“Sayang ada apa? Kenapa kamu melihat dia seperti mau marah gitu?” tanya Ardan sambil merangkul pinggang ramping Delia. Aluna melihatnya, bohong kalau dia tidak cemburu, tapi apalah daya Ardan lebih menyukai wanita seksi itu daripada istrinya yang cacat.
“Oh enggak apa-apa, Sayang.” Delia mendaratkan satu ciuman di pipi suaminya membuat Aluna semakin tidak tahan dengan kelakuan mereka.Akan tetapi dia tidak mau bertindak gegabah, sebisa mungkin menahan hati agar bersikap tenang.Wanita cantik itu tetap melayani tamu yang datang. Tamu kehormatan bagi mereka sehingga semuanya sangat bahagia menyambutnya. Gelak tawa masih terdengar sampai balik pintu dapur. Dengan kaki pincang Aluna masih tetap mengatur hidangan itu agar terlihat rapi di meja makan. Dia tidak ingin membuat Ardan kecewa.“Sayang, bagaimana kalau kita makan dulu, Tante sudah menyiapkan makanan kesukaanmu, pasti kamu akan ketagihan deh,” ucap Bu Rini bersemangat.“Tante tahu aja kalau perut Delia lapar.” Delia dan lainnya pun sama-sama pergi ke meja makan. Wangi dari masakan itu sudah tercium dari ruang keluarga. Sampai di meja makan pun Delia sangat antusias dan langsung duduk menatap semua hidangan itu.“Tan, Deli enggak sabar mau makan, bisa kita mulai sekarang?”“Tentu saja, Sayang. Ayuk makan sepuasnya jika kurang kamu bisa tambah atau minta dibuatkan lagi.”“Serius, berarti selama Delia tinggal di sini bisa pesan makanan sesuai yang Deli mau?” tanya balik Delia penuh semangat“Iya sayang apa pun,” jawabnya sambil melirik ke arah Aluna.Semua menikmati masakan Aluna, tapi wanita cantik itu tidak bisa duduk bersama di meja makan. Ardan sudah memperingatinya untuk segera menjauh setelah selesai menyiapkan hidangan itu. Mbok Asih dan Sarah tidak bisa membela karena mereka hanyalah pembantu. Mbok Asih dan Sarah sama-sama berusaha untuk menghibur Aluna agar tidak bersedih meskipun mereka tahu kesedihan wanita cantik itu pasti akan terus berlanjut apalagi dengan menginapnya Delia di rumah besar ini.“Bu Luna baik-baik saja toh?” tanya Mbok Asih sedikit khawatir.“Luna sudah biasa, enggak apa-apa kok Mbok. Mbak Delia sangat cantik ya Mbok, kalau boleh jujur Luna memang sangat iri, pantas saja Mas Ardan sangat mencintai Mbak Delia. Pria mana pun pasti akan terpikat olehnya,” sahut Luna saat mereka berada di taman belakang.Mbok Asih bisa melihat dan merasakan begitu sedihnya Aluna yang tidak dianggap sebagai istri, bahkan pikirnya mungkin jika dia diposisi Aluna sekarang tidak akan kuat.Wanita paru baya itu pun duduk di sebuah gazebo. Pandangan Aluna lurus ke depan. “Apa yang Bu Luna pikirkan sekarang?”“Jangan panggil Bu, dong Mbok, Luna masih muda, panggil Luna atau apa yang penting enggak ada Ibunya,” protes Luna dengan bibir mengerucut.“Iya deh maaf, Neng Luna aja ya,” sahutnya sambil terkekeh.“Mbok tahu, Luna juga tidak mau menikah dengan Mas Ardan, dia terlalu sempurna buat Luna, tapi ...“Neng, Mbok masih bingung tapi jangan tersinggung ya , mohon maaf sebelumnya. Apakah cacat Neng itu dari lahir atau kecelakaan? Soalnya kalau cacat lahir tidak seperti ini bentuknya, Mbok rasa kaki Neng ini cacat karena kecelakaan ya?” tanya Mbok Asih yang sedari tadi memperhatikan kaki cacat. Aluna bingung untuk menjawab karena memang dia tidak ingin banyak yang tahu kejadian yang sebenarnya. Saat ingin mengatakan sesuatu tiba-tiba saja “Taraaaaa ... Sarah datang dengan membawa nampan besar yang berisi tiga piring nasi lengkap dengan lauk pauknya.