Arman yang mendengar bentakan dari istrinya, membatalkan niatnya yang ingin tidur.
"Cukup sudah kamu menghina posisi aku dan anakku dalam hidupmu, Mas!Bukankah sedari awal, kamu mengetahui statusku. Apa pernah aku menipumu Mas?" Kekecewaan yang selama ini terhadap sifat suaminya, tumpah sudah!"Nisa...." Arman tak mampu berkata-kata.Melihat air muka Nisa yang tampak penuh kekecewaan, ada penyesalan yang muncul dalam hatinya."Ahmad adalah darah dagingku Mas, dan aku adalah Ibu kandung Ahmad.""Jika untuk membuat kamu bahagia, harus memisahkan aku dan Ahmad. Itu nggak mungkin Mas, aku nggak akan bisa!" Sedih dan kecewa itulah perasaan Nisa saat ini."Mengapa kamu bicara begitu Nisa?" tanya Arman heran."Kamu menikahiku, tapi kamu gak bisa menerima kehadiran Ahmad dalam rumah tangga kita. Itu namanya apa, Mas?""Aku nggak pernah memisahkan kamu dan anakmu, Nisa." Arman mencoba membela diri."Ini....!! Apa kamu sadar Mas? Kata-kata ini yang telah memisahkan antara aku dan Ahmad! Apa harus diperjelas status Ahmad setiap kamu menyebutkan namanya? Apa sebegitu hinanya status anak dari seorang janda, hingga harus dipandang rendah?" Nisa menahan sesak di dada, ia merasa sedih saat harus melawan ucapan orang yang telah bertanggung jawab atas dirinya, dunia akhirat ini."Kamu bicara apa Nisa, aku nggak pernah memintamu untuk meninggalkan Ahmad kok, bahkan selama ini aku selalu baik sama anakmu itu." Arman begitu yakin dengan ucapannya yang penuh ego tersebut."Lagi...!!" Nisa kecewa lagi dengan sebutan 'anakmu' dari Arman."Apa yang kamu maksud dengan lagi?" Arman semakin tak mengerti dengan ucapan istrinya."Ya... Kamu memang Ayah sambung yang baik Mas, hehehe....! Suamiku memang luar biasa baik." Nisa tertawa mengejek pada orang yang ia nikahi, ternyata seorang yang berjiwa kerdil dan berpikiran picik."Apa sih maksud kamu bicara seperti itu Nisa? Kamu ingin bilang bahwa aku Ayah yang buruk untuk anakmu itu?" Arman merasa tersindir oleh kata kata Nisa.Tapi dia tak menyadari bahwa kata kata yang diucapkannya telah melukai perasaan Nisa."Menikah denganmu, bukan berarti aku ingin kau mengakui Ahmad sebagai darah dagingmu Mas! Menikah denganmu pun, bukan aku ingin Ahmad menjadi pewaris seluruh hartamu! Tapi!" Rasanya tak sanggup Nisa menahan sesak yang menghimpit di hatinya."Tapi apa Nisa?!" sambar Arman cepat. Ia ingin tau, apakah istrinya itu mempunyai tujuan tertentu menikah dengannya."Menikah denganmu hanya satu harapanku, agar kau mau menerima Ahmad sebagai bagian dari diriku.""Maksud kamu? Huft...! Mengapa jadi begini sih!" Arman merasa kesal, sebagai suami, dia telah menerima keadaan istrinya dari awal pernikahan mereka." Belum mengerti Mas?" tanya Nisa dengan wajah kecewa.Lama Nisa terdiam, hingga akhirnya ia berkata dengan suara lirih "Aku mau kamu menerima Ahmad bagian dari wanita yang 'DULU' pernah begitu kau sayangi! Bagian dari wanita yang selalu menantikan kehadiranmu untuk pulang! Bagian dari Ibu, dari calon anak anakmu nantinya." Untuk menunjukkan kekecewaannya, Nisa sengaja menekankan kata dulu, agar suaminya itu mengerti."Kenapa kamu berpikir seperti itu Nisa? Aku tidak pernah merendahkan Ahmad, seperti yang kau tuduhkan." Arman masih bertahan dengan egonya, dan tak menyadari