Share

Ide Brilian Ibu

Sebuah kendaraan roda dua berwarna hitam memasuki pekarangan sebuah rumah sederhana bercat kuning. Di atas kendaraan itu ada sepasang pria dan wanita yang tampak sedang berdebat.

"Kenapa kamu enggak balas dulu aja, sih, perbuatan si Alisa tadi. Keenakan dia kalau kamu lembut kek gitu," protes wanita tersebut dengan wajah masam.

Pria itu berdecak kesal. "Aku cuma nurutin keinginan Ibu, Nadya. Kamu enggak tahu kalau seorang ibu marah, maka pintu surga akan ditutup untuk anaknya? Mau kamu masuk neraka?"

Nadya turun dari boncengan motor sembari tertawa remeh. "Alah, Mas Rahman enggak usah ngomong seperti itu, deh. Udah macam orang paling benar aja. Wong, kamu juga banyak dosa, kok, Mas."

Baru saja Rahman ingin memukul kepala Nadya, wanita itu telah berkelit dan berlari memasuki rumah. Mencari ibunya untuk meminta perlindungan.

"Bu, tolongin Nadya! Mas Rahman kumat!" seru Nadya berlari ke balik tubuh ibunya. Sedangkan Rahman berada tepat di belakangnya, turut berlari, mengejarnya.

Bu Mirna yang sedang memegang satu toples kue kering dan sebuah majalah, segera memukulkan majalah tersebut ke kepala Rahman dan Nadya secara bergantian.

"Kok, aku dipukul, sih, Bu?" protes Rahman tidak terima. Satu tangannya mengusap bagian kepala yang terkena timpukan majalah dari ibunya tadi.

"Karena kamu lebih tua. Harusnya kamu ngalah sama adikmu!"

"Tapi, kenapa aku juga kena pukul?" Nadya yang awalnya cekikikan melihat Rahman dipukul, ikut menimpali.

"Kamu lebih muda, harusnya menghormati yang lebih tua."

Bu Mirna bersungut-sungut melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu dengan membawa kue di tangannya. Kesal karena kedua anaknya yang telah dewasa, tetapi masih saja sering bertengkar. Sedangkan kedua anaknya itu mengekor di belakangnya.

"Duduk!" titah Bu Mirna kepada Rahman dan Nadya.

"Sebenarnya ada apa, sih, Bu? Aku, kan, lagi ngerjain sesuatu," keluh Rahman dengan wajah tertekuk kepada ibunya.

"Iya, nih, Ibu ganggu aja. Padahal aku dan Mas Rahman mau kasih pelajaran ke Alisa. Kan, gagal jadinya–"

Sebuah pukulan yang tiba-tiba mendarat di kepala Nadya. Membuat wanita itu bungkam seketika. Rahman pun tidak lolos dari pukulan itu.

"Bisa enggak, sih, kalian diam dulu! Ibu mau bicara sesuatu yang penting. Penting banget malah."

Rahman berdecak kesal. Dia bukanlah anak kecil lagi yang harus terus menerus mendapat pukulan di kepala setiap melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh ibunya. Bahkan, dia telah mampu membuat seorang anak sekarang.

"Memangnya apa yang lebih penting dari memberikan pelajaran ke Alisa, sih, Bu? Istriku itu perlu dididik ulang agar menjadi istri yang baik dan penurut seperti dulu. Belakangan ini dia ngelunjak. Jadi berani sama aku, Bu." Rahman mengadukan kelakuan istrinya kepada ibunya. Mungkin agar mendapat dukungan dan segera disuruh melanjutkan kesenangannya tadi.

"Ck! Justru ini ada hubungannya dengan istrimu. Kamu main harus cantik dan berkelas, dong. Ibu punya ide brilian yang akan bikin kamu senang dan istrimu itu semakin menderita."

Rahman mengerutkan kening. Belum paham maksud ibunya. Kira-kira apa yang bisa bikin dia senang, tetapi membuat istrinya menderita?

"Yaelah, Ibu. To the point aja kali. Ngapain, sih, main tebak-tebakan segala," sela Nadya yang ikut penasaran. Tubuhnya bahkan ikut condong ke arah sang Ibu.

Tidak segera menjawab, Bu Mirna justru memandangi kedua anaknya secara bergantian. Lalu, meraih dan membuka toples yang dibawanya tadi.

"Ih, Ibu, kok, malah makan kue. Katanya mau kasih ide brilian." Nadya berdecak kesal. Ibunya malah membuat mereka semakin penasaran saja.

"Kamu ambil minum dulu buat ibu, haus nih."

Dengan terpaksa Nada berjalan mengambil air minum untuk ibunya meski harus menahan kesal.

"Nih, minumnya, Bu. Silakan diminum dan ceritakan ide brilian Ibu. Udah gak sabar, nih," keluh Nadya yang kembali duduk di samping ibunya.

