LOGINSelasai keramas Aleya baru membuka ponselnya malam itu, yang seharian ini memang dibiarkan tergeletak di meja rias. Puluhan pesan dari Mita memenuhi layar. Sebagian besar menanyakan di mana keberadaannya sekarang. Tapi di antara banyak pesan itu, satu kalimat berhasil membuatnya tersenyum getir.
[Kamu gak bunuh diri kan, Al?] Tangannya langsung menari di atas keypad, menuliskan balasan dengan cepat. Andai saja bunuh diri tidak termasuk dosa besar, mungkin itu bisa jadi jalan keluar dari penderitaannya sekarang. [Aku di rumah mertua. Bunuh diri? Aku sudah diracun, tapi tidak mati, mau bunuh diri seperti apa lagi?] Apakah kalimat itu terdengar putus asa? Entahlah. Aleya tidak peduli lagi. Ia tekan tombol kirim, lalu menatap layar hingga tanda centang dua abu-abu muncul. Perlahan, pandangannya teralihkan ke langit-langit kamar. Pikirannya kembali pada masa tiga bulan lalu, saat ia merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia. Hidup sendirian di Jakarta, hanya lulusan SMA, lalu dipersunting pria mapan dan tampan seperti Harun, cinta pertamanya yang terpisah tujuh tahun lamanya. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Nyatanya, dia hanya dijadikan madu untuk wanita lain. Aleya tersenyum kecut. Madu, pikirnya lirih. Kata itu terlalu manis. Seharusnya istilahnya bukan dimadu, tapi diracun. Karena dalam poligami, tak ada yang semanis madu. Semuanya terasa getir, seperti racun yang pelan-pelan membunuh. Kling. Suara notifikasi terdengar, tapi saat ia hendak meraih ponsel, pintu kamar terbuka. Harun masuk. Aleya buru-buru naik kekasur dan berbaring membelakanginya. Tanpa sepatah kata, Harun naik ke ranjang. Beberapa detik kemudian, Aleya merasakan lengannya melingkar di pinggangnya. Ia hendak menepis, tapi genggaman Harun justru makin erat. “Aku merindukanmu, Al,” bisiknya pelan di telinga Aleya, membuat tubuhnya menegang. Biasanya, setiap Harun pulang setelah beberapa hari pergi, malam itu akan jadi ajang pelampiasan rindu, menyalakan lagi ranjang yang sempat dingin. Tapi malam ini, Aleya tidak ingin. Ia muak dengan rasa bersalah yang muncul setiap kali mengingat Aisyah, istri pertama Harun. “Ceraikan aku, Mas,” katanya datar. “Jatuhkan talakmu sekarang.” Harun menghela napas kasar. “Cukup, Al. Jangan bahas cerai lagi. Mustahil aku akan melakukannya.” “Mustahil?” Aleya menoleh dengan mata basah. “Kamu sendiri yang bilang akan menceraikanku kalau aku memberimu anak laki-laki.” Harun terdiam sejenak. “Aku harap kamu tidak akan pernah memberiku anak laki-laki.” “Jahat kamu, Mas.” “Lalu kamu? Apa kamu nggak jahat padaku?” Harun melepaskan pelukannya, menatap langit-langit. “Kau masih ingat tujuh tahun lalu, kan? Saat kamu tiba-tiba memutuskanku tanpa alasan jelas.” Air mata Aleya mulai turun. Isak kecilnya memenuhi ruang sunyi. “Kamu nggak salah, Mas,” ucapnya parau. “Aku yang salah. Aku merasa nggak pantas. Waktu itu, orang tuaku bangkrut, semua harta disita, Ayah sakit, aku berhenti kuliah dan kerja apa saja buat hidup. Aku takut nyusahin kamu.” Harun memejamkan mata, menahan getir di dada. “Aku nekat ke Batam waktu itu, Al. Aku mau kasih kejutan. Tapi kamu hilang. Alamatmu kosong, nomor teleponmu gak bisa dihubungi. Aku nyaris gila mencarimu.” Ia menarik napas panjang. “Sejak hari itu, hidupku kosong. Semua yang aku impikan lenyap. Tujuan hidupku cuma satu bisa hidup dan menua bersamamu.” “Jangan buat aku merasa bersalah, Mas. Nyatanya, setelah itu kamu menikah juga, dengan Aisyah.” Harun tersenyum miris. “Aisyah temanku. Dia yang temani aku waktu hancur. Aku pikir dengan menikahinya, aku bisa sembuh. Tapi ternyata tidak. Sudah lima tahun kami menikah dan punya anak, tapi, posisimu tidak pernah tergantikan.” “Dan kamu menyebut itu takdir?” Aleya tersenyum getir. “Kamu dan ibumu membohongiku, Mas. Kalian tidak pernah bilang kalau kamu sudah menikah dan punya anak.” “Aku minta, sebelum Aisyah tahu semuanya, ceraikan aku.” Harun mendecak pelan. “Berapa kali aku harus bilang, aku gak akan