"Jadi pergi gak nih?" Kuarahkan pandangan pada Dewa.Tampak dia sedang mengacak rambutnya. Sepertinya Dewa sangat kesal hingga pertanyaanku pun tidak dia hiraukan. Dia justru terfokus pada ponsel yang berada di genggamannya.Seketika aku termangu, hanya diam menatap wajah tampan Dewa. Seandainya saja pernikahan kami didasari cinta, pasti hidupku bakal sempurna. Namun, kenyataannya berbeda. Pemilik wajah tegas itu sangat tidak mengharapkan kehadiranku dan justru terang-terangan menjalin hubungan dengan wanita yang dia sebut cinta pertamanya di depanku. Sakit? Tentu sakit, tapi apa boleh buat. Aku cukup sadar diri. Diriku hanyalah ratu tanpa mahkota."Ya udah kalo gak jadi pergi." Kuayunkan tas hendak meletakkannya di atas meja.Namun, seketika Dewa menyambar tanganku dan membawa keluar. Usai mengunci pintu, tangan Dewa masih menyeretku hingga aku kesulitan untuk mengimbangi langkahnya yang panjang."Lepasin! Apa-apaan, sih, main geret-geret aja. Dikira aku ini maling?" Kuhempaskan tang
"Kamu niat pergi gak? Kalau mau asyik teleponan, ya mending tinggal aja." Dewa berbicara, tapi arah matanya tertuju pada layar ponselku."Kamu ngobrol sama cowok?" lanjutnya sambil memandangku lekat."Kenapa? Kamu cemburu?" Aku membalikkan pertanyaannya. Kemudian, kuambil kembali ponselku."Jangan GR. Aku gak bakal cemburu sama kamu." Dewa langsung beranjak menuju mobil dan segera masuk kendaraan tersebut.Sejenak aku mematung karena melihat Dewa masuk mobil tersebut. Biasanya kami diantar sopir, kenapa sekarang dia yang menyetir sendiri?"Kenapa diam di situ? Gak mau naik?" Dewa langsung menyalakan mesin mobil.Gegas aku naik dan duduk tepat di sampingnya. Kemudian, kuperbaiki posisi duduk sambil memangku tas kecil. "Kenapa kamu yang nyetir sendiri? Emang gak ada sopirnya?""Kenapa? Kamu ragu kalau aku yang nyetir? Tenang aja, aku gak bakal bawa kamu nyasar." Dewa menjawab sambil fokus melajukan mobil. Kemudian, dia mengambil ponsel yang diletakkan di dashboard.Seketika aku mendengk
"Siap, Ibu. Terus, kapan mau pemotretannya, Bu? Maksudnya mumpung kami ada di sini." Akhirnya Dewa ikut menyetujui. Kemungkinan itu hanya berpura-pura."Oke, Om. Sekarang boleh? Daripada saya harus bayar selebgram, ini kan ada tantenya. Jegeg." Bu Danton terus mengelus-elus pundak.Aku hanya mematung. Kulihat ke arah Dewa dia tampak sangat kesal, tapi berpura-berpura tersenyum di depan dantonnya. Kemudian, Bu Danton memanggil salah satu karyawannya. Mereka datang dengan membawa kamera. Setelahnya, kami melakukan pemotretan."Wah, Tante kayak model. Katanya Om tadi gak ada bakat jadi model? Ini namanya mah bakat terpendam, Om?" Bu Danton melirik ke arah Dewa."Oh, siap, Bu. Kayaknya seperti itu, Bu," jawab Dewa pelan.Aku hanya tertawa dalam hati melihat tingkah Dewa yang sangat lucu. Dia belum tahu siapa aku. Wanita yang dia hina dan hendak dia buang, kuyakin suatu saat dia akan menyesali semuanya.Usai pemotretan, kami kembali duduk bersama dan berbincang lagi. Tampak Dewa sudah tak
"Kamu udah pesan makan?" tanya Dewa.Aku mengangguk. "Udah. Kalian juga mau makan?" "Ya iyalah, emangnya kamu aja yang laper? Aku juga laper lah, apalagi habis belanja tadi. Yang, kakiku pegel banget, nih." Nindi bergelayut manja di lengan Dewa.Dewa menoleh ke Nindi. "Nanti kamu ke spa aja biar enakan badanmu.""Aku gak mau, Yang. Aku maunya kamu yang pijitin." Nindi masih bermanja-manja dengan suamiku.Melihat tingkahnya, rasanya aku ingin menimpuknya dengan tempat tisu di hadapanku ini. Tapi, itu semua tak akan menyelesaikan masalah. Justru Dewa akan ilfeel padaku. Satu-satunya cara melenyapkan wanita tak tahu diri itu, ya secara halus.Dewa langsung memesan makanan. Tak lama, pesananku datang. Tanpa memedulikan mereka aku segera melahap menu di hadapanku itu.Setelah makananku habis, pesanan Dewa dan Nindi datang. Karena tak tahan melihat kemesraan mereka, aku beralasan ke toilet karena berada di sini hanya seperti obat nyamuk. Kebetulan juga aku ingin buang air kecil, sejak tadi
