Home / Rumah Tangga / Aku Ibumu, Nak! / Bab 2. Kurang Ajar

Share

Bab 2. Kurang Ajar

Author: Eka Sa'diyah
last update Last Updated: 2023-06-30 20:48:10

Panggilan kedua tak ada sahutan dari Weni. Terpaksa Faridah mengambil kembali secarik kertas berisi nomor telepon Fatma memanggilnya untuk meminta bantuan. Tak ada lagi yang bisa dimintai bantuan kecuali Fatma.

"Fat, ini ibu. Ibu boleh minta bantuan padamu?"

"Ibu kenapa, kok sepertinya ibu sedang kesulitan," Fatma berhasil menebak kondisi Faridah saat ini.

"Tolong jualkan gelang emas yang ibu titipkan padamu. Keynan sakit dan harus dirawat sedangkan Kakakmu dari tadi tak bisa dihubungi!"

"Ba, baik, Bu." Tanpa banyak alasan, Fatma segera menjual gelang emas milik ibunya yang dititipkan kepadanya sebelum berangkat ke kota bersama Weni.

Hari semakin sore dan Weni tak kunjung datang ke puskesmas. Bahkan seharian perut Faridah belum terisi makanan apapun. Tak berapa lama Fatma datang bersama suaminya membesuk Keynan. Tak lupa Fatma membawa hasil penjualan gelang dan akan menyerahkannya kepada Ibunya. Faridah cukup lega melihat kedatangan Fatma.

"Assalamu alaikum, Bu!" Fatma dan Ridho mencium punggung telapak tangan ibunya. Perjalanan dari kampung ke kota hanya memakan waktu dua jam perjalanan.

"Waalaikum salam. Maafkan ibu merepotkan kalian, Nak," Faridah sendiri tak sampai hati sebenarnya meminta Fatma datang ke kota mengantarkan uang. Namun keadaan tak bisa berpaling hingga terpaksa meminta bantuan Fatma.

"Bu, ini nasi kuning untuk ibu makan. Tadi Ridho dapat dari wali murid yang sedang merayakan anaknya khatam Al Quran," sahut Ridho seraya memberikan satu kantong plastik berwarna hitam kepada Fatma. Jujur saja, hati Fatma teriris melihat kebaikan anak keduanya meski keadaannya cukup sulit.

"Terima kasih, Nak. Semoga kehidupan kalian selalu diberkahi Allah," hampir saja Faridah menitikkan air matanya.

"Aamiin, terima kasih, Bu. Hanya doa ibu yang akan memberikan beribu-ribu kebaikan kepada keluarga kami!" Sahut Ridho.

"Mama," suara Keynan terdengar lemah sedang memanggil ibunya. Hingga menjelang malam, Weni dan Arif sama sekali belum terlihat batang hidungnya. Faridah mencoba menenangkan Keynan sedangkan Fatma kembali menghubungi kakaknya. Berkali-kali panggilan darinya diabaikan bahkan ditolak begitu saja.

"Tidak diangkat, Bu!" Lutut Faridah terasa lemas dengan keadaan Keynan yang memanggil ibunya tanpa henti.

"Biar Fatma yang datang ke rumah Mbak Weni, Bu!" Ridho setuju dengan usulan istrinya.

Gegas Ridho dan Fatma menuju ke kediaman kakaknya dengan menggunakan motor bebek milik Ridho. Betapa terkejutnya ketika sampai di rumah Weni, rumah terdengar begitu ramai. Seperti sedang ada acara di rumahnya.

"Apa kita tidak salah rumah, Dek?" Ridho ragu melihat rumah Weni. Tak mungkin mengadakan acara di saat anaknya sedang dirawat di rumah sakit.

"Tidak, Mas. Itu ada mobil milik Mbak Weni. Pasti sedang ada acara di sini!" Fatma tak peduli dengan sikap kakaknya setelah kedatangannya.

Tok tok

Fatma mengetuk daun pintu yang terbuka sambil melihat penampilan Weni saat ini. Layaknya sedang ada sebuah pesta kecil di ruang tamu. Kakak iparnya juga berada di sana mengobrol dengan rekannya juga.

