Share

Aku Di Antara Pernikahan Pertama
Aku Di Antara Pernikahan Pertama
Author: KolongLangit_15

Satu

last update Last Updated: 2025-11-12 09:44:37

Tangan Aleya bergetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan. Air matanya menetes perlahan, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan bahagia. Ia tersenyum, menatap hasil itu tidak percaya. Tuhan benar-benar baik. Di bulan ketiga pernikahannya dengan Harun, ia sudah positif hamil.

Di usianya yang ke-27 dan Harun yang kini 33 tahun, mereka memang sepakat tidak ingin menunda memiliki anak. Aleya mengusap perut datarnya dengan penuh kasih. Di sanalah kini tumbuh buah cinta pertama mereka. Rasanya tak sabar untuk segera memberi tahu Harun kabar ini.

Sayangnya, suaminya sedang berada di luar kota. Harun memang jarang di rumah; seminggu pun hanya dua hari ia pulang. Sisanya, ia sibuk mengurus pembukaan cabang baru perusahaannya.

Dering ponsel memecah lamunannya. Aleya buru-buru mengambilnya dari atas nakas. Sekilas wajahnya berseri, barangkali Harun menelepon. Namun ternyata, nama yang muncul di layar bukan suaminya, melainkan Mita, sahabat sekaligus tetangganya.

“Halo, Mita?”

“Gimana, udah dites?” suara Mita terdengar antusias di seberang sana.

“Udah.” Aleya tersenyum, menatap test pack itu sekali lagi.

“Terus hasilnya gimana?”

“Hmm…” Aleya sengaja menunda, ingin membuat sahabatnya penasaran.

“Buruan dong!”

“Alhamdulillah, positif.”

“Tuh kan! Aku udah bilang! Dengar ya, kali ini aku yang minta traktiran,” seru Mita diiringi tawa kecil.

“Itu mah gampang,” jawab Aleya ikut tertawa.

“Kamu udah kasih tahu Harun?”

“Belum. Aku mau bikin surprise. Kamu bantuin ya?”

“Duh, urusan kayak gitu serahin aja ke aku,” sahut Mita mantap.

Keduanya pun berencana pergi ke mal besok, sekalian untuk merancang kejutan kecil bagi Harun.

***

Keesokan siangnya, sesuai janji, Aleya dan Mita berjalan-jalan ke mal. Awalnya hanya ingin makan dan mencari ide, tapi seperti kebanyakan wanita, godaan belanja tak bisa dihindari.

“Beneran kamu yang bayarin?” tanya Mita saat di kasir, menggenggam dua kantong belanja besar.

“Iya. Tapi kalau kamu keberatan, aku tarik lagi deh kartunya.”

“Eits, gak gitu juga. Rezeki mah jangan ditolak,” sahut Mita sambil tertawa kecil.

Usai membayar, mereka memilih makan di restoran favorit. Sambil menunggu pesanan datang, Aleya bercerita tentang rencana kejutan untuk Harun mungkin dengan kue, atau hadiah kecil bertuliskan “You’re going to be a dad.”

“Harun pasti seneng banget, Al. Dia bakal jadi ayah.”

“Aku udah gak sabar pengen lihat reaksinya,” kata Aleya sambil membayangkan senyum suaminya nanti.

“Tapi, Al,” ucap Mita sambil menatapnya serius, “kalau kamu nanti udah hamil besar, Harun masih sering keluar kota gak? Gak baik loh kamu sendirian di rumah.”

“Kan ada kamu. Kalau ada apa-apa aku bisa minta tolong.”

“Ya, tapi bentar lagi aku juga sibuk persiapan nikah. Coba deh bicarain sama dia. Soalnya hubungan yang sering LDR itu rawan, apalagi zaman sekarang, pelakor di mana-mana.”

Aleya mendengus pelan. “Kamu ini ya, suka banget bikin aku parno. Aku percaya Mas Harun gak akan macam-macam.”

“Terlalu percaya juga bahaya, Al.”

“Udah ah, kamu bikin aku overthinking aja deh. Makan dulu yuk, lapar nih.”

Mita tersenyum, dan keduanya pun kembali menikmati makanannya. Aleya masih diliputi rasa bahagia yang sama yakin bahwa rumah tangganya baik-baik saja.

Namun, takdir ternyata menyiapkan kejutan lain.

Setelah makan, mereka berdua sempat singgah ke butik tas. Pandangan Aleya terpaku pada sebuah tas keluaran baru yang dipajang di etalase.

“Ta, gimana? Cocok gak aku pakai ini?” tanya Aleya sambil menenteng tas itu di depan cermin.

Tapi Mita malah diam. Tatapannya lurus menembus kaca, ke arah luar toko.

“Kamu ngeliatin apa sih?” Aleya mengerutkan dahi dan mengikuti arah pandang sahabatnya.

“Al… kamu serius Harun lagi diluar Kota? Itu kayaknya Harun deh.” Mita menunjuk dengan nada ragu.

Aleya spontan menatap ke arah yang ditunjuk. Dan saat itu juga, jantungnya seperti berhenti berdetak.

Benar. Itu Harun.

