan Zidan masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dia bahkan sangat sulit untuk memejamkan matanya seakan Zidan kembali datang dan meminta haknya. Andaikan saja Tere belum merasakan sakitnya malam itu, mungkin saja kini dia tidak akan trauma seperti ini. Andai saja malam itu Zidan tidak menggila mungkin Tere dengan suka rela memberikan dirinya. Tetapi kini dia sendiri bingung bagaimana caranya bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Clek! Gagang pintu bergerak dan Zidan pun masuk. Tere pun segera memejamkan matanya berpura-pura tidur. Tapi sepertinya Zidan tahu. "Tere, Mas mau keluar kamu mau ikut nggak?" tanya Zidan. Tere masih memejamkan matanya seakan tak mendengar apa yang dikatakan oleh Zidan. Akhirnya Zidan pun mencondongkan tubuhnya pada Tere yang berbaring miring di ranjang. Memastikan apakah benar gadis itu sudah terlelap, tujuannya adalah ingin menggerakkan tangan didepan wajah Tere. Tapi Tere yang merasa panik pu
Setelah mendengar ucapan Zidan kini Tere merasa tidak baik-baik saja. Dia sangat tidak menyangka jika Zidan akan membicarakan hal tersebut. Lalu bagaimana caranya menjelaskan bahwa dirinya tidak menginginkan itu terjadi lagi. Zidan seperti kesetanan saat merenggut kesuciannya, lalu bagaimana jika itu terjadi setiap saat menyentuhnya? Itu adalah sebuah kenyataan yang teramat sangat mengerikan. Belum lagi dia takut hamil lagi, pun Zidan selalu membentaknya. Tere takut kembali merasakan semua itu. Padahal diawal pernikahan dia sangat siap dan suka rela memberikan dirinya pada Zidan meskipun pernikahan mereka karena sebuah kesalahpahaman. Tapi tidak lagi setelah malam itu, baginya bercinta tak seindah yang dia bayangkan. "Tere," panggil Zidan. Zidan tahu Tere tengah larut dalam pikirannya sendiri setelah mendengar apa yang dia katakan barusan. Akan tetapi Zidan juga tidak bisa menunggu lebih lama karena dia adalah lelaki normal, sekaligus rumah tangga mereka harus di
Ting! Terdengar suara ponsel, tapi bukan suara ponselnya. Seketika itu dia pun teringat akan ponsel Tere yang dia simpan pada laci mejanya tersebut. Ternyata benar, ada sebuah pesan masuk. Zidan pun membukanya dan melihat isi pesannya. [Tere, kamu dimana sih? Aku kangen tahu] Keysa. [Tere, serius nggak sih kamu istrinya Pak Zidan?] Keysa. [Tere, ketemu yuk]Keysa. Zidan pun memilih untuk mengabaikan perasa tersebar, bahkan dia tidak mengijinkan Tere berteman dengan Keysa lagi karena takut kembali terjerumus. Zidan pun mulai membuka bagian galeri foto dan dia menatap ada banyak gambar wajah Tere di sana. Semakin jauh semakin melihat banyak wajah, termasuk wajah Ayunda. Tapi Zidan juga melihat ada banyak foto Tere dengan menggunakan pakaian seksi berpose layaknya model. Zidan semakin penasaran, tapi benar saja ada banyak sekali gambar seksi berpose. Zidan bingung apakah Tere adalah wanita nakal? "Tapi waktu itu dia masih perawan," gumamnya penuh tanya. Zidan s
Zidan mulai menatap foto yang terpajang pada dinding, disana ada foto Tere dan mendiang sang Mama. Kemudian ada foto tiga bersahabat, Tere, Ayunda dan Lisa. "Kayaknya ini diturunin aja deh," katanya sambil menarik kursi meja rias untuk dia naiki. Sepertinya Tere tidak ingin memajang foto dengan wajah salah satu sahabatnya yang seorang pengkhianat. Dengan tidak sabar Tere pun menaiki kursi dan akhirnya kehilangan keseimbangannya. "Aaaaa!" serunya sambil memegang foto di tangannya setelah berhasil dia ambil. "Tere," dengan cepat Zidan pun menahannya dan ternyata dia memeluk Tere, sialnya justru muka Zidan mengenai gundukan besar Tere. "Maaf, Mas, Tere nggak sengaja. Kayaknya kursinya udah nggak bagus," kata Tere sambil melepaskan dirinya. Zidan pun mengangguk sambil mengusap wajahnya. Mungkin tidak menyadari, tapi apa yang dirasakan sudah terlalu menegang. "Mas, nggak marah sama Tere kan?" tanya Tere memastikan. Mungkin dia begitu bahagia hingga jadi lebih banyak b
Seperti kemarin, hari ini pun Tere harus duduk diam di sofa sambil memainkan ponselnya. Tidak ada yang menarik untuknya, tapi dia hanya diam saja. Hari-harinya sangat melelahkan sekali karena terasa hampa.Tujuan hidup tidak ada, menjalani dengan kehampaan dan hidup dengan orang yang tidak dia inginkan.Menyedihkan.Tere sudah putus asa, menurutnya tak ada lagi cahaya kebahagiaan untuk dirinya selamanya akan terkurung seperti ini. "Selamat pagi, Bos." Zidan pun menatap arah pintu dimana ada Reza di sana. Begitu juga dengan Tere. Reza yang memilih aman pun tidak menatap Tere sama sekali. Dia hanya fokus menatap sang Bos. Tapi Zidan yang sejenak berpikir keras jika mungkin Tere masih memiliki perasaan pada Reza. Tidak bisa dibiarkan.Reza pernah dicintai oleh Tere? Dia juga harus bisa, jika tidak hingga harga dirinya dihadapan Reza. "Bos, saya hanya ingin melaporkan tentang rumah nyonya Miska," kata Reza yang mengutarakan tujuannya. Tere yang semula sudah kembali m