"Fatma, kenapa kamu kesini?" Weni melihat penampilan Fatma dari atas kebawah. Meski bersaudara, penampilan mereka sangat berbeda. Fatma memakai rok panjang dan kemeja panjang, tak lupa jilnab ukuran besar dia kenakan.

"Kak, Keynan sakit dan sekarang dirawat!" Fatma tak melihat rasa khawatir di wajah Weni.

"Oh! Yang penting dia dirawat dengan baik sama Dokter kan?" Ucapan Weni sama sekali membuat Fatma tak percaya. Setega itukah Weni kepada Keynan, anak kandungnya sendiri?

"Tapi, Kak!"

"Sudahlah, pergi sana! Lagian kedatanganmu kesini cukup memalukan. Penampilanmu kayak gembel begitu!" Weni mendorong Fatma hingga mundur beberapa langkah. Fatma berusaha menenangkan dirinya atas tindakan Weni padanya. Bahkan pintu yang tadinya dibiarkan terbuka kini ditutup sempurna layaknya kedatangan seorang pengemis.

Fatma kecewa, berkali-kali mengusap dadanya supaya lebih tenang. Ridho bahkan tak menyangka jika kakak iparnya bisa setega itu kepada anaknya. Ridho dan Fatma kembali ke rumah sakit membawa kekecewaan dan rasa sedih. Keynan sangat membutuhkan ibunya namun sama sekali kedua orang tuanya tak ada yang peduli.

Faridah sudah tahu jawabannya ketika Fatma dan Ridho datang tanpa diikuti Weni dan Aris. Hanya nafas besar yang bisa dihembuskan. Keyna sudah lebih tenang karena Faridah menenangkannya.

"Kakakmu tak mau datang?" Fatma hanya menggeleng pelan. Dibelainya rambut Keynan yang sudah lelap dalam tidurnya. Hampir tuga tahun semenjak keguguran di kehamilan pertama, Fatma belum lagi diamanahkan untuk hamil lagi. Hanya doa yang dipanjatkan setiap malam demi mendapatkan seorang buah hati dalam pernikahannya. Fatma menceritakan perlakuan kakaknya kepada dirinya saat dia datang.

Ridho dan Fatma malam ini menemani Faridah menginap di Puskesmas. Meski tak nyaman karena harus tidur di lantai namun Faridah cukup tenang bisa bersama cucunya.

Keesokan harinya, Faridah berharap Weni datang membesuk anaknya namun sama sekali tidak ada tanda-tanda kedatangan Weni dan Aris. Ridho segera membeli sarapan untuk ibu mertua dan istrinya.

"Nak, meskipun kelak hidup kalian bergelimang harta, jangan pernah lupakan ibadah dan keluarga kalian!" Ridho mengangguk dan tersenyum mendengar nasihat ibu mertuanya.

"Bu, maafkan Ridho karena hari ini ada tugas mengajar. Biar Fatma yang menemani Ibu menjaga Keynan."

Faridah memahami kesibukan menantunya sebagai pengajar. Meski penghasilan tak seberapa namun Ridho cukup amanah dan menjadi guru favorit di tempatnya mengajar. Kegiatan mengaji yang diadakan di lembaga pendidikan cukup memudahkan Ridho untuk berdakwah. Tak jarang, Ridho sering diundang untuk memberikan tausiah di beberapa pengajian.

Kini tinggal Fatma dan Faridah menemani Keynan. Meski suhunya tak setinggi kemarin namun Faridah tetap tak bisa tenang sebelum Keynan benar-benar sehat.

"Bu, apakah Fatma harus datang ke rumah Mbak Weni lagi?" Berharap Weni bisa berubah pikiran dan datang membesuk anaknya.

"Biarkan saja. Seandainya naluri seorang ibu dia miliki, pasti dari kemarin dia akan datang. Bukan malah membuat pesta di rumahnya saat Keynan sakit."

Hati Faridah benar-benar kecewa dengan sikap Weni yang selalu mengabaikan anaknya sendiri. Dokter datang dan memeriksa rutin keadaan Keynan.

"Bagaimana keadaanya, Dok?" Faridah ingin tahu keadaan Keynan selanjutnya.

"Suhunya perlahan turun. Jika besok suhunya kembali normal maka bisa diperbolehkan pulang!" Keadaan Keynan yang terus membaik memberikan semangat pada Faridah.