kesalahannya. Namun di sisi lain, ia mulai takut jika Nisa memilih untuk pergi meninggalkannya."Yakin tidak pernah Mas? Kamu lupa? Saat Ahmad ulangtahun kelima, aku hanya membelikan Ahmad robot seharga lima puluh ribu, tapi kamu begitu marah. Bahkan sampai tak ingat untuk mengucapkan kata selamat ulang tahun untuk putraku.""Bukankah masalah itu sudah pernah kita bicarakan, Nisa?" Arman masih berusaha membela diri.Suasana hening tanpa suara, itulah gambaran yang menyelimuti situasi saat ini bagi sepasang suami istri tersebut.Nisa yang merasa kecewa atas sikap dan tingkah laku suaminya pun berpikir 'apa sebaiknya aku berpisah saja dengan Mas Arman, daripada memiliki suami, tapi tak ubahnya seperti janda!' pikir Nisa dalam hati."Udahlah Nisa, nggak perlu dibesar-besarkan juga, kan?" jawab Arman yang merasa Nisa terlalu melebihkan masalah."Apa Mas...? Apa saat Ahmad sakit, dan kubawa ke dokter, menghabiskan uangmu seratus lima puluh ribu, dan kau bahkan menyebutku boros, apa itu membesarkan masalah, Mas!""Maaf....!" gumam Arman pelan."Tapi yang lebih sedih, saat kau katakan, bahwa Ahmad ngak boleh makan makanan enak, cukup tahu sama tempe! Apa kau memikirkan perasaanku sebagai seorang Ibu dari Ahmad, Mas?"Aku...!" Arman tak tau harus berkata apa menanggapi kemarahan istrinya."Maafkan aku Nisa!" hanya itulah yang bisa Arman katakan sambil menundukkan kepalanya."Sebegitu besarnyakah kerugianmu, jika hasil keringatmu dinikmati anakku, sampai memberikan uang belanja jatah sebulan pun harus di bagi tiga, apa ini yang kau bilang baik Mas?!" Luapan kekecewaan yang terpendam selama ini terkuras habis dan sedikit melegakan perasaannya.Arman yang merasa disudutkan oleh perkataan istrinya, pun berkata, "Itu aku lakukan agar kau dapat mengurangi pengeluaran yang berlebihan Nisa.""Jika segalanya kau perhitungkan dengan uang, ngak masalah Mas." Nisa menarik napas dalam dan membuangnya kasar."Sekarang, tolong kamu bayar tetesan keringatku membersihkan rumah ini selama pernikahan kita Mas, bayar juga waktu dan tenagaku selama ini mengurus makan, pakaian, dan semua kebutuhanmu!" tantang Nisa."Bukankah itu kewajiban seorang istri Nisa!" ucap Arman pelan mengingatkan."Bagaimana dengan harga diriku yang telah kalian sekeluarga injak-injak! Apa kau mampu membayarnya?" Nisa menghela napas sejenak sambil menghapus air matanya lagi."Oh iya!" Nisa tersenyum smirk. "Satu lagi Mas! Harga yang paling mahal....! Jangan lupa hitung juga, harga selama ini aku melayani mu di tempat tidur! Ayo hitung Mas!!" Kata kasar dan vulgar pun terucap dari bibir wanita yang selalu berkata halus dan lembut itu.Arman tak mampu berkata-kata untuk membela diri lagi, ia merasa tertampar oleh ucapan istrinya. Karena apa yang di ucapkan Nisa semua adalah kebenaran atas tingkah lakunya selama ini."Nisa..!" panggil Arman pelan."Sudahlah Mas, aku capek ribut. Aku sadar siapa aku, dan itu juga hak kamu untuk tidak menyukai anakku.Jika jodoh kita masih panjang, semoga kau pun tak membenci anakmu yang terlahir dari rahimku nanti, karena dia akan menjadi saudara dari anak yang tak pernah kau anggap!" ucap Nisa lemah.Lagi..! Ucapan Nisa berhasil menampar telak perasaan Arman sebagai seorang suami, dan orang tua."Apa maksud kamu Nisa? Jodoh