Share

Bantuan Tidak Terduga

"Alisa, kamu kenapa?" tanya Irna dengan wajah panik saat melihat adiknya datang dengan penampilan yang kacau balau. Rambut acak-acakan, mata sembab, dan jangan lupakan daster kumal yang dikenakannya. Entah baju itu sudah berapa lama dibelinya.

Irna pangling. Tampilan Alisa sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan dulu. Adiknya itu selalu wangi dan rapi, serta berpenampilan menarik. Jadi, wajar saja jika Rahman yang tampan pun bertekuk lutut kepadanya.

"M-mbak Ir-na," ucap Alisa terbata. Tidak menyangka jika pertemuan pertamanya dengan sang Kakak setelah menikah dalam keadaan yang menyedihkan seperti itu.

Alisa mengusap kasar matanya, lalu menunduk memperhatikan daster yang dikenakannya. Tampak beberapa lubang kecil di sana. Ditambah lagi aroma tidak sedap dari tubuhnya setelah berkeringat seharian.

Irna melangkah cepat menghampiri sang Adik. "Kamu habis nangis? Suamimu mana?"

Alisa tidak mampu berkata apa pun. Tenggorokannya tercekat. Terlalu sulit mengeluarkan alasan yang dipikirkan otaknya.

"Hm, anu ... itu ...."

Irna menuntun Alisa untuk duduk di sofa. Dipandanginya adik satu-satunya itu dengan intens. Tidak ada lagi keceriaan yang biasa setia di wajah adiknya. Wajah kuyu itu menandakan betapa berat kehidupan yang dijalaninya selama pernikahan.

"Kamu habis nangis?" tanya Irna kembali. Satu tangannya terulur dan mengusap lembut puncak kepala adiknya. Kebiasaan yang selalu dilakukannya dulu, ketika mereka masih tinggal bersama.

Menggigiti bibir bagian bawahnya, Alisa menggelengkan kepala. Tidak lupa mengulas senyuman untuk menyamarkan kesedihannya. Alisa tidak akan mengumbar kesedihannya dan berusaha terlihat baik-baik saja.

Namun, Irna bukanlah orang lain yang baru bertemu dengan Alisa. Dia telah menghabiskan waktu lebih dari sepuluh tahun bersama. Sangat tahu jika adiknya adalah tipe orang yang akan menyembunyikan kesedihan serapat mungkin. Irna pun hanya menganggukkan kepala seolah-olah mengerti alasan itu. Meski sebenarnya tidak demikian.

"Suamimu mana?" tanya Irna melongok ke sana ke mari mencari sosok Rahman yang tidak dilihatnya semenjak menginjakkan kaki di rumah itu.

"Mbak, tumben mampir. Lagi ada perlu di sekitar sini, ya?" balas Alisa mencoba mengalihkan pembicaraan.

Alih-alih menjawab pertanyaan adiknya, Irna justru memandang lekat adiknya itu. Lalu, memeluk dan mengusap lembut punggungnya dan berkata, "kamu baik-baik aja, 'kan, Lis? Kamu bahagia, 'kan, dengan pilihanmu?"

Seketika pertahanan Alisa runtuh. Tembok tinggi yang dibangunnya roboh seketika. Ya, selemah itu pertahanan wanita tersebut saat ditanya tentang keadaannya. Namun, dengan secepat kilat diusapnya tetesan bening yang lolos dari kelopak matanya itu.

Alisa hanya mengangguk mengiyakan karena jika berbicara sekarang, dia yakin pasti tidak akan sanggup.

"Aku senang kalau kamu bahagia, Lis. Bapak dan ibu juga pasti senang mendengarnya. Mereka kangen kamu, Lis," imbuh Irna saat melepaskan pelukannya.

Alisa menampilkan senyum getir. "Apa benar, Mbak? Bukannya mereka marah karena aku enggak nurutin permintaan mereka dan memilih mengejar cintaku? Bukannya mereka enggak sayang lagi sama aku?"

Irna menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Itu semua enggak benar, Lis. Bapak cuma mau kamu selesaikan sekolahmu dulu. Sedangkan ibu, beliau enggak mau kamu ngerasain apa yang dulu dia rasain," bantahnya penuh keyakinan.

Ya, Irna yakin jika semua orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, tidak terkecuali bapak dan ibunya. Dan, apa yang dipikirkan oleh Alisa adalah tidak benar.

