Share

Aku Hanya Ibu Untuk Anak-Anakmu Bukan Istrimu
Aku Hanya Ibu Untuk Anak-Anakmu Bukan Istrimu
Penulis: Arachis Verania Ve

Chapter 1

"Terkadang kita harus merelakan kehilangan untuk kemudian kembali menemukan."

___

“Sudah larut, seharusnya Mbak Mai pulang.”

Seorang bartender yang berdiri di belakang meja mengingatkanku untuk ke sekian kali. Tetapi kuabaikan. ‘Sok peduli’ celetukku dalam hati mencibir. Apa urusannya? Tidak ada yang berhak mengatur-ngatur hidupku.

“Beri aku segelas lagi,”pintaku padanya yang tak langsung merespons. Matanya lekat memandangan iba. Membuat jengkel.

“Mbak—“

“Cepetan! Malah bengong?!” Aku memotong ucapannya dengan suara yang menyentak membuat rekannya yang berdiri diujung meja panjang itu tertegun. Menatap kami bergantian.

Dengan gerakan enggan laki-laki berwajah mirip aktor terkenal itu menuangkan isi botol ke dalam gelas. Lalu membalikkan badan setelah beberapa detik terpaku pada wajahku dengan raut kesal sekaligus berlagak seolah tidak peduli. Aku sudah muak dengan reaksi seperti itu. Seakan aku pantas dikasihani. Oh, tentu saja tidak aku bukan tipe orang yang lemah dan suka dengan belas kasihan. Aku sosok yang tegar dan tabah. Tak peduli pada kenyataannya hidupku memang sudah porak-poranda. Tetapi aku pantang mengiba!

Kuangkat gelas ke depan wajah lalu menandaskan dengan tiga kali tegukan. Saat melewati kerongkongan Cairan berwarna kuning pekat itu terasa panas membakar. Aku meringis tertahan. Membenamkan kepala di lengan. Kelopak mata menghangat seketika, susah payah menahan diri untuk tidak menangis tapi tetap saja. Isakku bahkan menderas dalam hitungan detik. Maksudku kenapa harus menangis? Tidak ada yang pantas untuk ditangisi. Seharusnya aku lebih kuat karena telah melalui banyak kepedihan. Tetapi kenapa malah merasa sebaliknya, rapuh dan tak berdaya?

“Ryu, kenapa kamu tegaaa ...?!”

Penglihatanku mulai mengabur. Bayangan yang terekam jelas dalam kepala kembali menyeretku dalam ingatan lima tahun yang panjang bersamanya. Menghadirkan kenangan yang seakan kembali di bentangkan di hadapan. Padahal aku bertahan sampai hari ini, sekuat tenaga bukan untuk kembali ke masa itu. Tetapi untuk melenyapkannya dari pikiranku selamanya.

Dia memperlakukanku begitu kejam, jadi tidak ada alasan untuk tidak melakukan hal yang sama. Bukankah itu sangat adil? Akan kuperlihatkan padanya, upayanya belum cukup untuk menyaksikan kehancuranku. Buktinya aku masih mampu menapak meski tanpa dia.

Tapi kenapa aku malah merusak diri?

Rasanya mati lebih baik dari pada bertahan hidup tapi sudah kehilangan tujuan. Tak tahu harus ke mana membawa kaki melangkah. Semua yang aku lakukan selama ini ternyata sia-sia belaka. Dia memilih pergi jadi untuk apa berpura-pura tetap tegar. Aku sudah kalah telak. Seharusnya menyerah adalah satu-satu cara agar aku sadar bahwa tak ada lagi yang perlu diperjuangkan.

Kutegakan leher mengedarkan mata ke setiap sudut. Tak sadar aku tersenyum bahkan nyaris tertawa entah untuk alasan apa? Hanya tiba-tiba merasa bahagia menjadi diri sendiri sekali pun tidak berguna. Mengabaikan beberapa pasang mata sedari tadi mengamati dari jauh. Aku tak peduli anggap saja aku perempuan setengah gila atau mulai gila.

Perlahan-lahan aku mulai menyukai suasananya, di sini, di sebuah tempat di mana aku bisa melarikan diri dari kenyataan pahit. Tak ada yang aku kenal dan mengenaliku, ruang di mana aku tak perlu berpura-pura menjadi manusia baik atau terlihat baik-baik. Karena aku memang sedang tidak dalam keadaan baik.

Mengembuskan napas tajam. Perasaan marah dan tak berdaya bergulat dalam diriku. Dentuman musik terdengar keras diselingi sorak tawa. Mereka yang sedang asyik berjoget semakin liar dan menggila. Aroma parfum dan alkohol bercampur memenuhi udara. Membuat perutku mulai panas dan bergolak. Kucengkeram kedua sisi kepala kuat-kuat menahannya agar tidak jatuh dan menggelinding ke lantai.

Sesaat rasanya apa yang ada di sekelilingku berputar cepat. Sangat cepat. Bahkan aku mengira tempatku berpijak akan amblas saat itu juga. Susah payah aku menyadar-nyadarkan diri dengan membuka mata lebar-lebar tetapi tak ada yang tersisa. Seluruh ingatanku seakan beterbangan bagai asap tipis yang tercerai berai di udara.

Ini kali ketiga aku mampir ke night club yang letaknya tidak terlalu jauh dari restoran sekaligus penginapan yang aku dan kakak perempuanku kelola bersama. Biasanya aku tak pernah melakukan hal-hal sejauh ini. Tetapi beberapa bulan ini perasaan sedih dan putus asa semakin memuncak. Ditambah lagi ketidakmampuanku mengontrol emosi memperparah kondisiku. Dan seperti inilah yang terjadi.

Semua perasaan frustrasi itu membawakan ke tempat ini. Seorang diri tersaruk-saruk diantara kerumunan dan riuh rendah suara-suara. Meski bentangan langit teramat luas, sekalipun bumi sebegitu besarnya tapi kini aku merasa tidak memiliki tempat meski sejengkal. Merasa begitu menyedihkan dan terbuang.

“Mbak Mai?”

Tangisku terhenti saat kurasakan satu sentuhan di bahu Aku menengadah sembari menyeka ujung mata. Kulihat bartender yang beberapa bulan lalu kuketahui bernama Arsen dari kartu namanya, mengulurkan selembar tisu. Aku meraihnya lalu kuusap sekali lagi kelopak mata.

“Apa Mbak Mai mau saya antar pulang? “ Dia bertanya yang kubalas dengan gelengan tegas. Sejenak dia tertegun, menghela napas samar kemudian mengangguk.

“Saya bisa pulang sendiri kapan pun saya mau. Nggak perlu repot-repot.”

Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas bersamaan dengan garisnya alis yang terangkat dan mengatakan, “ oke ...”

“Maikana!”

Suara seruan itu seperti datang dari alam lain belum sempat aku menoleh lenganku sudah ditarik paksa oleh seseorang.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status