kita tetap panjang, dan jangan pernah berpikir untuk berpisah dariku! Aku minta maaf jika telah mengecewakanmu. Dan aku janji akan menyayangi Ahmad, seperti aku menyayangimu." Ada ketakutan pada suara Arman, saat membayangkan semua itu."Jangan pernah menjanjikan sesuatu yang akan membuatmu terbebani dan membatasi langkahmu Mas! Saat ini, hubungan kita saat ini telah lepas, dari ikatan suci pernikahan yang sesungguhnya." Kata kata yang diucapkan Nisa membuat suasana semakin tegang."Nggak Nisa nggak, aku gak mau dengar kamu bicara yang bukan-bukan lagi, kamu pasti capek kan? Ayo istirahat Nis, sekarang udah larut malam, nggak baik buat bergadang, kita lanjutkan besok ngobrolnya, ya?" Takut dan panik, itulah yang di rasa Arman saat hubungan mereka berada pada titik gelap masalah sebuah perkawinan.Arman pun menggiring Nisa ke tempat tidur dan membaringkan tubuh istrinya."Kamu benar Mas, aku memang capek!" Nisa masih bicara walaupun tubuhnya telah diselimuti suaminya."Itu makanya, kamu harus istirahat, ya?" ujar Arman lembut.Perhatian, dan kelembutan tutur kata yang telah lama hilang, malam ini kembali Nisa rasakan."Aku capek menjalankan biduk rumah tangga kita, jika ada kebohongan di dalamnya Mas!" Nisa berkata dengan suara rintihan yang tertahan dengan mata terpejam."Ceraikan aku, Mas! Biarkan aku memilih langkahku sendiri!" ujar Nisa di tengah rasa sakit yang semakin terasa, di dalam tubuhnya.Bu Susy tersadar dari tidurnya kaget, melihat suasana berbeda dengan tempat yang ia tempati beberapa bulan terakhir. Dalam kebingungan, ibu Susy berteriak. Tak berapa lama, seorang perawat yang bertugas melayani para penghuni panti, datang. "Ada apa, Bu?" tanya perawat tersebut. "Hapa... hamu...?" tanya bu Susy heran. "Saya perawat di sini, Bu! Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya perawat yang telah terbiasa berinteraksi dengan orang stroke, membuat ia bisa mengartikan bahasa tak jelas dari ibu Susy."Hana, haman, haku hau haman!" "Maaf Bu, Bapak Arman sendiri, yang mengantarkan Ibu ke sini! Saat ini, Bapak Arman sudah pulang! Ibu bisa tenang, Ibu berada di tempat yang khusus merawat para orangtua, yang tak sempat, di rawat anak-anak mereka!"Betapa kagetnya bu Susy setelah mendengar penjelasan perawat. Ia nampak shock, tak menyangka jika ia akan dibuang oleh anaknya sendiri. Bu Susy menangis, ia menyesal
"Apaan sih, Mas! Aku malah bahagia, jika mereka bisa tetap bersama selamanya! Lagi pula, aku udah punya kamu, ngapain harus menyemburukan suami orang?" jawab Nisa sambil nyelendot di tangan Rasya. Hati Rasya berbunga-bunga, dengan ungkapan perasaan istrinya. "Terimakasih sayang! Aku harap, apapun masalahnya, kita bisa bicarakan baik-baik! Aku tak mau mengalami kegagalan, dalam rumahtangga kita!""Aamiiiin....! Sama-sama, sayang!" jawab Nisa tersenyum manis. Nisa merasa bahagia, dengan selesainya semua permasalahan yang ia rasakan selama ini, Nisa akhirnya bisa merasa lega. "Mas.... aku bahagia banget, masalalu yang dulu aku alami terasa berat, ternyata memberi kebahagiaan bagiku, di masa sekarang!" ucap Nisa memandang jalanan di depan. "Syukurlah, tapi aku akan berusaha, memberikan kebahagiaan bukan cuma saat ini, tapi selamanya!""Aamiiiin...!"Kedua suami istri tak jadi pulang ke rumah, tapi justru mereka
