MasukEvan berjalan masuk ke dalam rumah, wajahnya tampak letih dan muram. Beberapa kali dia menghela nafas panjang dengan lelah.
Suasana rumah tampak sudah gelap, hanya diterangi cahaya dari lampu sudut di beberapa titik. Lelaki itu terus melangkah lurus saja menuju tangga, ingin segera tiba di kamar. Tapi ketika kakinya hendak menaiki tangga, Evan terhenti. Dia memutar tubuhnya dan menyadari jika ruang makan masih terang benderang dari kejauhan sana. Terusik, Evan pun mengarahkan langkahnya ke sana.
Dan dia lalu tertegun.
Tampak Zola tertidur di atas meja makan dengan berbantalkan kedua tangannya. Sepertinya dia menunggu Evan pulang dan dia sudah menyiapkan makan malam.
Evan mendekatinya, menatap wajah cantik yang tampak lelap tertidur.
"Zola," panggil Evan menyentuh pundak istrinya itu dengan lembut. Namun Zola tampaknya sangat kelelahan dan tidurnya sangat nyenyak.
Evan merasa iba, dan dia terenyuh.
"Maaf membuatmu menunggu, Sayang," bisik Evan membelai rambut Zola yang tak memakai hijab, hanya dikepang dan menjuntai di salah satu bahunya.
Evan sadar dengan hubungan mereka akhir-akhir menjadi dingin dan kaku, entah kenapa rasanya ada yang mengganjal di hatinya sejak Zola keguguran untuk kedua kalinya itu. Meski begitu bukan berarti dia mengabaikan istrinya begitu saja, Evan masih memperhatikannya dan menjaganya dari jauh.
"Kamu bisa sakit leher nanti," gumam Evan sambil menyusupkan tangannya ke bawah lutut Zola.
Perlahan, dia pun mengangkat tubuh Zola dan membawanya ke kamar. Evan tertegun merasakan jika Zola sedikit lebih ringan sekarang, dan itu membuatnya sedih. Dilihatnya wajah cantik itu tampak redup.
Evan mendorong pintu kamar dengan bahunya, perlahan dan hampir tak bersuara, tak ingin membuat Zola terusik dan bangun dari tidurnya. Dia menurunkan tubuh istrinya itu dengan lembut di atas tempat tidur dan menarik selimut hingga menutupi dada Zola.
Dipandanginya wajah itu, dan membelai kepalanya dengan lembut.
"Ada sedikit masalah di kantor dan aku tak mau kamu tahu, Sayang," ungkap Evan pelan, "kamu sudah cukup kelelahan dengan semua ini, aku tak mau menambah beban pikiranmu, jadi tolong maafkan aku!"
Evan menunduk dan mencium kening Zola dengan lembut lalu beranjak berdiri, berjalan memasuki kamar mandi.
Sepeninggal Evan, diam-diam Zola membuka matanya dan menatap ke arah pintu kamar mandi.
"Ya Allah, apa yang terjadi, Mas?" bisiknya merasa sedih.
Zola langsung teringat perkataan Danar yang mengancam akan membuat kekacauan. Seketika jantungnya berdebar kencang.
"Apa ini yang dikatakan oleh Danar? Apa yang sudah dia lakukan sebenarnya?" gumamnya dan dia mulai gelisah.
"Aku akan harus menanyakan ini pada Tama!"
***
Besoknya, Zola sengaja berangkat siang dan berkata akan libur kerja pada Evan. Padahal dia berniat mengunjungi rumah Tama. Maka ketika dilihatnya mobil Evan sudah pergi, Zola pun bersiap-siap.
"Nyonya mau kemana?" tanya Mbok Titi heran, bukannya tadi dia mendengar jika Zola akan libur hari itu.
Zola tersenyum sambil merapikan hijabnya, sengaja dia berpakaian serba tertutup melebihi biasanya karena dia akan keluar sendirian. Itu pula yang membuat Mbok Titi heran melihatnya.
"Aku mau ke rumah Papa, sebentar saja, Mbok," jawab Zola.
Mbok Titi pun mengangguk mengiyakan.
Zola bergegas menuju mobilnya. Ia ingat jika Jihan, istri Tama, tengah hamil besar dan sebentar lagi melahirkan, maka dia berniat ingin membelikan hadiah kecil sebelum ke sana.
