Share

chapter 5

Arman yang mendengar bentakan dari istrinya, membatalkan niatnya yang ingin tidur.

"Cukup sudah kamu menghina posisi aku dan anakku dalam hidupmu, Mas!Bukankah sedari awal, kamu mengetahui statusku. Apa pernah aku menipumu Mas?" Kekecewaan yang selama ini terhadap sifat suaminya, tumpah sudah!

"Nisa...." Arman tak mampu berkata-kata.

Melihat air muka Nisa yang tampak penuh kekecewaan, ada penyesalan yang muncul dalam hatinya.

"Ahmad adalah darah dagingku Mas, dan aku adalah Ibu kandung Ahmad."

"Jika untuk membuat kamu bahagia, harus memisahkan aku dan Ahmad. Itu nggak mungkin Mas, aku nggak akan bisa!" Sedih dan kecewa itulah perasaan Nisa saat ini.

"Mengapa kamu bicara begitu Nisa?" tanya Arman heran.

"Kamu menikahiku, tapi kamu gak bisa menerima kehadiran Ahmad dalam rumah tangga kita. Itu namanya apa, Mas?"

"Aku nggak pernah memisahkan kamu dan anakmu, Nisa." Arman mencoba membela diri.

"Ini....!! Apa kamu sadar Mas? Kata-kata ini yang telah memisahkan antara aku dan Ahmad! Apa harus diperjelas status Ahmad setiap kamu menyebutkan namanya? Apa sebegitu hinanya status anak dari seorang janda, hingga harus dipandang rendah?" Nisa menahan sesak di dada, ia merasa sedih saat harus melawan ucapan orang yang telah bertanggung jawab atas dirinya, dunia akhirat ini.

"Kamu bicara apa Nisa, aku nggak pernah memintamu untuk meninggalkan Ahmad kok, bahkan selama ini aku selalu baik sama anakmu itu." Arman begitu yakin dengan ucapannya yang penuh ego tersebut.

"Lagi...!!" Nisa kecewa lagi dengan sebutan 'anakmu' dari Arman.

"Apa yang kamu maksud dengan lagi?" Arman semakin tak mengerti dengan ucapan istrinya.

"Ya... Kamu memang Ayah sambung yang baik Mas, hehehe....! Suamiku memang luar biasa baik." Nisa tertawa mengejek pada orang yang ia nikahi, ternyata seorang yang berjiwa kerdil dan berpikiran picik.

"Apa sih maksud kamu bicara seperti itu Nisa? Kamu ingin bilang bahwa aku Ayah yang buruk untuk anakmu itu?" Arman merasa tersindir oleh kata kata Nisa.

Tapi dia tak menyadari bahwa kata kata yang diucapkannya telah melukai perasaan Nisa.

"Menikah denganmu, bukan berarti aku ingin kau mengakui Ahmad sebagai darah dagingmu Mas! Menikah denganmu pun, bukan aku ingin Ahmad menjadi pewaris seluruh hartamu! Tapi!" Rasanya tak sanggup Nisa menahan sesak yang menghimpit di hatinya.

"Tapi apa Nisa?!" sambar Arman cepat. Ia ingin tau, apakah istrinya itu mempunyai tujuan tertentu menikah dengannya.

"Menikah denganmu hanya satu harapanku, agar kau mau menerima Ahmad sebagai bagian dari diriku."

"Maksud kamu? Huft...! Mengapa jadi begini sih!" Arman merasa kesal, sebagai suami, dia telah menerima keadaan istrinya dari awal pernikahan mereka.

" Belum mengerti Mas?" tanya Nisa dengan wajah kecewa.

Lama Nisa terdiam, hingga akhirnya ia berkata dengan suara lirih "Aku mau kamu menerima Ahmad bagian dari wanita yang 'DULU' pernah begitu kau sayangi! Bagian dari wanita yang selalu menantikan kehadiranmu untuk pulang! Bagian dari Ibu, dari calon anak anakmu nantinya." Untuk menunjukkan kekecewaannya, Nisa sengaja menekankan kata dulu, agar suaminya itu mengerti.

"Kenapa kamu berpikir seperti itu Nisa? Aku tidak pernah merendahkan Ahmad, seperti yang kau tuduhkan." Arman masih bertahan dengan egonya, dan tak menyadari kesalahannya. Namun di sisi lain, ia mulai takut jika Nisa memilih untuk pergi meninggalkannya.

"Yakin tidak pernah Mas? Kamu lupa? Saat Ahmad ulangtahun kelima, aku hanya membelikan Ahmad robot seharga lima puluh ribu, tapi kamu begitu marah. Bahkan sampai tak ingat untuk mengucapkan kata selamat ulang tahun untuk putraku."

"Bukankah masalah itu sudah pernah kita bicarakan, Nisa?" Arman masih berusaha membela diri.

Suasana hening tanpa suara, itulah gambaran yang menyelimuti situasi saat ini bagi sepasang suami istri tersebut.

Nisa yang merasa kecewa atas sikap dan tingkah laku suaminya pun berpikir 'apa sebaiknya aku berpisah saja dengan Mas Arman, daripada memiliki suami, tapi tak ubahnya seperti janda!' pikir Nisa dalam hati.

