Aku hanya diam dan menatap keluar jendela. Hati merasa seperti ada yang aneh jika terus melihat kemesraan Utami dan Aksa. Meskipun tidak bisa dipungkiri, jika perasaan itu tidak bisa hilang hanya dengan melihat keluar jendela mobil. Karena suara mereka yang tetap terdengar di telingaku. “Del, kok kamu dari tadi diam saja?” tanya Utami setelah beberapa detik aku tak mendengar candaannya. “Nggak kok … umm … Gimana, ini kita mau ke butik mana?” tanyaku sambil berusaha menghilangkan kegugupan. Entahlah, aku merasa seperti orang yang ketangkap basah karena kurang nyaman berada di antara Utami dan Aksa. “Sepertinya kita ke Mall saja. Di sana lebih banyak pilihan,” tutur Utami sambil menoleh padaku. “Boleh juga. Aku ngikut aja, terserah mau ke mana,” ujarku sambil tersenyum. Meskipun aku tahu jika Utami tidak melihat. Setelah percakapan itu, aku kembali terdiam. Utami mengajak Aksa cerita dan aku hanya menjadi obat nyamuk diantara mereka. Dari pada melihat kemesraan mereka, aku memilih u
Aku terus berjalan. Sesekali melihat ke seberang jalan, mencari tempat akan berhenti. Sepertinya belum ada tanda-tanda langkah kaki akan istrahat. Tenaga sudah mulai berkurang. Teriknya matahari menjadi saksi lelahnya aku melangkah. Aku sudah berjalan lebih dari tiga ratus meter. Siapa yang akan aku hubungi sekarang? Aku tidak punya teman dekat selain Utami. Saat ini sangat butuh bantuan. Aku tidak tahu keberadaan halte bus di sekitar sini. Tidak mungkin berjalan hingga sampai rumah. Ya Allah, bisakah engkau kirimkan seseorang untuk membantuku. Saat ini aku sangat butuh pertolongan. Aku sudah haus. Keringat membasahi tubuh. Terik terasa langsung menembus badan, karena tidak ada penghalang diantara aku dan matahari. Suara klakson tiba-tiba menghentikan langkah. Aku mengangkat wajah setelah lama berjalan menunduk. Mobil avanza hitam berhenti di sisi jalan. Aku tidak tahu siapa pemiliknya, sebab kaca mobil yang berwarna hitam menyembunyikan sosok di dalamnya. Tidak ingin terlalu lama
Aku membalas tatapan Aksa. Aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan lelaki ini. Hampir satu menit, kami saling menatap dengan sorot mata yang tajam. Aku menunggu Aksa melanjutkan ucapannya. Apa lagi yang ingin dia katakan? Mungkin Aksa juga menungguku untuk merespon ucapannya. Tetapi, itu tidak akan terjadi. Aku ingin melihat dan mendengar, sejauh mana dia akan mengatakan kalimat mengancam. “Kenapa kamu hanya diam? Dasar perempuan bisu! Aku tahu, selama ini kamu selalu merayu Utami agar memutuskan hubungan denganku. Apa kamu ingin merebut aku darinya? … Jangan pernah berkhayal, Delisia. Itu tidak akan terjadi … Kamu memang perempuan murahan yang bersembunyi di balik hijab. Aku juga tahu, karena Utami tidak mengikuti yang kamu inginkan, maka dengan licik orangtuamu dan ayahku menjodohkan kita … Aku tahu semua kebusukanmu, Delisia! Jadi, berhenti berpura-pura menjadi perempuan baik-baik di hadapanku! Dan satu lagi, jangan pernah bermimpi untuk hidup bahagia denganku!” Setelah berkat
***Pak Firman sangat keterlaluan. Dia ternyata punya bakat untuk berbohong. Aku merasa terjebak dengan ucapannya. Kalau bukan karena takut mendapat nilai error di matakuliahnya, aku pasti akan pergi dari rumah Pak Firman saat ini juga. Siapa bilang aku akan menjadi guru les? Tidak! Aku bukan menjadi guru les. Pak Firman ternyata menjebakku untuk menjadi babysitter anaknya yang masih berusia tujuh tahun. Apa niat Pak Firman sebenarnya? Aku tidak pernah punya masalah dengannya. Aku juga selalu mendapat nilai tertinggi di matakuliahnya. Aku terus menggerutu dalam hati, meskipun bibir tetap tersenyum dengan tangan yang memegang boneka. Saat ini aku sedang duduk di karpet yang ada di kamar. Menemani Aura bermain. Pikiran kembali melayang pada kejadian dua jam lalu, saat aku masih berada di Kampus. Hanphone tiba-tiba bergetar. Pertanda ada sebuah pesan yang masuk. Tertera jelas di layar, jika ada pesan masuk dari Pak Firman. Dari mana dia mendapat nomor handpnoneku? Aku langsung