Setelah membeli oleh-oleh dan makanan kecil, Zola pun mejalankan mobilnya menuju rumah asisten suaminya itu. Dan penjaga gerbang di rumah Tama mengenal Zola meski wanita itu masih memakai masker.
"Silahkan, Nyonya," sambutnya mempersilakan Zola memasukan mobilnya.
"Terimakasih, Pak!" balas Zola mengangguk.
Jihan yang sedang menyiram tanaman hiasnya mengerutkan kening melihat ada mobil asing memasuki halaman rumahnya. Dia melihat ke arah penjaga gerbangnya yang memberi akses masuk pada mobil itu, itu artinya dia mengenal si pengemudi.
"Siapa?" gumamnya heran dan mengawasi siapa yang akan keluar dari ruang kemudi.
Dan matanya membulat melihat siapa yang muncuk kemudian. "Mbak Zola?" ucapnya heran.
Jihan pun segera meletakkan selang air, membersihkan tangannya lalu bergegas menghampiri wanita itu.
"Assalaamu'alaikum!" ucap Zola.
"Waalaikum salaam," sambut Jihan, "kupikir siapa tadi!" lanjutnya merangkul Zola sebentar, sudah lama rasanya mereka tak bertemu sejak Jihan mengambil cuti hamilnya.
"Apa kabar, Jihan? Sehat?" tanya Zola membalas rangkulan Jihan.
"Alhamdulillah aku sehat, Mbak sendiri bagaimana?" tanya Jihan balik sambil menggandeng istri atasan suaminya itu menuju ke rumah.
"Syukurlah, bayimu sehat?" Zola meminta izin menyentuh perut, Jihan tentu saja mengizinkannya.
"Iya, Mbak, aku tinggal menunggu HPL saja," ucap Jihan.
Mereka lalu memasuki ruang tengah dan duduk santai. Ketika itu pembantu Jihan muncul membawakan barang dari mobil Zola
"Nyonya, ini mau ditaruh dimana?" tanyanya.
Jihan membelalak kaget melihat semua barang-barang itu, ada stroller dan satu dus pakaian bayi yang lucu-lucu.
"Ya Allah, Mbak! Kenapa repot-repot?" desah Jihan merasa tersanjung, dia meminta pelayannya meletakkan semua itu di kursi.
Mata Zola tampak menyipit ketika dia tersenyum, membuat Jihan sendiri terpana dengan kecantikan dan keanggunannya.
"Aku nggak tahu bayimu nanti laki-laki atau perempuan, jadi aku beli unisex saja!" kekehnya.
Jihan tertawa seraya geleng-geleng kepala, dia dengan gembiranya melihat semua itu, dan tertawa gemas ketika melihat baju-baju bayi.
Zola terdiam sejenak dan memperhatikan Jihan yang masih antusias membuka hadiah itu.
"Heum, Jihan, aku ingin bertanya sesuatu, bisa kah?" ucap Zola agak ragu.
Jihan menoleh padanya, "Apa?" tanyanya.
Zola menghela nafas, "Apa kamu tahu apa yang terjadi di perusahaan? Evan terlihat frustasi semalam dan aku mencemaskan itu," katanya menatap lekat pada Jihan.
Jihan sontak tertegun, "Mungkin Tuan Evan tidak mau Mbak terbebani sehingga dia tak memberitahu soal itu," ucapnya bingung.
"Soal apa?" kejar Zola.
Jihan memejamkan matanya, dia kelepasan bicara. Seharusnya dia lebih menjaga kata-katanya, karena sepertinya Evan tidak membicarakannya pada Zola, itu artinya lelaki itu tidak ingin istrinya tahu soal kemelut yang baru saja menghantui perusahaan mereka itu.
"Jihan, aku mohon!" pinta Zola ketika melihat wanita itu terdiam. Dia sudah menebak ada sesuatu yang terjadi dan sangat gawat.
Jihan membasahi bibirnya, dia ragu. Apa yang akan dia katakan mungkin akan membuat Zola terkejut.
"Jihan, aku hanya ingin tahu," desak Zola, "aku melihat perubahan sikap Evan semalam, dan aku tak ingin berburuk sangka pada suamiku sendiri, jadi tolong katakan apa yang terjadi!"
