Home / Rumah Tangga / Aku Ibumu, Nak! / Bab 1. Sikap Cuek

Share

Aku Ibumu, Nak!
Aku Ibumu, Nak!
Author: Eka Sa'diyah

Bab 1. Sikap Cuek

Author: Eka Sa'diyah
last update Last Updated: 2023-06-30 20:47:28

"Bu, sarapannya udah siap, belum?" Weni turun dari lantai dua untuk memeriksa semua pekerjaan ibunya, seperti memandikan Keynan, anak lelaki Weni berusia tiga tahun. Pekerjaan Bu Faridah di rumah anaknya sendiri seperti pembantu dan pemgasuh.

Pagi-pagi buta, Bu Faridah sudah berkutat dengan pekerjaan rumah dua lantai ini. Meski sudah berusia lanjut namun pekerjaan berat masih tetap menunggunya. Weni adalah anak kandung Bu Faridah

"Belum Wen. Ibu tidak sempat karena Keynan rewel terus. Wen, lihatlah Keynan. Dari tadi Keynan rewel terus, sepertinya lagi kurang enak badan. Apa tidak sebaiknya kamu bawa periksa ke rumah sakit? Ibu khawatir, Wen," Bu Faridah sangat khawatir ketika melihat Rendy sedari tadi muntah dan demam.

"Bu, maaf ya. Hari ini aku ada meeting dan tidak bisa ditinggal, Bu. Ibu saja deh yang bawa Keynan ke puskesmas terdekat. Lagian juga Keynan sebentar lagi juga sehat."

Weni sepertinya tidak menghiraukan keadaan anak lelakinya yang berusia tiga tahun, bahkan menggendongpun tidak dia lakukan. Menggendong Keynan jika ada mertuanya saja agar terlihat seperti Ibu yang menyayangi anaknya di depan mertuanya.

Sebenarnya kehidupan Weni, Fatma dan Ibunya cukup sederhana di desa. Rumah kayu dan tanah yang luas serta beberapa lahan sawah warisan almarhum ayahnya. Weni bersemangat sekali ketika diijinkan menempuh pendidikan di sebuah Universitas di Jakarta karena termasuk salah satu mahasiswa yang mendapat beasiswa di Universitas tersebut. Ketika lulus kuliah Weni diterima kerja di salah satu perusahaan besar dan bertemu dengan suaminya bernama Aris yang pada saat itu bekerja sebagai manajer di induk perusahaan tempat Weni bekerja. Hanya saja kehidupan Weni berubah setelah mendapatkan semua yang diinginkan seperti rumah dan pekerjaan tetap.

Namun berbeda dengan Fatma, atas permintaan mendiang ayahnya, Fatma terpaksa masuk pesantren sejak lulus sekolah dasar. Fatma menikah dengan seorang pemuda yang berprofesi sebagai guru mengaji. Pendapatannya juga hanya seikhlasnya dari orang tua siswanya. Tak jarang ketika Weni bertemu Fatma, hanya cemoohan yang dilontarkan apalagi kepada suami Fatma.

"Tapi Wen, Puskesmas itu antri lama, Ibu khawatir sama Keynan. Lihatlah, suhu badannya sangat tinggi! Ibu khawatir dengan keadaan seperti ini." Bukannya menghiraukan Ibunya yang sedang khawatir, Weni malah asik merapikan kerah bajunya. Terdengar kembali tangisan Keynan di gendongan Faridah.

"Lihatlah dia mulai rewel lagi!" Faridah kembali menidurkan Keynan di ranjangnya dan mengambil handuk untuk mengompres dahi Keynan.

"Aduh, ibu berisik amat sih! sudah bawa saja ke Puskesmas terdekat, kalau ke rumah sakit biayanya mahal."

Ucapan Weni sangat membuat Faridah kecewa, selama ini Faridah mendidik Weni supaya menjadi anak yang pengasih bukan egois dan seenak hati dalam bertindak, apalagi pada Keynan, anak kandungnya sendiri.

"Tapi, Wen!" Faridah berharap jika Weni mau meluangkan waktu untuk Keynan yang sedang sakit namun Weni malah memutar bola matanya dengan malas bahkan berkacak pinggang di depan Faridah.

"Daripada bicara terus dan bikin mood Weni berantakan, mendingan ibu sekarang siap - siap ke puskesmas naik becak. Nih uangnya buat naik becaknya!" Weni memberikan uang lima puluh ribu untuk transport naik becak. Hati Faridah bergerimis melihat sikap anaknya seakan pelit dan mengabaikan kesehatan anak kandungnya. Terpaksa demi sang cucu, Faridah segera menggendong Keynan supaya segera sampai ke Puskesmas.

"Iya Wen, ibu akan bawa Keynan ke puskesmas sekarang," terpaksa Faridah membawa Keynan ke puskesmas terdekat. Jika mempunyai uang lebih, Faridah ingin sekali membawanya ke rumah sakit demi pengobatan cucunya.

"Ma, sarapannya sudah siap, belum?" suara Aris suami Weni yang turun kebawah.

