Share

Dua

last update Last Updated: 2025-11-12 10:05:58

Aleya terduduk di atas ranjang dengan pikiran yang berantakan. Tatapannya kosong menatap foto pernikahannya dengan Harun yang tergantung di dinding kamar. Tiga bulan. Baru tiga bulan mereka menikah, tapi kebahagiaan itu kini seperti hancur dalam sekejap.

Sejak kejadian di mal siang tadi, Aleya belum niat menghubungi Harun. Ia menunggu, berharap suaminya yang akan lebih dulu memberi penjelasan. Tapi hingga jarum jam hampir menyentuh angka dua belas malam, ponselnya tetap sepi. Tidak ada satu pun pesan, tidak ada panggilan masuk.

Hingga akhirnya, suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Harun pulang.

Biasanya, Aleya akan berlari menyambut kedatangan suaminya dengan senyum dan pelukan. Namun malam ini, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Jangankan membukakan pintu, bangkit dari tempat tidur pun rasanya berat.

“Belum tidur?” tanya Harun pelan setelah melangkah masuk ke kamar. Ia tampak lelah, dasinya belum terlepas. Tapi Aleya tidak menjawab. Ia tetap duduk di sisi ranjang, menatap lurus ke depan.

Harun menghela napas panjang, kemudian duduk di sebelahnya. Hening menggantung di antara mereka sebelum akhirnya pria itu bersuara.

“Wanita yang kamu lihat di mal tadi…” Harun berhenti sejenak. “Dia istriku.”

Jantung Aleya seperti berhenti berdetak. Meski ia sudah menebak arah pembicaraan ini, tetap saja rasanya seperti perih seperti disayat dari dalam. Ia meremas bantal di pangkuannya, air mata mulai menggenang.

“Dan anak kecil tadi itu...anakku.”

Isakan pertama Aleya pecah begitu saja. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Harun hanya bisa menatap, tidak berani menyentuhnya. Ia tahu pelukannya tidak akan bisa menenangkan luka sebesar itu.

Sunyi. Hanya suara tangis yang terdengar di kamar malam itu.

“Kenapa kamu menikahiku kalau kamu sudah punya istri, Mas?” akhirnya Aleya bersuara lirih di sela tangisnya.

Harun menatapnya. “Karena aku mencintaimu.”

Aleya tertawa getir di antara isak. “Cinta? Cinta yang menyakiti seperti ini?”

Harun menunduk. Tidak sanggup menatap mata Aleya.

“Tolong jawab jujur,” ucap Aleya dengan suara bergetar.

“Selain karena cinta,” kata Harun pelan, “aku… juga butuh keturunan laki-laki.”

Tangis Aleya kembali pecah, kali ini lebih keras. Jadi alasannya bukan karena cinta, tapi karena kebutuhan. Ia hanya dijadikan alat.

Harun adalah anak tunggal keluarga Wijaksana. Yang mana di keluarganya, garis keturunan laki-laki adalah segalanya. Hanya laki-laki yang berhak mewarisi dan memimpin perusahaan keluarga. Mereka takut jika kelak kepemimpinan jatuh ke tangan menantu, orang luar bagi mereka.

“Kenapa harus menikah lagi?” Aleya menatapnya dengan mata sembab. “Kenapa tidak dengan istrimu? Bukankah dia juga bisa memberimu anak laki-laki?”

“Tidak bisa,” jawab Harun lirih. “Setelah melahirkan anak pertama kami, Aisyah mengalami pendarahan hebat. Ternyata ada tumor di rahimnya. Ia harus menjalani operasi pengangkatan rahim.”

Aleya memejamkan mata, air matanya kembali jatuh. Jadi itulah alasannya. Ia dipilih hanya karena tubuhnya masih bisa melahirkan.

“Jadi aku ini cuma mesin pencetak keturunan, begitu?”

“Tidak, Sayang. Itu tidak benar,” sanggah Harun cepat. “Aku menikah denganmu karena aku mencintaimu.”

“Apa Aisyah tahu soal pernikahan kita?”

Harun menggeleng pelan. “Sama sepertimu, dia juga tidak tahu.”

