Share

chapter 8

Mendengar jika istrinya mempunyai teman laki-laki, Arman merasa tak terima jika istrinya nanti lebih akrab dengan laki-laki itu dan merasa nyaman, maka bisa saja Nisa pergi meninggalkan dirinya.

"Memangnya udah lama kenal yank?kenal di mana? Udah pernah ketemuan ya?" Arman segera memberikan rentetan pertanyaan.

Nisa yang melihat rona merah menahan emosi di wajah suaminya, semakin semangat bercerita. "Hmm.! Sebenarnya aku baru sih kenal sama dia Mas, yaa..! Walaupun awal kenal lewat aplikasi sih, tapi dia enak diajak ngobrol, ngobrolnya nyambung lagi! Malah nih Mas ya? Dia itu udah kabulkan apa pun permintaan aku lho Mas, hehehe."

"Mana, sini nomor handphone nya?" ucap Arman sambil menadahkan tangan meminta.

"'Kan handphone aku di rumah Mas, emang nya kamu mau ngapain? Mau hubungin dia? Ayo...!Jangan usil deh Mas."

Nisa berusaha menahan tawanya, saat melihat wajah suaminya yang merah seperti kepiting rebus menahan emosi.

"Yank, please jangan nekad deh, jangan pernah hubungi dia lagi ya? Pulang nanti kamu blokir aja kontak dia ya? Kamu belum kenal sama orang itu lho, aku mau kamu jangan berurusan sama dia lagi, nggak penting." Arman menahan emosi, ingin marah nggak mungkin, karena hubungan mereka baru saja membaik.

"Ish..! Mas Arman kok jahat gitu sih, masa suruh suruh aku blokir kontak dia, 'kan sayang Mas, dia itu penting bagi aku."

"Penting mana sama aku yank?" Arman merasa tersingkir, ia tak terima jika ada laki-laki lain yang dipentingkan istrinya selain dirinya.

"Ya beda dong Mas."

"Kok beda?? maksudnya?"

"Ya beda aja...! Kamu itu adalah laki-laki yang terpenting, karena kamu itu Ayah dari anak aku, kalau dia..?" Nisa sengaja menggantung kata-katanya.

"Terus, kalau dia? Apanya yang penting?" Sungguh perasaan Arman dibuat seperti roller coaster saat ini.

"Dia itu penting karena, mau mengabulkan apa aja permintaan aku, Mas? Gimana dong?"

"Ya udah. Mulai sekarang kamu kalau mau apa-apa harus minta sama aku, ingat yank! Aku nggak mau jika kebutuhan istri aku dipenuhi oleh laki-laki lain."

"Ohh..! Jadi kamu cemburu Mas?"

"Siapa yang cemburu yank, aku hanya nggak mau, kamu ketergantungan pada orang lain. Aku suami kamu yank, kamu harus ketergantungan sama aku bukan orang lain."

"Ohh...!" Nisa yang hapal dengan sifat posesif suaminya, hanya menganggukkan kepalanya.

"Kok cuma ohh...?" Arman semakin penasaran dengan sosok laki-laki yang di bicarakan istrinya tersebut.

"Ya kalau kamu bilang apa-apa harus minta sama kamu ya aku suka, nggak perlu minta dia datang ke rumah lagi," ucap Nisa santai.

"Jadi, laki laki itu pernah main ke rumah yank??" Wajah Arman mulai nampak menahan emosi, nampak pipinya mengeras.

"Pernah sih, kalau nggak salah lima atau enam kali gitu." Nisa menahan senyum agar ulahnya tidak terbongkar.

"Sesering itu?? Kok aku nggak tau dan nggak pernah ketemu saat dia datang ke rumah yank?" Arman mengepalkan tangannya dalam saku.

"Gimana mau ketemu Mas, kalau dia datang cuma satu dua menit, pulang lagi."

Nisa sengaja mengulur-ulur pembicaraan.

"Kok cepat yank? Memangnya dia datang

ngapain aja cuma dua tiga menit?"

"Ya ngantar pesanan aku lah! Masa mau numpang makan!"

