LOGINSira baru saja turun dari pelaminan, masih dengan jantung yang berdebar dan perasaan yang kacau diikuti oleh Arwan yang terus ada di sampingnya.
Belum sempat Sira bernapas lega, suara riang tiba-tiba memanggil namanya dari arah belakang.
“Sira? Ya ampun, ini beneran Sira Aghnia Aziza, kan?”Sira menoleh, dan seketika senyum tipis muncul di wajahnya. Beberapa teman kuliah yang dulu sering nongkrong bareng di kampus melambai ke arahnya.
“Oh, kalian juga datang…” Sira menghampiri dengan langkah pelan, menyembunyikan gejolak hatinya yang masih bergetar.
Sebelum ia benar-benar sampai, Sira menoleh ke Arwan yang masih setia berdiri di sampingnya.
“Kak, kamu nyusul ke meja guru-guru lain aja, ya. Aku mau ngobrol sebentar sama teman-teman kuliahku.” Arwan menatapnya sejenak, seolah ragu untuk meninggalkannya sendirian, namun akhirnya ia mengangguk. “Jangan lama-lama, Ra,” katanya pelan, lalu berlalu."Siapa, Ra? Suami kamu? Jangan bilang kamu udah nikah tapi gak ngabarin kita?" Tanya Merry menyelidik.
"Bukan, Mer. Cuma teman kerja. Tuh mereka di sana, tadi kita datangnya juga rame-rame sama yang lain." Sahut Sira sambil menunjuk ke arah meja tempat rekan kerjanya berkumpul.
"Ohh...." Merry mengangguk.
"Ganteng juga, Ra. Boleh kali di kenalin sama aku?" Ucap Dina menimpali sambil memandangi Arwan dari jauh.
"Sadar, Din. Kamu lupa sekarang udah jadi pacar Riko." Kata Merry sambil memukul punggung Dina pelan.
Sira duduk di kursi kosong di antara teman-temannya.
"Hah? Sejak kapan kalian pacaran?" Tanya Sira sambil memandangi Dina dan Riko bergantian.
"Udah gak usah di bahas. Gak sengaja aja kita pacaran." Sahut Dina sambil tertawa.
Setelahnya mereka hanya berbincang ringan tentang masa kuliah, tentang dosen killer, tugas akhir yang membuat stres, dan reuni yang hanya selalu jadi wacana.
Sira tersenyum, meski sebagian besar pikirannya tak benar-benar ada di sana. Pandangannya sesekali melirik ke pelaminan, di mana Gavin dan Raina masih sibuk menerima tamu terakhir.“Eh, itu Gavin sama istrinya udah kelar salaman. Gila, ya, mereka cocok banget,” ujar Dina sambil terkekeh.
Sira hanya tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan rasa perih yang tiba-tiba kembali menyergap.Beberapa menit kemudian, Gavin dan Raina benar-benar menghampiri meja mereka.
“Halo semua, gimana makanannya? Kalau mau nambah jangan malu-malu, ya.” sapa Raina dengan tawa ringan. “Lah, pengantinnya malah keliling. Jelas malu kalau mau nambah. Takut dibilang rakus nanti.” sahut Riko bercanda.Sira berusaha tersenyum sopan. Ia menunduk sedikit saat Raina menatapnya.
“Kamu temen kuliahnya Mas Gavin juga ya? Siapa tadi namanya?” tanya Raina ramah, mencoba mengingat nama Sira. “Sira, teman satu prodi,” jawab Sira pelan. “Wah, pantes kayak akrab banget.” Sahut Raina. "Kok gak pernah cerita sih Mas, punya teman secantik ini." Lanjutnya lagi sambil menyenggol Gavin yang berdiri di sampingnya.Sira menelan ludah, ada rasa takut yang kini bergemuruh di dadanya. Ini kah rasanya jadi simpanan? Sementara Gavin hanya diam. Tatapan matanya sesaat bertemu dengan Sira, lalu segera menghindar. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi lidahnya kelu di hadapan dua dunia yang kini bertabrakan, rahasia dan kenyataan.
"Raina...!" Beberapa orang perempuan berdiri tak jauh dari sana tiba-tiba melambai dan memanggil Raina. Menyelamatkan Sira dari rasa bersalah dan canggung yang sulit dijelaskan.
"Sebentar ya, Mas. Ada teman-teman SMAku, aku ke sana dulu." Ujar Raina pamit.
Tak lama, Riko berdiri sambil bertepuk tangan ketika lagu kesukaanya terdengar dinyanyikan di atas panggung.
“Ayo dong, kita nyanyi di panggung dulu biar seru! Lagu nostalgia, biar makin rame!” Suara tawa riuh menyambut ajakan itu."Boleh tuh, suara Riko sama Dina, kan, bagus. Biar jadi kenangan indah di pernikahan Gavin." Sahut Deny semangat.
“Sira, kamu ikut, kan?” tanya Dina.
