Share

Limaa

last update Last Updated: 2025-11-12 11:30:08

Setelah adonan selesai di-mixer, Aleya memindahkannya ke dalam cetakan bolu bundar yang bagian tengahnya bolong. Ia membuka oven, lalu memasukkan adonan berwarna hijau itu ke sana. Seharian ini, untuk mengurangi bosan, ia membuat kue bersama Bi Atum, pembantu di rumah mertuanya.

Mama Rina melarangnya pulang dengan alasan khawatir akan kondisinya.

"Hamil muda itu masih rentan, terutama trimester pertama. Jadi ambil amannya, kamu tinggal di sini sama Mama."

Kurang lebih seperti itu perkataan Mama Rina. Tidak enak menolak, Aleya pun menyetujui, meski sebenarnya, dia bosan di sini. Tidak bisa nobar dan ngerumpi dengan Mita seperti biasanya. Sebab, di rumah mertua, tidak sebebas di rumahnya sendiri.

"Mbak Aleya pinter banget bikin kue," puji Bi Atum.

Aleya terkekeh, "Bisa aja, Bi. Belum juga ngerasain enak enggaknya, udah dipuji aja."

"Udah pasti enak, Bibi yakin. Dilihat dari step by step Mbak Aleya aja udah ketebak hasilnya pasti enak. Soalnya mbak Aleya terampil, kayak chef di TV." Bi Ana memberikan dua jempolnya.

Lagi-lagi Aleya terkekeh mendengar penuturan bi atum. "Bisa aja Bibi ini mujinya." Aleya tergelak mendengar gaya bicara Bi Ana yang tampak meyakinkan.

"Gimana Mas Harun gak tambah cinta coba, istrinya pinter banget bikin kue kesukaannya. Sayang dia lagi gak ada di sini. Kalau ada, beuh, saya pasti gak boleh ngincip, dihabisin semua sama dia."

Mendengar nama Harun, Aleya tersenyum getir. Sedang apakah pria itu sekarang? Mungkinkah sedang bersama Aisyah dan anak mereka? Sejak kemarin, Harun pulang ke rumah Aisyah. Semalam, pria itu sempat mengirim pesan, tapi hanya ia balas singkat. Setelah itu, tidak lagi dibalas. Meski sejujurnya, Aleya sangat merindukan pria itu.

Bi Atum mulai nyerocos, bercerita panjang lebar tentang Harun dan semua kesukaan pria itu. Dan hal itu justru membuat Aleya makin merindukannya.

"Nenek, Nenek!"

Dari dapur, Aleya bisa mendengar suara anak kecil memanggil nenek.

"Itu kayak suara Aqilah," ucap Bi Atum.

"Aqilah siapa?"

Bukannya menjawab, Bi Atum malah menunduk dengan wajah gelisah.

"Siapa sih, Bi? Saudaranya Mama ya? Atau tetangga?"Aleya makin penasaran.

"Emmm... anaknya Mas Harun."

Tubuh Aleya langsung oleng. Ia berpegangan pada meja dapur dengan wajah pucat. Jantungnya berdegup tak karuan. Jika ada anak Harun, mungkinkah datang bersama Aisyah? Atau mungkin, ada Harun juga?

Bagaimana ia harus bersikap nantinya? Dan apa yang akan dikatakannya pada Aisyah tentang keberadaannya di rumah ini? Terdengar percakapan antara Mama Rina dan anak bernama Aqilah itu. Dan samar-samar, ia mendengar suara wanita dewasa, itu pasti Aisyah.

"Mbak Aleya baik-baik saja?" tanya Bi Atum khawatir melihat wajah pucat Aleya.

Aleya tersenyum getir, "Mana mungkin Ley baik-baik saja, Bi." Aleya meremas ujung dasternya.

Bi Atum menatap Aleya dengan kasihan. Pasti serba salah berada di posisi Aleya saat ini.

Jantung Aleya makin berdetak cepat saat mendengar suara langkah kaki mendekati dapur. Saat ini, yang ia rasakan seperti seorang pencuri yang akan dipergoki.

"Siapa dia, Ma?" tanya Aisyah sambil menatap Aleya.

Dia seperti pernah bertemu, tapi lupa di mana. Aisyah masuk ke dapur bersama Mama Rina yang sedang menggandeng Aqilah. Tidak ada Harun, sepertinya Aisyah hanya datang bersama anaknya. Aleya hanya diam, tak tahu harus berkata apa.

Ia hanya bisa berdoa agar Aisyah tidak mengingat pertemuan mereka di mall waktu itu.

"Dia Aleya, anak teman Mama. Dulu kami tetangga waktu masih tinggal di rumah lama. Al, kenalin, ini Aisyah, istrinya Harun."

Mama Rina tampak biasa saja. Tidak ada raut cemas. Sepertinya ia sudah memikirkan skenario ini matang-matang, karena kemungkinan Aleya dan Aisyah bertemu memang besar.

Aisyah meletakkan tote bag yang dibawanya ke atas meja. Dengan senyum lebar, ia menghampiri Aleya yang hanya diam bersandar di meja dapur.

"Hai. Kenalin, aku Aisyah, istrinya Harun." Aisyah mengulurkan tangannya. Selain cantik, aura keibuan Aisyah juga sangat kuat. Cara berpakaiannya sopan namun tetap berkelas.

"A-Aleya." Aleya yang gugup, menjabat tangan Aisyah.

Andai saja wanita di hadapannya tahu bahwa dia adalah istri kedua suaminya, mungkin bukan lagi uluran tangan yang diberikan melainkan tamparan.

"Astaga, tangan kamu dingin sekali. Kamu sakit, yah? Wajah kamu pucat."

"Aleya sedang hamil," ujar Mama Rina.

"Oh..." Aisyah manggut-manggut. "Selamat, ya."

"Terima kasih."

"Berapa bulan? Kok belum kelihatan?" tanya Aisyah.

"Baru enam minggu," jawab Mama Rina lagi.

"Suami Aleya ada di luar negeri. Karena hamil muda, dia dititip di sini. Orang tuanya sudah meninggal."

"Innalillahi..." ucap Aisyah spontan, menutup mulutnya.

"Mah, wanginya enak sekali," ujar Aqilah yang mencium aroma bolu pandan yang sepertinya sudah matang di dalam oven.

"Kayaknya udah mateng kuenya."

Bi Atum membuka oven untuk mengecek bolu pandan itu. Benar saja, sudah matang rupanya. Ia segera mengeluarkan dan meletakkannya di atas meja.

"Aqilah mau kuenya!" seru bocah kecil itu, mendekati kue yang masih panas.

"Awas!" Aleya reflek menepis tangan Aqilah yang hendak menyentuh cetakan. "Aww!"

Alhasil, justru punggung tangan Aleya yang terkena cetakan panas. Ia buru-buru berlari ke wastafel untuk menyiram tangannya dengan air dingin.

"Astaga, Al! Kamu gak papa kan?" Aisyah langsung mendekat. "Maafin Aqilah ya." Aisyah merasa tak enak hati. Aleya terluka demi melindungi anaknya.

"Gak papa, Mbak. Namanya juga anak kecil. Tapi Aqilah gak papa kan?" Aleya menatap gadis kecil itu yang tampak masih kaget.

"Aqilah gak papa," sahut Mama Rina setelah mengecek tangan cucunya.

Aisyah berlalu pergi meninggalkan dapur, sesaat kemudian ia kembali membawa obat luka bakar, mengoleskannya di punggung tangan Aleya yang memerah.

Sementara itu, Mama Rina melepaskan bolu dari cetakan, memotongnya, dan menata di piring. Bolu pandan itu tampak lezat.

Aqilah yang sudah tak sabar langsung mengambil sepotong dan memakannya. Melihat putrinya makan dengan lahap, Aisyah yakin rasanya pasti enak.

"Enak gak?" tanya Aisyah.

"Em... enak, Mah," sahut Aqilah dengan mulut penuh kue.

"Bilang apa sama Tante Aleya?"

"Makasih Tante Aleya."

"Sama-sama, cantik." Aleya menyentuh rambut panjang Aqilah.

Bocah berusia lima tahun itu punya wajah yang sangat mirip dengan Harun.

Apakah anaknya nanti juga akan semirip itu dengan Harun? Atau justru mirip dirinya?

Mama Rina dan Aisyah ikut mencicipi bolu, begitu juga Aleya. Meski sebenarnya ia tak berselera, tapi rasanya tak sopan jika menolak.

"Ini sih beneran enak. Kayaknya aku harus belajar dari kamu deh, Al." ujar Aisyah.

"Biasa aja kok, Mbak."

"Enggak, ini beneran enak. Kapan-kapan ajarin aku yah. Aku pengen bisa bikin. Ini kue kesukaan Mas Harun. Kalau aku bisa buat seenak ini, dia pasti makin cinta."

Aleya langsung tertunduk, meremas ujung dasternya. Hatinya perih mendengar madunya membahas cinta. Mama Rina yang menyadari perubahan ekspresi Aleya segera mengalihkan pembicaraan.

"Kamu tadi bawa apa, Sya?" tanya Mama Rina sambil membuka tote bag yang dibawa Aisyah.

"Astaga, sampai lupa." Aisyah menepuk dahinya. "Kemarin Ibu datang dari Garut, bawain dodol buat Mama. Nitip salam juga, minta maaf gak bisa mampir, soalnya cuma sehari, ada kondangan di tempat temannya."

"Bilangin makasih yah sama Ibu kamu. Tahu aja kalau Mama suka dodol."

"Mas Harun sering ke sini gak, Mah?" tanya Aisyah.

"Udah lama gak ke sini." Jawab mama Rina cepat

Aleya tersenyum kecut. Padahal jelas-jelas baru kemarin Harun pulang setelah dua malam menginap di rumah ini.

"Bener-bener yah, Mas Harun. Padahal aku udah ingetin buat sering jengukin Mama, tapi masih aja jarang. Yang ada di pikirannya cuma kerja dan kerja. Sekarang makin sibuk dia, seminggu dua kali keluar kota."

Aleya langsung tersedak kue bolu. Bagaimana kalau Aisyah tahu, bahwa dua kali itu sebenarnya Harun pulang ke rumahnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   enam

    "Papa."Aqilah, gadis kecil itu langsung berlari menyongsong papanya, menghambur dalam pelukan dan berakhir digendong oleh Harun."Uh…" Harun mencubit gemas pipi chubby putrinya itu."Papa kangen banget sama Aqilah.""Aqilah juga kangen Papa," balasnya sambil mengecup pipi Harun dengan polos."Sama Mama, kangen gak?" Aisyah mendekati, mencium punggung tangan Harun. Biasanya, Harun akan spontan mengecup kening wanita itu. Tapi tidak malam ini. Ada sekelebat ragu yang menahan geraknya. Sebelum membalas, Harun sempat menatap Aleya yang duduk tak jauh. Hanya beberapa detik, tapi cukup membuat napas Aleya tercekat.Saat Aleya mengalihkan pandangan, barulah Harun mengecup kening Aisyah. Seolah menutupi perubahan kecil dalam ekspresinya.Aleya hanya duduk kaku. Meski berusaha tak melihat, sudut matanya menangkap jelas kemesraan itu. Hatinya mencelos. Kenapa dia harus menyaksikan ini? Kenapa dia harus ada di tengah keluarga yang sebenarnya bukan untuknya?Sudah menjadi yang kedua saja menimbu

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Limaa

    Setelah adonan selesai di-mixer, Aleya memindahkannya ke dalam cetakan bolu bundar yang bagian tengahnya bolong. Ia membuka oven, lalu memasukkan adonan berwarna hijau itu ke sana. Seharian ini, untuk mengurangi bosan, ia membuat kue bersama Bi Atum, pembantu di rumah mertuanya. Mama Rina melarangnya pulang dengan alasan khawatir akan kondisinya. "Hamil muda itu masih rentan, terutama trimester pertama. Jadi ambil amannya, kamu tinggal di sini sama Mama." Kurang lebih seperti itu perkataan Mama Rina. Tidak enak menolak, Aleya pun menyetujui, meski sebenarnya, dia bosan di sini. Tidak bisa nobar dan ngerumpi dengan Mita seperti biasanya. Sebab, di rumah mertua, tidak sebebas di rumahnya sendiri. "Mbak Aleya pinter banget bikin kue," puji Bi Atum. Aleya terkekeh, "Bisa aja, Bi. Belum juga ngerasain enak enggaknya, udah dipuji aja." "Udah pasti enak, Bibi yakin. Dilihat dari step by step Mbak Aleya aja udah ketebak hasilnya pasti enak. Soalnya mbak Aleya terampil, kayak chef di

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Empat

    Selasai keramas Aleya baru membuka ponselnya malam itu, yang seharian ini memang dibiarkan tergeletak di meja rias. Puluhan pesan dari Mita memenuhi layar. Sebagian besar menanyakan di mana keberadaannya sekarang. Tapi di antara banyak pesan itu, satu kalimat berhasil membuatnya tersenyum getir. [Kamu gak bunuh diri kan, Al?]Tangannya langsung menari di atas keypad, menuliskan balasan dengan cepat. Andai saja bunuh diri tidak termasuk dosa besar, mungkin itu bisa jadi jalan keluar dari penderitaannya sekarang.[Aku di rumah mertua. Bunuh diri? Aku sudah diracun, tapi tidak mati, mau bunuh diri seperti apa lagi?]Apakah kalimat itu terdengar putus asa? Entahlah. Aleya tidak peduli lagi. Ia tekan tombol kirim, lalu menatap layar hingga tanda centang dua abu-abu muncul.Perlahan, pandangannya teralihkan ke langit-langit kamar. Pikirannya kembali pada masa tiga bulan lalu, saat ia merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia. Hidup sendirian di Jakarta, hanya lulusan SMA, lalu dipers

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Tiga

    Aleya tak bisa menolak saat Harun memaksa ikut mengantarnya ke dokter kandungan. Wajah Harun tampak berseri-seri ketika menatap monitor yang menampilkan bulatan kecil yang kata dokter, itu adalah kantung janin. Berbeda dengan yang Aleya bayangkan. Ia sempat berpikir Harun tidak akan terlalu antusias, toh ini bukan anak pertamanya, melainkan anak keduanya. Tapi ternyata, ekspresi suaminya itu masih sama seperti ayah muda yang menanti anak pertama. Sepanjang pemeriksaan, Harun terus menggenggam tangannya. Awalnya Aleya sempat berusaha menepis, tapi akhirnya ia membiarkan. Bukan karena luluh, melainkan karena tidak ingin memancing perdebatan di tempat umum.Sepulang dari dokter, Harun mengajaknya singgah ke rumah Mama Rieta. Seperti biasa, perempuan paruh baya itu menyambut kedatangan mereka dengan wajah hangat dan senyum lebar. Apalagi saat mendengar kabar bahwa Aleya tengah mengandung calon cucunya. Perhatian Mama Rieta malam itu terasa berlipat.“Pesan dari Mama, jangan terlalu capek

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Dua

    Aleya terduduk di atas ranjang dengan pikiran yang berantakan. Tatapannya kosong menatap foto pernikahannya dengan Harun yang tergantung di dinding kamar. Tiga bulan. Baru tiga bulan mereka menikah, tapi kebahagiaan itu kini seperti hancur dalam sekejap.Sejak kejadian di mal siang tadi, Aleya belum niat menghubungi Harun. Ia menunggu, berharap suaminya yang akan lebih dulu memberi penjelasan. Tapi hingga jarum jam hampir menyentuh angka dua belas malam, ponselnya tetap sepi. Tidak ada satu pun pesan, tidak ada panggilan masuk.Hingga akhirnya, suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Harun pulang.Biasanya, Aleya akan berlari menyambut kedatangan suaminya dengan senyum dan pelukan. Namun malam ini, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Jangankan membukakan pintu, bangkit dari tempat tidur pun rasanya berat.“Belum tidur?” tanya Harun pelan setelah melangkah masuk ke kamar. Ia tampak lelah, dasinya belum terlepas. Tapi Aleya tidak menjawab. Ia tetap duduk di sisi ranjang, menatap lurus

  • Aku Di Antara Pernikahan Pertama   Satu

    Tangan Aleya bergetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan. Air matanya menetes perlahan, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan bahagia. Ia tersenyum, menatap hasil itu tidak percaya. Tuhan benar-benar baik. Di bulan ketiga pernikahannya dengan Harun, ia sudah positif hamil.Di usianya yang ke-27 dan Harun yang kini 33 tahun, mereka memang sepakat tidak ingin menunda memiliki anak. Aleya mengusap perut datarnya dengan penuh kasih. Di sanalah kini tumbuh buah cinta pertama mereka. Rasanya tak sabar untuk segera memberi tahu Harun kabar ini.Sayangnya, suaminya sedang berada di luar kota. Harun memang jarang di rumah; seminggu pun hanya dua hari ia pulang. Sisanya, ia sibuk mengurus pembukaan cabang baru perusahaannya.Dering ponsel memecah lamunannya. Aleya buru-buru mengambilnya dari atas nakas. Sekilas wajahnya berseri, barangkali Harun menelepon. Namun ternyata, nama yang muncul di layar bukan suaminya, melainkan Mita, sahabat sekaligus tetanggan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status