Aleya menatap tajam. “Kamu egois, Mas. Demi ambisi punya anak laki-laki, kamu mempermainkan perasaan dua perempuan sekaligus.” Ia memukul dada Harun dengan tangan gemetar. “Tega kamu mas.”

“Maaf. Maafkan aku, Aleya. Aku berjanji akan berusaha adil untuk kalian berdua.”

“Tidak!” Aleya menjerit pelan. “Kamu tidak akan pernah bisa adil. Yang ada, setiap hari kamu akan melukai hatiku dan hatinya. Tidak ada perempuan di dunia ini yang benar-benar rela dimadu.”

Harun mencoba meraih tangannya, tapi Aleya menepis kasar.

“Ceraikan aku, Mas. Sekarang.”

Harun menggeleng cepat. “Aku tidak bisa.”

“Kenapa tidak? Karena aku belum memberimu anak laki-laki?”

Harun terdiam. Diamnya adalah jawaban yang paling menyakitkan.

“Kalau begitu cari saja wanita lain. Tapi jangan aku. Aku gak mau jadi perusak rumah tangga orang, Mas. Aku gak mau menyakiti perempuan lain seperti aku disakiti sekarang.” Suaranya bergetar. “Ceraikan aku, sekarang.”

“Tidak, Aleya. Aku tidak akan menceraikanmu,” ucap Harun mantap.

“Kenapa harus aku, Mas? Kenapa bukan wanita lain? Kenapa harus aku yang kamu permainkan perasaannya?”

“Karena aku mencintaimu.”

Aleya menatapnya dengan tatapan kosong. “Cinta? Cinta yang dibalut kebohongan?”

Harun menunduk lagi. “Setahun terakhir, Mama memaksaku menikah lagi. Aku selalu menolak. Tapi saat tahu wanita itu kamu, aku tak bisa menolak lagi. Karena cinta kita… belum benar-benar selesai dulu.”

Aleya tertegun. Ia dan Harun memang pernah bersama di masa lalu, sebelum akhirnya berpisah karena keluarganya pindah ke Batam. Dan kini, mereka dipertemukan kembali, tapi dalam takdir yang pahit.

“Lalu Aisyah?” tanya Aleya pelan.

Harun menghela napas berat. “Aku juga mencintainya. Dia ibu dari anakku.”

Kata-kata itu membuat dada Aleya seperti diremas. Ia ingin marah, tapi hanya air mata yang keluar.

“Kenapa laki-laki selalu egois, Mas? Selalu merasa punya hak untuk melukai atas nama cinta dan alasan agama? Poligami memang boleh, tapi menyakiti bukan bagian dari cinta. Jangan bilang kamu mencintaiku, karena cinta seharusnya tidak seperti ini.”

Harun diam. Ia tahu Aleya benar. Tapi ia juga tahu, tidak ada jalan mundur lagi.

“Kalau benar kamu tidak mau menyakitiku,” ujar Aleya akhirnya, “lepaskan aku.”

“Tidak,” ucap Harun tegas. “Aku tidak akan menceraikanmu, sampai kapan pun.”

Harun bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. “Aku tidur di luar.”

Aleya menatap punggungnya dengan mata berlinang. “Kalau begitu, aku yang akan menggugat cerai.”

Harun berhenti sejenak, tapi tak menoleh. Lalu keluar dan menutup pintu.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Aleya menangis sampai matanya bengkak.

***

Pagi menjelang.

Suara muntah-muntah dari kamar mandi membangunkan Harun yang tidur di sofa ruang tamu. Ia langsung berlari ke kamar.

“Al?” Harun panik melihat Aleya di depan wastafel, tubuhnya gemetar. Ia cepat-cepat memijit tengkuk istrinya agar sedikit tenang.

“Kamu kenapa? Sakit?”

Aleya menegakkan tubuh dengan wajah pucat. “Cuma masuk angin,” jawabnya pelan.

Harun menatapnya lekat. “Kamu hamil?”

Aleya terdiam. Ia tak menyangka Harun akan langsung menebak.

“Jangan bohong, Aleya. Aku tahu kamu.” Harun menatap mata istrinya dalam-dalam. “Kamu gak pandai berbohong.”

