Kepalaku menggeleng. Mata masih terus mengeluarkan air. “Aku juga nggak tahu, Tam. Kenapa Pak Firman melakukan ini padaku? Kalau memang aku ada salah, terserah dia mau menghukumku seperti apa. Tetapi, jangan memaksaku untuk menikah dengannya.” “Sekarang aku harus bagaimana? Aku tidak mungkin berhenti kuliah karena takut bertemu Pak Firman. Semester depan aku target mau KKN, dan berusaha agar cepat wisuda. Kalau mendapat masalah seperti ini, aku takut tidak bisa selesai kuliah tepat waktu … bagaimana perasaan kedua orangtuaku kalau tahu aku bermasalah di kampus?” Aku berkata sambil menangis sesegukan. Selama aku mengeluarkan keluh di hati, Utami hanya mengusap belakangku. Sepertinya dia berusaha menenangkan tanpa memotong ucapan. Aku terharu dengan perlakukan Utami. Setelah perkataan itu, aku pun terdiam. “Kita cari solusinya sama-sama, Del. Tidak usah khawatir, kuliahmu akan baik-baik saja … Percaya denganku! Tidak akan ada hal buruk yang terjadi padamu … Kalau kamu mau, kita mengha
“Kamu tidak usah sedih, Del, karena ini akan menjadi berita baik. Perempuan mana yang tidak ingin menikah dengan lelaki mapan seperti Pak Firman … Sekarang, yuk kita ke kantin. Aku sudah lapar,” ujar Utami sambil tersenyum, dia lalu menarik tanganku untuk berdiri. Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. Kalau masih bersedih, Utami pasti akan terus merayu. Dia tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Nasehat yang keluar dari bibirnya pun percuma, tidak akan membuatku tenang. Saat ini aku dan Utami sedang berjalan menuju kantin. Ketika tiba, ternyata semua tempat duduk sudah terisi penuh. “Kita mau duduk dimana, Tam? Apa kita pesan saja terus makan di kelas?” tanyaku sambil melihat-lihat, mungkin saja ada penghuni kantin yang sudah selesai makan dan akan meninggalkan tempat ini. “Aku ingin makan bakso, Del. Rasanya akan beda kalau makan di Ruang Kelas,” tutur Utami. Dia juga sama sepertiku. Matanya melihat ke sana ke mari mencari tempat duduk yang kosong. “Yuk kita ke sana!” ucap Utam
“Ih, Sayang. Apa sih! Kenapa ngomong gitu?” ujar Utami dengan wajah risih. Aksa langsung diam dan terlihat acuh. Dia seperti merasa seakan tak bersalah. Aku tidak boleh tersulut emosi. Sabar, Del! Terserah Aksa mau mengatakan apa tentangmu. Jangan sampai kamu terpancing. Benak terus berusaha menenangkan diri. Apa sih keinginan Aksa? Apa dia tidak berpikir sebelum bicara? Harusnya dia sadar, kalau perkataannya tadi akan menimbulkan banyak pertanyaan. Untung saja Utami hanya menganggap perkataan Aksa sebagai guyonan semata. Setelah Aksa berkata seperti tadi, situasi menjadi hening. Ya Allah, harusnya aku pergi saja dari sini. Aku memang tidak pantas berada dalam lingkaran mereka. “Yey, akhirnya datang. Yuk makan, Del. Aku lapar sekali. Dari tadi makhluk-mahkluk dalam perutku sudah konser.” Utami terlihat sangat bahagia ketika makanan yang kami pesan datang. Entahlah, sepertinya Utami hanya ingin mencairkan suasana. Juna akhirnya kembali memulai cerita. Kini situasi sudah kembali se
Mata mulai berkaca. Bibir ingin berteriak, mengatakan jika semua yang baru saja Pak Firman katakan tidak benar. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pak Firman sudah memberitahu Aura. Anak itu telah mengira jika minggu depan, aku dan ayahnya akan menikah. Pak Firman hanya menatapku, tanpa melakukan apapun. Dia memang dosen gila! Bisa-bisanya melakukan ini padaku. Sebelumnya kami tidak pernah ada masalah. Aku tidak punya urusan sama sekali dengannya. Tiba-tiba memintaku untuk menjadi guru les anaknya. Ternyata itu bohong! Dan sekarang dia menginginkan aku untuk menjadi istrinya. Pak Firman memang dosen yang sudah tidak waras! Aku tidak ingin melihat lagi, interaksi antara anak dan ayah itu. Kaki langsung melangkah pergi. Aku harus pulang kampung hari ini juga! Cukup! Aku sudah tidak kuat. Aku melangkah dengan tergesa-gesa. Tangan mengetik nama Pak Candra di layar. Ingin meminta izin kalau hari ini akan pulang ke kampung. Bus terakhir yang akan menuju ke desa jam lima s
