Share

Tiga

last update Last Updated: 2025-11-12 10:21:53

Aleya tak bisa menolak saat Harun memaksa ikut mengantarnya ke dokter kandungan. Wajah Harun tampak berseri-seri ketika menatap monitor yang menampilkan bulatan kecil yang kata dokter, itu adalah kantung janin. 

Berbeda dengan yang Aleya bayangkan. Ia sempat berpikir Harun tidak akan terlalu antusias, toh ini bukan anak pertamanya, melainkan anak keduanya. Tapi ternyata, ekspresi suaminya itu masih sama seperti ayah muda yang menanti anak pertama. Sepanjang pemeriksaan, Harun terus menggenggam tangannya. Awalnya Aleya sempat berusaha menepis, tapi akhirnya ia membiarkan. Bukan karena luluh, melainkan karena tidak ingin memancing perdebatan di tempat umum.

Sepulang dari dokter, Harun mengajaknya singgah ke rumah Mama Rieta. Seperti biasa, perempuan paruh baya itu menyambut kedatangan mereka dengan wajah hangat dan senyum lebar. Apalagi saat mendengar kabar bahwa Aleya tengah mengandung calon cucunya. Perhatian Mama Rieta malam itu terasa berlipat.

“Pesan dari Mama, jangan terlalu capek, jangan makan makanan instan, apalagi mentah. Dan yang paling penting, jangan stres,” ujarnya sambil menatap Aleya dengan penuh kasih.

Satu per satu nasihat keluar dari bibir Mama Rieta panjang lebar. Tapi bagi Aleya, setiap kata justru terasa seperti pisau yang memotong hatinya pelan-pelan. Bagaimana mungkin, perempuan yang selama ini terlihat begitu baik dan penuh kasih, ternyata menjadi salah satu orang yang menjerumuskannya dalam hubungan yang penuh luka?

“Kenapa Mama lakukan ini?” suara Aleya akhirnya pecah pelan, begitu Harun meninggalkan ruangan. Sejak tadi ia menahan diri, menunggu momen di mana mereka berdua bisa berbicara tanpa ada siapa pun.

Mama Rieta terdiam sejenak. Ia tahu arah pembicaraan menantunya ini, Harun sudah memberitahukan semuanya semalam.

“Kenapa, Mah?” Aleya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kenapa Mama menempatkan aku di posisi seperti ini? Posisi yang membuatku dipandang rendah, dianggap perusak rumah tangga orang.”

Mama Rieta tersenyum kecil. “Sayang, kamu hanya perlu mengubah cara pandangmu. Istri kedua tidak selalu berarti rendah. Poligami itu tidak haram. Selama suami mampu berlaku adil, tidak ada yang salah.”

Aleya menggeleng cepat. “Tapi ‘mampu’ bukan cuma soal uang, Mah. Adil itu bukan cuma membagi waktu dan nafkah, tapi juga hati.”

“Mama yakin Harun bisa berlaku adil untukmu dan Aisyah.”

Aleya menunduk, menahan tangis yang mulai menggenang. “Tapi aku gak bisa menerima, Mah. Aku menolak poligami karena hatiku menolak. Aku yakin, nggak ada satu pun wanita di dunia ini yang benar-benar ikhlas dipoligami. Begitu pun dengan Aisyah. Aku tidak mau menjadi penyebab luka di hati perempuan lain.”

“Kata siapa?” Mama Rieta tersenyum tenang. “Banyak, kok, perempuan yang hidup bahagia dalam poligami. Beberapa kiai, bahkan laki-laki terpandang pun melakukannya. Dan mereka semua baik-baik saja.”

“Bukan baik-baik saja, Mah,” jawab Aleya lirih. “Tapi terlihat baik-baik saja. Kita tidak tahu isi hati mereka. Mungkin di balik senyum itu, ada luka yang disembunyikan rapat-rapat. Mama juga perempuan… masa Mama gak bisa membayangkan rasanya berbagi suami?”