"Terimakasih atas saran lo, Nis! Aku akan lihat, bagaimana Indra menyadari kesalahannya! Jika memang dia pantas untuk dipertahankan, maka aku akan berusaha mempertahankannya!" jawab Dinda santai. "Bagus deh, semoga Allah memberikan kebaikan untuk rumahtangga kalian!""Aamiiin....!" balas Dinda atas do'a Nisa. "Oh iya Nis! Aku mau minta maaf, ya! Nama kamu, ikut digunakan oleh mendiang anakku!' jawab Dinda sedih teringat dengan kematian putri kecilnya. "Gak papa, kok! Lagian, nama itu 'kan belum aku bikinkan lisensinya, jadi siapa aja boleh menggunakannya! Apalagi aku cantik, aku yakin siapapun yang menggunakan nama itu, pasti cantik kayak aku!" jawab Nisa enteng. Dinda melongo dengan kenarsisan sahabatnya, sejak kapan, pikirnya "Lo baik-baik aja, 'kan, Nis?" tanya Dinda sambil menempelkan tangannya di dahi Nisa. "Apaan sih, Din! Orang sehat begini, malah dibilang sakit!" gumam Nisa sewot. "Tunggu.... tunggu! Sejak
"Assalamualaikum....!" ucap salam Nisa yang di depan sebuah rumah minimalis, ditemani suaminya. "Rumahnya, asri ya Mas!" ucap Nisa sambil melihat-lihat lingkungan rumah sahabatnya. "Kamu suka?" tanya Rasya merangkul tubuh istrinya kepelukan. "Banget, aku itu sukanya suasana alam, ya.... seperti taman ini, Mas!""Nanti kita beli satu, rumah yang ada tamannya!" jawab Rasya enteng. "Awh....!" jerit Rasya yang mendapat cubitan dari istrinya. "Apaan sih, sayang! Main cubit aja!" sungut Rasya sambil menggosok perutnya. "Kamu yang apaan, Mas! Beli rumah, kayak beli gado-gado, pemborosan tau!" protes Nisa. "Kan kamu ingin suasana seperti ini, sayang!" jawab Rasya membela diri. "Tapi nggak gitu juga konsepnya, kali...!" jawab Nisa heran dengan pola pikir suaminya. "Waalaikum salam....! Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita paruhbaya yang membukakan pintu. Rasya dan Nisa menoleh ke pintu
"Dasar, adik ipar perhitungan! Baru aja dimintai pertolongan beberapa kali, udah main kabur!" omel Arman di sepanjang jalan. Sampai di rumah, emosi Arman semakin membengkak! Ibunya yang duduk di atas kursi roda, melemparkan perabotan rumah yang tidak seberapa, ke segala arah. "Mama apa-apaan sih, Ma! Udah gak bisa bantu beres-beres, malah berantakin rumah begini!" Melihat kedatangan putranya, bu Susy tambah meradang. Semua barang benda yang dapat terjangkau oleh tangannya, ia lemparkan kepada Arman. "Huh.... huh...!" Sambil melempar, hanya kata gak jelas yang keluar dari bibirnya. "Ma.... jika Mama terus-terusan seperti ini, Arman pastikan Mama akan menyesal!" bentak Arman memandang tajam. "Mama mikir gak, sih! Mama baru aja keluar dari Rumah Sakit, bukannya istirahat malah marah nggak jelas begini!" omel Arman sambil mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai."Hamu... hak.. hecus, hurus hibu!" ujar bu