"Udahlah Nisa, nggak perlu dibesar-besarkan juga, kan?" jawab Arman yang merasa Nisa terlalu melebihkan masalah.

"Apa Mas...? Apa saat Ahmad sakit, dan kubawa ke dokter, menghabiskan uangmu seratus lima puluh ribu, dan kau bahkan menyebutku boros, apa itu membesarkan masalah, Mas!"

"Maaf....!" gumam Arman pelan.

"Tapi yang lebih sedih, saat kau katakan, bahwa Ahmad ngak boleh makan makanan enak, cukup tahu sama tempe! Apa kau memikirkan perasaanku sebagai seorang Ibu dari Ahmad, Mas?"

Aku...!" Arman tak tau harus berkata apa menanggapi kemarahan istrinya.

"Maafkan aku Nisa!" hanya itulah yang bisa Arman katakan sambil menundukkan kepalanya.

"Sebegitu besarnyakah kerugianmu, jika hasil keringatmu dinikmati anakku, sampai memberikan uang belanja jatah sebulan pun harus di bagi tiga, apa ini yang kau bilang baik Mas?!" Luapan kekecewaan yang terpendam selama ini terkuras habis dan sedikit melegakan perasaannya.

Arman yang merasa disudutkan oleh perkataan istrinya, pun berkata, "Itu aku lakukan agar kau dapat mengurangi pengeluaran yang berlebihan Nisa."

"Jika segalanya kau perhitungkan dengan uang, ngak masalah Mas." Nisa menarik napas dalam dan membuangnya kasar.

"Sekarang, tolong kamu bayar tetesan keringatku membersihkan rumah ini selama pernikahan kita Mas, bayar juga waktu dan tenagaku selama ini mengurus makan, pakaian, dan semua kebutuhanmu!" tantang Nisa.

"Bukankah itu kewajiban seorang istri Nisa!" ucap Arman pelan mengingatkan.

"Bagaimana dengan harga diriku yang telah kalian sekeluarga injak-injak! Apa kau mampu membayarnya?" Nisa menghela napas sejenak sambil menghapus air matanya lagi.

"Oh iya!" Nisa tersenyum smirk. "Satu lagi Mas! Harga yang paling mahal....! Jangan lupa hitung juga, harga selama ini aku melayani mu di tempat tidur! Ayo hitung Mas!!" Kata kasar dan vulgar pun terucap dari bibir wanita yang selalu berkata halus dan lembut itu.

Arman tak mampu berkata-kata untuk membela diri lagi, ia merasa tertampar oleh ucapan istrinya. Karena apa yang di ucapkan Nisa semua adalah kebenaran atas tingkah lakunya selama ini.

"Nisa..!" panggil Arman pelan.

"Sudahlah Mas, aku capek ribut. Aku sadar siapa aku, dan itu juga hak kamu untuk tidak menyukai anakku.Jika jodoh kita masih panjang, semoga kau pun tak membenci anakmu yang terlahir dari rahimku nanti, karena dia akan menjadi saudara dari anak yang tak pernah kau anggap!" ucap Nisa lemah.

Lagi..! Ucapan Nisa berhasil menampar telak perasaan Arman sebagai seorang suami, dan orang tua.

"Apa maksud kamu Nisa? Jodoh kita tetap panjang, dan jangan pernah berpikir untuk berpisah dariku! Aku minta maaf jika telah mengecewakanmu. Dan aku janji akan menyayangi Ahmad, seperti aku menyayangimu." Ada ketakutan pada suara Arman, saat membayangkan semua itu.

"Jangan pernah menjanjikan sesuatu yang akan membuatmu terbebani dan membatasi langkahmu Mas! Saat ini, hubungan kita saat ini telah lepas, dari ikatan suci pernikahan yang sesungguhnya." Kata kata yang diucapkan Nisa membuat suasana semakin tegang.

"Nggak Nisa nggak, aku gak mau dengar kamu bicara yang bukan-bukan lagi, kamu pasti capek kan? Ayo istirahat Nis, sekarang udah larut malam, nggak baik buat bergadang, kita lanjutkan besok ngobrolnya, ya?" Takut dan panik, itulah yang di rasa Arman saat hubungan mereka berada pada titik gelap masalah sebuah perkawinan.

Arman pun menggiring Nisa ke tempat tidur dan membaringkan tubuh istrinya.

"Kamu benar Mas, aku memang capek!" Nisa masih bicara walaupun tubuhnya telah diselimuti suaminya.

"Itu makanya, kamu harus istirahat, ya?" ujar Arman lembut.

Perhatian, dan kelembutan tutur kata yang telah lama hilang, malam ini kembali Nisa rasakan.

"Aku capek menjalankan biduk rumah tangga kita, jika ada kebohongan di dalamnya Mas!" Nisa berkata dengan suara rintihan yang tertahan dengan mata terpejam.

"Ceraikan aku, Mas! Biarkan aku memilih langkahku sendiri!" ujar Nisa di tengah rasa sakit yang semakin terasa, di dalam tubuhnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status