Alih-alih tersinggung, Mama Rieta justru tersenyum samar. “Waktu Mama menikah dengan almarhum papanya Harun, Mama sudah menyiapkan hati jika suatu saat akan dipoligami. Kamu mungkin belum tahu, tapi neneknya Harun dulu juga istri kedua. Kakeknya punya dua istri, dan alasannya sama, istri pertama tak bisa memberi keturunan laki-laki. Poligami sudah menjadi hal biasa di keluarga kami.”

Aleya tersenyum getir. Ia hampir tak percaya mendengarnya. Seolah keluarga itu hidup di zaman lain, di mana luka dianggap kewajaran dan air mata hanya bagian dari pengorbanan.

“Wanita yang ikhlas dipoligami, ganjarannya surga,” lanjut Mama Rieta dengan suara lembut.

“Surga?” Aleya tersenyum pahit. “Menjadi istri satu-satunya yang setia dan taat juga bisa masuk surga, Mah. Kalau ada jalan lain menuju surga, kenapa harus lewat jalan penuh luka seperti ini?”

Ia menghela napas berat. “Ikhlas itu bukan ucapan, tapi perasaan. Mengatakan ‘aku ikhlas’ itu mudah, tapi benar-benar ikhlas dari hati? Itu hampir mustahil. Melihat suami melirik wanita lain saja rasanya pedih, apalagi harus berbagi ranjang?”

Mama Rieta tak langsung membalas. Hanya menatap menantunya dengan tatapan lembut tapi dalam. “Lalu apa maumu, Aleya? Bercerai?”

Aleya mengangguk pelan. Ia tahu perceraian bukan hal yang disukai Allah, tapi juga tahu bahwa Tuhan tidak mengharamkannya. Dan untuk kondisi seperti ini, ia yakin itulah jalan terbaik.

Namun alih-alih marah, Mama Rieta justru menggenggam tangan Aleya dengan lembut. “Kehidupan seperti apa yang kamu bayangkan setelah bercerai, sayang?” tanyanya pelan.

Aleya menunduk. Pertanyaan itu menghantamnya seperti petir. Ia belum tahu jawabannya, meski sudah memikirkannya semalaman.

“Hidup ini keras, Aleya. Mama yakin kamu tahu itu. Coba pikirkan, apa yang bisa dilakukan seorang wanita hamil tanpa suami? Mencari kerja bermodalkan ijazah SMA tidak mustahil, tapi pekerjaan seperti apa yang akan kamu dapat? Dan kamu tahu sendiri, kamu tidak punya siapa-siapa lagi.”

Air mata kembali jatuh di pipi Aleya. Ia tidak bisa membantah. Setelah kedua orang tuanya meninggal, dunianya memang terasa kosong. Kakak perempuannya sudah lama menikah dan tinggal di Batam. Saat Aleya ingin menumpang tinggal di sana, sang kakak menolak dengan alasan takut suaminya tergoda.

Sejak itu, Aleya kembali ke Jakarta ke tempat di mana semua kenangan masa kecilnya tertinggal. Dengan bantuan Mita, teman lamanya, ia mencari pekerjaan bermodalkan ijazah SMA. Ia akhirnya diterima sebagai SPG di sebuah toko furniture di mall.

Di sanalah ia bertemu Mama Rieta kembali tetangganya dulu, sebelum keluarganya pindah ke Batam. Saat mendengar kisah hidup Aleya yang pahit, Mama Rieta tampak iba. Ia tahu Aleya kehilangan orang tuanya dalam kecelakaan, tahu juga tentang kebangkrutan ayahnya yang membuat Aleya gagal melanjutkan kuliah.

Dan tak lama kemudian, Mama Rieta mempertemukan kembali Aleya dengan Harun, mantan kekasih masa SMA-nya. Dua bulan setelah pertemuan itu, Harun melamarnya.

Kini, semua potongan itu menyatu di kepala Aleya. Dan hatinya semakin sesak.

“Bertahanlah, Aleya,” kata Mama Rieta lembut. “Berikan Harun anak laki-laki. Jangan salah sangka, Mama tidak menjadikanmu menantu hanya demi keturunan, tapi karena Mama ingin pernikahan ini abadi. Kamu dan Aisyah, kalian berdua sama-sama menantu Mama.”

“T-tapi Aleya tetap gak bisa, Mah. Pernikahan ini melukai hati Aisyah.”