menceraikanmu, Al. Semua dokumen penting ada padaku, kamu juga tahu.” Dia kemudian menarik Aleya ke dalam pelukannya lagi. “Ayo tidur. Wanita hamil tidak boleh begadang.” “Lepas, Mas.” “Diam,” bisiknya tajam. “Kamu masih istriku, Aleya.” Aleya tak lagi melawan. Ia hanya menutup mata, mencoba tidur, meski hatinya perih tak karuan. **** Suara pelan dari balkon membangunkannya di tengah malam. Ia mengenali suara Harun, yang sedang menelepon seseorang. “Lusa aku pulang. Apa kau mau aku belikan sesuatu?” “Selamat malam. Bilang pada anak-anak, papanya rindu.” Aleya menggenggam sprei kuat-kuat. Kalimat itu menusuk seperti duri. Kenapa hatinya sakit? Apakah ia sedang cemburu pada wanita yang justru lebih berhak? Saat Harun masuk, ia tak tahan lagi. “Aisyah yang telepon?” Harun terkejut. “Astaga, kamu bikin jantungku hampir copot.” Ia mengembuskan napas pelan sambil menutup pintu. “Kenapa kamu bangun? Mau ke toilet?” “Pulanglah,” ucap Aleya lirih. “Aku akan pulang, tapi lusa. Aku harus adil pada kedua istriku, kan?” Aleya tersenyum hambar. “Kamu gak akan pernah bisa adil.” “Bagaimana kalau aku bisa?” “Tidak akan pernah,” jawabnya tegas. “Adil versi kamu tetap tidak akan terasa adil bagi kami.” “Lalu bagaimana supaya adil, menurutmu?” Harun menatapnya dalam. “Apa aku harus umumkan pada semua orang kalau kamu juga istriku?” Aleya terpaku. Apa itu solusi? Tidak. Itu hanya akan menambah satu hati lagi yang tersakiti. “Aku serius, Al. Ikutlah denganku besok. Kita jelaskan pada Aisyah semuanya.” Kepalanya langsung menggeleng cepat. “Tidak, Mas. Aku gak mau menambah hati yang terluka. Cukup aku saja. Setelah aku melahirkan anak laki-laki, kita berpisah. Sampai saat itu tiba, biar aku yang menanggung semuanya.” Matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar tapi tegas. “Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya, Mas. Aku tidak mau menghancurkan cinta dan mimpi mereka. Biarlah aku yang sakit, jangan mereka.”"Papa."Aqilah, gadis kecil itu langsung berlari menyongsong papanya, menghambur dalam pelukan dan berakhir digendong oleh Harun."Uh…" Harun mencubit gemas pipi chubby putrinya itu."Papa kangen banget sama Aqilah.""Aqilah juga kangen Papa," balasnya sambil mengecup pipi Harun dengan polos."Sama Mama, kangen gak?" Aisyah mendekati, mencium punggung tangan Harun. Biasanya, Harun akan spontan mengecup kening wanita itu. Tapi tidak malam ini. Ada sekelebat ragu yang menahan geraknya. Sebelum membalas, Harun sempat menatap Aleya yang duduk tak jauh. Hanya beberapa detik, tapi cukup membuat napas Aleya tercekat.Saat Aleya mengalihkan pandangan, barulah Harun mengecup kening Aisyah. Seolah menutupi perubahan kecil dalam ekspresinya.Aleya hanya duduk kaku. Meski berusaha tak melihat, sudut matanya menangkap jelas kemesraan itu. Hatinya mencelos. Kenapa dia harus menyaksikan ini? Kenapa dia harus ada di tengah keluarga yang sebenarnya bukan untuknya?Sudah menjadi yang kedua saja menimbu
Setelah adonan selesai di-mixer, Aleya memindahkannya ke dalam cetakan bolu bundar yang bagian tengahnya bolong. Ia membuka oven, lalu memasukkan adonan berwarna hijau itu ke sana. Seharian ini, untuk mengurangi bosan, ia membuat kue bersama Bi Atum, pembantu di rumah mertuanya. Mama Rina melarangnya pulang dengan alasan khawatir akan kondisinya. "Hamil muda itu masih rentan, terutama trimester pertama. Jadi ambil amannya, kamu tinggal di sini sama Mama." Kurang lebih seperti itu perkataan Mama Rina. Tidak enak menolak, Aleya pun menyetujui, meski sebenarnya, dia bosan di sini. Tidak bisa nobar dan ngerumpi dengan Mita seperti biasanya. Sebab, di rumah mertua, tidak sebebas di rumahnya sendiri. "Mbak Aleya pinter banget bikin kue," puji Bi Atum. Aleya terkekeh, "Bisa aja, Bi. Belum juga ngerasain enak enggaknya, udah dipuji aja." "Udah pasti enak, Bibi yakin. Dilihat dari step by step Mbak Aleya aja udah ketebak hasilnya pasti enak. Soalnya mbak Aleya terampil, kayak chef di