"Aku malu sama Bapak dan Ibu. Aku takut, aku berdosa sama mereka."

Tatapan Alisa lurus ke depan. Menerawang jauh, kembali pada ingatan lampau. Tentang bagaimana dia bersikeras untuk menikah dan melampiaskan kemarahan kepada ibunya. Tentang bagaimana sang Ibu sangat marah dan menamparnya untuk pertama kali dalam hidupnya.

"Ibu dan Bapak kangen kamu, Lis. Kalau kamu senggang, kamu jenguklah mereka. Belakangan ini kondisi Ibu menurun. Sering sakit-sakitan."

Alisa mengembuskan napas, lalu tersenyum samar. Lagi-lagi dia hanya bisa menganggukkan kepala atas perkataan kakaknya.

"Nanti, ya, Mbak. Kalau Ibu, Bapak, dan aku sudah siap," lirih Alisa hampir tidak kedengaran.

Irna kembali memeluk adiknya. Sesaat kemudian meminta izin untuk menimang keponakannya yang lucu dan tampan. Wajahnya perpaduan antara Rahman dan Alisa. Membuat bayi itu tampak tampan sekaligus cantik.

"Halo anak ganteng. Ih, lucu banget, sih, kamu. Aku tante Irna, kakaknya mama kamu," ucap Irna dengan nada dibuat seperti suara anak kecil.

Alisa menatapi interaksi kakak dan anaknya itu dengan intens. Seperti itu saja sudah membuatnya senang bukan main.

"Aduh, aku sampai lupa bikin minum." Alisa menepuk jidat, "tunggu, ya, Mbak."

"Enggak usah, Lis. Mbak enggak lama, kok. Cuma mampir sebentar aja," sergah Irna mencekal lengan adiknya dengan pelan.

Mereka lantas kembali bertukar cerita. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Irna pamit pulang setelah melepaskan rasa rindu yang membuncah. Dia menyerahkan Arka setelah menciumi pipinya dengan gemas.

"Nanti aku main ke sini lagi, ya. Kalau ada apa-apa, jangan ragu buat hubungin aku," ucap Irna mencoba meyakinkan Alisa untuk berbagi suka duka dengannya. Seperti dahulu.

"Iya, Mbak," balas Alisa singkat. Meski belum yakin jika nanti akan menghubungi kakaknya itu.

"Ingat, kamu punya Mbak. Jadi, jangan pendam semuanya sendiri. Mengerti?"

Tersenyum simpul, Alisa mencubit hidung kakaknya. "Iya, Mbak. Bawel banget, sih."

Irna turut tersenyum. Sejak kedatangannya, adiknya itu belum tersenyum senang sama sekali. Dia tahu jika Alisa sedang tidak baik-baik saja. Namun, dia tidak ingin mendesak untuk menceritakan semua. Irna akan menunggu Alisa untuk menceritakannya sendiri saat wanita itu telah siap.

"Enggak usah, Mbak!" tolak Alisa saat Irna menyodorkan sebuah amplop putih berukuran sedang.

"Ini bukan untuk kamu, Lis. Ini buat Arka. Aku, kan, baru pertama ketemu sama dia. Dih, pede banget kamu," seloroh Irna menyelipkan amplop itu di sela tangan adiknya.

"Tapi–"

"Buat beli popok sama susu. Rejeki jangan ditolak, Lis. Nanti Tuhan marah, loh," sela Irna memotong perkataan Alisa.

Akhirnya Alisa tidak menolak lagi. Lagipula, dia juga sedang butuh uang. Mungkin ini cara Tuhan membantunya. Bukankan rezeki bisa datang dari mana saja dan kapan saja?

"Terima kasih, Mbak," ucap Alisa penuh haru. Tuhan benar-benar baik kepadanya. Saat sedang butuh uang, Dia memberinya melalui Irna.

"Kamu baik-baik, ya. Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi."

Irna melangkah menjauh dari bangunan berwarna putih itu. Wanita itu mengulum senyum senang lantaran Alisa menerima niat baiknya dan tidak salah paham. Dia melambaikan tangan tanda perpisahan sebelum menyalakan mesin motornya.

Belum juga kendaraan roda dua itu keluar dari kompleks rumah Alisa, ponsel Irna bergetar di dalam sling bag-nya. Wanita itu hanya tersenyum. Sangat tahu siapa yang menghubunginya. Orang itu pasti sudah sangat tidak sabar. Seperti dirinya yang tidak sabar untuk menceritakan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status