Zola mengemudi dengan pikiran sekacau badai, terngiang pembicaraan dia dan Jihan beberapa saat lalu.
"Ya Allah, 271 Trilliun!" desahnya kalut, kepalanya langsung berdenyut sakit memikirkannya. Apalagi Kareem yang menghadapi semuanya.
"Apa yang bisa aku lakukan, Mas, apa?" ucapnya sedih.
Dan di balik semua itu, Zola terpikirkan Danar. Ini pasti ulahnya!
"Dimana kamu, Danar? Kita harus bicara!" geramnya sambil meremas kemudinya dengan kuat.
Danar selalu menemuinya jika sedang di kantor, maka Zola berpikir mungkin lelaki itu akan muncul lagi jika dia sedang di sana. Meski dia heran kenapa Danar bisa bebas keluar masuk di kantornya itu. Maka Zola pun mengarahkan mobilnya menuju ke kantornya.
Tak sabar, Zola segera turun dari mobil, dan bergegas menuju ke ruangannya. Yana yang heran karena Zola datang di waktu siang begini segera mengikutinya ke ruangan.
"Permisi, Bu, mau kubuatkan kopi?" kata Yana.
Zola mengangguk, dia memang membutuhkan sedikit kafein siang ini. Kepalanya terasa berat dan pening.
"Bisa kamu pesankan americano saja? Tolong!" kata Zola.
Yana mengangkat alis, tapi dia kemudian mengangguk meski merasa heran karena tak biasanya Zola memesan kopi dengan konsentrasi pekat seperti itu.
Begitu Yana keluar dari ruangan, Zola menghempaskan diri di kursinya. Dia memejamkan mata, sejenak menenangkan pikirannya dan berusaha tenang.
Berpikir dan berpikir ...
Hingga akhirnya Zola kembali membuka matanya. Dia lalu merogoh tasnya dan mencari dompetnya, membukanya dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam.
"Dia mungkin akan menolak bantuanku," keluh Zola.
Evan mempunyai harga diri yang sangat tinggi, dia tidak akan mau menerima bantuan dari siapapun tanpa adanya timbal balik darinya. Meskipun itu datang dari istrinya.
Zola menelungkup di atas mejanya.
Dia kalut dan khawatir, dan juga marah tak terkira terhadap Danar. Karena sudah pasti dia lah yang menjadi dalang utama dari semua kekacauan ini.
***
Evan tengah duduk di kursinya, dan tengah berpikir.
Tak mungkin semua ini terjadi begitu saja tanpa disengaja. Dia merasa tak mempunyai rival atau musuh yang dendam, semuanya masih bersaing dengan sehat dan bahkan masih bertutur sapa jika bertemu di sebuah acara.
"Siapa yang melakukan hal licik ini?" gumamnya dengan kening berkerut dalam.
Sedalam apapun dia berpikir, tetap saja dia sama sekali tak mendapatkan petunjuk. Dan dia pun menghela nafas panjang. Daripada itu, memikirkan bagaimana menutupi kerugian mereka membuatnya tak kalah pening. Nilai nominal hingga ratusan trilliun tak bisa dia penuhi karena harga saham juga anjlok.
"Ya Allah, apa yang harus kulakukan?" keluhnya.
"Tuan," Tama masuk ke ruangan dan mendekat ke mejanya.
Evan mengangkat wajahnya, "Ada apa, Tama?" tanyanya dengan lesu dan tak bersemangat.
Tama menatapnya dengan iba, ikut prihatin dan dirinya tak bisa membantu secara materi apalagi dengan nilai sebesar itu.
"Ada sesuatu yang harus saya sampaikan," kata Tama ragu.
Evan mengerutkan kening, "Ada apa?" tanyanya.
Tama kemudian duduk di kursi, wajahnya nampak serius.
"Saya menerima email misterius, dia menawarkan bantuan untuk perusahaan kita," jelas Tama dengan keningnya yang juga berkerut dalam.
Evan mengangkat alis mendengarnya, "Jangan ladeni email sampah macam itu! Bisa jadi dia hanya ingin mempermainkan kita!" sergahnya jengah.