Lama Arman memikirkan penjelasan istrinya namun ia tetap bingung. "Siapa nama laki laki itu yank? Dia kerja apa? Rumahnya di mana??"

"Namanya Mas ojol, kerjanya kurir antar barang, terus kalau rumahnya aku nggak tau Mas, soalnya belum pernah tanya tanya sih, lain kali aku tanya deh, alamatnya, hobbynya, ukuran pakaian, hm....! Apa lagi ya?"

"Stop...! Ngapain tanya tanya sih. Jadi maksud kamu teman laki-laki yang kamu maksud itu kurir ojol yank??"

"Iya Mas! Memang aku boleh ya, cari teman laki-laki lain lagi?" Nisa menatap wajah suaminya seolah meminta ijin.

"Jangan.....!" Jawaban spontan Arman menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya bahwa ia takut kehilangan.

Arman merasa lega, ia berpikir jika yg dimaksud Nisa, adalah mantan suaminya..

"Ehh..!" Nisa mengulum senyum melihat sifat posesif suaminya.

"Maksudnya, kamu jangan terlalu akrab sama laki-laki lain gitu," jawab Arman serba salah.

"Hehehe...! Ngaku aja kalau suamiku saat ini lagi cemburu? Kok susah amat sih bicara jujur?" ujar Nisa sambil membelai pipi suaminya.

"Aku cuma nggak mau kamu dekat sama laki-laki lain, yank." Arman masih gengsi mengakui kecemburuannya.

"Itu tadi namanya apa Mas??" Tanya Nisa menatap mata suaminya.

"Iya iya ....! Aku cemburu..! Tapi itu karena aku nggak mau kehilangan kamu yank, apalagi sekarang ada calon anak aku di sini," ucap Arman sambil tangannya mengusap perut istrinya.

"Terimakasih Mas...!"

"Aku yang berterima kasih sama kamu yank, karena walau sifat ku seperti ini, kamu masih mau mengandung anak aku yank. Ku mohon jangan tinggalkan aku ya?" Arman langsung memeluk tubuh Nisa.

"Mas, apa sahabat aku boleh datang ke rumah Mas?" tanya Nisa sambil memandang ke wajah suaminya, Nisa memainkan tangannya pada pipi laki laki tersebut.

"Kenapa harus minta ijin sih yank? Kapan saja sahabat kamu itu boleh datang, siapa tau bisa mendatangkan aura positif untuk kamu."

"Lho...! Maksudnya apa, Mas?"

"Ya kan kamu lagi hamil sayang, dan kebahagiaan itu adalah pengaruh positif yang baik untuk kesehatan dan perkembangan janin, di sini," ujar Arman sambil mengelus perut istrinya.

"Oh...! Aku pikir apa?"

"Kalau boleh tau, kenapa baru sekarang teman kamu itu, punya keinginan main ke rumah yank? Maksudnya Kenapa nggak dari dulu, gitu?" tanya Arman.

"Ya, bagaimana mau main Mas? Orang dia aja ngak tau alamat aku sejak tinggal di kota ini."

"Kok bisa? Apa selama ini kamu gak pernah memberitahukan alamat rumah kita?" tanya Arman penasaran.

"Maaf, aku gak berani memberikan alamat rumah kamu Mas. Aku sadar, bahwa aku hanya seorang menantu yang tak diinginkan dalam lingkaran keluarga suamiku sendiri."

Kata kata Nisa yang seperti itu membuat Arman benar benar menyadari jika, selama ini, terlalu banyak hak istrinya yang tidak ia penuhi.

"Maafkan aku yank, aku terlalu lalai sebagai suami. Dan aku juga terlalu tak peduli sama keinginan kamu selama ini. Mulai sekarang, aku akan berusaha mengganti semua kesalahan dengan kebahagiaanmu sayang."

Sebenarnya Nisa ingin memberitahukan pada suaminya, tentang rencananya yang ingin bekerja dan mencari penghasilan demi masa depan putranya. Namun tiba tiba....!

"Brakk....!"

Pintu yang tiba-tiba terbuka secara kasar seketika, membuat wajah Nisa memucat, saat melihat wajah orang yang berdiri di depan pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status