Share

Bertemu Calon Istri

"Sialan!" Tanpa sadar Nada mengeluarkan sisi hatinya. Gegas dia menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Kamu ngatain Ibu? Wah, dasar anak durhaka!" hardik Rahman dengan nada kesal. Padahal sebenarnya dia hanya pura-pura agar adiknya itu mendapat hukuman dari sang Ibu.

Nada segera menutup mulutnya. Isi hatinya terucap begitu saja tanpa disadarinya. Dia menatap awas kepada ibunya. Bersiap kalau-kalau majalah di tangan Bu Mirna mendarat di kepalanya.

"E-engak, kok. Aku lagi liat pesan whatsupp doang," kilah Nada mengangkat ponselnya.

Bu Mirna berdecak kesal. "Kamu masuk saja, Nada. Ini urusan orang dewasa. Sepertinya kamu belum siap untuk mendengar pembicaraan ini."

Dengan berat hati Nada beranjak dari duduknya. Padahal dia pun ingin tahu rencana ibu dan kakaknya.

"Kalau kamu nikah sama Ayu, Ibu akan kasih minimarket untuk kamu kelola."

Rahman senang bukan kepalang. Setelah sekian lama akhirnya sang Ibu memercayainya untuk mengelola minimarket di ujung jalan itu. Artinya dia tidak perlu lagi mencari pekerjaan ke sana kemari. Tinggal tunggu pemasukan setiap hari.

"Benar, Bu!" seru Rahman kegirangan.

"Tentu saja. Ibu kasihan liat kamu. Kalau saja kamu nurut sama Ibu sejak dulu, kamu enggak akan hidup susah sama Alisa," pungkas Bu Mirna melipat kedua tangan di depan dada.

Rahman memang besar di keluarga yang cukup berada dan dimanjakan sejak kecil. Mungkin hal itu pula yang membuatnya enggan melakukan pekerjaan kasar. Namun, meski tidak bekerja dia tetap mendapat uang saku dari ibunya.

"Jadi mana orangnya, Bu?" tanya Rahman antusias. Dia tidak tahu jika semulus itu jalannya untuk mendapatkan istri baru.

"Tunggu aja. Sebentar lagi dia akan datang."

Baru saja Bu Mirna selesai bicara, terdengar suara seorang wanita memberi salam. Sontak membuat Rahman dan ibunya mengalihkan pandangan ke arah sumber suara.

"Selamat pagi Bude, Mas," sapa Ayu dengan suara lembut. Lalu, menundukkan pandangannya malu.

Wajah cantik, ekspresi malu-malu, dan suaranya yang lembut segera menghentakkan hati Rahman. Dia langsung jatuh cinta kepada Ayu.

Bu Mirna tersenyum melihat respon anaknya. Rencananya sudah pasti akan berhasil. "Duduk di sini, Nak. Di samping calon suamimu."

"Calon suami ...." Rahman mengulang perkataan ibunya diiringi senyuman lebar. Terlampau kesenangan.

Tanpa ragu Ayu duduk di samping Rahman. Meraih tangan kanan pria itu dan mencium punggung tangannya. Rahman sontak mencium kening wanita itu.

"Mas!"

"Rahman!"

Ayu dan Bu Mirna sama-sama terkejut melihat kelakuan Rahman. Lalu, pria itu mendapat pukulan telak di punggungnya.

"Kok, dipukul, sih, Bu!" protes Rahman mengusap punggungnya yang terasa panas.

"Kamu ngapain main nyosor aja? Baru kenalan, loh, belum halal." Bu Mirna memperingatkan.

Ah, Bu Mirna bahkan masih ingat dosa. Padahal tanpa perasaan dia yang merencanakan untuk menikahkan Rahman tanpa sepengetahuan istrinya. Tidak memikirkan perasaan menantunya sama sekali.

Rahman nyengir sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf kebiasaan."

Ayu jadi salah tingkah dibuatnya. Meski dalam hati dia bersorak gembira karena mampu mencuri perhatian Rahman sejak pertemuan pertama.

"Enggak apa-apa, kok, Bude. Nanti juga halal. Hitung-hitung belajar sejak dini."

"Tuh, kata Ayu aja enggak apa-apa, Bu. Kok, malah Ibu yang sewot," ujar Rahman memberi pembelaan.

Bu Mirna menepuk jidat. Anak dan calon menantunya sepertinya sama-sama sudah tidak tahan untuk menikah. Kalau begitu, dia harus mempercepat rencananya. Jika tidak, bisa kebablasan mereka.

'Eh, tapi kalau mereka kebablasan, kan, sudah pasti rencanaku untuk menikahkan mereka enggak bakalan gagal. Bakalan mulus seperti jalan tol,' gumam Bu Mirna di dalam hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status