Aleya menarik napas berat, lalu berkata lirih, “Kehamilan ini… tidak akan mengubah keputusanku. Aku tetap ingin bercerai.”

Harun menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. Kalimat itu saja sudah cukup membuktikan bahwa dugaannya benar, istrinya memang sedang mengandung.

“Baiklah,” katanya tenang. “Kalau kau ingin bercerai, aku akan menyetujuinya, setelah anak ini lahir.”

Aleya menatap tak percaya.

“Bertahanlah sampai anak ini lahir, Aleya. Idah wanita hamil adalah sampai melahirkan. Hidup sendirian dalam keadaan hamil itu berat. Aku hanya ingin memastikan kamu dan bayi ini aman.”

Aleya terdiam lama.

“Tapi bagaimana kalau anak ini perempuan?” tanyanya lirih.

Harun menatapnya tenang. “Kita bicarakan lagi nanti setelah tahu jenis kelaminnya.”

Dan dalam hati kecilnya, Harun tahu apa pun yang terjadi nanti, ia tidak akan pernah benar-benar melepaskan Aleya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   enam

    "Papa."Aqilah, gadis kecil itu langsung berlari menyongsong papanya, menghambur dalam pelukan dan berakhir digendong oleh Harun."Uh…" Harun mencubit gemas pipi chubby putrinya itu."Papa kangen banget sama Aqilah.""Aqilah juga kangen Papa," balasnya sambil mengecup pipi Harun dengan polos."Sama Mama, kangen gak?" Aisyah mendekati, mencium punggung tangan Harun. Biasanya, Harun akan spontan mengecup kening wanita itu. Tapi tidak malam ini. Ada sekelebat ragu yang menahan geraknya. Sebelum membalas, Harun sempat menatap Aleya yang duduk tak jauh. Hanya beberapa detik, tapi cukup membuat napas Aleya tercekat.Saat Aleya mengalihkan pandangan, barulah Harun mengecup kening Aisyah. Seolah menutupi perubahan kecil dalam ekspresinya.Aleya hanya duduk kaku. Meski berusaha tak melihat, sudut matanya menangkap jelas kemesraan itu. Hatinya mencelos. Kenapa dia harus menyaksikan ini? Kenapa dia harus ada di tengah keluarga yang sebenarnya bukan untuknya?Sudah menjadi yang kedua saja menimbu

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Limaa

    Setelah adonan selesai di-mixer, Aleya memindahkannya ke dalam cetakan bolu bundar yang bagian tengahnya bolong. Ia membuka oven, lalu memasukkan adonan berwarna hijau itu ke sana. Seharian ini, untuk mengurangi bosan, ia membuat kue bersama Bi Atum, pembantu di rumah mertuanya. Mama Rina melarangnya pulang dengan alasan khawatir akan kondisinya. "Hamil muda itu masih rentan, terutama trimester pertama. Jadi ambil amannya, kamu tinggal di sini sama Mama." Kurang lebih seperti itu perkataan Mama Rina. Tidak enak menolak, Aleya pun menyetujui, meski sebenarnya, dia bosan di sini. Tidak bisa nobar dan ngerumpi dengan Mita seperti biasanya. Sebab, di rumah mertua, tidak sebebas di rumahnya sendiri. "Mbak Aleya pinter banget bikin kue," puji Bi Atum. Aleya terkekeh, "Bisa aja, Bi. Belum juga ngerasain enak enggaknya, udah dipuji aja." "Udah pasti enak, Bibi yakin. Dilihat dari step by step Mbak Aleya aja udah ketebak hasilnya pasti enak. Soalnya mbak Aleya terampil, kayak chef di