"Kamu kenapa, sih, Sayang? Tiba-tiba, kok malah deketin perempuan kampungan itu?" protes Nindi kesal.Dewa sontak meletakkan jari telunjuk di bibirnya seraya memberi kode agar Nindi tak bersuara. Wanita itu hanya melenguh dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain."Angkat gak ini?" Aku masih menimang ponsel seraya memandangi layar yang menyala karena panggilan dari Mami."Ngapain deket-deket aku? Kamu takut? Sana, duduk sama pacarmu aja," lanjutku sambil mendorong tubuh Dewa.Terpaksa lelaki berwajah tegas itu menuruti permintaanku dan kembali ke tempatnya semula. Mukanya tampak kusut. Sepertinya dia kesal dengan ucapanku. Namun, aku tak peduli. Segera kuusap tombol hijau ke atas dan panggilan dari Mami otomatis tersambung."Hai, Mami," sapaku sambil tersenyum lebar.Tampak Mami di seberang mengangkat tangannya balas menyapaku. Beliau juga seperti sedang memegang sesuatu."Mami lagi ngapain?" Mataku seketika mengarah pada Dewa dan Nindi.Suamiku itu tampak diam seperti kucing tersir
Akhirnya, kuborong semua dagangan kakek tua tersebut. Seketika kulihat binar di matanya. Sepertinya beliau senang karena dagangannya tak tersisa."Makasih, Nak. Semoga rezekinya lancar." Beliau berbicara seraya mendoakanku, lalu tangannya cekatan memasukkan kerupuk dan kacang rebus ke dalam kantong plastik berwarna hitam yang sudah sedikit lusuh. Sepertinya plastik tersebut bukan plastik baru. Tak mengapa."Aamiin. Sama-sama, Pak," jawabku sambil menerima plastik tersebut, lalu kembali ke tempat Dewa dan Nindi berdiri.Setelah itu, kami menuju parkiran dan segera meluncur ke Monkey Forest. Setibanya di sana, tempatnya sudah sepi. Tak ada satu pun pengunjung yang datang.Setelah membayar tiket masuk, kami bertiga masuk ke kebun. Kulihat banyak monyet berkeliaran.Aku sangat menikmati suasana yang sepi dan menenangkan itu sambil melempar kacang rebus yang kubeli tadi. Sementara kudengar suara jeritan Nindi yang ketakutan melihat monyet. Selama berjalan mengelilingi kebun binatang, wanit
"Eh, iya. Tapi ini udah bener kok, nanti ini tembus pertigaan yang mau ke resort itu." Dewa kembali menimpali."Sayang, tapi ini gak ada rumah sama sekali. Aku takut, Sayang." Tampak Nindi meremas tangan Dewa."Halah, kota sekecil ini gak mungkin kita nyasar," timpal Dewa percaya diri.Aku sudah pasrah. Kusandarkan badan ke jok. Perasaanku mengatakan bahwa jalan yang diambil Dewa itu salah. Semakin jauh kami tak mendapati perumahan. Kami kembali melewati daerah persawahan yang tak ada jaringan. Ah, sial."Wa, tapi ini udah magrib. Masa kita muter-muter di jalan aja? Harusnya kita udah nyampe karena jarak dari Monkey Forest ke resort itu paling lama sekitar satu jam. Tapi, kita udah berjam-jam gak nyampe-nyampe," protesku lagi.Tampak Dewa memegangi kepalanya. Sepertinya dia mulai sadar. Namun, dia tak mau menunjukkan. Dia masih saja kekeh jalan yang dia ambil itu benar.Hari makin petang, tapi kami masih di perjalanan. Beberapa saat kemudian, kulihat di ujung sana ada penerangan yang
Nindi balik menatapku tajam. "Kamu kenapa begitu berharap sama Dewa? Padahal kamu udah tau kalau dia gak cinta sama kamu?"Mendengar ucapan Nindi, sedikit kuhela napas berat. "Aku bukan berharap, tapi mencoba menjalani takdir. Selain itu, aku juga gak mau main-main dalam pernikahan. Segala sesuatu yang telah dipersatukan oleh Tuhan, gak akan bisa dipisahkan oleh manusia."Wanita itu malah mencebik. "Tapi, kamu gak akan bisa miliki Dewa. Dewa itu milikku. Kalian hanya tinggal nunggu waktu aja."Aku balik menghadap ke arah Nindi. "Dengerin aku. Kamu itu harusnya bisa move on. Kita ini sama-sama perempuan. Seandainya kamu di posisiku gimana? Terlepas dari perjodohan, Dewa itu statusnya udah suami orang.""Masa bodoh. Aku sama Dewa itu saling mencintai. Kamu yang harusnya sadar diri udah hancurin kebahagiaan kami." Nindi bangkit seraya melipat tangannya di dada."Kita liat aja nanti," balasku masygul.Kulihat dari tatapannya, wanita itu benar-benar telah dipenuhi amarah. Namun, aku masih