“Wah kamu tambah pintar saja, kebetulan saya juga lapar, kita makan sekarang?” Mbok Asih mengambil piring itu untuk Aluna dan dirinya. Mereka duduk bersama. Namun, saat ingin menyiapkan makanan itu terdengar suara Bu Rini memanggil. Mau tak mau Aluna melepaskan piring itu dan menaruhnya kembali.“Neng, biar saya saja, Neng makan dulu ini sudah jam tiga Neng belum makan siang loh.” Mbok Asih mengingatkan.“Enggak apa Mbok, lagian Mama memacari Luna bukan nama kalian, kata orang jangan membangunkan singa yang lagi tidur,” jawab Aluna sambil terkekeh.“Berarti Bu Rini singa dong,” celetuk Sarah.“Hussth nanti kalau ada yang dengar kita kena marah lagi,” sahut Mbok Asih.Aluna segera pergi dari sana, sedikit sakit tapi dia berusaha untuk cepat melangkah meskipun harus tertatih-tatih.“Aluna! Di mana kamu?” teriak Bu Rini berkali-kali meskipun dia tahu kalau Luna berada di taman belakang. Tak lama kemudian dengan berjalan pelan dan terlihat oleh Bu Rini.“Lihat begitu susahnya dia berjalan, bagaimana kamu menemani Ardan dana segala acara, sangat memalukan! Saya jadi bingung dengan suami saya kenapa kamu begitu istimewa sampai orang miskin sepertimu bermimpi menikah denganmu?” sindir Bu Rini ketus.“Maaf Ma, tadi Mama panggil Luna?” tanyanya saat setelah sampai di hadapan Bu Rini.“Pakai nanya lagi, ya jelaslah siapa lagi kalau bukan kamu, Ayuk ikut saya!” bentaknya dan melangkah pergi kembali ke meja makan. Aluna pun mengikutinya.Bu Rini kembali duduk, sedangkan Aluna masih berdiri menunggu perintah dari sang mertuanya.“Begini Lun, kamu sudah dengar kan apa kata Ardan kalau mulai hari ini Delia akan tinggal bersama kita. Dan saya mau kamu lah yang melayani semua kebutuhannya selama dia tinggal di sini, kamu bisa kan?” tanya Bu Rini dengan tatapan mata yang tajam.Begitu juga dengan Ardan dan Delia yang begitu senang karena bisa bersama lagi. Luna hanya mengangguk dan menggerakkan tubuhnya untuk mengambil koper milik Delia agar bisa menyeretnya ke kamar.“Hey kamu, kemarilah!” bentak Bu Rini.Aluna berhenti dan menoleh ke arah Bu Rini. “Ada apa Ma?” tanya Luna bingung sekaligus penasaran.“Kamu bawa koper itu di lantai dua, tanpa menggunakan lift, bisa kan?” tanya Bu Rini dengan senyuman mengejek. Sedangkan Luna terdiam melihat anak tangga yang akan banyak dilewati dengan kakinya seperti itu."Ya Allah, bawa dua koper besar itu dengan menaiki anak tangga itu? Apakah aku bisa?" batin Alina.Bu Rini berdiri dan menghampiri luna. "Saya mau lihat sampai di mana nyalimu untuk bisa menaiki anak tangga itu dengan kakimu yabg cacat, agar kamu sadar kalau kamu tidak pantas untuk anak saya," ucap Bu Rini sedikit berbisik di telinga Aluna.Naya bangun dan melihat Ardan sedang menutup matanya. “Apakah Abi sangat kelelahan sehingga di jam seperti ini masih bisa beristirahat?” gumamnya dalam hati sambil menatap kearah Ardan. Naya beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan-lahan lalu sampai lah dia di sofa tempat Ardan duduk dengan posisi sang masih sama. Muncul dalam pikirannya untuk bisa meringankan masalah yang dihadapi olehnya. Gadis kecil itu pun berinisiatif untuk memijat kening Ardan dengan tangan kecilnya. Ardan pun belum menyadari siapa yang telah membuatnya sedikit rileks. Dia beranggapan kalau itu adalah tangan Aluna. Ardan pun mengingat masa lalu saat tanpa disuruh Aluna langsung memijat kening Ardan begitu lembut. Awalnya menolak karena menjaga gengsi tapi lama kelamaan pijatan itu semakin terasa enak dan membuat Ardan tertidur. “Luna?” panggilnya seketika dan mengagetkan Naya yang sedang memijit keningnya. Mata Ardan melotot seperti hampir keluar dari tempatnya. “Na—naya?” Ardan masih tidak percaya