Satu jam lebih perjalanan, akhirnya tiba di Desa Toura. Desa yang menjadi tempat aku pulang mencari kenyamanan. Aku tidak perlu lagi ke terminal pemberhentian, karena bus lewat di depan rumah. Terlihat ibu dan ayah sedang duduk bersantai di depan rumah. Mereka belum menyadarari kedatanganku. Saat turun dari bus, ayah dan ibu menatapku tanpa kata. Beberapa detik berlalu, mereka pun berteriak, “Nak, kenapa pulang tidak beritahu ibu!” Ibu sudah berdiri dari duduknya. Begitupun dengan ayah. Aku berjalan mendekati rumah, yang berarti juga mendekati ibu dan ayah. Terlihat senyum haru di wajah mereka. Ya Allah, aku sudah sangat rindu dengan senyuman mereka. Harusnya meskipun sudah menikah, aku bisa meluangkan waktu untuk pulang menjenguk ibu dan ayah. Sebenarnya aku memang ingin, hanya saja ada perasaan tidak enak untuk meminta izin pada Pak Candra. Kalau soal Aksa, aku tak peduli. Dia tidak mungkin menanyakan keberadaanku. “Assalamualaikum!” ujarku dengan kedua tangan langsung menyalim
“Jangan dulu cerita, makan dulu. Delisia baru saja pulang. Dia masih lapar. Biarkan dia makan dulu. Setelah itu ibu bisa tanya-tanya.” Ayah menyeka perkataan ibu yang masih saja bertanya. Aku sudah menyatakan pada ibu seperti yang diucapkan ayah. Hanya saja, mungkin ibu terlalu penasaran. Sehingga hanya dua menit tidak bicara. Bibirnya kembali berkata. “Iya, Ayah,” jawab ibu. Kini kami makan dalam hening. Ibu tidak secerewet tadi lagi. Hingga makan malam usai, ibu pun kembali mengeluarkan pertanyaan yang sama. Untung saja azan berkumandang. Ayah langsung menyuruh untuk meninggalkan meja makan dan melaksanakan salat. Aku berdiri dari kursi sebelum ibu mencegahku. Tergambar jelas, raut wajah ibu nampak penasaran. Aku belum mempersiapkan jawaban untuk segala pertanyaan yang keluar dari bibir ibu. Bagaimana jika nanti ada pertanyaan yang tidak bisa aku jawab? Hal itu hanya akan menimbulkan berbagai macam tanya dalam benak ibu. Baru saja selesai sholat, pintu kamarku terbuka. Ibu suda
“Terus gimana kondisimu, Nak. Apa sudah ada hasil?” Aku mengerutkan alis mendengar pertanyaan ibu. Berpura-pura tidak mengerti dengan maksudnya. “Masa kamu tidak mengerti maksud ibu. Itu loh, Nak, cucu untuk kami.” ujar ibu memperjelas ucapannya. “Belum, Bu. Aku masih dapat haid.” Aku berkata sambil menggelengkan kepala. Semoga saja ibu tidak lanjut bertanya. Sejujurnya, aku tidak suka di tanya tentang hal ini. Kenapa yaa pertanyaan ini menjadi topik yang selalu ditanyakan pada orang-orang yang sudah menikah tetapi belum punya keturunan? Pertanyaan yang selalu membuat risih dan kehilangan kata-kata untuk menjawab. Sebenarnya tidak perlu di tanya terus menerus. Kalau memang Allah sudah berkehendak dan sudah ada, pasti akan di tahu juga. Tidak seorang pun di dunia ini yang hamil dengan pernikahan sah, tetapi orangtuanya tidak tahu. Jangankan punya anak, menyentuh saja tidak pernah. Aku tidak mungkin bisa hamil kalau Aksa belum juga mencintaiku. Oh, tidak! Berarti pernikahan ini hany
Aku di temani oleh kesunyian malam. Biasanya jam delapan malam, di desa ini sudah jarang orang masih keluyuran. Rumah yang berjarak tidak dekat antara satu dengan yang lain membuat kondisi malam terlihat sedikit horor. Lampu yang terpasang di jalan untuk menerangi desa, tidak banyak. Untung saja banyak rumah-rumah yang memasang lampu di teras. Aku berdiri untuk mengambil handphone yang ada di atas meja. Di perjalanan pulang tadi, Utami kembali membalas pesanku. Hanya saja aku tidak ingin membuka. Sesungguhnya saat ini aku sangat malas untuk balas berbalas pesan dengan Utami. Apalagi membahas tentang pertunangannya dengan Aksa. Aksa adalah suamiku. Dia menjadi lelaki asing pertama yang aku cintai. Bagaimana mungkin aku mencarikan baju untuk pertunangannya? Dunia ini sungguh sangat aneh. Sebelum melihat notofikasi lain, aku membaca terlebih dahulu pesan dari Utami. Pesan ini masuk saat aku di dalam bus tadi. Ini juga pesan terakhir yang dikirimkan Utami untukku hari ini. [Kamu mau ng