“Kalau kamu tidak mau Aisyah terluka, kamu harus dengar dan patuh sama mama, jadikan ini rahasia. Jangan sampai dia tahu,” ucap Mama Rieta tegas tapi halus. 

“Ingat, Aleya, hidup ini tidak seperti cerita di novel atau film. Di dunia nyata, wanita yang pergi dalam keadaan hamil tidak akan tiba-tiba sukses. Hidup ini keras, sayang. Sangat keras. Pikirkan bayi di dalam kandunganmu. Hanya rumah ini tempatmu pulang. Dan hanya Harun yang bisa melindungimu.”

Mama Rieta menggenggam tangan Aleya lebih erat. “Hanya Harun yang kamu punya, Aleya. Hanya Harun.”

Aleya menatap mata mertuanya dan untuk pertama kalinya, ia melihat ketulusan dan manipulasi berjalan beriringan di satu wajah yang sama. Membuatnya terdiam. Antara pasrah dan hancur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   enam

    "Papa."Aqilah, gadis kecil itu langsung berlari menyongsong papanya, menghambur dalam pelukan dan berakhir digendong oleh Harun."Uh…" Harun mencubit gemas pipi chubby putrinya itu."Papa kangen banget sama Aqilah.""Aqilah juga kangen Papa," balasnya sambil mengecup pipi Harun dengan polos."Sama Mama, kangen gak?" Aisyah mendekati, mencium punggung tangan Harun. Biasanya, Harun akan spontan mengecup kening wanita itu. Tapi tidak malam ini. Ada sekelebat ragu yang menahan geraknya. Sebelum membalas, Harun sempat menatap Aleya yang duduk tak jauh. Hanya beberapa detik, tapi cukup membuat napas Aleya tercekat.Saat Aleya mengalihkan pandangan, barulah Harun mengecup kening Aisyah. Seolah menutupi perubahan kecil dalam ekspresinya.Aleya hanya duduk kaku. Meski berusaha tak melihat, sudut matanya menangkap jelas kemesraan itu. Hatinya mencelos. Kenapa dia harus menyaksikan ini? Kenapa dia harus ada di tengah keluarga yang sebenarnya bukan untuknya?Sudah menjadi yang kedua saja menimbu

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Limaa

    Setelah adonan selesai di-mixer, Aleya memindahkannya ke dalam cetakan bolu bundar yang bagian tengahnya bolong. Ia membuka oven, lalu memasukkan adonan berwarna hijau itu ke sana. Seharian ini, untuk mengurangi bosan, ia membuat kue bersama Bi Atum, pembantu di rumah mertuanya. Mama Rina melarangnya pulang dengan alasan khawatir akan kondisinya. "Hamil muda itu masih rentan, terutama trimester pertama. Jadi ambil amannya, kamu tinggal di sini sama Mama." Kurang lebih seperti itu perkataan Mama Rina. Tidak enak menolak, Aleya pun menyetujui, meski sebenarnya, dia bosan di sini. Tidak bisa nobar dan ngerumpi dengan Mita seperti biasanya. Sebab, di rumah mertua, tidak sebebas di rumahnya sendiri. "Mbak Aleya pinter banget bikin kue," puji Bi Atum. Aleya terkekeh, "Bisa aja, Bi. Belum juga ngerasain enak enggaknya, udah dipuji aja." "Udah pasti enak, Bibi yakin. Dilihat dari step by step Mbak Aleya aja udah ketebak hasilnya pasti enak. Soalnya mbak Aleya terampil, kayak chef di

