Masuk“Bibi Rosie…? Paman Guan…?”Bibir Felisha bergetar ketika menyebut dua nama itu. Terutama nama terakhir—Guan. Orang paling kejam yang pernah ia temui dalam hidupnya.Ingatan pahit itu menyeruak begitu saja.Ia masih kecil ketika pria itu mengusirnya hanya karena meminta sesuap nasi untuk bertahan hidup setelah kedua orang tuanya tiada. Guan mendorongnya dengan kasar hingga jatuh ke tanah.Ketika Felisha kehausan, pria itu bahkan menawarinya sebotol alkohol yang sedang diminumnya sambil tertawa. Felisha kecil yang malang terbatuk-batuk, tenggorokannya perih, namun tak ada belas kasihan di mata pria itu. Hanya ejekan dan tawa dingin.Sejak saat itu, Felisha bersumpah tak ingin bertemu dengannya lagi.Tapi malam ini, sosok keji itu berdiri di depan pintu apartemennya, diseret oleh Rosie ke dalam rencana busuknya.“Lama tidak bertemu, keponakanku,” gumam Guan dengan senyum palsu. Ia berjongkok di hadapan Felisha yang masih terduduk lemah di lantai, lalu menepuk pundaknya dengan gaya sok a
Suasana di bawah tenda makan itu seketika membeku. Waktu seakan berjalan lambat. Setiap detik terasa panjang dan canggung.Ace tak langsung bereaksi. Ia hanya menatap Kathy, wanita yang dulu pernah mengisi sebagian kecil dari kehidupannya yang hampa. Tatapannya kosong, seolah otaknya berhenti bekerja.Di sisi lain, Felisha memilih diam. Ia hanya memandangi keduanya, ingin tahu sejauh mana situasi itu akan berjalan.“Ah… pantas saja kau menghilang tanpa kabar,” suara Kathy melengking, setengah bergetar menahan emosi. Tangannya bertolak pinggang, tubuhnya condong ke depan. “Ternyata kau sibuk dengan wanita lain, ya?”Beberapa pengunjung mulai menoleh. Suara sendok dan sumpit yang sebelumnya beradu kini berhenti, digantikan oleh bisik-bisik penasaran.“Ternyata yang dikatakan teman-temanku itu benar. Kau hanya buaya darat yang suka menebar janji manis!” lanjut Kathy, menghantam harga diri Ace.Ace menghela napas berat, menatap mangkuknya yang kini terasa hambar. Ia tahu ini buruk. Tapi m
Senja perlahan tenggelam, meninggalkan langit berwarna jingga yang kemudian larut menjadi malam. Hari itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Sedingin hati Ace yang sepanjang perjalanan hanya diselimuti keheningan.Felisha duduk di swbelahnya tanpa banyak bicara. Hanya sesekali menatap keluar jendela, memperhatikan lampu jalan yang melewati kaca mobil.Setibanya di depan apartemennya, gadis itu segera membuka pintu dengan gerakan lesu.Ace ikut keluar, menyusul di sisi lain mobil."Kita sudah tiga hari pacaran," ucap Ace akhirnya."tapi belum sekalipun makan malam bersama."Ia bersandar santai pada atap mobil sedan hitamnya, matanya menatap lembut ke arah gadis yang kini berdiri di depannya.Felisha mendelik kecil, menunduk sesaat sebelum menjawab, "Oh? Aku... akan pikirkan dulu mau makan di mana."Nada suaranya terdengar seperti mencari alasan, berusaha agar tak melukai hati Ace lagi.Ace hanya tersenyum kecil. "Kau mau makan di mana? Ini masih jam tujuh. Malam masih panjang, kit
“Katakan padaku, Felisha. Apa kau mencintaiku?”Suara Ace terdengar dalam dan berat, menyimpan luka.Felisha masih diam. Ia menundukkan kepala, menatap jemarinya sendiri yang saling bertaut di pangkuan. Namun sebelum sempat mengalihkan pandangan, Ace meraih dagunya dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya kembali.Tatapan pria itu jernih. Bening seperti kaca yang siap pecah kapan saja. Ada getaran halus di matanya yang membuat Felisha tertegun. Ada takut, keraguan, dan cinta yang begitu nyata.“Sebenarnya hubungan kita ini apa, Felisha?” tanya Ace lagi perlahan, tapi nadanya menusuk dalam.Felisha menelan ludah. Suaranya hampir tak terdengar ketika ia menjawab, “Menurutmu... bagaimana?”“Menurutku, kita adalah sepasang kekasih,” ucapnya lirih namun mantap.Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti ancaman manis yang membuat jantung Felisha berdegup tak terkendali.Ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa ia pun merasakan hal yang sama dengan Ace. Tapi lidahnya kelu. Ada ego dan logi
Sesampainya di rumah, Felisha langsung menjatuhkan diri ke atas kasur. Wajahnya tertimbun bantal, lalu terdengar suara teriakan kecil yang teredam di dalamnya. Ia menghentak-hentakkan kaki ke pinggiran kasur dengan gemas, menyalurkan segala rasa malu dan kalut yang sejak tadi berputar di kepalanya.Ketika ia mengangkat wajahnya, pipinya sudah semerah tomat. Nafasnya masih belum teratur. Bayangan kejadian hari itu berkelebat jelas di benaknya. Mulai dari ciuman di dalam lift, ciuman di dalam mobil, hingga sentuhan jemari Ace di pinggangnya yang membuat tubuhnya menegang dan bergetar.Kenangan itu seperti api kecil yang terus menyala, membuat Felisha menutup wajahnya lagi dengan kedua tangan.Ia tidak mengenali dirinya sendiri. Semua hal yang terjadi terasa di luar kendali. Ia bukan Felisha yang biasanya tenang, dingin, dan rasional. Ada sesuatu dalam diri Ace yang bisa menembus dinding pertahanannya. Dan bukannya membuat marah, hal itu justru membuatnya merasa l
Perlahan, Ace menghentikan tarian jemarinya di pinggul Felisha. Tawa kecil yang sempat memenuhi kabin mobil perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang anehnya terasa begitu hangat. Felisha menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih belum teratur. Ia melirik Ace sekilas. Wajahnya setengah kesal, setengah malu. Namun, seperti biasa, Ace hanya menatapnya sambil tersenyum. Senyum tenang yang entah bagaimana selalu mampu membuat Felisha tidak tahu harus berbuat apa. Ia tampak begitu rileks, seolah kebersamaan seperti ini adalah puncak kebahagiaan di dunia. “Terima kasih,” ucapnya lembut, meletakkan hadiah pemberian Felisha di celah kosong samping jok . “Aku akan memakainya besok.” Felisha tersenyum samar, tapi matanya menunduk cepat. Ada semburat merah di pipinya, karena di balik kata sederhana itu, ia bisa merasakan ketulusan yang dalam dari pria di sampingnya. Namun, senyumnya perlahan memudar. Ekspresinya ber