Sore hari, Faridah dan Fatma dikejutkan kedatangan Weni tiba-tiba. Tatapan Weni terlihat tidak suka kepada Fatma. Faridah senang sekali ketika Weni telah berubah pikiran untuk mendampingi anaknya di puskesmas.

"Nih, makan untuk kalian berdua!" Weni melempar begitu saja satu kantong plastik ke arah Faridah dan Fatma. Hati Faridah hancur melihat anak yang dulu mengeyam pendidikan tertinggi dan kini sikapnya mirip orang tak pernah sekolah.

"Mbak, jangan lempar..

"Stop! Kamu kesini sengaja mendekati ibu demi warisan kan?" Bagai disambar petir mendengar tuduhan kakaknya sendiri. Apalagi soal warisan seperti yang diucapkan.

Apa yang akan diucapkan Fatma?

Nantikan bab selanjutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 44. Selamat Tinggal (End)

    Semalaman Aris tidak pulang ke rumah demi menunggu Weni di depan apartemennya. Tidak masalah harus menunggu lama demi bisa bertemu mantan istrinya.Drrt drrtPonsel berdering panggilan dari salah satu perawat yang merawat Meli. Dengan tangan gemetar, Aris berharap mendapat kabar baik dari perawat. Aris takut jika harus mendapatkan kabar buruk setelah kehilangan Marisa dan juga Weni."Halo, Sus!" Keringat dingin karena kekhawatiran yang cukup besar kini berangsur hilang. Meli sadar dari masa kritisnya selama satu bulan. Aris gegas ke rumah sakit untuk menemui Ibunya.Sesampai di sana, terlihat Meli sudah bisa diajak bicara oleh suster meski tenaganya masih lemah. Aris melihat pemandangan yang sangat membahagiakan. Setidaknya bisa mengobati rasa gundah di hatinya saat ini."Mama," Aris memeluk Meli saat itu juga."Anakku!" Keduanya benar-benar larut dalam kebahagiaan. Aris belum berani mengatakan jika Marisa sudah meninggal dunia dalam keadaan tragis. Aris takut jika nanti Meli akan te

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 43. Sadar

    Aris tidak melihat Marisa sama sekali seharian ini. Bahkan sampai larut malam Marisa belum juga pulang. Kepala Aris tiba-tiba pusing tanpa sebab. Terlintas wajah Weni di pelupuk matanya."Weni, dimana kamu?" Ada rasa rindu kepada Weni."Kenapa akhir-akhir ini aku tidak bertemu dengannya?" Aris merasa ada yang aneh. Biasanya dirinya selalu bertemu Weni sepulang kerja."Apakah dia marah padaku?" Aris merebahkan kembali bobot tubuhnya di ranjang tanpa Marisa malam ini. Aris mencoba menghubunginya namun tidak ada jawaban dari Marisa. Ponselnya bahkan tidak aktif.Aris benar-benar tidak tahu yang dilakukan Marisa di belakangnya. Apalagi dirinya merasa takut dengan ancaman Marisa akhir-akhir ini. Aris mencoba mencari nomor ponsel Weni. Hanya saja nomor ponsel Weni sudah tidak ada di ponselnya. "Bagaimana cara aku menghubungi Weni?" Aris frustasi malam ini. Weni dan Marisa sama-sama tidak bisa dihubungi.Di rumah sakit, Weni mulai bisa tidur dengan nyenyak. Faridah membacakan surat Alfatih

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 42. Sihir

    Weni memberanikan keluar dari apartemen sekedar mencari udara segar. Namun baru saja keluar dari lift yang membawanya ke lantai dasar, Weni sudah ditemukan dalam keadaan pingsan. Pihak pengelola apartemen segera membawa Weni ke rumah sakit. Pihak rumah sakit juga merasakan ada yang aneh dengan tubuh Weni, begitu berat saat dipindahkan ke brankar rumah sakit, padahal tubuhnya kurus. Menjelang tengah malam, Weni mengeluh tubuhnya kepanasan. Padahal, setiap diperiksa perawat, suhu tubuhnya normal. Salah satu perawat di rumah sakit adalah seseorang yang berasal dari kampung yang sama dengan Weni. Sehingga perawat tersebut segera mengabari Fatma selaku adik Weni."Astaghfirullah, Mbak Weni sakit!" Faridah yang saat itu sedang menyuapi Keynan terkejut mendengar ucapan Fatma. Ada rasa khawatir yang cukup besar ketika mendapati kabar buruk tentang saudaranya di kota. "Weni sakit apa, Fat?" "Biar nanti Fatma ceritakan sama Ibu. Kita tunggu Keynan tidur!" Usai menyuapi Keynan, Fatma lantas d