membuka
Aku kembali menelusuri. Kamar Aura dipenuhi boneka berwarna pink. Di atas kasur ada dua boneka yang berukuran lebih besar dari Aura. Terdapat pula rak buku yang berisikan buku anak-anak. Dinding kamar di hiasi gambar boneka doraemon. Lama melihat-lihat isi kamar, pintu kamar mandi pun terbuka. Aura keluar menggunakan handuk yang menutupi tubuh mungilnya. “Aura sudah selesai mandi, sayang?” tanyaku dengan lembut sambil tersenyum. Tidak ada jawaban dari Aura. Dia tetap berjalan menuju lemari pink yang ada di sisi kanan kamarnya, tanpa melihatku. Bibir hanya tersenyum menanggapinya. Sepertinya aku harus butuh kesabaran ekstra menghadapi anak ini. “Mau aku bantu?” tanyaku sambil mendekati Aura. Dia seperti kesusahan mengambil baju yang ada di dalam lemari. “Tidak usah! Aku bisa sendiri!” kata Aura sambil berusaha mengambil baju yang ingin dipakai. Aku tersenyum lembut dengan tangan yang mengusap kepala Aura. Aku tetap berdiri melihat Aura yang kesana kemari mengurus diri sendiri. Aku
Aku berjalan keluar dari gang menuju halte. Dengan hati yang was-was menunggu datangnya bus. Semoga masih ada. Jika tidak, aku akan pulang naik apa? Ini sudah malam. Alhamdulillah, sang pencipta mendengar doaku. Terlihat sebuah bus kota sedang melaju kearah halte. Tanganku memberi isyarat agar bus berhenti. Bus pun berhenti. Seorang pramugara bus membuka pintu. “Mau kemana?” tanya pramugara dengan wajah yang terlihat sudah lelah. “Aku mau ke kawasan Jati Raya. Masih bisa nggak kalau ke sana,” ujarku dengan lembut. “Maaf, kami tidak lewat di sana lagi. Bus ini akan berhenti di Halte Kartani.” “Ya Allah, gitu ya. Apa tidak bisa kalau antar aku ke sana dulu, Kak. Tolong lah! Aku tidak tahu mau pulang naik apa ke Rumah. Uangku hanya cukup untuk naik bus. Tolong lah aku, Kak.” Aku merengek, berharap lelaki di hadapanku ini mengabulkan keinginan. Pramugara diam sejenak. Sepertinya dia tidak tega mendengar rengekanku. Dia lalu mendekati supir. Tidak lama kemudian dia kembali. “Yuk naik
*** Saat sedang sarapan di meja, aku melihat seorang asisten mendorong kursi roda Pak Candra. Aku langsung berdiri untuk menggantikan asisten itu. “Biar aku saja,” ujarku pada asisten sambil tersenyum. Pak Candra tersenyum padaku. Asisten menggeser satu kursi agar Pak Candra bisa duduk. Aku kembali ke kursi yang tadi. Ini pertama kali aku makan satu meja dengan Pak Candra. Merasa canggung karena belum terbiasa. Semoga saja Pak Candra memiliki karekter seperti ayah, mudah di ajak ngobrol apapun topiknya. "Bagaimana Aksa memperlakukanmu, Delisia?" tanya Pak Candra setelah menelan makan yang ada di mulut. Aku tersenyum, lalu berkata, "Aksa lelaki yang sangat baik. Orangnya asyik, aku mudah akrab dengannya. Dia juga memperlakukan aku dengan sangat lembut." Aku berkata sambil menatap Pak Candra. Itu etika yang diajarkan kedua orangtuaku. Ketika berbicara dengan orang yang dituakan, sebaiknya ditatap agar mereka tahu jika kita mendengarkan ceritanya. Namun, hal itu tidak boleh dilakuka
Aku lalu meminta izin ke Pak Candra, ketika makanan dipiringku telah habis. Sekarang sudah pukul tujuh lewat. Jam delapan aku sudah harus tiba di kampus. Untung saja aku tiba di halte bersamaan dengan datangnya bus. Sehingga tidak perlu menunggu lama, aku sudah menuju kampus. Semoga saja jalanan tidak macet. Biasanya jam segini jalanan kota akan macet. Saat tiba di kampus, aku melihat jam di handpnohe. Tertera di layar, pukul delapan lewat dua menit. Masih ada waktu ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. “Delisia, kamu mau ke mana?” Suara Utami mengehentikan langkahku. Aku menolehkan kepala. Terlihat Utami sedang menggandeng tangan Aksa. Dia tersenyum, membuatnya terlihat sangat manis. Aku sebagai perempuan saja sangat mengagumi kecantikan Utami, apalagi Aksa. Utami berjalan mendekatiku. Masih dengan menggandeng Aksa. Sedangkan lelaki itu, dia hanya melihatku tanpa tersenyum. Seolah aku adalah orang asing yang dia tidak kenal. “Mau ke mana?” Utami kembali bertanya saat sudah