Hati Indra terasa miris, melihat wanita yang biasanya selalu ceria, kini hilang ingatannya. Yang dipikirannya, hanya mengenai anak yang ia lahirkan, yang telah kembali ke pankuan ilahi. "Dinda, kamu udah makan obat?" tanya Indra duduk di bangku, yang ada di kamar mereka. "Udah donk, Mas! Aku kan harus sehat, agar bisa menjaga dede Nisa!" jawab Dinda semangat. "Iya, kamu harus minum obat terus ya, agar dede bayi juga ikutan sehat!" ucap Indra memotivasi istrinya agar tetap semangat untuk minum obat, walau harus mengikuti ke 'halu an' istrinya. "Gitu ya, Mas?" tanya Dinda dengan senyum di bibirnya. "Iya, donk! Jika kamu sehat, nanti kita bisa jalan-jalan!" tambah Indra. "Jalan-jalan...? Sama dede Nisa, Mas?" tanya Dinda dengab mata berbinar. Dinda duduk di pinggir tempat tidur, menghadap suaminya, seperti seorang anak yang ingin mendengar dongeng dari ibunya. "Iya..kita akan jalan-jalan, tapi pastikan
"Siapa istri pemuda itu..? Apakah istrinya, mengenalku? Semoga saja begitu, dengan demikian, aku mempunyai harapan selamat, dari balas dendam bocah itu!" ucap hati Tuan Frass. "Ada apa dengan Tuan! Nampaknya dia begitu bahagia!" Tanda tanya menghantui pikiran Jhon, tapi dia tetap menjalankan perintah Tuannya***Di rumah, Nisa nampak duduk dengan Ahmad,putranya. Ahmad begitu senang mendengar kabar kehamilan ibunya, "Bunda... berapa lama lagi adik Ahmad bisa diajak bermain, Bun?" tanya Ahmad semringah. "Hehe... sabar ya sayang, tunggu adik lahir dulu, terus tunggu adek gede, baru deh main sama kakak Ahmad!" ucap Nisa sambil membelai rambut putranya. "Kok lama banget! Sekarang adik di mana, Bun?" tanya Ahmad polos. Sambil tersenyum, Nisa memindahkan tangan Ahmad, ke perutnya yang masih datar. "Kok di sini, Bun? Apa gak sempit Bun? Terus, tempat adik bermain, dimana?" tanya Ahmad heran. "Nggak sempit don
Air mata Nisa tak dapat ia bendung, air mata bahagia, mengiasi wajah cantiknya. Nisa merasa tak percaya, baru satu bulan ia menikah, ternyata Allah kembali menitip kan karunia terbesar, pada dirinya. Ia benar-benar bersyukur, karena banyak di luar sana, yang telah sekian lama menikah, namun belum dikaruniai seorang anak. "Selamat ya, Bu atas kehamilannya!" ucap dokter wanita yang menanganinya. "Terimakasih, Dok!" ucap Nisa tersenyum haru. "Sudah menjadi tugas kami, Bu! Pesan saya, jaga emosinya agar jangan sampai stres, dan jangan lupa konsumsi makanan bergizi ya, Bu! Jangan lupa, perbanyak istirahat!" nasehat dokter. "Baik, Dok!" jawab Nisa, serius mendengar nasehat dokter. "Satu lagi, di sini saya tulis resep vitamin, juga obat penghilang mualnya, jangan lupa bulan depan datang lagi, kita cek perkembangan janinnya, ya Bu!" "In syaa allah, Dok!"Setelah menebus obat dan vitamin di apotik, Nisa, segera meninggalkan
Nisa baru ingat, jika bulan ini dia belum menstruasi. "Kenapa, nak? Kamu gak berencana menunda kehamilan, 'kan?" "Ee...nggak kok, Yah!" cicit Nisa."Syukurlah, gak baik kamu menunda kehamilan! Walau bagaimanapun, kamu harus menghargai keinginan suamimu! Lagi pula, Ahmad juga sudah besar, sudah sepantasnya punya adik!" nasehat Ayah Faisal. "Iya Yah, dari awal menikah, Nisa gak ada niat untuk menunda kehamilan! Tapi kalau belum hamil, ya sabar aja!" jawab Nisa, tapi dalam hati Nisa berkata lain. "Bagus itu, mumpung kamu masih muda, jadi peluang untuk hamil itu, masih besar! Ayah do'akan agar kamu secepatnya, bisa memberikan Keturunan buat Rasya!""Iya, Yah! Moga aja secepatnya dipercaya Allah!""In syaa allah, aamiiin!" doa ayah Faisal.Ia ingin, dengan kehamilan, dapat mempererat cinta dalam rumahtangga putrinya. Nisa yang masih terngiang pertanyaan ayahnya, dia mulai memikirkan perubahan yang terja