Benar saja saat malam harinya Zidan tidur di kamar, bahkan dia tidur lebih awal dengan alasan lelah. Padahal Tere ingin tidur dengan Wina. "Ma, Tere tidur di kamar tamu aja ya," pintanya pada Wina. "Kok di kamar tamu?" Tere tidak bisa mengungkapkan bahwa dirinya takut tidur satu ranjang dengan Zidan, dia takut peristiwa itu terulang lagi. Dia takut jika hamil lagi. "Sekarang kamu tidur sana, sebenarnya Papa sedang sakit. Jadi, Mama juga was-was jika tidak menjaganya," terang Wina. Tere pun merasa tidak enak hati mendengar ucapan Wina. "Ya udah, Mama balik ke kamar aja, Tere minta maaf ya, Ma." "Tidak perlu minta maaf, ingat! Kamu anak Mama." Tere pun mengangguk, dia sangat menyayangi Wina. Setelah Wina pergi kini dia pun menatap ranjang dimana ada Zidan di sana. Kemudian dia pun memilih untuk duduk di sisi lain. Dia masih menimbang-nimbang tidur di samping Zidan atau tidak. Sedangkan sofa sudah dipindahkan. Hingga Sesaat kemudian Zidan pun bangun, dia duduk
"Kita kembali ke kantor ya?" kata Zidan dengan penuh harap. Tere pun menatapnya dengan tatapan nanar, dia ingin di rumah saja tapi bisakah Zidan mengerti. "Yuk," Zidan pun segera meraih tangannya agar segera pergi. "Aku di sini aja, pengen istirahat," Tere pun mencoba untuk menolak. "Ayolah, temani Mas ya," Zidan sedikit memaksa karena tidak bisa meninggalkan Tere sendiri. Mungkin di rumah tersebut ada banyak orang, tapi pasti Tere lebih memilih untuk berada di kamar dan sudah pasti dia hanya sendiri. Zidan takut Tere mencoba mengakhiri hidupnya lagi, Tere sudah putus asa. Jalan hidupnya seperti buntu, dia benar-benar tidak ingin melanjutkan hidupnya lagi. Sudah berulangkali dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya tapi masih bisa dicegah. "Ayo," kata Zidan lagi yang tidak bisa mengambil resiko. Dengan terpaksa Tere pun kembali mengikuti Zidan, meskipun rasanya sangat lelah. Dimobil dia hanya diam, begitupun juga saat kembali ke kantor. Dia hanya diam sambil duduk di
"Mas Zidan mode cemburu," celetuk Ayunda yang sudah berada di kamar sang Kakak. Bahkan Zidan juga baru menyadari, tapi tentunya Ayunda bisa masuk dengan mudah karena pintu masih terbuka lebar. Zidan pun segera melepas pelukannya dan dia mendekati sang adik, tanpa bicara dia mendorong sang adik untuk keluar dari kamarnya. "Cemburu tanda apa? Marah tanda apa? Kalau curiga itu karna.....nananaaaaaa......" sambil ditarik Ayunda mengejek Zidan sambil bernyanyi dan itu semakin membuat Zidan kesal bukan main. Setelah itu pintu pun terkunci, Zidan kembali menghampiri Tere yang kini masih berdiri di tempatnya dengan punggung yang bergetar. "Tere, bisa kan kamu maafin, Mas? Mas, nggak marah," kata Zidan lagi. "Aku udah cape hidup, kayaknya aku hidup cuma nyusahin orang aja. Hari ini Reza orang yang nggak bersalah sama sekali karena aku kehilangan pekerjaannya," jawab Tere. "Dia bersalah." "Dimana salahnya? Terlihat dia sangat membutuhkan pekerjaannya. Kamu ceraikan saja aku, aku
Ting. Zidan pun tiba di lobi, dia pun mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Tere. Ternyata matanya melihat orang tersebut yang sedang setengah berlari keluar dari lobi. Dengan cepat Zidan pun mengejarnya dan akhirnya dia pun berhasil meraih tangan Tere. "Kamu mau kemana?" tanya Zidan. Meskipun tangan Tere berusaha untuk lepas tapi Zidan tetap memegangnya dengan erat. "Aku capek, aku nggak ngerti lagi sama kamu. Aku udah nyerah, kayaknya aku mati aja," jawaban sambil menangis. "Kamu bicara apa? Aku minta maaf," Zidan terus berusaha untuk meredam emosi Tere. "Aku cape." "Aku minta maaf, kita balik ke dalam ya. Nggak enak dilihat sama orang." Tere pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Aku mau pulang, dan aku bisa pulang sendiri," ucapnya. "Tere, biar Mas antar." Zidan tak lagi melepaskan tangan Tere, dia tak mau Tere pulang sendiri. Zidan yakin jika dibiarkan dia tidak akan pulang ke rumah. Bahkan sepanjang perjalanan menuju rumah pun Tere ter