Aku dan Utami sudah berada di dalam mobil. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Perlahan-mobil mulai keluar dari tempat parkiran. Hanya keajaiban dari Allah yang bisa menolongku dari sini. Aku sudah pasrah.Baru saja keluar dari gerbang apartemen, handphone Utami berdering. Dia lalu menghentikan mobil untuk mengambil handphone yang ada dalam tasnya. Kenapa dia tidak meminta tolong padaku? Padahal aku duduk di kursi mobil yang ada di sampingnya.“Hallo, sayang! Ada apa?” Suara lembut Utami menyadarkan aku kalau yang menelepon adalah Aksa.“Aku nggak mau. Masa Delisia aku suruh pulang sendiri. Tadi dia ke sini denganku. Sejak pulang kampus kami sudah sama-sama. Jadi aku juga yang harus mengantarnya pulang”Dari perkataan Utami, aku bisa menebak jika Aksa mencegahnya untuk mengantarku. Mungkin Aksa khawatir jika Utami mengendara sendiri di malam hari. Tidak mungkin dia mengkhawatirkan aku.“Ya sudah kalau gitu, aku tanya Delisia dulu ya.”Mendengar namaku di sebut, aku langsung menoleh, Uta
“Aku masih ingin di sini. Kenapa kamu masih berada di sini? Kamu kembali saja,” ujarku dengan suara pelan. Aku tidak ingin menanggapi Aksa yang kelihatannya sedang marah. Saat ini aku tidak ingin marah-marah. “Oh iya, selamat ulangtahun ya. Aku rasa, aku tidak perlu memberimu kado seperti teman-temanmu. Karena aku tahu, kado dariku hanya akan di taruh ke tong sampah.”“Ternyata kamu sudah berani melawanku, ya. Sudahlah, malam ini kamu tidur di luar saja! Aku juga tidak butuh ucapan selamat ulangtahun dari kamu. Asal kamu tahu, acara ulangtahun tadi adalah acara yang paling aku benci dalam hidupku. Karena tadi ulangtahun pertamaku, setelah menjadi suami dari perempuan paling jelek di dunia.” Aksa kembali berkata. Bukannya pergi, dia justru melangkahkan kaki untuk mendekat.Dasar laki-laki aneh. Kenapa dia malah mendekatiku. Terserah apa yang akan dia katakana. Aku sungguh sedang malas berdebat. Aku tidak menggubris ucapannya. Aku juga tidak menghiraukan keberadaan Aksa di sini. Mata k
***Aku bangun di sepertiga malam. Setelah melaksanakan sholat tahajud, aku pun keluar dari kamar. ingin bersih-bersih apartemen, sekalian membuatkan sarapan untuk Aksa. Meskipun hingga kini, Aksa belum juga memakan sarapan yang aku hidangkan di atas meja, tetapi aku akan tetap melaksanakan salah satu tugasku sebagai istri – Memberikan pelayanan pada suamiku.Saat menuju ruang makan, terlihat jelas makanan yang ada di atas meja masih rapi. Aku pun mengambil untuk memanaskan kembali. Hingga kini, aku masih masak untuk satu porsi, karena sadar jika Aksa tidak akan makan masakanku. Kalau aku masak untuk dua porsi, pasti setiap hari makanannya akan aku buang.“Ini di mana? Kenapa aku bisa berada di sini?”Terdengar suara dari dalam kamar Aksa. Aku menghentikan langkah kaki. Diam sejenak dan berpikir. Aku lalu berjalan menuju kamar Aksa, dengan benak yang penuh tanya.Pintu kamarnya tidak di kunci, aku langsung masuk. Tenyata Aksa hanya mengigau. Aku memperbaiki selimut yang kini sudah tid
“Delisia.” Aksa kembali memanggil. Masih dengan suara yang sama.Aku pun berbalik, maju dua langkah kecil ke depan. Tidak ingin membuat Aksa kesal, jika aku tidak berbalik.“Mengapa kamu tidak mengikuti aturan yang aku buat? Kamu ingin cari masalah denganku? Kenapa kamu berani masuk ke dalam kamarku? Aku tidak butuh pertolongan dari kamu, Delisia!” tutur Aksa pelan namun menusuk.Aku terdiam di tempat. Aku memang salah, telah masuk di dalam kamar Aksa. Tetapi, mustahil aku masih mengingat tentang aturan dalam kontrak pernikahan, saat mendengar suara Aksa yang terdengar aneh. Aku yakin, siapapun yang mendengar pasti akan melakukan hal yang sama dengan aku.“Kamu memang perempuan yang tidak tahu malu, Delisia! Beraninya masuk ke kamar laki-laki. Kelakuanmu ini pantas di sebut sebagai perempuan murahan!” tutur Aksa lagi, dengan suara lemah, namun terdengar tegas.Lelaki ini sudah benar-benar tidak punya hati. Dia sedang sakit, tetapi masih bisa mengucap kalimat pedas padaku. Bukannya ber
