"Mas, token listrik habis, tuh! Apa kamu enggak dengar dia sudah bernyanyi sejak tadi pagi?!" tegur Alisa kepada suaminya yang asyik memainkan ponselnya. Ya, begitulah kira-kira gambaran keseharian Alisa dan suaminya. Sangat jauh dari kata "bahagia" yang dijanjikan pria itu kala melamarnya. Alisa tidak pernah menyangka jika pernikahannya yang berusia lima tahun kandas karena dia tidak tahan dengan kelakuan suaminya. Bukan hanya main ponsel seharian, Rahman juga tidak ingin bekerja karena tidak ingin diperintah. Lebih kesalnya lagi, ibu mertuanya malah menyuruh Rahman untuk mencari wanita lain sebagai istri keduanya. Akankah Alisa bertahan dan menerima nasibnya dimadu? Ataukah dia akan pergi dan mencari kebahagiaannya?
View More"Mas, token listrik habis, tuh! Apa kamu enggak dengar dia sudah bernyanyi sejak tadi pagi?!" tegur Alisa kepada suaminya yang asyik memainkan ponselnya.
"Tinggal kamu isi, kan, beres. Begitu aja, kok, pake lapor segala sama aku," balas Rahman acuh dan tetap fokus dengan benda pipih di tangannya. Bahkan, dia sama sekali tidak melihat ke arah sang Istri yang sudah melotot gara-gara ucapannya barusan.Alisa berkacak pinggang. "Uangnya mana? Kamu pikir isi token itu sulapan yang tinggal simsalabim terus langsung terisi pulsanya?"Rahman berdecak kesal karena merasa aktivitasnya terganggu. "Kamu tinggal beli pakai uangmu, kan, bisa! Kok susah?""Ya, memang aku susah! Susah karena punya suami seperti kamu. Kamu pikir aku punya uang? Kalau punya, aku enggak akan minta sama kamu!"Wanita itu meluapkan amarah yang telah dipendamnya. Membuat Rahman meletakkan ponselnya ke atas meja. Pria itu menatap istrinya dengan pandangan tajam. Namun, sedikit pun tidak terlihat rasa takut di mata Alisa. Bahkan rasa hormatnya kepada Rahman sudah menghilang entah sejak kapan."Lho, kok, habis? Padahal baru kemarin aku kasih kamu uang dua ratus ribu. Kamu jadi istri, kok, boros banget sih!" hardik Rahman menunjuki sang Istri.Wanita itu memejamkan mata dengan rahang mengeras. Alisa memang telah menduga kalimat yang akan keluar dari mulut suaminya. Namun, tetap saja amarahnya tersulut saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Rahman. Benar-benar pria yang satu ini minta dibejek jadi rujak bebek biar otaknya tidak sengklek lagi."Uang dua ratus ribu yang kamu kasihkan ke aku itu sudah kamu berikan sepuluh hari yang lalu. Itu artinya kamu hanya memberikanku sehari dua puluh ribu saja. Dan kamu masih bilang aku boros? Boros matamu picek!""Lho, kok, kamu ngegas, sih? Mana ngatain aku picek. Kamu udah mulai berani, ya! Mau kamu aku cap istri durhaka, ha!"Rahman sudah berdiri sembari balas berkacak pinggang dan melotot ke istinya. Jika biasanya Alisa akan takut dan menundukkan kepala, tetapi tidak kali ini. Batas kesabaran wanita itu sudah habis.Selama tiga tahun hidup bersama, Rahman belum pernah sekali pun dia memberikan uang di atas dua puluh ribu sehari. Mungkin kalau dulu Alisa masih bisa terima sebab belum mempunyai anak. Akan tetapi, kini mereka telah memiliki satu orang anak yang usianya sudah dua tahun dan sedang gencar-gencarnya makan, ngemil dan jajan. Bukankah itu hal yang wajar dilakukan anak berusia dua tahun?"Kalau aku berani terus kamu mau apa? Aku sudah cukup muak, ya, sama sifat pelit dan pemalas kamu itu. Jangan kamu pikir aku enggak tahu berapa uang yang kamu dapat dari pekerjaanmu. Aku tahu! Dan kamu cuma memberikanku enggak sampai setengah uang yang kamu terima. Lalu, sekarang kamu mengataiku boros? Enak betul kamu jadi laki, ya! Dasar benalu!""Tutup mulutmu, Alisa! Kamu enggak pernah diajarkan orangtuamu tentang bagaimana cara menghargai seorang suami?""Jangan pernah mengajariku tentang bagaimana menghargai suami, kalau kamu enggak pernah menghargaiku sebagai seorang istri. Ingat, Mas, aku punya batas kesabaran. Aku bukan malaikat yang enggak