Share

Chapter 2

"Betapa tipisnya berbedaan antara suka dan tidak suka. Membenci dan mencintai. Sebab memang perasaan hanyalah sesuatu yang rapuh dan mudah berubah"

_________

Cukup Mai, kamu pulang sekarang!”

Bentakannya yang keras membuat beberapa pasang mata yang berada di sekitar kami menoleh dan menyaksikan adegan yang terjadi. Aku yang tidak siap dengan situasi yang terasa mendadak itu menyentakkan pegangannya.

“Kak Sarah apa-apaan, sih?!”

Meski dalam kondisi seluruh kesadaranku nyaris lenyap aku masih bisa mengenali sosok yang tiba-tiba mengganggu.

“Kamu pulang sekarang. Di sini bukan tempat kamu. Pulang! Aku bilang pulang!”

Di bawah cahaya lampu gemerlap terlihat jelas raut wajah Sarah merah padam. Dalam keadaan normal barangkali nyaliku akan sedikit ciut lantaran takut membuat dia murka. Tetapi kali ini berbeda, aku sudah tidak lagi takut pada apa pun. Malah aku berharap sesuatu yang buruk terjadi padaku, misalnya saat pulang nanti aku mati tertabrak mobil, motor atau apa agar hidupku yang penuh kemalangan ini segera berakhir. Dengan begitu aku tidak perlu lagi merasakan sakit yang mengoyak-ngoyak setiap kali ingatan tentang sosok bangsat itu muncul.

“Aku nggak mau pulang. Lagian siapa suruh Kak Sarah datang kesini, hah!”

Aku balik membentak sementara dia berhasil menyeretku menjauhi meja bartender menuju pintu keluar. Setelah tiba di pojok yang agak gelap dia melepaskan pegangannya membuatku terhuyung dan nyaris terjerembap. Hal selanjutnya adalah Kak Sarah merebut tas yang tersampir di bahuku dan menggeledah isinya. Rupanya dia mengambil kunci mpbilku. Aku ingin protes tetapi lututku terlalu lemas untuk sekedar bergerak maju dan merebut kembali kunci dari tangannya.

“Aku nggak bakalan izinkan kamu nyetir mobil dalam keadaan mabuk seperti ini.”

Kulihat sepertinya dia akan kembali menarikku ke luar. Sebelum itu terjadi aku mundur dengan gerakan berkelit dan menghambur ke pintu ke luar laksana mobil yang melaju tanpa kendali. Sembari berteriak keras hingga membuat petugas keamanan yang berdiri tidak jauh dari muka pintu terkejut dan berlari mendekat.

“Aku nggak akan pulang malam ini. Aku mau pergi. Lagian resek banget ngurus-ngurusin orang. Kalau mau pulang, pulang aja sendiri!”

Aku ragu apa Sarah mendengar teriakanku mengingat lariku yang sangat kencang setelah berhasil membuka pintu keluar dan melesat jauh dari tempat itu dan memastikan Sarah tidak menyusul.

Pukul 02. 45. Jalanan sudah sangat sepi hanya beberapa kendaraan saja yang melintas. Aku terseok berusaha menyeret lutut yang kini terasa hampir copot, mencapai trotoar. Aku harus menemukan taksi. Entah ke mana aku harus pergi. Aku tidak mau pulang ke rumah papa. Sarah akan dengan senang hati mengomel sepanjang sisa malam ini atau bahkan sampai esok hari. Sekalipun dia kakakku tetapi sikapnya yang protektif dan terlalu peduli dengan semua urusanku membuat risi sekaligus jengah. Dia memperlakukan seolah aku ini adik kecilnya yang masih membutuhkan perlindungannya.

Aku tidak sudi.

Udara dingin menyelusup ke pori-pori. Terasa menusuk-nusuk. Taksi yang kutunggu belum juga tampak. Semakin sempoyongan. Lampu-lampu jalan raya tampak menyilaukan dan berbayang-bayang. Ditambah lagi perutku semakin bergejolak. Panasnya merayap cepat sampai ke ulu hati.

