Saat ini, aku memutuskan untuk bersikap tenang. Ibu, bapak, Ibu Juleha dan Gagah, mereka semua kupersilahkan duduk di sofa lebih dulu. Membicarakan sesuatu dengan emosi apalagi saling memaki seperti tadi tidak akan memperbaiki masalah, yang ada aib demi aiblah yang terus mengudara.
Kulirik Lidyana dan si bungsu yang berdiri di belakang sofa ibu, dua anak itu bukannya gegas membuatkan minum malah tertarik dengan pembicaraan para suhu. Lihat saja ekspresi Lidyana yang mengerut ke arahku, gadis itu jelas-jelas tidak mau beranjak agar tidak melewatkan gosip meski hanya satu baris kalimat.Sekali lagi aku menatap Lidyana dan si bungsu, menggertakkan gigi dan terus memberi kode agar mereka lekas beranjak. Tetapi bukannya mendapatkan inginku, ibu malah menampar angin di depan wajahku.“Enggak perlu tawarin minum! Teh di rumah abis, gulanya mau Ibu buatkan donat.”“Bu ... jangan begitu sama tamu,” pintaku hampir memAku memarkir Si Gagah begitu sampai di rumah Anha jam lima sore. Langit mulai membiru di pucuk sana ke tiba aku tiba, para burung bergantian pulang menuju sarang, serupa denganku yang kembali datang.Wajahku terasa lebih bersinar sore ini. Bukan karena semata-mata menyadari jika Gagah menyimpan niat mulia untukku, tetapi lebih dari itu, empat bungkus martabak yang kutenteng bersama saat ini menjadi alasan paling besar rasa bahagia yang terus merebak di hati.Ekspresi girang dari Ahnalah yang begitu kunanti. Gadis baik dengan seribu rasa sakit yang dipendamnya sendirian selama ini, memang terlihat begitu tegar dan tangguh. Meski nyatanya aku tahu jika Anha menyimpan segalanya seorang diri.Ada malam dimana dia duduk sendirian di ruang tamu, menangis di bawah gelapnya malam sembari memeluk lutut. Aku berpura-pura tidak tahu demi menjaga perasaannya. Aku sadar, meski sudah lama ditinggalkannya dunia kelam itu, tetap saja ada luka yang masih bersar
Aku masih sibuk menyapu lantai yang baru saja menghadapi badai tornado itu saat ketukan pelan dipintu menghentikanku. Gegas aku melirik, seorang pria paruh baya dengan istrinya yang baru saja pulang dari masjid mampir ke rumah kami.Wajah keduanya begitu teduh, melambangkan kebaikan hati dan ketulusan di dalamnya. Mereka tersenyum ke arahku yang masih memeluk gagang sapu, bingung karena tidak terlalu mengenali dua sosok itu.“Assalamualaikum Dik Gina?” Istrinya menyapa lembut.Aku mengernyitkan dahi, sungguh luar biasa jika dua orang yang terasa asing itu bisa mengenaliku dengan cepat. Padahal, aku sudah meninggalkan rumah ini sejak dua tahun lalu setelas melepas status lajang kepada Bang Teguh.“Boleh kami masuk, Dik Gina?” imbuhnya lagi.Lekas aku mengangguk, kemudian meletakkan sapu di sudut ruangan dan menyambut dua tamuku itu. “Silahkan masuk, Pak ... Bu?” sapaku ragu-ragu.
“Terima kasih banyak, Gah! Kamu banyak bantuin aku selama proses pengurusan perkaranya Anha,” ucapku siang ini pada pria bernama Gagah.Ini sudah ketiga kalinya dia menemaniku membereskan permasalahan yang menimpa Anha. Kasus dari gadis yang disiksa habis-habisan oleh lima orang sekaligus memang berakhir damai, ketiganya meminta maaf pada kami usai mendapat panggilan dari pihak kepolisian.Aku tahu, ini terdengar tidak memuaskan. Aku sudah meminta rujukan untuk melakukan visum dan hasilnya kuserahkan kepada pihak kepolisian. Tetapi nyatanya memang perkara begini harusnya diselesaikan secara baik-baik dan kekeluargaan. Anha memang tertekan, tapi menurut dokter mentalnya akan berangsur membaik dengan cepat, seiring dengan luka-luka yang ada di tubuhnya.“Sama-sama , Gin! Ini laporan terakhir ke polisi, kan?” balas Gagah.“Iya, Gah. Aku kira bakalan naik pengadilan. Ternyata semuanya diselesaikan secara d