Sira langsung menggeleng. “Aku nggak bisa nyanyi.” “Gue juga nggak,” sahut Gavin spontan.“Yah, payah kalian berdua,” Keluh Deny pura-pura kecewa, lalu berlalu menyusul teman-teman lain yang sudah lebih dulu naik ke panggung musik.
Kini hanya Gavin dan Sira yang tertinggal di meja bundar itu. Suasana hening. Canggung. Terlalu banyak hal yang tidak terucap di antara mereka.
Gavin akhirnya membuka suara.
“Kami berangkat bulan madu besok,” ucapnya lirih. “Ke Jepang. Raina udah ngerencanain semuanya.”Sira menatap meja di depannya, bibirnya mengerucut getir.
“Apa aku perlu tahu semua itu, Vin?” suaranya pelan, tapi tajam.Gavin terdiam. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk menutupi luka di mata Sira.
Perempuan itu kemudian beranjak, berusaha menenangkan diri, tapi sebelum sempat melangkah, tangan Gavin tiba-tiba terulur di bawah meja dan menggenggam jemarinya.Genggaman itu hangat, tapi juga menyakitkan. Terlalu banyak kebingungan yang menyelimuti disana. Sikap Gavin tiba-tiba berubah, padahal sebelumnya ia sering kali tidak peduli akan kehadiran Sira.
“Jangan pergi dulu, Raa.” Suara Gavin terdengar parau.
Sira terpaku. Ia menunduk, memastikan tak ada yang memperhatikan. “Lepasin, Vin… tolong,” bisiknya, suaranya bergetar. Ada ketakutan dan kebingungan di sana.Gavin tidak menjawab. Ia hanya menatap Sira dalam diam, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan di depan dunia.
“Ada apa, Vin? Sebenarnya kamu ada masalah apa?” Tanya Sira akhirnya. Iba melihat keletihan yang mendalam di mata suaminya.
Gavin masih diam, tapi genggaman tangannya semakin erat bertaut di bawah sana.
Keheningan itu bertahan lama, sampai akhirnya suara langkah dan tawa kembali terdengar mendekat.
“Mas!”
Raina muncul lagi, wajahnya cerah seperti biasa. Ia menatap mereka bergantian, tanpa curiga sedikit pun. “Mas, foto bentar sama teman-teman aku, yuk!”Gavin buru-buru melepaskan genggaman tangannya, lalu menghampiri Raina yang langsung menggandeng lengannya.
Sira menarik napas dalam, kepergian Gavin menyisakan rasa dingin. Ia menggenggam telapak tangannya sendiri. Mencari sisa-sisa jejak tangan suaminya yang sedang coba ia pahami.Sabtu. Hari perjanjian itu tiba.Tepat pukul dua siang, ponsel Sira berdering. Nama Orang Tua Bintang terpampang di layarnya."Halo?" Sira menjawab dengan suara sedikit bergetar, ada keraguan dan ketakutan dalam dirinya untuk menghadapi pesta malam ini."Aku sudah di depan," suara bariton Prabu terdengar tenang. "Sekarang? Tapi aku belum siap! Kenapa tidak memberi tahu dari tadi?" nada suara Sira berubah menjadi bingung dan terkejut dengan kehadiran Prabu yang tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya."Tenang, Sira!" Prabu terkekeh mendengar kehebohan suara Sira."Bagaimana aku bisa tenang? Aku bahkan belum tahu harus mengenakan apa dan berdandan seperti apa? Bagaimana kalau aku mempermalukanmu? Bagaimana—""Hei, tenang!" Prabu buru-buru memotong kalimat Sira, sebelum perempuan itu semakin bingung dengan ketakutan di pikirannya sendiri. "Tenang, dan dengarkan aku bicara!"Sira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya dan menunggu Prabu melanjutkan bicaranya."Aku di sini untuk memban
Tantangan Sira menggema di seluruh ruang tamu. Kalimat-kalimat yang menyinggung pernikahan tanpa hak dan kewajiban mereka menusuk jantung Gavin, namun tidak seperti yang Sira harapkan, Gavin tidak gentar.Gavin menatap Sira lurus, wajahnya keras dan menahan emosi. "Jangan bercanda, Sira," ujar Gavin, suaranya kembali sedingin es. "Aku tidak bisa menceraikanmu semudah itu.""Kenapa? Bukankah itu yang kamu inginkan sejak awal?" Sira balas menuntut, air matanya masih mengalir deras. "Kamu tidak mencintaiku, dan kamu sendiri yang bilang kita tidak punya hak dan kewajiban! Jadi apa lagi yang menahanmu, Gavin?"Gavin melangkah mundur sedikit, seolah ingin menghindari pertanyaan dan tuntutan Sira yang penuh amarah.Tepat di saat yang sama, ponsel Gavin yang tergeletak di meja berdering nyaring. Nama My Wife dengan emoticon love merah muncul di layar. Suara dering itu bagai alarm yang mengingatkan Gavin akan kenyataan lain. Ia mendadak terlihat lelah, seluruh emosi yang memuncak tadi seketik