Tama pun diam, tak berani bicara lagi jika Evan sudah bicara seperti itu. Yah, memang ada benarnya. Hanya saja Tama merasa ada yang aneh dengan email itu, karena orang itu menyebutkan nominal uang yang sedang mereka butuhkan saat ini. Tanpa kurang atau lebih, yaitu 271 Trilliun.
"Daripada itu, apa kamu sudah mendapat kabar lagi?" tanya Evan dengan suara tak bersemangat.
Tama menghela nafas berat dan menggeleng, "Maaf, Tuan, saya belum mendapat petunjuk apapun!" jawabnya pelan.
Evan pun menghembuskan nafas lelah, dia memutar kursi dan menatap keluar jendela.
Sepertinya tahun ini menjadi tahun terberat dalam hidupnya, dia merasa terpuruk untuk pekerjaan dan juga rumah tangganya. Yang terasa semakin hambar.
***
Zola mengerutkan kening melihat layar komputernya, dia baru saja mengirim email pada Tama dengan akun baru dan menawarkan bantuan finansial. Dia memiliki aset yang mencukupi untuk itu dan berniat membantu Evan di bawah tangan.
Namun dia tak mendapatkan jawaban apapun.
"Apa mungkin dia terlalu sibuk?" gumam Zola. Dia gelisah dan tak sabar.
Sedang dia menggumam seorang diri, terdengar ponselnya berdering. Zola mengerutkan kening karena melihat deretan angka asing tertera di layar ponselnya.
"Siapa? Mengganggu saja!" gerutunya dan memilih mengabaikan saja telepon itu. Dan kembali menekuri layar monitor dan mengirimkan email lagi pada Tama.
Tapi kembali ponselnya berbunyi, kali ini ada sebuah pesan masuk dari nomor asing tadi. Akhirnya perhatiannya pun teralihkan, Zola meraih benda itu dan membuka pesannya. Sedetik kemudian matanya melotot kaget ketika membaca isi pesan itu.
[ Kalau kamu ingin tahu soal perusahaan suamimu yang sedang bangkrut itu, datanglah ke sini di waktu yang aku tentukan nanti! ]
Zola membacanya dengah nafas memburu, di bawah pesan itu ada alamat sebuah apartemen di sudut kota. Dan yang Zola tahu itu adalah alamat apartemen Danar.
"D-Danar?!"
***
Malam tiba ...
Evan baru saja tiba di rumah ketika Zola keluar dan menyambutnya dengan wajah tersenyum cerah.
"Assalaamu'alaikum," ucap Evan tersenyum lelah.
"Waalaikum salaam, Mas!" jawab Zola sambil mencium tangan Evan dan mengambil alih tas kerjanya.
Mereka lalu berjalan bergandengan memasuki rumah.
"Ada sesuatu? Sepertinya kamu sedang gembira!" komentar Evan, melihat wajah Zola yang ceria itu membuatnya tidak tega jika harus mengabaikannnya. Terlebih dia tak mau jika sampai istrinya itu tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Zola tertawa kecil seraya menggelayut mesra di lengan Evan.
"Tidak ada, Mas, aku hanya sedang ingin dekat sama kamu!" jawab Zola.
Evan mengangguk dan mengusap kepala istrinya itu dengan sayang, ada perasaan perih di hatinya saat ini. Takut jika Zola akan kecewa jika tahu situasi sebenarnya.
"Kamu mau makan dulu, Mas? Aku masak lobster kesukaan kamu tadi," kata Zola menarik tangan Evan dengan manja menuju ruang makan.
"Masha Allah! Terimakasih, Sayang!" ucap Evan ketika melihat seisi meja makan. Matanya berbinar menatapi setiap menu yang ada dan itu membuat perutnya bergemuruh.
Zola mengangguk dan mempersilahkan Evan untuk duduk, "Duduklah, Mas pasti lelah!" katanya menekan bahu Evan dengan lembut dan lelaki itu pun duduk dengan senyum lebar di wajahnya.
Evan memandangi Zola yang sibuk melayaninya dengan ceria, menawarinya berbagai masakan yang ada sampai piringnya benar-benar penuh.
"Sayang, aku tak bisa makan itu sendirian!" tolak Evan jengah melihat isi piringnya.