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 41. Pikiran Kacau

    Weni merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dulu sangat membenci Ibunya sendiri, namun ketika sudah diabaikan keberadaanya oleh Faridah, Weni merasa tidak tenang. "Kenapa aku jadi dilema begini?" Teringat jelas saat Faridah sama sekali tidak mau menatap wajahnya padahal sangat jelas jika dirinya tepat di hadapan Ibunya.Selama perjalanan, Weni sama sekali tidak konsentrasi. Semua terasa kacau baginya usai bertemu Ibunya. "Sialan!" Hampir saja Weni menabrak pembatas jalan. Weni gegas mengatur perasaa gelisah dan kembali melajukan mobilnya.Weni mulai berhati-hati dalam perjalanan menuju ke apartemen miliknya. Ada rasa tenang ketika sudah sampai lokasi. Weni merebahkan bobot tubuhnya usai meminum segelas air supaya lebih tenang."Ada apa denganku?" Weni memukul kepalanya dengan tangan kanannya. Sikap angkuh kini mendadak tidak berguna.Weni berusaha memejamkan mata supaya bisa menghilangkan ingatan saat diabaikan Faridah. Berkali-kali Weni mencoba tidur siang hasilnya tetap nihil. Bahka

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 40. Cuek

    "Kenapa Faridah?" Fatimah melihat Faridah seperti tidak percaya dengan yang ada di depannya."Ah, tidak ada apa-apa, Nyonya. Hanya saja saya heran, semua menikmati sarapan di satu meja makan yang sama," Fatimah tersenyum mendengar pengakuan Faridah."Kita disini keluarga. Kamu juga termasuk menjadi bagian dari keluarga ini. Biasakanlah dirimu dengan kehidupan di rumah ini!" Faridah kembali menikmati makanannya seperti asisten yang lain. Tidak ada rasa canggung sama sekali pada mereka. Usai sarapan bersama, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Fatimah berkutat dengan komputernya memeriksa beberapa laporan yang masuk. Meski usianya tidak lagi muda, namun Fatimah lihai menggunakan komputer untuk menjalankan bisnisnya. Faridah tertegun dengan sikap majikan yang baru ditemuinya. Begitu mandiri meski rumah tidak ada siapapun kecuali asisten rumah tangga."Sibuk, Nyonya?" Faridah meletakkan secangkir teh di meja kerja Fatimah."Ya, beginilah orang tua. Masih harus bekerja di masa tu

  • Aku Ibumu, Nak!   Bab 39. Majikan Baru

    Pagi ini Fatma terpaksa mengijinkan Faridah ke kota untuk mencari alamat Weni. Fatma ingin mendampingi namun Faridah berharap Fatma tetap menjaga Keynan di rumah.Kini Faridah berada di depan rumah Weni. Rumah yang sudah menjadi jaminan atas hutang Aris tanpa sepengetahuan Weni. Kenangan pahit muncul begitu saja hingga tak terasa air mata menetes begitu saja."Bu Faridah," sapa salah seorang tetangga. Lebih tepatnya seorang istri dari ketua RT yang dikenal dengan nama Murti."I-iya, Bu RT. Bagaimana kabarnya?" Faridah berjabat tangan dengan Murti."Alhamdulillah, Bu. Bu Faridah bagaimana kabarnya?" "Alhamdulillah. Bu Murti, saya mau tanya." Murti menatap Faridah begitu lekat seakan tahu apa yang akan ditanyakan."Weni sekarang tinggal di apartemen, Bu. Saya tahu alamatnya, nanti saya antar kesana," kedua mata Faridah berbinar mendengar Murti akan membantunya mempertemukan dirinya dengan Weni.Murti mempersilahkan Faridah terlebih dahulu untuk beristirahat di rumahnya. Rumah yang cuku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status