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Empat

    Selasai keramas Aleya baru membuka ponselnya malam itu, yang seharian ini memang dibiarkan tergeletak di meja rias. Puluhan pesan dari Mita memenuhi layar. Sebagian besar menanyakan di mana keberadaannya sekarang. Tapi di antara banyak pesan itu, satu kalimat berhasil membuatnya tersenyum getir. [Kamu gak bunuh diri kan, Al?]Tangannya langsung menari di atas keypad, menuliskan balasan dengan cepat. Andai saja bunuh diri tidak termasuk dosa besar, mungkin itu bisa jadi jalan keluar dari penderitaannya sekarang.[Aku di rumah mertua. Bunuh diri? Aku sudah diracun, tapi tidak mati, mau bunuh diri seperti apa lagi?]Apakah kalimat itu terdengar putus asa? Entahlah. Aleya tidak peduli lagi. Ia tekan tombol kirim, lalu menatap layar hingga tanda centang dua abu-abu muncul.Perlahan, pandangannya teralihkan ke langit-langit kamar. Pikirannya kembali pada masa tiga bulan lalu, saat ia merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia. Hidup sendirian di Jakarta, hanya lulusan SMA, lalu dipers

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Tiga

    Aleya tak bisa menolak saat Harun memaksa ikut mengantarnya ke dokter kandungan. Wajah Harun tampak berseri-seri ketika menatap monitor yang menampilkan bulatan kecil yang kata dokter, itu adalah kantung janin. Berbeda dengan yang Aleya bayangkan. Ia sempat berpikir Harun tidak akan terlalu antusias, toh ini bukan anak pertamanya, melainkan anak keduanya. Tapi ternyata, ekspresi suaminya itu masih sama seperti ayah muda yang menanti anak pertama. Sepanjang pemeriksaan, Harun terus menggenggam tangannya. Awalnya Aleya sempat berusaha menepis, tapi akhirnya ia membiarkan. Bukan karena luluh, melainkan karena tidak ingin memancing perdebatan di tempat umum.Sepulang dari dokter, Harun mengajaknya singgah ke rumah Mama Rieta. Seperti biasa, perempuan paruh baya itu menyambut kedatangan mereka dengan wajah hangat dan senyum lebar. Apalagi saat mendengar kabar bahwa Aleya tengah mengandung calon cucunya. Perhatian Mama Rieta malam itu terasa berlipat.“Pesan dari Mama, jangan terlalu capek

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Dua

    Aleya terduduk di atas ranjang dengan pikiran yang berantakan. Tatapannya kosong menatap foto pernikahannya dengan Harun yang tergantung di dinding kamar. Tiga bulan. Baru tiga bulan mereka menikah, tapi kebahagiaan itu kini seperti hancur dalam sekejap.Sejak kejadian di mal siang tadi, Aleya belum niat menghubungi Harun. Ia menunggu, berharap suaminya yang akan lebih dulu memberi penjelasan. Tapi hingga jarum jam hampir menyentuh angka dua belas malam, ponselnya tetap sepi. Tidak ada satu pun pesan, tidak ada panggilan masuk.Hingga akhirnya, suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Harun pulang.Biasanya, Aleya akan berlari menyambut kedatangan suaminya dengan senyum dan pelukan. Namun malam ini, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Jangankan membukakan pintu, bangkit dari tempat tidur pun rasanya berat.“Belum tidur?” tanya Harun pelan setelah melangkah masuk ke kamar. Ia tampak lelah, dasinya belum terlepas. Tapi Aleya tidak menjawab. Ia tetap duduk di sisi ranjang, menatap lurus

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Satu

    Tangan Aleya bergetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan. Air matanya menetes perlahan, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan bahagia. Ia tersenyum, menatap hasil itu tidak percaya. Tuhan benar-benar baik. Di bulan ketiga pernikahannya dengan Harun, ia sudah positif hamil.Di usianya yang ke-27 dan Harun yang kini 33 tahun, mereka memang sepakat tidak ingin menunda memiliki anak. Aleya mengusap perut datarnya dengan penuh kasih. Di sanalah kini tumbuh buah cinta pertama mereka. Rasanya tak sabar untuk segera memberi tahu Harun kabar ini.Sayangnya, suaminya sedang berada di luar kota. Harun memang jarang di rumah; seminggu pun hanya dua hari ia pulang. Sisanya, ia sibuk mengurus pembukaan cabang baru perusahaannya.Dering ponsel memecah lamunannya. Aleya buru-buru mengambilnya dari atas nakas. Sekilas wajahnya berseri, barangkali Harun menelepon. Namun ternyata, nama yang muncul di layar bukan suaminya, melainkan Mita, sahabat sekaligus tetanggan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status