"Iya, aku juga udah gak sabar pengen denger ide yang katanya bisa bikin aku senang itu."

"Jadi, ibu punya ide buat kamu Rahman." Bu Mirna menunjuk Rahman. "Istrimu itu, kan, sudah jelek jadi beban keluarga doang. Gimana kalau ...."

"Alah, pasti ibu cuma mau nyuruh aku untuk menceraikan Alisa, kan? Gak bakalan, Bu. Nanti yang urusin keperluanku siapa? Emang ibu sama Nadya mau urusin aku? Kalau cerai pun aku musti bagi harta gono-gini. Enakan dia dong, Bu," ketus Rahman menyela perkataan ibunya.

Berpisah dengan Alisa bukan berkah, melainkan musibah bagi Rahman. Setelah dilayani selama lima tahun, kini dia harus melakukan semuanya sendiri. Membayangkannya saja sudah membuat pria itu kesal.

"Ck! Kalau orang tua bicara jangan dipotong. Kamu gak sopan banget, sih." Bu Mirna hampir saja mendaratkan pukulan di kepala Rahman, tetapi berhasil ditangkis oleh pria itu.

"Ya lagi, Ibu minta aku pisah sama Alisa. Gak maulah aku, Bu. Pembantu gratisku hilang, dong."

Ah, perkataan Rahman mungkin akan membuat seluruh istri di dunia mendemonya. Bagaimana mungkin dia menganggap istri yang berbakti kepadanya sebagai seorang pembantu rumah tangga. Mungkin dia lupa, jika Alisa adalah seorang anak perempuan yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh orang tuanya. Meninggalkan kedua orang tua yang sangat dicintainya demi membina rumah tangga bersamanya.

"Siapa bilang Ibu nyuruh kamu buat cerai? Ibu itu cuma mau nawarin kamu buat nikah lagi sama istri yang lebih cantik dan juga mandiri. Jadi, kamu bisa santai karena dia punya penghasilan sendiri. Bukan macam Alisa yang bisanya cuma ngabisin uang aja."

"Ide bagus, Bu. Tapi, emangnya ada yang mau jadi istri keduaku? Cewek cantik yang punya kerjaan?" Rahman terlihat ragu.

"Iya, Bu. Ngapain cewek cantik dan punya banyak uang mau jadi istri keduanya Mas Rahman Padahal dia bisa dapetin cowok yang lebih daripada Mas Rahman ini," ujar Nadya menunjuki kakaknya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Membenarkan perkataan Rahman.

Bukan tanpa alasan, kakaknya itu memang rupawan wajahnya. Akan tetapi dia kerja tidak tentu karena tidak suka diperintah. Untuk membiayai satu orang istri saja dia tidak mampu, apalagi dua.

Memang akan lain ceritanya jika istri keduanya itu punya usaha sendiri dan uang. Namun, untuk apa wanita cantik dan mapan mau menjadi istri kedua dari orang semacam kakaknya itu. Bukankah itu sebuah kebodohan?

"Jadi kamu ngehina kakakmu sendiri, hm?" Rahman nyolot. Emosinya naik kala mendengar perkataan adiknya.

"Ya kan, Mas Rahman sendiri yang ngomong seperti itu. Gimana, sih!" sergah Nadya tidak ingin kalah.

"Tapi omonganmu itu bikin emosi tau!"

"Stop!" Bu Mirna menjulurkan kedua tangannya untuk menghentikan perdebatan kedua anaknya itu.

"Tapi, dia yang mulai duluan, Bu," tuding Rahman tidak terima.

"Kamu tuh yang duluan." Nadya masih tidak ingin mengalah.

"Stop! Ibu bilang berhenti!" Suara Bu Mirna yang seketika melengking membuat keduanya terdiam dan duduk tenang.

"Kita itu lagi membicarakan sesuatu yang sangat penting untuk masa depan kamu Rahman. Dan kamu Nadya, kalau kamu nggak bisa diam mending kamu masuk aja ke kamar."

Namun, Nadya menggelengkan kepala dengan kuat. Dia pun sama penasarannya dengan sang Kakak. Ingin mendengarkan kelanjutan perkataan ibunya.

"Kalau gitu kamu diam, dong. Jangan mengganggu." Nadya mengangguk kuat.

"Ibu punya calon yang bagus. Anaknya cantik dan punya bisnis penjualan baju online. Toko dan gudangnya besar. Bukan Ibu, tapi dia sendiri yang menawarkan diri untuk jadi istri kedua Rahman."

Tidak percaya dengan perkataan ibunya, Rahman pun bertanya, "emang ada perempuan macam itu, Bu?"

"Ada, dong. Kamu kenal, kok, sama dia."

"Siapa?" tanya Rahman penasaran. Keningnya berkerut dan hampir bertautan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status