Share

chafther 7

Begini Pak, istri anda mengalami pendarahan, terlambat sedikit saja ditangani, maka akan fatal akibatnya!" ucap dokter dengan wajah tegas. "Apa pasien melakukan pekerjaan berat atau mengalami tekanan emosi yang berlebihan?" tanya pria berjas putih itu.

Maaf Dok, tadi memang kita ada salah paham yang berakibat pertengkaran. Memangnya apa yang terjadi pada istri saya Dok?"

"Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat atas kehamilan istri anda." jawab Dokter tersebut.

"Apa Dok!? Istri saya hamil??"

"Benar Pak, usia kandungan pasien saat ini memasuki usia empat minggu."

"Nisa hamil?.... istri saya hamil Dok? alhamdulillah." tanya Arman lagi dengan wajah bahagia.

Tanpa sadar Arman langsung memeluk Dokter paruh baya tersebut.

"Begini ya Pak, kandungan ibu Nisa sangat lemah, jadi tolong diusahakan, agar bapak lebih extra dalam menjaga pola makan, istirahat dan terutama emosinya. Bagaimana pak?" nasehat dokter tersebut.

"Baik Dok, saya akan berusaha memberikan yang terbaik untuk istri dan calon anak saya, tapi bagaimana dengan kondisinya? Istri saya baik baik saja kan, Dok?"

"Kondisi pasien sudah normal, hanya saja banyak yang harus Bapak lakukan."

"Emosi bu Nisa harus benar-benar di jaga ya Pak! Biasanya emosi wanita yang sedang hamil sering turun naik, tolong usahakan pasien jangan sampai sedih, khawatir dan takut berlebihan, karena itu akan berdampak pada rangsangan terhadap bayi hingga bisa menyebabkan keguguran."

"Untuk saat ini, pasien juga jangan terlalu capek, atau melakukan aktivitas yang berat."

"Baik Dok!" Arman dengan yakin menjawab.

Tiba-tiba Arman bertanya kembali, dengan ragu ia berkata. "Kalau itu?.....Itu, bagaimana dengan berhubungan suami istri, apa bisa dilakukan Dok?" tanya Arman yang disambut senyuman para perawat.

"Hehe...! Sebaik nya untuk di trimester awal lebih baik ditahan dulu ya Pak, karena kita harus lihat, dan memastikan perkembangan janin untuk satu Minggu sampai satu bulan ke depan. Goncangan atau gerakan saat berhubungan, di khawatirkan akan berpengaruh pada janin. Nanti saya akan resep kan obat penguat kandungan, juga vitamin untuk pasien."

Setelah memberikan arahan panjang lebar, Dokter tersebut pun berlalu meninggalkan tempat.

Arman duduk di sisi bed pasien Nisa dan menggenggam tangannya, serta tak henti menciuminya.

"Terimakasih karena kamu telah menjadikan aku sempurna sebagai lelaki Nisa, bertahanlah demi masa depan dan buah cinta kita. Maafkan aku telah berlaku buruk pada dirimu juga Ahmad. Aku menyesal Nis." Arman mengelus perut Nisa secara perlahan, seolah takut elusannya menyakiti calon anaknya.

"Sebagai seorang Ibu, kamu begitu luar biasa Nisa."

"Janin ini tumbuh karena kasih sayangmu, dan dia ada bersama dirimu di saat orang lain bahkan belum menyadari kehadirannya." Arman terus berkata sambil sesekali ia mengelus dan mencium perut Nisa.

Nisa yang tersadar beberapa waktu yang lalu, mendengar semua apa yang dikatakan Arman.

Nisa mulai ragu untuk berpisah dengan Arman, ia tak tega dan merasa sebagai ibu yang kejam, jika anaknya akan kembali kekurangan sosok orang tua. Akhirnya Nisa mencoba mengalah dan menerima takdir demi calon buah hatinya.

"Apakah kau akan membedakan mereka nantinya Mas?" Tangan Nisa mengusap kepala Arman yang berada di atas perutnya.

Arman langsung menoleh kearah Nisa "Jangan khawatir sayang, aku nggak akan membedakan mereka, percayalah!" Arman begitu bahagia melihat Nisa mau berbicara padanya, dan dalam keadaan baik-baik saja.

Sambil mengelus perut istrinya, Arman berkata, "Mereka terlahir dari rahim yang sama, meminum air susu dari Ibu yang sama, dan dibesarkan oleh Ibu yang sama pula, juga dalam rengkuhan kasih sayang dari satu wanita." Arman memandang wajah Nisa dan tersenyum.

"Tak ada lagi alasan aku untuk membedakan mereka, karena mereka adalah bagian dari wanita yang aku cintai." Arman langsung memeluk nisa dengan erat.

Sejenak sepasang suami isteri itu hanyut dalam pikiran masing-masing. Hanya perasaan mereka yang bersatu dan terjalin dalam sebuah ikatan cinta.

