Share

Kamu Berhak Bahagia, Nak

Tidak percaya dengan perkataan ibunya, Rahman pun bertanya, "emang ada perempuan macam itu, Bu?"

"Ada, dong. Kamu kenal, kok, sama dia."

"Siapa?" tanya Rahman penasaran. Keningnya berkerut dan hampir bertautan.

"Ingat enggak sama si Ayu, mantan kamu sebelum pacaran sama si Alisa? Dia kan cinta mati sama kamu. Orang tuanya juga udah meninggal dan kasih banyak warisan ke dia loh. Kalau kamu macam-macam juga enggak bakalan ada yang protes. Soalnya dia, kan, anak tunggal dan udah yatim piatu."

"Aku enggak ingat, Bu. Terlalu banyak Ayu yang singgah di hidupku," seloroh Rahman dengan wajah tengil.

Sebuah jitakan mendarat sempurna di kepala Rahman dan pria itu tidak sempat mengelak. Sontak membuat Nadya tertawa puas.

"Ayu yang ini, loh, Rahman." Bu Mirna menunjukkan salah satu foto Ayu di ponselnya. "Makin cantik, kan, dia?"

Seketika ingatan Rahman kembali pada masa lampau. Saat masih berpacaran dengan Ayu. Wanita berkacamata yang merupakan teman sekelasnya. Oke, dulu dia memang tidak secantik sekarang. Bahkan terkesan culun. Hingga membuat teman-temannya mencibir karena memacari wanita culun.

Tentu saja Rahman melakukannya bukan tanpa alasan. Dia telah mencari tahu latar keluarga Ayu. Meski wajahnya pas-pasan dan penampilannya culun, tetapi ayahnya memiliki bisnis restoran dengan cabang di beberapa daerah.

Bahkan, sejak jaman pacaran dulu, Rahman tidak perlu pusing dengan biaya date mereka. Tentu saja semua yang menanggungnya adalah Ayu. Uang bensin pun tidak dipikirnya.

"Kamu, kok, malah ngelamun, sih?" protes Bu Mirna kepada anak lelaki satu-satunya itu.

"Enggak apa-apa, kok, Bu. Tadi tiba-tiba ingat sesuatu aja, kok," kilah Rahman tidak ingin ketahuan jika tadi sempat teringat tentang Ayu, mantannya.

Nadya mendelik dan menatap penuh curiga. "Halah, bilang aja kamu lagi teringat Mbak Ayu, Mas," ledeknya dengan puas. Tidak lupa menjulurkan lidah, lalu menguarkan tawa nyaring yang memekakkan indera pendengaran Rahman.

"Tapi ... Ibu yakin kalau Ayu bakalan mau jadi istri keduaku?" tanya Rahman yang rupanya masih tidak percaya dengan perkataan ibunya. Ya, seperti perkataan Nadya, wanita independen yang cantik dan memiliki uang, mana mungkin bersedia untuk menjadi yang kedua.

"Kenapa kamu enggak percaya?" Bu Mirna malah balik bertanya. Membuat Rahman justru menggaruk bagian belakang kepalanya karena bingung akan mengatakan alasan apa. Pasalnya semua sudah jelas.

"Dia yang hubungi Ibu duluan, terus nanyain kabar kamu."

"Terus?" Rahman terlihat cukup tertarik dengan obrolan Ayu dan ibunya.

"Ibu sudah bilang kalau kamu sudah punya istri."

"Terus?"

"Dia bilang terlalu cinta sama kamu dan enggak bisa ngelupain kamu. Katanya dia sempat berhubungan dengan beberapa pria, tapi enggak ada yang sebaik kamu katanya."

"Terus?"

"Halah, kamu itu, kok, terus-terus aja," protes Bu Mirna yang kesal dengan reaksi Rahman.

Rahman cengengesan sembari menggaruk bagian belakang tengkuknya. "Ya kan, penasaran, Bu, sama tanggapannya dia."

"Ya, pokoknya dia mau nikah sama kamu. Jadi istri kedua juga enggak apa-apa katanya. Kalau kamu nikah sama dia, bisnis papanya akan diserahkan ke kamu. Soalnya papanya baru meninggal satu bulan yang lalu dan dia enggak bisa ngurusin semuanya."

"Wah, akhirnya cita-cita kamu yang enggak mau diperintah kesampaian, Mas. Kan, kamu selalu resign karena enggak suka disuruh-suruh," timpal Nadya yang terlihat ikut senang dengan rezeki nomplok yang akan diadakan oleh kakaknya. Ya, setidaknya dia pun akan kecipratan enaknya nanti.

Bu Mirna memang bukanlah orang yang tidak mampu. Dia memiliki bisnis kos-kosan peninggalan almarhum suaminya. Itu pula yang menjadi sumber utama penghasilannya. Karena itu pula, wanita itu tidak sudi menerima Alisa yang kawin lari dengan anaknya dan hanya menjadi beban. Terlebih karena Alisa memutuskan kontak dengan orang tuanya 0asca kejadian itu.