Jihan menatap Zola dengan gamang, dia juga mendengar apa yang sudah terjadi pada Zola dari Tama. Dia pun merasa iba dan ikut prihatin, dan memaklumi dengan kekhawatiran wanita cantik itu.
"Sebelumnya tolong jangan sampai Tuan Evan tahu, aku tak ingin membuatnya marah!" pinta Jihan yang membuat Zola semakin tegang dan penasaran.
"Tentu! Aku akan menjaga rahasia, aku hanya ingin tahu!" timpal Zola meyakinkan Jihan dan menggenggam tangannya.
"Sebenarnya, perusahaan sedang mengalami kebangkrutan, para klien di kantor cabang membatalkan kerja sama dan itu membuat kerugian yang tak sedikit. Dan para investor menarik saham secara besar-besaran, sehingga kita tak bisa menutup semua kerugian yang ada karena nilai saham langsung anjlok dalam semalam!" terang Jihan sedih.
Zola menutup mulutnya, tak menyangka jika kejadiannya sangat genting seperti itu. Tak terbayang Evan harus memikirkan semuanya sendiri.
"Berapa kerugian kita?" tanya Zola dengan suara tersendat menahan tangis.
Jihan menelan saliva sebelum dia lalu menjawab dengan suara lirih ...
"Sekitar 271 Trilliun!"
Abraham mengumpulkan semua bawahan dan anak buahnya di aula kediamannya yang luas. Jika ada orang biasa yang melihat mereka, mungkin dia akan terkesima dengan banyaknya orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya.Abraham duduk di depan sana, di atas kursi kebesarannya, didampingi oleh jajaran para tangan kanan dan juga asistennya. Yang mana semuanya memiliki visual yang tidak main-main, hanya saja semuanya tampak berwajah dingin dan kejam.Mungkin anak buahnya hanya sebagian yang datang dari berbagai perwakilan mereka, dan itu semua sudah berjumlah ratusan. Tidak terbayang jika semuanya hadir, mungkin akan menimbulkan kepanikan tersendiri bagi masyarakat yang melihat.Suasana terasa dingin dan hening, tidak ada yang berani bersuara atau bahkan bergerak dari tempat mereka berdiri.Abraham melayangkan pandangan ke seluruh ruangan."Aku mengumpulkan kalian semua di sini dengan tujuan yang pastinya sudah kalian dengar sebelumnya," ucapnya membuka pertemuan itu. Suara tenang dan dala
Kevin terkejut dengan perkataan Abraham."Apa maksudmu?" tanyanya dengan mata menatap lurus pada ayah mertuanya itu.Abraham menarik nafas panjang, "Kevin, aku sadar jika duniaku ini tidak tepat dimasuki oleh Nathan, buktinya sudah jelas. Aku membahayakannya dan sekali aku mendengar namanya disebut oleh musuhku, aku tidak bisa tinggal diam!" ucapnya.Kevin mengeratkan rahangnya, "Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada sedikit emosi."Hal yang seharusnya sudah menjadi sangat wajar bagi kami, tapi untuk sekarang itu menjadi hal yang fatal bagiku!" ucap Abraham menatap kosong ke arah lantai."Mereka mengancam akan mengusik cucuku jika kami tidak berhenti ikut campur dengan urusan perebutan wilayah yang terjadi kemarin," tuturnya.Kevin pun sontak naik pitam, tangannya mengepal dengan erat."Lalu sekarang di mana anakku?" geramnya, kecemasan seketika merayapi pikirannya.Abraham tersenyum, "Tidak usah khawatir, Nathan sudah berada di tempat yang aman, aku mengan