Zola terkekeh, "Siapa bilang makan sendiri! Aku ingin makan sepiring berdua sama kamu, Mas!" ujarnya sambil duduk di pangkuan Evan.
Evan yang terkejut dengan tingkah istrinya itu pun hanya tertawa akhirnya, dan membiarkan Zola menyuapinya dengan lembut. Dan itu tak urung membuatnya tersedak menahan haru.
"Terimakasih, Sayang! Kamu memang istri yang terbaik bagiku!" ucap Evan dengan perasaan bersalah memenuhi hatinya.
Zola tersenyum dan membersihkan sisa noda makanan di sudut bibir Kareem dan menatapnya dalam.
"Aku bersedia mengikuti kemana pun kamu pergi, Mas! Mau hidup susah dan makan sepiring berdua seperti ini, aku rela!" ucap Zola mengelus wajah Evan.
Evan menangkap tangan itu dan menciumnya, dia mendongak pada Zola.
"Tolong maafkan aku atas sikap burukku selama belakangan ini!" ungkapnya.
Zola pun terharu dan dia mengangguk seraya tersenyum menahan tangis bahagia mendengarnya.
***
Zola mengemudi dengan pikiran sekacau badai, terngiang pembicaraan dia dan Jihan beberapa saat lalu."Ya Allah, 271 Trilliun!" desahnya kalut, kepalanya langsung berdenyut sakit memikirkannya. Apalagi Kareem yang menghadapi semuanya."Apa yang bisa aku lakukan, Mas, apa?" ucapnya sedih. Dan di balik semua itu, Zola terpikirkan Danar. Ini pasti ulahnya!"Dimana kamu, Danar? Kita harus bicara!" geramnya sambil meremas kemudinya dengan kuat. Danar selalu menemuinya jika sedang di kantor, maka Zola berpikir mungkin lelaki itu akan muncul lagi jika dia sedang di sana. Meski dia heran kenapa Danar bisa bebas keluar masuk di kantornya itu. Maka Zola pun mengarahkan mobilnya menuju ke kantornya.Tak sabar, Zola segera turun dari mobil, dan bergegas menuju ke ruangannya. Yana yang heran karena Zola datang di waktu siang begini segera mengikutinya ke ruangan."Permisi, Bu, mau kubuatkan kopi?" kata Yana.Zola mengangguk, dia memang membutuhkan sedikit kafein siang ini. Kepalanya terasa berat
Evan berjalan masuk ke dalam rumah, wajahnya tampak letih dan muram. Beberapa kali dia menghela nafas panjang dengan lelah. Suasana rumah tampak sudah gelap, hanya diterangi cahaya dari lampu sudut di beberapa titik. Lelaki itu terus melangkah lurus saja menuju tangga, ingin segera tiba di kamar. Tapi ketika kakinya hendak menaiki tangga, Evan terhenti. Dia memutar tubuhnya dan menyadari jika ruang makan masih terang benderang dari kejauhan sana. Terusik, Evan pun mengarahkan langkahnya ke sana.Dan dia lalu tertegun. Tampak Zola tertidur di atas meja makan dengan berbantalkan kedua tangannya. Sepertinya dia menunggu Evan pulang dan dia sudah menyiapkan makan malam. Evan mendekatinya, menatap wajah cantik yang tampak lelap tertidur. "Zola," panggil Evan menyentuh pundak istrinya itu dengan lembut. Namun Zola tampaknya sangat kelelahan dan tidurnya sangat nyenyak.Evan merasa iba, dan dia terenyuh. "Maaf membuatmu menunggu, Sayang," bisik Evan membelai rambut Zola yang tak memakai
Hari-hari berlalu, baik Evan dan Zola beraktivitas seperti biasa. Tampak dari luar, semuanya terlihat baik-baik saja. Tapi di balik semua itu, keharmonisan antara keduanya sedikit berubah. Tak ada lagi senyum tulus, semua berlaku hanya untuk formalitas belaka karena ingin menjaga perasaan satu sama lain. Terutama Evan terhadap Zola."Apa kamu mau jemput nanti, Mas?" tanya Zola ketika menghubungi Evan di ponselnya. Hening sejenak, Zola mendengar jawaban Evan dari seberang sana. Dan kemudian wajahnya berubah murung dan dia berujar pelan ..."Baiklah, Mas, nanti aku naik taksi saja," ucap Zola dengan suara tersendat menahan tangis.Bibirnya bergetar dan tersenyum perih. "Iya tidak apa-apa, Mas, kita ketemu di rumah, aku tunggu!" tutup Zola lalu mengucapkan salam dan memutuskan sambungan telepon mereka.Zola terduduk di kursinya dan mulai menangis sendirian. "Semuanya tak lagi sama, aku tahu itu, Mas!" ratapnya tersedu-sedu sampai bahunya berguncang halus. Ketika itu pintu ruangannya
