LOGIN
"Papa."Aqilah, gadis kecil itu langsung berlari menyongsong papanya, menghambur dalam pelukan dan berakhir digendong oleh Harun."Uh…" Harun mencubit gemas pipi chubby putrinya itu."Papa kangen banget sama Aqilah.""Aqilah juga kangen Papa," balasnya sambil mengecup pipi Harun dengan polos."Sama Mama, kangen gak?" Aisyah mendekati, mencium punggung tangan Harun. Biasanya, Harun akan spontan mengecup kening wanita itu. Tapi tidak malam ini. Ada sekelebat ragu yang menahan geraknya. Sebelum membalas, Harun sempat menatap Aleya yang duduk tak jauh. Hanya beberapa detik, tapi cukup membuat napas Aleya tercekat.Saat Aleya mengalihkan pandangan, barulah Harun mengecup kening Aisyah. Seolah menutupi perubahan kecil dalam ekspresinya.Aleya hanya duduk kaku. Meski berusaha tak melihat, sudut matanya menangkap jelas kemesraan itu. Hatinya mencelos. Kenapa dia harus menyaksikan ini? Kenapa dia harus ada di tengah keluarga yang sebenarnya bukan untuknya?Sudah menjadi yang kedua saja menimbu
Setelah adonan selesai di-mixer, Aleya memindahkannya ke dalam cetakan bolu bundar yang bagian tengahnya bolong. Ia membuka oven, lalu memasukkan adonan berwarna hijau itu ke sana. Seharian ini, untuk mengurangi bosan, ia membuat kue bersama Bi Atum, pembantu di rumah mertuanya. Mama Rina melarangnya pulang dengan alasan khawatir akan kondisinya. "Hamil muda itu masih rentan, terutama trimester pertama. Jadi ambil amannya, kamu tinggal di sini sama Mama." Kurang lebih seperti itu perkataan Mama Rina. Tidak enak menolak, Aleya pun menyetujui, meski sebenarnya, dia bosan di sini. Tidak bisa nobar dan ngerumpi dengan Mita seperti biasanya. Sebab, di rumah mertua, tidak sebebas di rumahnya sendiri. "Mbak Aleya pinter banget bikin kue," puji Bi Atum. Aleya terkekeh, "Bisa aja, Bi. Belum juga ngerasain enak enggaknya, udah dipuji aja." "Udah pasti enak, Bibi yakin. Dilihat dari step by step Mbak Aleya aja udah ketebak hasilnya pasti enak. Soalnya mbak Aleya terampil, kayak chef di
Selasai keramas Aleya baru membuka ponselnya malam itu, yang seharian ini memang dibiarkan tergeletak di meja rias. Puluhan pesan dari Mita memenuhi layar. Sebagian besar menanyakan di mana keberadaannya sekarang. Tapi di antara banyak pesan itu, satu kalimat berhasil membuatnya tersenyum getir. [Kamu gak bunuh diri kan, Al?]Tangannya langsung menari di atas keypad, menuliskan balasan dengan cepat. Andai saja bunuh diri tidak termasuk dosa besar, mungkin itu bisa jadi jalan keluar dari penderitaannya sekarang.[Aku di rumah mertua. Bunuh diri? Aku sudah diracun, tapi tidak mati, mau bunuh diri seperti apa lagi?]Apakah kalimat itu terdengar putus asa? Entahlah. Aleya tidak peduli lagi. Ia tekan tombol kirim, lalu menatap layar hingga tanda centang dua abu-abu muncul.Perlahan, pandangannya teralihkan ke langit-langit kamar. Pikirannya kembali pada masa tiga bulan lalu, saat ia merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia. Hidup sendirian di Jakarta, hanya lulusan SMA, lalu dipers
Aleya tak bisa menolak saat Harun memaksa ikut mengantarnya ke dokter kandungan. Wajah Harun tampak berseri-seri ketika menatap monitor yang menampilkan bulatan kecil yang kata dokter, itu adalah kantung janin. Berbeda dengan yang Aleya bayangkan. Ia sempat berpikir Harun tidak akan terlalu antusias, toh ini bukan anak pertamanya, melainkan anak keduanya. Tapi ternyata, ekspresi suaminya itu masih sama seperti ayah muda yang menanti anak pertama. Sepanjang pemeriksaan, Harun terus menggenggam tangannya. Awalnya Aleya sempat berusaha menepis, tapi akhirnya ia membiarkan. Bukan karena luluh, melainkan karena tidak ingin memancing perdebatan di tempat umum.Sepulang dari dokter, Harun mengajaknya singgah ke rumah Mama Rieta. Seperti biasa, perempuan paruh baya itu menyambut kedatangan mereka dengan wajah hangat dan senyum lebar. Apalagi saat mendengar kabar bahwa Aleya tengah mengandung calon cucunya. Perhatian Mama Rieta malam itu terasa berlipat.“Pesan dari Mama, jangan terlalu capek
Aleya terduduk di atas ranjang dengan pikiran yang berantakan. Tatapannya kosong menatap foto pernikahannya dengan Harun yang tergantung di dinding kamar. Tiga bulan. Baru tiga bulan mereka menikah, tapi kebahagiaan itu kini seperti hancur dalam sekejap.Sejak kejadian di mal siang tadi, Aleya belum niat menghubungi Harun. Ia menunggu, berharap suaminya yang akan lebih dulu memberi penjelasan. Tapi hingga jarum jam hampir menyentuh angka dua belas malam, ponselnya tetap sepi. Tidak ada satu pun pesan, tidak ada panggilan masuk.Hingga akhirnya, suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Harun pulang.Biasanya, Aleya akan berlari menyambut kedatangan suaminya dengan senyum dan pelukan. Namun malam ini, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Jangankan membukakan pintu, bangkit dari tempat tidur pun rasanya berat.“Belum tidur?” tanya Harun pelan setelah melangkah masuk ke kamar. Ia tampak lelah, dasinya belum terlepas. Tapi Aleya tidak menjawab. Ia tetap duduk di sisi ranjang, menatap lurus
Tangan Aleya bergetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan. Air matanya menetes perlahan, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan bahagia. Ia tersenyum, menatap hasil itu tidak percaya. Tuhan benar-benar baik. Di bulan ketiga pernikahannya dengan Harun, ia sudah positif hamil.Di usianya yang ke-27 dan Harun yang kini 33 tahun, mereka memang sepakat tidak ingin menunda memiliki anak. Aleya mengusap perut datarnya dengan penuh kasih. Di sanalah kini tumbuh buah cinta pertama mereka. Rasanya tak sabar untuk segera memberi tahu Harun kabar ini.Sayangnya, suaminya sedang berada di luar kota. Harun memang jarang di rumah; seminggu pun hanya dua hari ia pulang. Sisanya, ia sibuk mengurus pembukaan cabang baru perusahaannya.Dering ponsel memecah lamunannya. Aleya buru-buru mengambilnya dari atas nakas. Sekilas wajahnya berseri, barangkali Harun menelepon. Namun ternyata, nama yang muncul di layar bukan suaminya, melainkan Mita, sahabat sekaligus tetanggan