"Tapi bagaimana dengan Ibu dan Bella Mas?" Nisa masih merasa ragu, jika ibu mertuanya akan menerima dirinya hanya karena keadaan dan kehamilannya saat ini.

"Kamu harus tenang ya, jangan berpikir hal yang akan memancing emosi mu, masalah Mama dan Bella akan menjadi urusanku." Sebenarnya Arman pun berpikir sama, ia tau bagaimana mama dan adiknya sangat tak menyukai istrinya itu.

"Jika nantinya, Ibu meminta kita untuk berpisah bagaimana Mas? Apa kamu akan meninggalkan kami?" Nisa masih belum bisa menghilangkan kekhawatirannya saat ini untuk menghadapi keluarga suaminya itu.

"Itu nggak mungkin terjadi sayang, aku nggak mungkin meninggalkan kalian hanya sekedar keinginan Mama."

"Semoga saja Mas!" ujar Nisa sambil menggenggam tangan suaminya.

"Ahmad mana Mas?" Melihat sekeliling, Nisa baru menyadari jika anaknya tidak ada di situ.

"Ahmad di rumah sayang. Maaf ya, tadi malam saat kita akan berangkat, aku panik, sampai melupakannya."

Sejak menyadari kesalahannya dan mengetahui kehamilan istrinya, Arman selalu memberikan panggilan sayang pada Nisa seperti perasaannya.

"Apaan sih Mas, dari tadi sayang sayang terus, kalau di dengar orang, aku malu tau Mas!" ucap Nisa sambil memanyunkan bibirnya. Menjadikan wajah Nisa terlihat lucu.

"Kenapa harus malu sayang, 'kan aku memang sayang sama kamu." Arman mencium pipi Nisa gemas yang langsung mendapatkan pelototan mata.

Mereka pun berbincang dan tertawa membahas masa depan, terutama saling memaafkan. Terlihat harmonis, sangat jauh dibandingkan kemarin yang selalu di sertai dengan kata kata kasar, sampai ketika.

"Mas Arman!"

"Apa sayang, apa kamu lapar? Atau ada yang kamu sakitkan? Tunggu sebentar ya, aku akan memanggil Dokter!" Arman beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan ke arah pintu.

"Kamu mau kemana Mas?? Aku nggak apa apa kok, sini duduk, aku mau bicara." Panggilan Nisa menghentikan langkah suaminya.

Perhatian dan kekhawatiran Arman mengurangi sedikit demi sedikit kekecewaan hati Nisa.

"Udah sayang jangan bicara dulu, aku nggak mau kamu sakit lagi! Udah dulu ya bicaranya, lain kali kita bahas lagi. Tapi kumohon jangan meminta sesuatu yang nggak mungkin aku lakukan." Kecemasan Arman tentang pembicaraan yang di maksud Nisa, membuatnya takut.

"Apa sih Mas, orang aku cuma mau bicara tentang sahabat aku, kok kamu sampai panik gitu sih?" Nisa tersenyum melihat tingkah suaminya.

"Oh...Maaf, aku pikir kamu mau membahas masalah tadi malam!..Hehe..!" Arman nyengir sambil menggaruk kepalanya berjalan kembali ke sisi istrinya.

"Sahabat kamu yang mana sayang?" Arman merasa lega saat Nisa tak membahas masalah dirinya.

"Dinda, teman aku yang datang di pernikahan kita waktu itu. Apa kamu ingat Mas?"

"Maaf aku nggak ingat yank. Waktu itu aku hanya fokus sama kamu, jadi ngak sempat lihat wanita lain." Arman baring di sisi istrinya, sambil sesekali kali memainkan ujung hijab Nisa.

"Iya, dulu Mas fokusnya ke aku, sekarang...?" pancing Nisa.

"Udah dong yank, kok bahas aku lagi sih, 'kan kita lagi bahas sahabat kamu. Sekarang dia di mana?" Arman segera mengalihkan pembicaraan mereka.

"Iya..iya..! Pinter benar ngeles," gumam Nisa, "Gini lho, sahabat aku itu tinggalnya di kota ini juga. 'Kan kita udah lama nggak ketemu, jadi dia mau main ke rumah kamu, apa boleh Mas?"

"Yank, kok ngomongnya gitu sih yank!Rumah aku itu rumah kamu juga! Siapapun tamu kamu boleh datang kok, asalkan dia seorang wanita!"

"Kok aturannya gitu??"

"Ya jelas dong, asalkan dia seorang wanita jangankan main, nginap juga boleh. Kalau dia laki laki, jangankan nginap, mendatangi kamu juga nggak boleh, paham!" Bukan ingin membatasi pergaulan istrinya, Arman hanya merasa tak rela jika istrinya didekati laki-laki lain.

"Memangnya aku punya teman laki-laki ya, Mas?" Nisa memandang ke arah suaminya, tiba tiba...

"Eh...! Tunggu, aku mau jujur kalau aku, punya satu teman laki-laki Mas!" ucap Nisa tersenyum smirk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status