Seolah dejavu, Evan berlari turun dari mobil dengan membawa Zola di tangannya. Berteriak dan meminta petugas medis untuk segera menolong istrinya itu. "Baik, Pak! Serahkan semuanya pada kami!" kata perawat itu berusaha menghalau Evan yang hendak ikut masuk ke dalam ruang tindakan.Evan akhirnya berhenti di ambang pintu memandangi kepergian Zola yang terbaring di atas brankar. Dan wajahnya yang kesakitan itu menatap ke arahnya dengan mata menyorot penuh sesal dan kesedihan.Evan meremas rambutnya dengan marah. Ya. Kali ini dia benar-benar marah dengan kejadian ini, tapi dia tak tahu bagaimana mengungkapkan kemarahannnya itu. Dan pada akhirnya menjadi sesuatu yang mengganjal di dadanya dan membuatnya sesak."Evan, bagaimana Zola?" Surendra datang dengan tergopoh-gopoh ditemani Awan di belakangnya.Evan mengangkat wajahnya dan memandang mertuanya itu, ingin sekali rasanya dia berteriak dan mengatakan semuanya pada Surendra. Tapi dia masih memiliki akal sehat dan etika, maka yang dia la
Beberapa bulan berlalu sejak Zola di ijinkan pulang dari rumah sakit, dia kembali beraktifitas seperti biasanya.Bekerja.Suatu hari, Zola hendak menyuapkan sesendok sup krim jamur itu ke mulutnya ketika tiba-tiba saja dia merasa perutnya bergejolak naik dan membuatnya mual. Aroma dari sup itu entah kenapa jadi terasa menjijikkan di hidungnya."Sayang? Kamu tidak apa-apa?" tanya Evan ketika melihat Zola terdiam dengan wajah pucat.Zola tak segera menjawab, hanya saja matanya menatap panik pada Evan dan dia menutup mulutnya dengan tangan. Dan sebelum sempat Evan bicara lagi, Zola sudah bangkit berdiri dan melesat pergi menuju toilet yang ada di sudut restoran itu.Evan yang melihat itu hanya melongo kaget, namun perlahan bibirnya tertarik berlawanan dan membentuk sebuah senyuman. Sepertinya apa yang mereka tunggu sudah terjadi."Malam itu berhasil!" gumamnya dengan menahan tawa bahagia dan haru, dia pun segera berdiri untuk menyusul Zola.Dan beberapa lama kemudian, keduanya sudah ada
Evan merasa hancur ketika menandatangani persetujuan kuret untuk Zola. Entah bagaimana dia menggambarkan perasaannya saat ini, ketika dia tahu istrinya tengah hamil justru ketika janin tersebut gagal untuk bertahan. "Ya Allah, maafkan aku, maafkan aku!" ucapnya berbisik berulang kali. Dia menyangga kepalanya yang terasa berat, dan semakin berat sejak mengetahui kehamilan Zola. Awan setia menemaninya dan duduk mendampingi majikannya itu. Selagi mereka menunggu proses kuret di dalam ruangan tindakan, Evan terlihat gelisah dan tidak tenang. Wajahnya tegang dan penuh dengan gurat kecemasan di sana. "Minum dulu, Tuan," ucap Awan sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Evan.Lelaki berwajah campuran dengan jambang halus di rahangnya itu menerimanya seraya mengucapkan terimakasih.Saat itu Surendra datang, dia baru saja selesai melaksanakan shalat sunnah sekaligus mendoakan keselamatan putrinya."Bagaimana?" tanyanya ketika dilihatnya Evan masih saja berada di depan pintu ruang tinda