Pukul menunjukkan jam tujuh malam lebih ketika Sira akhirnya tiba di rumah. Matahari telah lama tenggelam, meninggalkan langit dalam nuansa hitam dan abu-abu. Sira berjalan gontai, kelelahan fisik dan emosional setelah seharian menghadapi berbagai masalah dan mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.Lampu ruang tamu menyala. Sira menoleh dan jantungnya langsung mencelos. Gavin telah duduk tegak dengan kemeja kantor yang masih rapi, tapi raut wajahnya sama sekali tidak santai. Ia menatap Sira dengan tatapan mata yang keras, penuh ketegangan, seperti menahan emosi yang siap meledak.Sira menelan ludah. Sebelumnya ia berharap laki-laki itu akan menghawatirkannya dan berempati padanya. Tapi sekarang sepertinya dia hanya akan menambah beban mental dan emosinya."Dari mana?" tanya Gavin dingin, tanpa mengucapkan salam, tanpa sedikit pun keramahan. Suaranya rendah, tetapi menusuk.Sira berjalan mendekat, meletakkan tas dan ponselnya yang sebelumnya ia genggam di atas meja. "Ada urusan,"
Sira kehabisan akal. Otaknya buntu tak menemukan jalan keluar, kecuali ide gila yang akhirnya membawanya untuk bertemu Prabu sore ini.Seharian terjebak di sekolah dengan kisah pelakor yang masih menjadi topik hangat di sekolah benar-benar membuatnya jengah. Apalagi ketika ia dimintai pendapat oleh salah seorang guru yang mengatai pelakor dalam surat ancaman itu."Sira, menurut kamu pelakor itu benar-benar ada apa gak di sekolah kita? Kalau menurut aku nih, ya.... Pasti ada, gak mungkin lah orang itu iseng dengan membuat ancaman kayak gitu. Masalahnya kan ini ancaman buat guru, bukan buat anak-anak yang cuma sakit hati karena cinta monyet." Bisik Bu Tuti memulai perghibahannya siang itu ketika jalan beriringan dengan Sira usai keluar dari kelas yang meraka ajar menuju kantor.Sementara Sira hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menahan malu sambil menggeleng pelan, tak ingin menanggapi guru sejarah yang terkenal dengan 'lambe turah' nya karena senang sekali membicarakan orang lain."Ja
Semangkuk mie kuah masih mengepul mengeluarkan panas di atas meja makan. Sira menghela napas sebelum mulai menyendok kuahnya.Sejak pagi tadi, ini adalah makan pertama yang masuk melewati tenggorokannya. Saat ini ia lapar, tapi sama sekali tak memiliki nafsu untuk makan.Gavin masih tak menghubunginya, menambah luka dan duka yang meliputi hatinya. Setelah apa yang ia lakukan selama akhir pekan ini, kini ia kembali menghilang seakan tak pernah terjadi apapun, seperti sebelumnya mengganggap Sira seakan tidak ada.Sira tahu Gavin sibuk mengurusi semua kekacauan karena surat ancaman itu, dan Sira tahu sifatnya yang kadang cuek itu juga tidak bisa dirubah, tapi bagi Sira tetap terasa menyakitkan mengingat bagaimana perhatian Gavin padanya kemarin tapi sama sekali tidak peduli sekarang.Sira sempat berpikir rasa cintanya untuk Gavin telah sepenuhnya hilang, tapi sepertinya ia salah. Sebelumnya ia hanya terbiasa tanpa Gavin, tapi begitu lelaki hadir lagi rasa itu akan dengan mudah kembali.S
Sira menatap sekotak tisu dari mobil Prabu yang disodorkan di hadapnya tanpa memedulikan beberapa orang yang berlalu lalang sambil melihatnya di taman kota siang itu.Prabu menggoyangkan kotak tisunya yang tak kunjung mendapat sambutan.Sira menghela napas, lalu menarik selembar tisu dari kotak dan menghapus sisa-sisa air mata dan menyeka hidungnya yang berair tanpa sungkan pada Prabu yang kini membuang muka setelah meletakkan kotak tisu di bangku taman, tepat di tengah-tengah mereka duduk."Gak mau tanya saya nangis kenapa?" tanya Sira akhirnya membuka suara setelah keheningan panjang di antara mereka.Prabu menggeleng pelan, lalu berbalik menatap Sira."Jari kamu kenapa?" Tanya Prabu yang sepertinya baru menyadari jari telunjuk Sira yang dibungkus plaster luka lucu berwarna biru."Luka, kemarin.""Kenapa?""kena pisau." "Kok bisa?""Ya bisa, kenapa enggak," sahut Sira sekenanya."Dalam ya lukanya?" tanya Prabu lagi seakan terus mencari topik pembicaraan lain yang tak penting."Gak,