Oh, Tuhan rasanya aku akan segera mati. Detak jantungku berkejaran diikuti pandangan yang berubah pekat bersamaan dengan seseorang yang berjalan tergesa ke arahku dan mengatakan sesuatu tetapi aku tidak mengerti. Ingatan terakhirku seseorang itu memapahku masuk ke dalam mobilnya lalu berbicara lagi dengan nada cemas namun aku tak mampu lagi bereaksi. Kepalaku terasa kosong dan sangat gelap.

Lalu senyap.

Untuk beberapa saat aku berhasil memejamkan mata. Meremas perut kuat-kuat menahannya agar tidak semakin berguncang dan membuat rasa mualku memuncak. Aku salah, seharusnya aku pulang bersama Kak sarah bukan malah diantar orang yang tak ku kenal seperti sekarang. Kucoba membuka mata dan menoleh ke arahnya yang sedang menatap lurus pada jalan. Aku bermaksud mengatakan padanya untuk mengantarku ke penginapan saja.

Aku tidak ingin pulang ke rumah. Namun, belum sempat mulutku terbuka sempurna mendadak kepala berdenyar kuat dan rasa mual merayap dengan cepat, dalam hitungan detak aku mengeluarkan semua isi perutku. Dia yang sedang fokus menyetir sembari berbicara dan menatapku cemas dengan tiba-tiba menginjak rem. Kepalaku terhuyung ke depan dan sukses membentur dasbor.

Terasa panas seolah akan meledak seperti granat yang dilempar dari ketinggian. Mobil yang dia kendarai berhenti di sisi jalan. Dengan panik dia menegakkan bahuku seraya menarik berlembar-lembar tisu dari kotak yang berada tepat di atas kepalanya. Menyeka wajah dan tanganku yang terkena muntahan. Bau alkohol dan amis menyengat, menyumbat pernapasan. Aku merasa sesak.

Sekalipun dalam keadaan darurat, tetap saja aku dihinggapi perasaan risih diperlakukan seperti ini. Dia berbicara lagi, aku berusaha menangkap apa yang dia katakan. Meski tidak begitu jelas, tapi aku yakin tentu dia menanyakan ke mana tujuanku. Kuangkat bibir dengan lemah, tapi anehnya tak ada suara yang keluar. Tak berhasil mengucapkan sepatah kata pun. Kerongkonganku seperti terperas. Nyeri luar biasa. Lalu dengan tidak berdaya aku menggeleng dan mengisyaratkan dengan mata.

Sesaat tatapannya lekat padaku. Ada perasaan teduh dan kenyamanan yang menyergap perlahan. Dia menyadarkanku pada jok dan membuang tisu pada kotak sampah dekat kakiku kemudian kembali melajukan mobil. Aku tak peduli dia membawaku ke mana.

***

Hal pertama kudapati saat membuka mata adalah warna kuning keemasan yang menyilaukan. Rupanya berasal dari cahaya matahari yang menembus gorden yang menutupi jendela kaca yang berada disebelah tempat tidur yang kutempati. Satu pertanyaan terbit, ‘dimana aku?’. Yang pasti ini tempat asing. Kugerakkan kaki dan tangan perlahan berusaha bangkit. Namun sekujur tubuhku serasa akan remuk. Seluruh persendianku sakit seolah sudah bergesar dari letak seharusnya. Aku mengerang serta merta.

“Syukurlah kamu sudah sadar.” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku. Membuat urat di leherku menegang dan sakit di kepala kembali merajam. Ingin rasanya menjerit saat itu juga. Sebelumnya walaupun sangat mabuk aku tidak pernah semenderita ini. Tapi sekarang? Apa aku sedang sekarat? Kenapa tidak cepat mati saja? Aku sudah tidak ingin hidup lagi.

Sesaat aku kembali tersentak saat ujung mataku mangkap bayangan yang berdiri di dekat ranjang yang masih memandangku dengan raut cemas. Saat kutengadahkan kepala. Ulu hatiku terasa nyeri. Seakan ada yang mengahantam dengan benda keras tepat di dada. Antara syok, tidak percaya dan rasa senang, aku berseru dengan suara nyaring. Seperti sedang memanggil seseorang dari jarak yang sangat jauh.

“Ryuuu ...!!!”

Bersambung 🥰

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status