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Empat

    Selasai keramas Aleya baru membuka ponselnya malam itu, yang seharian ini memang dibiarkan tergeletak di meja rias. Puluhan pesan dari Mita memenuhi layar. Sebagian besar menanyakan di mana keberadaannya sekarang. Tapi di antara banyak pesan itu, satu kalimat berhasil membuatnya tersenyum getir. [Kamu gak bunuh diri kan, Al?]Tangannya langsung menari di atas keypad, menuliskan balasan dengan cepat. Andai saja bunuh diri tidak termasuk dosa besar, mungkin itu bisa jadi jalan keluar dari penderitaannya sekarang.[Aku di rumah mertua. Bunuh diri? Aku sudah diracun, tapi tidak mati, mau bunuh diri seperti apa lagi?]Apakah kalimat itu terdengar putus asa? Entahlah. Aleya tidak peduli lagi. Ia tekan tombol kirim, lalu menatap layar hingga tanda centang dua abu-abu muncul.Perlahan, pandangannya teralihkan ke langit-langit kamar. Pikirannya kembali pada masa tiga bulan lalu, saat ia merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia. Hidup sendirian di Jakarta, hanya lulusan SMA, lalu dipers

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Tiga

    Aleya tak bisa menolak saat Harun memaksa ikut mengantarnya ke dokter kandungan. Wajah Harun tampak berseri-seri ketika menatap monitor yang menampilkan bulatan kecil yang kata dokter, itu adalah kantung janin. Berbeda dengan yang Aleya bayangkan. Ia sempat berpikir Harun tidak akan terlalu antusias, toh ini bukan anak pertamanya, melainkan anak keduanya. Tapi ternyata, ekspresi suaminya itu masih sama seperti ayah muda yang menanti anak pertama. Sepanjang pemeriksaan, Harun terus menggenggam tangannya. Awalnya Aleya sempat berusaha menepis, tapi akhirnya ia membiarkan. Bukan karena luluh, melainkan karena tidak ingin memancing perdebatan di tempat umum.Sepulang dari dokter, Harun mengajaknya singgah ke rumah Mama Rieta. Seperti biasa, perempuan paruh baya itu menyambut kedatangan mereka dengan wajah hangat dan senyum lebar. Apalagi saat mendengar kabar bahwa Aleya tengah mengandung calon cucunya. Perhatian Mama Rieta malam itu terasa berlipat.“Pesan dari Mama, jangan terlalu capek

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Dua

    Aleya terduduk di atas ranjang dengan pikiran yang berantakan. Tatapannya kosong menatap foto pernikahannya dengan Harun yang tergantung di dinding kamar. Tiga bulan. Baru tiga bulan mereka menikah, tapi kebahagiaan itu kini seperti hancur dalam sekejap.Sejak kejadian di mal siang tadi, Aleya belum niat menghubungi Harun. Ia menunggu, berharap suaminya yang akan lebih dulu memberi penjelasan. Tapi hingga jarum jam hampir menyentuh angka dua belas malam, ponselnya tetap sepi. Tidak ada satu pun pesan, tidak ada panggilan masuk.Hingga akhirnya, suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Harun pulang.Biasanya, Aleya akan berlari menyambut kedatangan suaminya dengan senyum dan pelukan. Namun malam ini, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Jangankan membukakan pintu, bangkit dari tempat tidur pun rasanya berat.“Belum tidur?” tanya Harun pelan setelah melangkah masuk ke kamar. Ia tampak lelah, dasinya belum terlepas. Tapi Aleya tidak menjawab. Ia tetap duduk di sisi ranjang, menatap lurus

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Satu

    Tangan Aleya bergetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan. Air matanya menetes perlahan, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan bahagia. Ia tersenyum, menatap hasil itu tidak percaya. Tuhan benar-benar baik. Di bulan ketiga pernikahannya dengan Harun, ia sudah positif hamil.Di usianya yang ke-27 dan Harun yang kini 33 tahun, mereka memang sepakat tidak ingin menunda memiliki anak. Aleya mengusap perut datarnya dengan penuh kasih. Di sanalah kini tumbuh buah cinta pertama mereka. Rasanya tak sabar untuk segera memberi tahu Harun kabar ini.Sayangnya, suaminya sedang berada di luar kota. Harun memang jarang di rumah; seminggu pun hanya dua hari ia pulang. Sisanya, ia sibuk mengurus pembukaan cabang baru perusahaannya.Dering ponsel memecah lamunannya. Aleya buru-buru mengambilnya dari atas nakas. Sekilas wajahnya berseri, barangkali Harun menelepon. Namun ternyata, nama yang muncul di layar bukan suaminya, melainkan Mita, sahabat sekaligus tetanggan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status