Namun, semua itu terlupakan dan tidak ada artinya sekarang. Ketiga orang tersebut terlihat sangat senang. Bahkan, telah membicarakan tentang acara pertunangan dan sebagainya. Tentu Rahman akan mengadakan acara yang meriah. Sangat mengerti jika pernikahan sejatinya hanya dilakukan sekali, jadi mereka akan membuat Ayu merasa menjadi ratu di hari pernikahan nanti.

Mereka sibuk merancang pesta dan honeymoon setelah pernikahan. Melupakan Alisa dan bayi mungil yang menanti kedatangan ayahnya. Tidak ingat jika membahagiakan seorang istri pun Rahman tidak sanggup.

"Tapi, bagaimana dengan Alisa, Bu?" celetuk Nadya yang tiba-tiba membuat suasana bahagia menghilang entah ke mana. Dia memang sangat pandai merusak suasana.

Tatapan Nadya dan Rahman kini tertuju kepada Bu Mirna. Seolah-olah meminta jawaban kepada wanita paruh baya itu.

"Ya, apalagi. Dia harus mau dimadu. Toh, dia juga jadi hidup enak dan enggak bakalan pusing mikirin uang belanja nantinya. Lagian dia, kan, enggak bisa ngapa-ngapain. Laki-laki emang bisa nikah lebih dari satu kali dan punya banyak istri," tegas Bu Mirna meyakinkan anaknya.

Rahman tampak mengangguk-anggukkan kepala sembari memegangi dagunya. Apa yang dikatakan oleh ibunya memnag benar. Lagipula agama dan pemerintah memperbolehkan poligami. Jadi, sah-sah saja jika seorang pria memiliki istri lebih dari satu.

"Tapi bagaimana cara bilangnya ke Alisa, Bu? Kalau enggak dapat izin dari istri pertama, kan, enggak bisa poligami." Rahman menatap ibunya lagi, meminta jawaban.

"Kalau kamu pulang dalam keadaan sudah sah sebagai suami istri dengan Ayu memangnya dia bisa apa? Mau enggak mau dia harus terima. Apalagi dia sudah dibuang sama keluarganya," timpal Bu Mirna. Sepertinya dia telah merancang sebuah rencana di dalam kepalanya.

"Boleh juga, tuh, Bu. Apalagi Ayu, kan, tinggalnya lumayan jauh dari sini, jadi enggak bakalan ketahuan. Aku akan pamit kerja selama dua Minggu di kota seberang saat hari pernikahan dan honeymoon. Kan, sudah biasa Alisa kutinggal seperti itu, jadi dia enggak akan curiga."

Benar-benar manusia yang tidak memiliki hati. Memang benar kata pepatah, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Pantaskah Rahman berhati busuk, karena ibunya pun demikian.

Bu Mirna lupa jika dirinya juga seorang wanita. Tidak memikirkan perasaan menantunya yang rela meninggalkan keluarganya sama sekali. Tidak ingat jika dia juga punya anak perempuan yang masih lajang. Padahal karma itu nyata adanya.

"Ibu akan kasih kamu uang buat modal nikah sama Ayu. Tapi, kamu kasih juga sedikit ke Alisa biar dia enggak sibuk cariin kamu nanti kalau pergi nanti. Pokoknya kamu harus bikin Ayu senang dan ajak dia bulan madu ke tempat pilihannya. Kamu juga harus senang-senang. Selama ini kamu sudah hidup susah sama Alisa. Kamu berhak bahagia sekarang, Nak."

Bu Mirna mengusap lembut kepala putranya dengan lembut. Matanya berkaca-kaca karena terharu. Akhirnya Rahman bisa mendapatkan kebahagiannya sendiri.

"Ih, Ibu sama Mas Rahman apaan, sih. Lebay," cibir Nada dengan mulut mengerucut lima centimeter.

Ketiga manusia berhati busuk itu terlalu sibuk membahas kejahatan yang berdalih kebahagiaan. Tidak sadar jika sedari tadi ada seseorang yang mendengarkan semua percakapan mereka. Bahkan, dia merekamnya sebagai bukti jika diperlukan nanti.

"Sialan! Akan kubuat mereka menyesal," maki orang tersebut sembari mengepalkan kedua tangannya dengan erat untuk meredam amarah yang seketika berkecamuk di dalam dadanya.

Setelah itu, orang tersebut pergi dari sana. Kembali melanjutkan perjalanan ke tujuan utamanya. Padahal tadi dia hanya berniat menyapa keluarga Rahman. Namun, siapa sangka jika dirinya justru mendapatkan informasi menarik yang sangat penting.

Dia akan menggunakan informasi tersebut untuk membalas Rahman dan keluarganya nanti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status