sakit hati dengan perlakuanmu selama ini. Aku muak, Mas. Muak!""Jadi, kamu enggak mau kuajak hidup susah? Istri macam apa kamu yang menghardik suaminya karena hidup susah."Alisa tersenyum getir. Sungguh ingin sekali rasanya wanita itu menghantam kepala pria di depannya itu dengan palu agar otaknya bisa berpikir dengan baik dan benar."Kamu pikir, apa dulu aku diajak hidup susah oleh kedua orang tuaku? Jangan seenaknya jadi manusia kamu, Mas. Aku yang sejak kecil hingga dewasa diberikan kehidupan yang baik dan layak oleh kedua orangtuaku. Tiba-tiba setelah menikah denganmu harus diajak hidup susah. Enggak masalah sebenarnya buatku asalkan kamu sebagai seorang suami itu benar. Lha ini? Kerja saja kamu malas, sekalinya ada yang menawarkan kerja kamu milih-milih. Eh, giliran kamu bekerja malah memberikanku nafkah sesuka hatimu.""Ya, wajarlah kalau aku milih-milih kerjaan. Aku ini tampan, wajahku rupawan. Mana pantas aku kerja di tempat yang kotor dan panas. Bisa hilang aura ketampananku nantinya."Alisa menyunggingkan senyum sinis mendengar guyonan dari suaminya itu.Rahman memang tampan. Kulitnya kuning langsat dan bersih, hidungnya mancung, serta tubuh yang tinggi proporsional. Membuat Rahman terlihat seperti artis di sinetron. Akan tetapi, apakah Alisa dan anaknya akan kenyang hanya karena ketampanan yang dimilikinya? Tentu tidak bukan?"Baik , kalau memang begitu pemikiranmu silakan angkat kaki dari rumah ini karena aku butuh uangmu, Mas. Bukan tampangmu!"Tepat setelah itu, terdengar suara tamparan yang membuat Alisa jatuh di lantai. Namun, bukan Rahman pelakunya, tetapi seseorang yang baru saja memasuki rumah mereka."Mau ke mana kamu, Lis?" tanya Bu Hikmah–tetangga depan rumahnya–sambil mengeluarkan sepeda motor dari teras.Alisa tersenyum dan menjawab, "mau ke rumah Bu Mirna, Bu. Kebetulan tadi diajakin makan di sana.""Wah, akhirnya mertuamu itu dapat hidayah, ya. Syukur deh kalau begitu." Bu Hikmah tampak ikut senang.Sebagai sesama wanita, tentu dia bisa merasakan rasa sedih dan kecewa yang dirasakan Alisa karena diabaikan oleh keluarga suaminya. Terlebih rumahnya berada tepat di depan rumah Alisa, membuatnya mau tidak mau mendengar semua makian dan hinaan yang diterima oleh ibu muda itu."Kalau begitu saya pamit dulu, ya, Bu. Takut telat sampainya.""Eh, bareng aja, Lis. Kebetulan aku juga mau keluar, kok. Udah, enggak usah nolak. Daripada kamu jalan sambil ngarep ketemu Rahman di jalan." Meski terkejut karena Bu Hikmah tahu apa yang dipikirkannya, Alisa tetap menerima tawaran tersebut.Bu Hikmah pun melajukan kendaraannya menuju ke rumah Bu Marni dengan kecepatan sedang. "Kamu ingat kan ap
"kamu lagi ngomongin apa, Mas? Kok bicara sendiri," tegur Ayu yang rupanya memperhatikan gelagat Rahman dari jauh.Pria itu tampak gugup, tidak ingin dicap sebagai orang gila karena berbicara sendiri. "Eh, ehm ... anu ... itu. Kata Ibu aku ganteng."Sebenarnya Rahman merasa cukup malu karena memuji diri sendiri. Padahal biasanya dia selalu percaya diri dan selalu narsis. Namun, entah kenapa kali ini berbeda, rasanya sedikit memalukan.Ayu sontak tergelak. Bukan karena apa yang dikatakan Rahman lucu, melainkan ekspresinya yang tampak konyol. Membuat Rahman makin kikuk dan salah tingkah saja.****Alisa segera menjawab ponselnya yang berdering dengan tergesa-gesa tanpa melihat siapa yang menelepon. Pasalnya Arka baru saja tertidur dan dia tidak ingin jagoannya itu terbangun. Bisa rewel nanti."Ha–""Nanti malam kamu ke sini sama anakmu, ya. Ada acara kumpul keluarga, kita makan malam bareng. Ingat! Pakai baju yang bagus, jangan yang lusuh. Berpenampilan yang pantas. Aku enggak mau anakk