Abraham menghela nafas panjang, perlahan tangannya bergerak mengusap wajahnya yang terkena cipratan darah segar. Matanya menatap dengan dingin pada mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapannya. Suasana hening yang menegangkan itu selesai, hanya saja di depan sana, Mark masih asik menginjak-injak wajah orang yang disebut sebagai pimpinan musuh. Orang itu bahkan sudah menjadi mayat dengan puluhan peluru di tubuhnya, tapi Mark masih saja menyiksanya. Dan yang lebih menyeramkan adalah ekspresi wajahnya yang dingin dan kosong."Mark, sudah!" kata Abraham dengan suaranya yang dalam. Laki-laki yang menjadi tangan kanannya itu memang memiliki sedikit kelebihan mengenai emosi dan nafsu membunuhnya.Mark yang mendengar suara Abraham seolah tersadar. Bak anak anjing yang menuruti perintah majikannya, dia menghentikan perbuatannya dan kembali berjalan mendekati Abraham. Anak buah yang menjadi bawahannya tampak ngeri dan menelan saliva melihat sisi gelap laki-laki itu, tak terbayang jika mereka m
Zola berlari menyambut kedatangan Nathan dengan gembira, kedua tangannya terbuka lebar tak sabar ingin segera memeluk anak itu. Dan begitu keduanya bertemu, langsung saja dia memeluknya."Assalaamu'alaikum, Bunda!" kata Nathan seraya tertawa riang melihat sambutan ibu angkatnya itu."Waalaikum salaam, Nak!" balas Zola mencium kepala Nathan dengan penuh rindu. Evan dan dan Surendra ikut tertawa melihatnya, begitu juga dengan Abraham."Kamu apa kabar? Kamu sehat 'kan?" tanya Zola seraya memutar tubuh Nathan melihat keadaanya."Alhamdulillah sehat, Bunda!" jawab Nathan tak berhenti tertawa geli dengan perlakuan Zola.Menyadari kelakuannya, Zola pun kemudian tertawa geli sendiri, lalu merangkul Nathan dengan lebih kalem."Maaf, Bunda sudah sangat rindu sama kamu soalnya!" ujarnya terkekeh.Nathan tersenyum, "Bunda sendiri bagaimana kabarnya?" tanyanya."Alhamdulillah kami juga sehat," jawab Zola dengan raut wajah terlihat cerah.Nathan lalu menyalami Evan dan Surendra."Hanya beberapa min
Pagi menjelang, suasana rumah Abraham terlihat tenang. Para pelayan dan penjaga bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.Mark, tangan kanan Abraham baru saja tiba di sana. Dia mencari keberadaan bosnya itu di kamar, namun dia tidak mendapati Abraham di sana. Mark pun terlihat kebingungan lalu keluar dari kamar untuk mencari Abraham.Saat dia menyusuri lorong, alisnya terangkat ketika melihat melihat Abraham keluar dari kamar Nathan bersama anak itu.Mark pun segera menghampirinya dengan wajah cemas."Bos!" sapanya seraya mengangguk hormat, matanya menyorot dengan penuh tanda tanya menatap Abraham dan Nathan.Abraham menoleh pada Mark lalu tersenyum ringan, "Apa kamu mencariku? Maaf semalam kami ketiduran setelah shalat," tutur Abraham seraya merangkul bahu Nathan.Nathan tersenyum tipis mengiyakan.Mark yang mendengar itu semakin terheran-heran, dia merasa asing dengan apa yang dilakukan oleh Abraham. Tapi untuk saat ini dia tidak berani bertanya, biarlah.Karena nanti Abraham ju
Malam pun turun dengan lambat, angin berdesir pelan menghembuskan udara dingin yang menusuk tulang. Sepertinya malam ini akan turun hujan karena langit pun tampak gelap gulita.Zola keluar dari kamar si kembar, dia baru saja menidurkan mereka. "Mereka sudah tidur?" tanya Evan yang tiba-tiba muncul di sampingnya.Zola pun melompat kaget karenanya, dia menoleh dengan wajah cemberut."Bisa nggak jangan membuat aku kaget begitu, Mas!" ujarnya menggerutu pelan.Evan terkekeh merasa gemas melihat wajah Zola yang terlihat terkejut barusan."Maaf, aku tidak bermaksud mengagetkan mu!" katanya seraya merangkul bahu Zola. Zola pun hanya menarik sudut bibirnya, kemudian mereka berjalan bersama menuju ke ruangan belakang untuk bersantai sejenak di sana. Tampak Surendra pun masih duduk di sana seraya membaca sebuah buku hadits di tangannya, dengan kacamata baca bertengger di hidungnya."Papa belum tidur?" sapa Zola seraya duduk di samping Surendra, menggelayut manja di bahu ayahnya itu.Sejenak S