Selasai keramas Aleya baru membuka ponselnya malam itu, yang seharian ini memang dibiarkan tergeletak di meja rias. Puluhan pesan dari Mita memenuhi layar. Sebagian besar menanyakan di mana keberadaannya sekarang. Tapi di antara banyak pesan itu, satu kalimat berhasil membuatnya tersenyum getir. [Kamu gak bunuh diri kan, Al?]Tangannya langsung menari di atas keypad, menuliskan balasan dengan cepat. Andai saja bunuh diri tidak termasuk dosa besar, mungkin itu bisa jadi jalan keluar dari penderitaannya sekarang.[Aku di rumah mertua. Bunuh diri? Aku sudah diracun, tapi tidak mati, mau bunuh diri seperti apa lagi?]Apakah kalimat itu terdengar putus asa? Entahlah. Aleya tidak peduli lagi. Ia tekan tombol kirim, lalu menatap layar hingga tanda centang dua abu-abu muncul.Perlahan, pandangannya teralihkan ke langit-langit kamar. Pikirannya kembali pada masa tiga bulan lalu, saat ia merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia. Hidup sendirian di Jakarta, hanya lulusan SMA, lalu dipers
Aleya tak bisa menolak saat Harun memaksa ikut mengantarnya ke dokter kandungan. Wajah Harun tampak berseri-seri ketika menatap monitor yang menampilkan bulatan kecil yang kata dokter, itu adalah kantung janin. Berbeda dengan yang Aleya bayangkan. Ia sempat berpikir Harun tidak akan terlalu antusias, toh ini bukan anak pertamanya, melainkan anak keduanya. Tapi ternyata, ekspresi suaminya itu masih sama seperti ayah muda yang menanti anak pertama. Sepanjang pemeriksaan, Harun terus menggenggam tangannya. Awalnya Aleya sempat berusaha menepis, tapi akhirnya ia membiarkan. Bukan karena luluh, melainkan karena tidak ingin memancing perdebatan di tempat umum.Sepulang dari dokter, Harun mengajaknya singgah ke rumah Mama Rieta. Seperti biasa, perempuan paruh baya itu menyambut kedatangan mereka dengan wajah hangat dan senyum lebar. Apalagi saat mendengar kabar bahwa Aleya tengah mengandung calon cucunya. Perhatian Mama Rieta malam itu terasa berlipat.“Pesan dari Mama, jangan terlalu capek
Aleya terduduk di atas ranjang dengan pikiran yang berantakan. Tatapannya kosong menatap foto pernikahannya dengan Harun yang tergantung di dinding kamar. Tiga bulan. Baru tiga bulan mereka menikah, tapi kebahagiaan itu kini seperti hancur dalam sekejap.Sejak kejadian di mal siang tadi, Aleya belum niat menghubungi Harun. Ia menunggu, berharap suaminya yang akan lebih dulu memberi penjelasan. Tapi hingga jarum jam hampir menyentuh angka dua belas malam, ponselnya tetap sepi. Tidak ada satu pun pesan, tidak ada panggilan masuk.Hingga akhirnya, suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Harun pulang.Biasanya, Aleya akan berlari menyambut kedatangan suaminya dengan senyum dan pelukan. Namun malam ini, tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Jangankan membukakan pintu, bangkit dari tempat tidur pun rasanya berat.“Belum tidur?” tanya Harun pelan setelah melangkah masuk ke kamar. Ia tampak lelah, dasinya belum terlepas. Tapi Aleya tidak menjawab. Ia tetap duduk di sisi ranjang, menatap lurus
Tangan Aleya bergetar saat melihat dua garis merah di test pack yang baru saja ia gunakan. Air matanya menetes perlahan, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan bahagia. Ia tersenyum, menatap hasil itu tidak percaya. Tuhan benar-benar baik. Di bulan ketiga pernikahannya dengan Harun, ia sudah positif hamil.Di usianya yang ke-27 dan Harun yang kini 33 tahun, mereka memang sepakat tidak ingin menunda memiliki anak. Aleya mengusap perut datarnya dengan penuh kasih. Di sanalah kini tumbuh buah cinta pertama mereka. Rasanya tak sabar untuk segera memberi tahu Harun kabar ini.Sayangnya, suaminya sedang berada di luar kota. Harun memang jarang di rumah; seminggu pun hanya dua hari ia pulang. Sisanya, ia sibuk mengurus pembukaan cabang baru perusahaannya.Dering ponsel memecah lamunannya. Aleya buru-buru mengambilnya dari atas nakas. Sekilas wajahnya berseri, barangkali Harun menelepon. Namun ternyata, nama yang muncul di layar bukan suaminya, melainkan Mita, sahabat sekaligus tetanggan