Jujur saja, semakin mengenal Rahman Ayu semakin jatuh cinta kepadanya. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, dua Minggu lagi keduanya akan menikah di rumah orang tua Ayu. Meski ibunya dulu menentang, tetapi sekarang tidak lagi. Terlebih saat tahu jika Rahman memperlakukan anaknya dengan sangat baik.Mempunyai masa lalu yang kelam, Ayu kerap kali dihina oleh para tetangga. Bahkan ibunya sempat mengusir dari rumah. Namun, semuanya telah berubah sekarang. Dia akan membungkam mulut para tetangga itu saat menikah nanti."Eh, aku nggak suka cincin yang kecil gini, Mas. Tadi kan aku sudah pesan yang sesuai seleraku dan sudah ditambah tiga cincin emas. Itu aja sudah cukup, kok, Mas," tolak Ayu pura-pura merasa tidak enak, padahal aslinya dia tidak ingin membeli cincin itu. Beratnya hanya satu gram dan modelnya sudah ketinggalan jaman. Sangat jauh berbeda dengan cincin-cincin yang dipilihnya tadi.Rahman tersenyum simpul. "Ini buat Alisa, Sayang. Biar dia senang dan nggak curiga sama aku. Lag
Setelah berpamitan, Rahman dan Ayu pun berangkat. Tujuan pertama mereka adalah membeli cincin, setelah itu barulah membeli seserahan."Kamu mau cincin yang bagaimana? Pilih saja yang kamu suka. Enggak usah pikirin soal harga, kan ada ini," ucap Rahman memamerkan kartu ATM pemberian ibunya."Beneran, nih, Mas?" Ayu berseru kegirangan."Iya, dong, Sayang. Buat kamu, apa sih yang enggak.""Wah, suaminya baik banget, Mbak. Udah ganteng, baik lagi. Mbak pasti bahagia banget, ya, jadi istrinya. Pasangan sempurna, yang satu cantik dan yang satunya tampan," puji pelayan toko."Sepertinya kita udah cocok banget, ya, jadi suami istri," ucap Ayu tersipu malu dan Rahman pun tertawa senang."Bawa model perhiasan kamu yang paling bagus.""Saya tunjukkan model terbaru yang paling banyak diminati, ya, Mbak."Pelayan toko tersebut tanggap membaca suasana. Tentu saja dia tahu jika Ayu dan Rahman bukan pasangan suami istri karena belum ada cincin yang melingkar di jari manis mereka. Sengaja dia mengompo
Ah, Alisa lupa kalau suaminya sangat tidak senang jika ditanya seperti itu. Dia kemudian bangkit dari duduknya dan mengikuti Rahman ke kamar."Kamu mau ke mana, Mas?""Kenapa, sih, kamu nanya terus. Enggak ada kerjaan apa? Mending kamu urusin anak kamu, tuh!" hardik Rahman yang semakin kesal saja kepada Alisa yang ingin tahu semua urusannya."Aku cuma nanya kamu mau ke mana, Mas."Rahman tidak menjawab, sibuk memilih baju di lemari. Pilihannya jatuh pada sebuah kaos oblong hitam, celana jins hitam, dan kemeja flanel berwarna merah marun kombinasi hitam untuk luaran. Gayanya necis persis seperti bujang yang mau berkencan."Mas, kamu mau ke mana, sih? Pakai kemeja dan parfum segala?" Lagi dan lagi Alisa bertanya karena penasaran setelah meletakkan anaknya yang tertidur ke ranjang.Rahman berdecak kesal. Suasana hatinya seketika hancur lebur."Enggak usah banyak ngomong. Nih, ambil beli token!" Rahman melempar selembar uang lima puluh ribu ke wajah Alisa dan sukses membungkam wanita itu.
"Sialan!" hardik Rahman penuh emosi saat melihat apa yang bersuara.Dibutakan nafsu membuat Ayu tidak sengaja menekan remote control televisi. Kebetulan sekali sinetron yang tayang tentang pelakor. Membuat calon suami istri itu kaget saja."Siapa yang nyalakan televisinya, sih!""Ma-maaf, Mas. Aku enggak sengaja," sesal Ayu yang merusak momen romantis di antara mereka.Rahman segera kembali duduk di samping Ayu. Terkejut melihat dia ketakutan melihat Rahman marah. "E-engak apa-apa, Sayang. Tadi aku cuma kaget aja kok. Jangan nangis, ya.""Kita jalan-jalan saja, yuk," ajak Rahman untuk mengubah suasana. Tidak ingin Ayu sedih dan ketakutan kepadanya."Tapi, tadi Bude bilah kita enggak boleh ke luar rumah. Nanti ada yang lihat dan ngadu ke Alisa, Mas.""Halah, kamu enggak usah takut. Alisa itu enggak pernah ke luar rumah jadi enggak akrab sama tetangga.""Tapi ...." Ayu tampak masih belum yakin untuk menerima ajakan Rahman."Kamu mau jalan-jalan ke mana?" tanya Bu Mirna yang tiba-tiba sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments