Setelah berpamitan, Rahman dan Ayu pun berangkat. Tujuan pertama mereka adalah membeli cincin, setelah itu barulah membeli seserahan."Kamu mau cincin yang bagaimana? Pilih saja yang kamu suka. Enggak usah pikirin soal harga, kan ada ini," ucap Rahman memamerkan kartu ATM pemberian ibunya."Beneran, nih, Mas?" Ayu berseru kegirangan."Iya, dong, Sayang. Buat kamu, apa sih yang enggak.""Wah, suaminya baik banget, Mbak. Udah ganteng, baik lagi. Mbak pasti bahagia banget, ya, jadi istrinya. Pasangan sempurna, yang satu cantik dan yang satunya tampan," puji pelayan toko."Sepertinya kita udah cocok banget, ya, jadi suami istri," ucap Ayu tersipu malu dan Rahman pun tertawa senang."Bawa model perhiasan kamu yang paling bagus.""Saya tunjukkan model terbaru yang paling banyak diminati, ya, Mbak."Pelayan toko tersebut tanggap membaca suasana. Tentu saja dia tahu jika Ayu dan Rahman bukan pasangan suami istri karena belum ada cincin yang melingkar di jari manis mereka. Sengaja dia mengompo
Jujur saja, semakin mengenal Rahman Ayu semakin jatuh cinta kepadanya. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, dua Minggu lagi keduanya akan menikah di rumah orang tua Ayu. Meski ibunya dulu menentang, tetapi sekarang tidak lagi. Terlebih saat tahu jika Rahman memperlakukan anaknya dengan sangat baik.Mempunyai masa lalu yang kelam, Ayu kerap kali dihina oleh para tetangga. Bahkan ibunya sempat mengusir dari rumah. Namun, semuanya telah berubah sekarang. Dia akan membungkam mulut para tetangga itu saat menikah nanti."Eh, aku nggak suka cincin yang kecil gini, Mas. Tadi kan aku sudah pesan yang sesuai seleraku dan sudah ditambah tiga cincin emas. Itu aja sudah cukup, kok, Mas," tolak Ayu pura-pura merasa tidak enak, padahal aslinya dia tidak ingin membeli cincin itu. Beratnya hanya satu gram dan modelnya sudah ketinggalan jaman. Sangat jauh berbeda dengan cincin-cincin yang dipilihnya tadi.Rahman tersenyum simpul. "Ini buat Alisa, Sayang. Biar dia senang dan nggak curiga sama aku. Lag
"kamu lagi ngomongin apa, Mas? Kok bicara sendiri," tegur Ayu yang rupanya memperhatikan gelagat Rahman dari jauh.Pria itu tampak gugup, tidak ingin dicap sebagai orang gila karena berbicara sendiri. "Eh, ehm ... anu ... itu. Kata Ibu aku ganteng."Sebenarnya Rahman merasa cukup malu karena memuji diri sendiri. Padahal biasanya dia selalu percaya diri dan selalu narsis. Namun, entah kenapa kali ini berbeda, rasanya sedikit memalukan.Ayu sontak tergelak. Bukan karena apa yang dikatakan Rahman lucu, melainkan ekspresinya yang tampak konyol. Membuat Rahman makin kikuk dan salah tingkah saja.****Alisa segera menjawab ponselnya yang berdering dengan tergesa-gesa tanpa melihat siapa yang menelepon. Pasalnya Arka baru saja tertidur dan dia tidak ingin jagoannya itu terbangun. Bisa rewel nanti."Ha–""Nanti malam kamu ke sini sama anakmu, ya. Ada acara kumpul keluarga, kita makan malam bareng. Ingat! Pakai baju yang bagus, jangan yang lusuh. Berpenampilan yang pantas. Aku enggak mau anakk
"Mau ke mana kamu, Lis?" tanya Bu Hikmah–tetangga depan rumahnya–sambil mengeluarkan sepeda motor dari teras.Alisa tersenyum dan menjawab, "mau ke rumah Bu Mirna, Bu. Kebetulan tadi diajakin makan di sana.""Wah, akhirnya mertuamu itu dapat hidayah, ya. Syukur deh kalau begitu." Bu Hikmah tampak ikut senang.Sebagai sesama wanita, tentu dia bisa merasakan rasa sedih dan kecewa yang dirasakan Alisa karena diabaikan oleh keluarga suaminya. Terlebih rumahnya berada tepat di depan rumah Alisa, membuatnya mau tidak mau mendengar semua makian dan hinaan yang diterima oleh ibu muda itu."Kalau begitu saya pamit dulu, ya, Bu. Takut telat sampainya.""Eh, bareng aja, Lis. Kebetulan aku juga mau keluar, kok. Udah, enggak usah nolak. Daripada kamu jalan sambil ngarep ketemu Rahman di jalan." Meski terkejut karena Bu Hikmah tahu apa yang dipikirkannya, Alisa tetap menerima tawaran tersebut.Bu Hikmah pun melajukan kendaraannya menuju ke rumah Bu Marni dengan kecepatan sedang. "Kamu ingat kan ap
"Mas, token listrik habis, tuh! Apa kamu enggak dengar dia sudah bernyanyi sejak tadi pagi?!" tegur Alisa kepada suaminya yang asyik memainkan ponselnya. "Tinggal kamu isi, kan, beres. Begitu aja, kok, pake lapor segala sama aku," balas Rahman acuh dan tetap fokus dengan benda pipih di tangannya. Bahkan, dia sama sekali tidak melihat ke arah sang Istri yang sudah melotot gara-gara ucapannya barusan. Alisa berkacak pinggang. "Uangnya mana? Kamu pikir isi token itu sulapan yang tinggal simsalabim terus langsung terisi pulsanya?"Rahman berdecak kesal karena merasa aktivitasnya terganggu. "Kamu tinggal beli pakai uangmu, kan, bisa! Kok susah?""Ya, memang aku susah! Susah karena punya suami seperti kamu. Kamu pikir aku punya uang? Kalau punya, aku enggak akan minta sama kamu!"Wanita itu meluapkan amarah yang telah dipendamnya. Membuat Rahman meletakkan ponselnya ke atas meja. Pria itu menatap istrinya dengan pandangan tajam. Namun, sedikit pun tidak terlihat rasa takut di mata Alisa.
Seorang wanita menatap nyalang ke arah Alisa yang terjatuh di lantai sembari memegangi pipinya. Sedangkan Rahman masih mematung di tempatnya. Pasangan suami-istri itu tidak menyangka kehadiran wanita tersebut."Apa-apaan kamu, Nadya?" tanya Alisa memegangi pipinya yang terasa perih."Apa-apaan? Harusnya aku yang tanya seperti itu. Kenapa kamu bicara seperti itu kepada kakakku, ha? Dasar enggak tahu diri!" sarkas Nadya memandang sinis dan remeh ke arah Alisa.Alisa segera bangkit dari posisinya. Lalu, dengan gerakan yang sangat cepat dia membalas tamparan Nadya."Makanya, Alisa. Harusnya kamu itu sopan sama aku. Lihat saja, Tuhan langsung membalas perlakuanku kepadaku. Durhaka kamu sama suami. Enggak syukur banget, sih, punya suami ganteng sempurna seperti aku."Rahman melipat kedua tangan di depan dada. Alih-alih menolong istrinya, dia malah mencibir wanita itu. Miris. Mungkin empati memang tidak ada dalam kamus hidup pria itu, atau hati nuraninya telah mati. Entahlah.Alisa memandang
"Alisa, kamu kenapa?" tanya Irna dengan wajah panik saat melihat adiknya datang dengan penampilan yang kacau balau. Rambut acak-acakan, mata sembab, dan jangan lupakan daster kumal yang dikenakannya. Entah baju itu sudah berapa lama dibelinya.Irna pangling. Tampilan Alisa sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan dulu. Adiknya itu selalu wangi dan rapi, serta berpenampilan menarik. Jadi, wajar saja jika Rahman yang tampan pun bertekuk lutut kepadanya."M-mbak Ir-na," ucap Alisa terbata. Tidak menyangka jika pertemuan pertamanya dengan sang Kakak setelah menikah dalam keadaan yang menyedihkan seperti itu.Alisa mengusap kasar matanya, lalu menunduk memperhatikan daster yang dikenakannya. Tampak beberapa lubang kecil di sana. Ditambah lagi aroma tidak sedap dari tubuhnya setelah berkeringat seharian.Irna melangkah cepat menghampiri sang Adik. "Kamu habis nangis? Suamimu mana?"Alisa tidak mampu berkata apa pun. Tenggorokannya tercekat. Terlalu sulit mengeluarkan alasan yang dipikir
Sebuah kendaraan roda dua berwarna hitam memasuki pekarangan sebuah rumah sederhana bercat kuning. Di atas kendaraan itu ada sepasang pria dan wanita yang tampak sedang berdebat. "Kenapa kamu enggak balas dulu aja, sih, perbuatan si Alisa tadi. Keenakan dia kalau kamu lembut kek gitu," protes wanita tersebut dengan wajah masam.Pria itu berdecak kesal. "Aku cuma nurutin keinginan Ibu, Nadya. Kamu enggak tahu kalau seorang ibu marah, maka pintu surga akan ditutup untuk anaknya? Mau kamu masuk neraka?"Nadya turun dari boncengan motor sembari tertawa remeh. "Alah, Mas Rahman enggak usah ngomong seperti itu, deh. Udah macam orang paling benar aja. Wong, kamu juga banyak dosa, kok, Mas."Baru saja Rahman ingin memukul kepala Nadya, wanita itu telah berkelit dan berlari memasuki rumah. Mencari ibunya untuk meminta perlindungan."Bu, tolongin Nadya! Mas Rahman kumat!" seru Nadya berlari ke balik tubuh ibunya. Sedangkan Rahman berada tepat di belakangnya, turut berlari, mengejarnya.Bu Mirn