"Sarapan di luar saja hari ini, Mas. Ibu tidak masak hari ini, Keynan rewel karena demam tinggi," tidak ada guratan kekhawatiran dari raut wajah Aris maupun Weni. Mereka mulai sibuk dengan kegiatannya. Rendy anak pertama mereka namun tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuannya. Hanya Faridah yang menyayangi Keynan. Tidak hanya mengasuh Keynan, Faridah juga harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga di rumah Weni seperti seorang pembantu yang merangkap menjadi baby sitter.

"Wen. Ibu boleh tidak, ikut menumpang sampai puskesmas, supaya lebih cepat membawa Keynan ke sana," Faridah berharap jika Weni bersedia memberikan tumpangan padanya dan bisa lebih cepat sampai.

"Apa, Bu?" Kedua matanya membola sempurna saat Faridah yang tak lain adalah Ibunya sendiri ingin meminta antar untuk ke Puskesmas.

Faridah sudah paham dengan sikap Weni melalui ekspresinya. Faridah lebih baik diam daripada melanjutkan ucapannya dan membuat anak perempuannya marah.

"Apa aku tidak salah dengar?" Faridah tetap tidak membuka suara lagi melihat sikap putrinya sendiri.

"Tadi ibu sudah Weni beri uang untuk naik becak ke Puskesmas. Kenapa masih harus menumpang pada Weni?" Faridah terkejut dengan jawaban Weni. Ya, sangat terkejut dengan ucapan Weni yang mencengangkan. Weni lebih suka Ibu dan anaknya naik becak dari pada mengantarkannya menggunakan mobil.

"Tapi, Weni. Keynan anak kamu, apa kamu tidak kasihan sama Keynan?" Faridah berharap ada rasa belas kasihan Weni kepada Keynan.

"Ibu, sebenarnya Weni mengajak Ibu ke kota karena Weni tidak suka pakai jasa pembantu dan baby sitter."

Bagai disambar petir di siang hari setelah mendengar jawaban Weni atas alasannya mengajak Faridah ke kota. Faridah mengira jika Weni akan menjadikannya Ibu sesungguhnya namun ternyata tak lebih dari seorang pembantu.

Faridah terpaksa mengikuti ajakan Weni karena kondisi Fatma di kampung tak semulus keadaan Weni. Fatma meminta ibunya tetap di kampung supaya bisa merawatnya di masa tuanya. Apalagi janji manis Weni kepada Faridah yang akan menjadikannya ratu di rumahnya.

Semua hanya perkiraan saja, tak ada yang tahu sama sekali apa yang akan terjadi setelahnya. Terpaksa Faridah berjalan sesekali menoleh ke kanan berharap ada becak melintas. Kebetulan sekali ada becak mangkal dekat pos satpam komplek. Gegas Faridah memintanya untuk mengantarkannya ke puskesmas.

Sejenak Faridah melupakan perkataan Weni karena sedari tadi Keynan menangis. Demamnya juga semakin tinggi apalagi sejak kemarin tidak mau makan sama sekali. Sesampai di puskesmas, Faridah segera mendaftar dan membawa ke UGD. Keadaan Keynan benar-benar sangat mengkhawatirkan.

Usai diperiksa, Dokter menyarankan untuk opname. Demi kesehatan Keynan, Faridah menyetujui anjuran Dokter karena Keynan didiagnosa Typus (tipes)

"Dok, boleh saya pinjam ponselnya untuk menghubungi anak saya?" Faridah memberanikan diri meminjam ponsel untuk menghubungi Weni. Untung saja Dokter tersebut baik dan mempersilahkan Faridah menghubungi Weni. Dibukanya dompet bekas tempat perhiasan, tersimpan secarik kertas berisi nomor telepon Weni.

Ponsel Weni hanya berdering tanpa diangkat. Faridah berharap Weni segera datang untuk menjaga Keynan yang sedari tadi memanggil ibunya. Panggilan pertama gagal, dicobanya lagi memanggil Weni.

Apakah Weni akan peduli dengan anak dan ibunya?

Saksikan bab selanjutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 44. Selamat Tinggal (End)

    Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 43. Sadar

    Aris tidak melihat Marisa sama sekali seharian ini. Bahkan sampai larut malam Marisa belum juga pulang. Kepala Aris tiba-tiba pusing tanpa sebab. Terlintas wajah Weni di pelupuk matanya."Weni, dimana kamu?" Ada rasa rindu kepada Weni."Kenapa akhir-akhir ini aku tidak bertemu dengannya?" Aris merasa ada yang aneh. Biasanya dirinya selalu bertemu Weni sepulang kerja."Apakah dia marah padaku?" Aris merebahkan kembali bobot tubuhnya di ranjang tanpa Marisa malam ini. Aris mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban dari Marisa. Ponselnya bahkan tidak aktif.Aris benar-benar tidak tahu yang dilakukan Marisa di belakangnya. Apalagi dirinya merasa takut dengan ancaman Marisa akhir-akhir ini. Aris mencoba mencari nomor ponsel Weni. Hanya saja nomor ponsel Weni sudah tidak ada di ponselnya. "Bagaimana cara aku menghubungi Weni?" Aris frustasi malam ini. Weni dan Marisa sama-sama tidak bisa dihubungi.Di rumah sakit, Weni mulai bisa tidur dengan nyenyak. Faridah membacakan surat Alfatih

