Share

07. Kedatangan Rayhan

 

Aluna menatap wajah mertuanya. “Lantai dua, bukannya kamar tamu ada di bawah?” tanya Aluna bingung.

“Iya tapi saya mau dia di kamar atas. Lagian banyak kamar di sini, kan, kamu keberatan?” sindir Bu Rini dengan senyuman merendahkan.

“Ma, tapi ini sangat berat dan Luna enggak ...

“Kenapa? Enggak bisa begitu, ayolah Luna membawa koper itu tidak akan memakan waktu sampai semalaman kan, katanya kamu wanita yang kuat, kalau begitu buktikan dong jangan hanya omongan saja. Oh ya satu lagi jangan membuat alasan karena kamu cacat sehingga tidak mau mengangkat koper itu,” lanjut Bu Rini menekankan.

Aluna menghela napas panjang, dia tidak mau berdebat lagi toh hasilnya tidak ada yang mendukungnya selalu dia yang harus mengalah. Mau tak mau Aluna menyeret dengan perlahan untuk bisa sampai dianak tangga. Ardan melihat sekilas dan ada sedikit rasa empati tapi karena Delia mengajaknya mengobrol sehingga pria tampan itu kembali mendengarkan ocehan Delia.

Namun, sesekali hatinya terusik saat istrinya perlahan-lahan menyeret koper itu lagi.  

“Apakah dia bisa membawa koper besar itu? Apa saja sih isinya? Dasar wanita,”  tanyanya dalam hati.

“Mas, besok temani aku belanja ya,” rengek Delia dengan manja membuyarkan lamunan Ardan.

“Oh ya, terserah kamu saja,” sahutnya bersikap peduli dengan Delia.

“Terima kasih ya Mas, kamu memang sangat mencintaiku.” Delia tidak tanggung-tanggung memberikan ciuman hangat di bibir Sulthan. Lagi-lagi Aluna melihatnya. Sorot matanya begitu sayu apalagi  mendengar hal itu, hal kecil baginya tapi tidak pernah terlaksana. Jangankan belanja Ardan bahkan sangat kesal jika bertatap muka setiap hari dengannya.

“Ya Allah, apakah aku harus bertahan di rumah ini? Mereka tidak menghormatimu dan sekarang Mbak Delia, dia tidak mempunyai rasa malu berciuman dengan suami orang,” gerutunya dalam hati dan kemudian berpaling ke samping.

Sudah hampir dua tahun tinggal di rumah besar itu tapi tidak sedikit pun Ardan atau yang lainnya peduli dengan kehadiran Aluna. Hanya Tuan Ardin, Raina dan para pelayan yang selalu ada untuknya, menghibur dan mendengarkan keluh kesah seorang Aluna meskipun wanita cantik itu jarang mengeluh dengan apa yang mereka lakukan kepadanya bahkan banyak yang penasaran apakah cacat yang diderita oleh dirinya apakah dari lahir atau tidak. Banyak orang yang tidak mengetahuinya karena permintaan Aluna sendiri untuk merahasiakannya. Tidak ada yang tahu bahkan Bu Rini dan Sari tidak mengetahuinya.

“Sayang kita duluan ke kamar, aku capek banget,” ucap Delia manja.  Ardan pun mengangguk dan tersenyum lalu  berdiri dan menggandeng tangan Delia melangkah pergi meninggalkan Luna dengan dua koper besar itu.

“Luna, semangat ya, maaf aku pinjam suamimu dulu,” ucapnya Delia saat melewati Aluna. Ingin marah dan berteriak rasanya tapi apalah daya dia pun tak mampu. Kadang ingin melawan mereka tapi Luna selalu mengingat kebaikan Tuan Ardin sehingga tidak ingin menyakiti keluarganya.

Merasa tidak ada pergerakan Bu Rini kembali menjentikkan jemarinya agar Aluna tersadar dari lamunannya.  “Apa yang kamu lihat? Cepat kerjakan jangan membuat tensi saya naik hanya karena kamu!” bentaknya lagi.

Aluna kembali melanjutkan langkahnya untuk bisa berhasil menaiki anak tangga. Bu Rini dan Sari begitu bersemangat mengerjai wanita cantik itu. Delia dan Ardan sudah sampai di atas, tapi tiba-tiba saja Delia memutuskan untuk melihat Aluna berusaha naik dengan membawa koper milik Delia.

“Sayang, Ayuk kita ke kamar aku sudah capek nih,” ucap Ardan berusaha membawa kekasihnya itu pergi dari sana.

“Kenapa, aku ingin lihat sampai mana wanita cacat itu bisa sampai di atas dengan membawa dua koper besar milikku,” jawab Delia dengan tersenyum jahat.

Ardan jadi ikut memperhatikan Aluna yang sudah payah memindahkan koper itu satu per satu ke anak tangga. Delia melihat Ardan yang begitu tegang. Tangannya mengepal kuat di penyangga tangga.

“Kamu sudah mulai ada rasa dengan wanita cacat itu?” sindir Delia dengan wajah cemberut.