Suaminya sendiri.

Berjalan santai dengan seorang wanita cantik, sambil mendorong stroller bayi.

Mereka terlihat begitu akrab. Wanita itu menatap Harun dengan senyum hangat, lalu keduanya masuk ke toko pakaian anak.

Wajah Aleya memucat. Ia segera menaruh tas yang tadi dicobanya, lalu melangkah cepat mengejar.

“Katanya kerja di luar kota,” gumam Aleya geram. “Ternyata malah jalan bareng perempuan lain.”

Langkahnya makin cepat, wajahnya memerah karena emosi. Namun tepat sebelum Aleya masuk ke toko, Harun dan wanita itu keluar. Langkahnya terhenti. Harun kaget melihat Aleya berdiri di depannya.

“Ku—” Aleya belum sempat bicara, ketika suara kecil memotongnya.

“Papa, ayo…”

Dunia Aleya seolah berhenti. Kata itu… Papa.

Anak kecil itu memanggil suaminya papa.

Tas belanja Aleya jatuh begitu saja. Lututnya gemetar.

Wanita di samping Harun menunduk mengambil tasnya. “Mbak, ini jatuh,” ucapnya sopan. Nada bicaranya lembut, penuh wibawa.

Aleya hanya mampu menerima tas itu tanpa suara. Semua amarah yang tadi membara seketika hilang berganti hampa.

“Mbak baik-baik aja? Wajahnya pucat,” tanya wanita itu lagi.

Aleya mengangguk pelan, tidak sanggup bicara. Mita segera mendekat, menepuk punggungnya lembut.

“Oh, syukurlah ada temannya,” ujar wanita itu ramah.

Aleya menatap Harun, berharap pria itu akan menjelaskan sesuatu, apa pun. Tapi Harun hanya menghindari pandangannya.

“Papa gendong,” pinta anak kecil itu lagi. Seolah takut Harun diambil olehnya. Dan benar saja, Harun benar-benar menuruti, mengangkat balita itu ke pelukannya, seolah tak ada istrinya yang sedang menyaksikan semuanya.

“Kalau begitu, saya dan suami pamit dulu ya,” ujar wanita itu tersenyum sopan sebelum berlalu.

Suami?

Kata itu menghantam Aleya lebih keras dari apa pun.

Kakinya nyaris tak kuat berdiri. Mita buru-buru memegangi lengannya sebelum ia jatuh. Napas Aleya tersengal, pandangannya kabur oleh air mata.

“Ta…” suaranya bergetar, hampir tidak terdengar. “Aku gak salah denger kan? Tadi dia bilang Mas Harun suaminya?”

Mita tidak menjawab, hanya menatap kosong ke arah punggung Harun yang semakin jauh.

“Dan anak kecil itu manggil dia papa,” lanjut Aleya lirih. “Kalau mereka keluarganya… lalu aku siapa, Ta?”

Air matanya jatuh, satu per satu. “Aku bukan… wanita keduakan kan, Ta?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   enam

    "Papa."Aqilah, gadis kecil itu langsung berlari menyongsong papanya, menghambur dalam pelukan dan berakhir digendong oleh Harun."Uh…" Harun mencubit gemas pipi chubby putrinya itu."Papa kangen banget sama Aqilah.""Aqilah juga kangen Papa," balasnya sambil mengecup pipi Harun dengan polos."Sama Mama, kangen gak?" Aisyah mendekati, mencium punggung tangan Harun. Biasanya, Harun akan spontan mengecup kening wanita itu. Tapi tidak malam ini. Ada sekelebat ragu yang menahan geraknya. Sebelum membalas, Harun sempat menatap Aleya yang duduk tak jauh. Hanya beberapa detik, tapi cukup membuat napas Aleya tercekat.Saat Aleya mengalihkan pandangan, barulah Harun mengecup kening Aisyah. Seolah menutupi perubahan kecil dalam ekspresinya.Aleya hanya duduk kaku. Meski berusaha tak melihat, sudut matanya menangkap jelas kemesraan itu. Hatinya mencelos. Kenapa dia harus menyaksikan ini? Kenapa dia harus ada di tengah keluarga yang sebenarnya bukan untuknya?Sudah menjadi yang kedua saja menimbu

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Limaa

    Setelah adonan selesai di-mixer, Aleya memindahkannya ke dalam cetakan bolu bundar yang bagian tengahnya bolong. Ia membuka oven, lalu memasukkan adonan berwarna hijau itu ke sana. Seharian ini, untuk mengurangi bosan, ia membuat kue bersama Bi Atum, pembantu di rumah mertuanya. Mama Rina melarangnya pulang dengan alasan khawatir akan kondisinya. "Hamil muda itu masih rentan, terutama trimester pertama. Jadi ambil amannya, kamu tinggal di sini sama Mama." Kurang lebih seperti itu perkataan Mama Rina. Tidak enak menolak, Aleya pun menyetujui, meski sebenarnya, dia bosan di sini. Tidak bisa nobar dan ngerumpi dengan Mita seperti biasanya. Sebab, di rumah mertua, tidak sebebas di rumahnya sendiri. "Mbak Aleya pinter banget bikin kue," puji Bi Atum. Aleya terkekeh, "Bisa aja, Bi. Belum juga ngerasain enak enggaknya, udah dipuji aja." "Udah pasti enak, Bibi yakin. Dilihat dari step by step Mbak Aleya aja udah ketebak hasilnya pasti enak. Soalnya mbak Aleya terampil, kayak chef di