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 42. Sihir

    Weni memberanikan keluar dari apartemen sekedar mencari udara segar. Namun baru saja keluar dari lift yang membawanya ke lantai dasar, Weni sudah ditemukan dalam keadaan pingsan. Pihak pengelola apartemen segera membawa Weni ke rumah sakit. Pihak rumah sakit juga merasakan ada yang aneh dengan tubuh Weni, begitu berat saat dipindahkan ke brankar rumah sakit, padahal tubuhnya kurus. Menjelang tengah malam, Weni mengeluh tubuhnya kepanasan. Padahal, setiap diperiksa perawat, suhu tubuhnya normal. Salah satu perawat di rumah sakit adalah seseorang yang berasal dari kampung yang sama dengan Weni. Sehingga perawat tersebut segera mengabari Fatma selaku adik Weni."Astaghfirullah, Mbak Weni sakit!" Faridah yang saat itu sedang menyuapi Keynan terkejut mendengar ucapan Fatma. Ada rasa khawatir yang cukup besar ketika mendapati kabar buruk tentang saudaranya di kota. "Weni sakit apa, Fat?" "Biar nanti Fatma ceritakan sama Ibu. Kita tunggu Keynan tidur!" Usai menyuapi Keynan, Fatma lantas d

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 41. Pikiran Kacau

    Weni merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dulu sangat membenci Ibunya sendiri, namun ketika sudah diabaikan keberadaanya oleh Faridah, Weni merasa tidak tenang. "Kenapa aku jadi dilema begini?" Teringat jelas saat Faridah sama sekali tidak mau menatap wajahnya padahal sangat jelas jika dirinya tepat di hadapan Ibunya.Selama perjalanan, Weni sama sekali tidak konsentrasi. Semua terasa kacau baginya usai bertemu Ibunya. "Sialan!" Hampir saja Weni menabrak pembatas jalan. Weni gegas mengatur perasaa gelisah dan kembali melajukan mobilnya.Weni mulai berhati-hati dalam perjalanan menuju ke apartemen miliknya. Ada rasa tenang ketika sudah sampai lokasi. Weni merebahkan bobot tubuhnya usai meminum segelas air supaya lebih tenang."Ada apa denganku?" Weni memukul kepalanya dengan tangan kanannya. Sikap angkuh kini mendadak tidak berguna.Weni berusaha memejamkan mata supaya bisa menghilangkan ingatan saat diabaikan Faridah. Berkali-kali Weni mencoba tidur siang hasilnya tetap nihil. Bahka

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 40. Cuek

    "Kenapa Faridah?" Fatimah melihat Faridah seperti tidak percaya dengan yang ada di depannya."Ah, tidak ada apa-apa, Nyonya. Hanya saja saya heran, semua menikmati sarapan di satu meja makan yang sama," Fatimah tersenyum mendengar pengakuan Faridah."Kita disini keluarga. Kamu juga termasuk menjadi bagian dari keluarga ini. Biasakanlah dirimu dengan kehidupan di rumah ini!" Faridah kembali menikmati makanannya seperti asisten yang lain. Tidak ada rasa canggung sama sekali pada mereka. Usai sarapan bersama, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Fatimah berkutat dengan komputernya memeriksa beberapa laporan yang masuk. Meski usianya tidak lagi muda, namun Fatimah lihai menggunakan komputer untuk menjalankan bisnisnya. Faridah tertegun dengan sikap majikan yang baru ditemuinya. Begitu mandiri meski rumah tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga."Sibuk, Nyonya?" Faridah meletakkan secangkir teh di meja kerja Fatimah."Ya, beginilah orang tua. Masih harus bekerja di masa tu

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 39. Majikan Baru

    Pagi ini Fatma terpaksa mengijinkan Faridah ke kota untuk mencari alamat Weni. Fatma ingin mendampingi namun Faridah berharap Fatma tetap menjaga Keynan di rumah.Kini Faridah berada di depan rumah Weni. Rumah yang sudah menjadi jaminan atas hutang Aris tanpa sepengetahuan Weni. Kenangan pahit muncul begitu saja hingga tak terasa air mata menetes begitu saja."Bu Faridah," sapa salah seorang tetangga. Lebih tepatnya seorang istri dari ketua RT yang dikenal dengan nama Murti."I-iya, Bu RT. Bagaimana kabarnya?" Faridah berjabat tangan dengan Murti."Alhamdulillah, Bu. Bu Faridah bagaimana kabarnya?" "Alhamdulillah. Bu Murti, saya mau tanya." Murti menatap Faridah begitu lekat seakan tahu apa yang akan ditanyakan."Weni sekarang tinggal di apartemen, Bu. Saya tahu alamatnya, nanti saya antar kesana," kedua mata Faridah berbinar mendengar Murti akan membantunya mempertemukan dirinya dengan Weni.Murti mempersilahkan Faridah terlebih dahulu untuk beristirahat di rumahnya. Rumah yang cuku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status