Kalau begini respon Aksa ketika aku sudah membantunya, lebih baik aku ke kampus saja dari sekarang. Berlama-lama di apartemen hanya akan membuat jenuh. Setidaknya kalau sudah berada di kampus, aku bisa menenangkan diri.Ketika tiba di kampus, aku langsung menuju ke perpustakaan. Aku memilih duduk di pojokan agar tidak terganggu. Beberapa menit duduk, ada orang yang menghampiriku. Dia langsung duduk di kursi yang ada di hadapanku – meja sebagai pemisah di antara kami. Dia sahabat Aksa yang saat ulangtahun Aksa memberikan aku potongan kue. Mau apa dia di sini?Aku sekarang ingin sendiri. Lama duduk dia tak kunjung berbicara. Rasanya aku ingin beranjak dari sini. Ahh, sudahlah mungkin Juna memang mau duduk di sini tanpa alasan. Hanya sekedar ingin saja.Di ruangan ini masih banyak tempat duduk yang kosong. Kenapa sih, Juna memilih duduk di depanku? Aku berpura-pura fokus dengan buku yang sedang ada di tangan. Tidak ingin peduli dengan keberadaan Juna.“Del, hari minggu ini kamu ada agend
Aksa masih saja berada dalam ruangan kelas, padahal dia tidak program matakuliah ini. Tak selang berapa lama, dosen pun masuk. Aksa langsung keluar.Aku memandangi langkah santai Aksa yang keluar dari dalam kelas. Lelaki itu sangat berbeda jika berada di samping Utami. Mungkin itu yang dinamakan cinta. Orang akan terlihat lembut di hadapan seseorang yang sangat dia cintai.‘Pulang kuliah langsung ke rumah.’Baru saja dosen meninggalkan ruang kelas, sebuah notifikasi pesan masuk terdengar. Aku langsung membuka. Ternyata pesan dari Pak Firman, yang menyuruhku untuk ke rumahnya. Setelah pertemuanku dengan Aura di kampus beberapa minggu yang lalu. Pak Firman memintaku untuk sering ke rumahnya.Aku tidak lagi membantah, bukan karena takut menghadapi Pak Firman. Namun, karena rasa kasihan pada anak kecil bernama Aura. Dia hanya seorang anak tanpa dosa yang menginginkan kasih sayang dari ibu. Hatiku tak bisa sekeras batu ketika melihat senyum Aura yang bahagia memelukku.Untung saja dosen it
Aku menggelengkan kepala. Wajah menampakan raut yang tidak mengerti dengan perkataan Aksa. Tak ada petir dan tak ada angin, dia tiba-tiba menamparku lalu berkata seperti ini. Benak masih bertanya-tanya namun bibir masih membeku. Tak mampu bersuara."Aku tahu Delisia, kamu memang punya rencana jahat padaku! Arghhh!“ Wajah Aksa nampak memerah. Dia berjalan meninggalkanku dengan tangan yang bertolak pinggang. Hingga berjarak empat meter, dia pun berhenti dan berbalik, kembali menatapku tajam.Aku semakin tidak mengerti dengan maksud ucapan Aksa. Aku belum juga berkata. Masih ingin membiarkan Aksa meluapkan kekesalan yang ambigu buatku."Orang suruhan Ayah melihatmu jalan bersama Pak Firman dan anaknya. Lalu tadi saat aku menceritakan kamu ke teman-temanku, Juna membelamu. Untuk pertama kali, sahabatku itu tidak suka mendengarkan aku menjelek-jelekan kamu. Dan tadi, Rian mengatakan padaku kalau dia melihat kamu berdua-duaan dengan Juna di perpustakaan." Aksa berkata dengan emosi yang mel
Aku berjalan mengampiri dan berhenti tepat di hadapan Aksa. Aku melihat tangannya yang mengepal. Mungkin saja, jika aku seorang lelaki, sudah dari tadi dia melayangkan pukulan. Dia saja berani menamparku. Bukan tidak mungkin, jika dia juga berani menjadikan wajahku sebagai ring tinju.“Kamu pikir aku takut denganmu!” Aku tersenyum sinis, lalu kembali berkata, “Aku bisa buat hubunganmu dengan Utami berakhir dalam hitungan detik. Semuanya terlalu gampang jika memang aku berniat jahat. Hubunganmu dengan Utami tidak akan bisa bertahan selama ini, kalau aku punya rencana gila seperti yang kamu tuduhkan … Tetapi, karena kamu sudah selalu mengatakan kalau aku ini perempuan hina dan gila, besok aku akan mengatakan pada Utami tentang pernikahan kita!”Tak aku duga, Aksa kembali menamparku. Rasanya sungguh sangat sakit. Aku ingin menangis, tetapi berusaha menahan. Jiwa dan raga merasa hancur di tampar oleh sosok yang dicinta.Aku mengusap bekas tamparan. Lalu tersenyum tipis pada Aksa, “pipi ya