Aku menghentikan Si Gagah, kemudian lekas menurunkan kaca jendela. Gagah berlari menghampiriku, wajahnya memerah dan terlihat jelas jejak kakegatan di sana.“Gin, turun!” pintanya setengah berteriak.Gagah membukakan pintu mobil, menuntunku turun dari Si Gagah yang tinggi ini. Aku gegas berlari bersama Gagah, dan apa yang kulihat saat ini telah membuat jejak yang dalam di hati.“Astagfirullah!” Aku menjerit sekeras mungkin, lalu berbalik bersembunyi pada Gagah.Tubuh seorang pria tergeletak pingsan di belakang mobilku, kepalanya terluka dan darah mengucur pelan. Di sebelah sang pria, ada gadis kecil yang merengek, menangis dan terus memanggil nama dari pria itu.“Papa ... Papa!” Tangan mungilnya mengguncang tubuh sang pria. Hingga Gagah memintaku melepas dirinya.“Gin, lepas dulu. Kita harus bawa dia ke rumah sakit!” ucap Gagah.Aku memaksakan di
Aku berdiri di depan unit UGD dengan tangan masih menggenggam erat si gadis kecil. Anggrek— begitulah dia mengaku. Tak pernah kutanyakan apa kelanjutan namanya, mungkin saja anggrek bulan yang selalu hits itu atau anggrek jenis apapun. Tetapi kuakui, namanya memang secantik parasnya.Dia berdiri di sampingku, menatap ke arah pria berbaju putih yang masih berbicara dengan Gagah. Si kecil tidak bereaksi apapun, bahkan merintih memanggil nama pria di dalam sana pun tidak lagi dia lakukan. Anggrek diam, menggenggam satu jemariku lebih erat.“Kamu kenapa, Nak?” tanyaku padanya saat menyadari perbedaan itu. Aku mencoba berbasa-basi, mungkin Anggrek masih menyimpan khawatir dengan apa yang terjadi pada papanya.“Macih ama? Angyek lapar,” akunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Aku tergelak mendengar penuturan si kecil, menyebabkan Gagah dan pria berprofesi mulia itu ikut melirik ke arah kami. Gagah menegu
“Malah hah! Kan kamu yang nabrak Mas Zildi, jadi kamu tanggungjawab ngurusin dia juga, dong!” sungut wanita itu.Dia dengan sengaja mengibas rambutnya ke arahku. Menyebabkan wajah ini terasa perih berkat hempasan dari helaian surainya yang berwarna madu. Tidak cukup sampai di situ, dia juga menghentak tumit heels-nya yang seruncing jarum, mengakibatkan derak keras mengusik telinga.Kulirik Anggrek di atas brankar, gadis kecil itu menggeliat, terusik dengan apa yang dilakukan oleh ibunya. Sedangkan Mas Zildi yang baru saja terbangun segera meninabobokan putri mereka lagi.Entah sudah seperti apa zaman saat ini, suami bersikap dhalim terhadap istri, mertua membenci menantunya sendiri dan sekarang istri bersikap kasar pada suami. Edan! Aku tidak habis pikir kalau nasib bisa begitu sama antara aku, Mas Zildi dan juga Gagah. Anehnya, kami dipertemukan dalam satu kecelakaan.“Loh, Mba ....”“Jan
Aku berhenti berjalan tepat di depan kamar beraroma lavender itu. Anha, kutemukan sedang berbaring di ranjang, memainkan gawai baru yang belum lama ini kubelikan demi menghibur hatinya yang remuk. Meski alasan sebenarnya, gawai gadis itu mengalami kerusakan usai insiden pengeroyokan.Anha yang menyadari kepulanganku segera beranjak bangun, ditinggalkannya benda pipih yang menyala itu di ranjang, lalu dia menyerbu ke arahku, memeluk erat seperti bayi pada ibunya. “Kok lama sekali, Gin? Aku takut di sini,” rengeknya percis anak kecil.“Jangan manja, An. Biasanya kamu juga senang aku tinggal di rumah. Enggak ada yang omelin kamu kalau rumah kotor dan bisa sepuas-puasnya malas-malasan,” ucapku seraya melepas pelukan gadis itu.Kuperhatikan wajah Anha, meski masih sedikit layu namun jadi lebih berwarna dibanding sebelumnya. “Urusan dengan emak-emak arogan itu sudah selesai. Mereka akan membayar ganti rugi untuk kamu, An
Aku terdiam cukup lama saat netra ini mengenali sosok yang berdiri di depanku. Wajahnya kian kurus dan pucat, cekungan pipinya semakin dalam dan tulang pipi mulai menonjol.Penampilannya sangat biasa, jauh berbeda dengan apa yang pernah kulihat terakhir kali saat di rumah Nita dulu. Wanita ini, rupanya sudah melahirkan anak pertamanya. Tapi, kenapa dia ada di sini? Di desa yang jauh dari rumah mereka?“Mbak Gina, kan?” panggilnya lagi.Aku bingung, harus mengiyakan atau memilih melarikan diri. Mantan madu yang merebut Bang Teguh dariku, kini berdiri dengan wajah terkejut. Dia batal meninabobokan anaknya yang merengek di ayunan dari sarung motif kotak-kotak— sudah lecek dan kusam, seperti kain lama yang digunakan.“Mbak Gina apa kabarnya? Makin cantik saja, ya? Badannya juga makin bagus, baju dan tasnya juga,” pujinya sembari melihat-lihat penampilanku.