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Empat

    Selasai keramas Aleya baru membuka ponselnya malam itu, yang seharian ini memang dibiarkan tergeletak di meja rias. Puluhan pesan dari Mita memenuhi layar. Sebagian besar menanyakan di mana keberadaannya sekarang. Tapi di antara banyak pesan itu, satu kalimat berhasil membuatnya tersenyum getir. [Kamu gak bunuh diri kan, Al?]Tangannya langsung menari di atas keypad, menuliskan balasan dengan cepat. Andai saja bunuh diri tidak termasuk dosa besar, mungkin itu bisa jadi jalan keluar dari penderitaannya sekarang.[Aku di rumah mertua. Bunuh diri? Aku sudah diracun, tapi tidak mati, mau bunuh diri seperti apa lagi?]Apakah kalimat itu terdengar putus asa? Entahlah. Aleya tidak peduli lagi. Ia tekan tombol kirim, lalu menatap layar hingga tanda centang dua abu-abu muncul.Perlahan, pandangannya teralihkan ke langit-langit kamar. Pikirannya kembali pada masa tiga bulan lalu, saat ia merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia. Hidup sendirian di Jakarta, hanya lulusan SMA, lalu dipers

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Tiga

    Aleya tak bisa menolak saat Harun memaksa ikut mengantarnya ke dokter kandungan. Wajah Harun tampak berseri-seri ketika menatap monitor yang menampilkan bulatan kecil yang kata dokter, itu adalah kantung janin. Berbeda dengan yang Aleya bayangkan. Ia sempat berpikir Harun tidak akan terlalu antusias, toh ini bukan anak pertamanya, melainkan anak keduanya. Tapi ternyata, ekspresi suaminya itu masih sama seperti ayah muda yang menanti anak pertama. Sepanjang pemeriksaan, Harun terus menggenggam tangannya. Awalnya Aleya sempat berusaha menepis, tapi akhirnya ia membiarkan. Bukan karena luluh, melainkan karena tidak ingin memancing perdebatan di tempat umum.Sepulang dari dokter, Harun mengajaknya singgah ke rumah Mama Rieta. Seperti biasa, perempuan paruh baya itu menyambut kedatangan mereka dengan wajah hangat dan senyum lebar. Apalagi saat mendengar kabar bahwa Aleya tengah mengandung calon cucunya. Perhatian Mama Rieta malam itu terasa berlipat.“Pesan dari Mama, jangan terlalu capek

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Dua

    Aleya terduduk di atas ranjang dengan pikiran yang berantakan. Tatapannya kosong menatap foto pernikahannya dengan Harun yang tergantung di dinding kamar. Tiga bulan. Baru tiga bulan mereka menikah, tapi kebahagiaan itu kini seperti hancur dalam sekejap.Sejak kejadian di mal siang tadi, Aleya belum niat menghubungi Harun. Ia menunggu, berharap suaminya yang akan lebih dulu memberi penjelasan. Tapi hingga jarum jam hampir menyentuh angka dua belas malam, ponselnya tetap sepi. Tidak ada satu pun pesan, tidak ada panggilan masuk.Hingga akhirnya, suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Harun pulang.Biasanya, Aleya akan berlari menyambut kedatangan suaminya dengan senyum dan pelukan. Namun malam ini, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Jangankan membukakan pintu, bangkit dari tempat tidur pun rasanya berat.“Belum tidur?” tanya Harun pelan setelah melangkah masuk ke kamar. Ia tampak lelah, dasinya belum terlepas. Tapi Aleya tidak menjawab. Ia tetap duduk di sisi ranjang, menatap lurus

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Satu

    Tangan Aleya bergetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan. Air matanya menetes perlahan, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan bahagia. Ia tersenyum, menatap hasil itu tidak percaya. Tuhan benar-benar baik. Di bulan ketiga pernikahannya dengan Harun, ia sudah positif hamil.Di usianya yang ke-27 dan Harun yang kini 33 tahun, mereka memang sepakat tidak ingin menunda memiliki anak. Aleya mengusap perut datarnya dengan penuh kasih. Di sanalah kini tumbuh buah cinta pertama mereka. Rasanya tak sabar untuk segera memberi tahu Harun kabar ini.Sayangnya, suaminya sedang berada di luar kota. Harun memang jarang di rumah; seminggu pun hanya dua hari ia pulang. Sisanya, ia sibuk mengurus pembukaan cabang baru perusahaannya.Dering ponsel memecah lamunannya. Aleya buru-buru mengambilnya dari atas nakas. Sekilas wajahnya berseri, barangkali Harun menelepon. Namun ternyata, nama yang muncul di layar bukan suaminya, melainkan Mita, sahabat sekaligus tetanggan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status