“Aku mau balik ke kamar, jika kamu mau di sini melihatnya, silakan.”

“Sayang, sebentar lagi aku mohon ...

“Ada apa denganku, kenapa aku mempunyai rasa kasihan sama wanita itu? Aneh sekali,” batin Ardan bingung sekaligus penasaran.

Ardan masih bingung dengan perasannya. Sedangkan Delia masih fokus melihat Aluna yang kewalahan bahkan air keringat sudah membanjiri badannya.

“Rasakan kamu Aluna, untung saja dia tidak mengenal aku jika tidak tamatlah riwayatku untuk masuk di keluarga ini. Kamu tidak bisa menang dari aku, selama aku tinggal di sini akan aku pastikan kamu keluar dari rumah ini dan akulah yang akan menggantikan kedudukan kamu sebagai seorang istri Ardan,” gerutu Delia dalam hati sambil menyeringai dengan jahat.

“Sepertinya Delia sangat menikmati penderitaan Luna, dan wanita bodoh itu masih saja mau melakukannya, kenapa sih tidak melawan, mau saja menuruti Mama? Sangat menyebalkan,” pikir Ardan dalam hati.

Aluna sudah sampai di tengah anak tangga. Dia kembali beristirahat sejenak untuk mengatur napasnya yang mulai ngos-ngosan.

“Ayuk dong Luna yang semangat gitu , buktikan kalau kamu bisa,” teriak Bu Rini dari bawah sehingga Ardan kembali memperhatikan Aluna.

“Apa yang dikatakan Mama benar Lun, kamu pasti bisa. Orang cacat juga bisa melakukan lebih loh, aku selalu mendukungmu dari belakang!” teriak Sari tak kalah hebohnya sehingga para pelayan ikut memperhatikan apa yang dilakukan majikannya itu, terutama Mbok Asih dan Sarah. Mereka tidak tega melihat Luna melakukan pekerjaan itu.

“Ya Allah Neng Luna, kasihan banget disuruh bawa koper gede gitu, Den Ardan juga hanya bisa menjadi penonton,” protes Mbok Asih saat mengintip dan melihat apa yang terjadi saat itu.

“Sarah juga kasihan Mbok, tapi kita hanya pelayan nggak mungkin kita menolong Mbak Luna kalau enggak mau kita dipecat, cari kerja yang halal susah apalagi Sarah hanya tamatan SMP,” jawab Sarah dengan linangan air mata.

“Betul juga sih lagian kalau kita dipecat kasihan Neng Luna sendirian di sini toh, enggak ada teman ngobrol meskipun dia juga sedikit tertutup, kita aja belum tahu kenapa kaki Neng Luna cacat, setahu Mbok sih enggak  deh,” pikir Mbok Asih mengingat-ingat.

“Coba tanya Mbok Darmi toh?”

“Kamu kayak enggak tahu Mbok Darmi saja dia itu pelupa sudah pikun, makanya kadang enggak nyambung kalau diajak bicara, mana ingat dia kejadian yang baru apalagi yang lama?” sahut Mbok Asih ikutan bingung.

“Jadi kita nonton aja nih?”

“Saya sih berharap saat Neng Luna terjatuh ada seorang pria yang datang menyelamatkannya kayak film-film gitu, yang jelas bukan Den Ardan,” gerutu Mbok Asih.

“Aamiin, Sarah setuju,” sahutnya sambil memperhatikan mereka kembali.

“Cepatan Luna, sudah sepuluh menit kamu di sana, buruan!” teriak Delia dari atas.

“Iya, jawab Luna singkat. Dia pun segera melanjutkan langkahnya. Namun, saat ingin menaiki anak tangga berikutnya tiba-tiba  saja tongkat penyangganya belum sempurna benar untuk sebagai tumpuan tubuhnya sehingga tubuh wanita cantik itu mulai goyah dan akibatnya  tubuh Aluna tak mampu mengatur keseimbangan.

Aluna!” teriak Ardan saat tubuh istrinya hampir terjatuh tapi ternyata tidak sampai kecelakaan itu terjadi.

Aluna sudah pasrah jika tubuh terjatuh dan  dia belum  menyadari kalau ada sebuah tangan kekar itu menarik dan memeluknya seketika. Wanita cantik itu mengatur napasnya dan masih menutup mata. Beberapa detik kemudian dia baru menyadari ada yang telah memegang tubuhnya.

Kedua matanya terbuka lebar saat melihat Ardan  masih berada diatas dengan wajah yang sulit diartikan.

“Kamu tidak apa-apa?” tanya pria itu. Kedua mata mereka bersisi tatap. Sedikit lama karena jarak mereka sangat dekat. Sadar bukan suaminya yang menyentuhnya Aluna langsung bangkit dari kembali mengatur posisinya.

Entah kenapa Ardan melihatnya sangat marah. Dia pun memutuskan untuk menuruni anak tangga dengan cepat untuk menghampiri mereka berdua.

Delia pun terkejut saat melihat wajah Ardan berubah merah padam.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status