Wajah imut menggemaskan membuat pria tampan itu tidak bosan memandangnya. Baru kali ini Ardan bisa melihat putri kandungnya terlelap dalam mimpi. Dia pun tak menyangka jika telah dianugerahi dengan buah hati yang cantik dan sholehah. Seketika lamunannya tersadar bagaimana dia bisa sampai disini, apakah hati Aluna sudah mencair karena mau mengizinkan putrinya bersama ayah kandungnya sendiri?“Anaya? Dia di sini juga? Apa Dena sudah meminta izin untuk membawanya ke sini?” tanya Ardan kembali terkejut.“Nggak Pi, soalnya hari Tante Luna tidak masuk mengajar dia sibuk dengan orderan, kata Naya sih. Tadinya juga Naya nggak dijemput makanya Dena bawa saja ke sini,” jelasnya.“Jadi Tante Luna tidak tahu dong kalau Anaya ada di sini?”“Iya Pi.”“Gawat ini Dena, kenapa kamu tidak beritahu Tante Luna, kamu kan bisa menghubunginya?” Ardan begitu panik karena Aluna akan marah besar dan akan menuduh kalau Ardan lah yang merencanakan semuanya. “Papi lupa ya ponsel Dena kan sama Papi dan sekarang
Mengingat masa lalu itu Ardan semakin marah. Apalagi dia menyalahkan Tuan Ardin atas semua yang terjadi. Menurut Ardan seandainya Tuan Ardin mengatakan siapa Aluna sebenarnya tentu tidak akan seperti ini.Hubungan antara ayah dan anak itu pun menjadi renggang, akan tetapi Ardan masih peduli dengan Tuan Ardin sehingga masih mau merawatnya sampai sekarang ini. Pria tua itu kini kembali sakit-sakitan karena terus memikirkan Aluna. Sedangkan Ardan antara marah dan merasa bersalah karena dirinya sendiri yang tidak peka dengan Aluna.“Kenapa Papa menyembunyikan hal sebesar ini? Kenapa Pa? Dan Aluna kenapa juga tidak memberitahukan kalau dia yang telah menolongku dari kecelakaan, bahkan kakinya menjadi korban karena aku! Aku memang tidak bisa melihat kebaikan Aluna, bahkan dia rela bertahan selama dua tahun dari keluarga ini padahal dia sudah banyak membantu. Aku tidak bisa diam begitu saja, aku harus mencarinya tapi di mana? Sedangkan nomor ponselnya saja sudah tidak aktif dan menyuruh or
Lima belas menit perjalanan akhirnya mereka sampai di sebuah gedung menjulang tinggi. Naya sampai tertegun saat melihat gedung dan sekitarnya yang begitu indah di pandang mata. Pak supir menurunkan mereka di halaman parkir. Dena yang sering pergi ke kantor ayahnya sudah terbiasa untuk keluar masuk di gedung itu. “Sungguh ini kantor Abi? Tinggi sekali? Apakah banyak orang di dalam sana?” tanya Naya dalam hati begitu takjub melihatnya.Dena memperhatikan Naya yang begitu lugu melihat bangunan itu. “Apakah kamu tidak pernah melihat gedung-gedung seperti ini?” tanya Dena bingung. “Pernah lihat tapi hanya di televisi. Ini sungguhan kan?” Naya begitu bersemangat untuk mengitari pemandangan itu. “Ya iyalah, masa mainan. Ayuk, kita masuk!” “Tunggu Dena!” panggilnya lagi.“Ada apa, Naya?” Naya berlari kecil menghampiri Dena yang telah jalan duluan. “Memang anak kecil seperti kita boleh masuk ke sana , nanti kalau diusir bagaimana?” tanya Naya meragukan.“Naya sayang, kantor ini milik P
Mendengar ucapan Bu Nia Aluan pun terkejut. Bu Nia kembali menjelaskan kalau Dena sendiri yang berinisiatif membawa Naya ikut dengannya, karena sampai di kantor Ardan pun terkejut dengan kedatangan dua gadis kecil itu ke kantornya. Setengaj jam yang lalu ....Bel sekolah telah berbunyi yang menandakan mereka pulang sekolah. Anak-anak berlarian ke luar mencari penjemput mereka. Hanya Naya dan Aluna yang belum terlihat. Meskipun Naya tahu kalau hari ini Umminya sedang sibuk dengan pesanan orderan yang semakin meludak. “Naya, kamu belum dijemput ya?” tanya Dena polos.“Iya, mungkin Ummi lupa kalo jemput Naya,” sahutnya sedikit kecewa.“Dena juga belum di jemput, hari ini. Papi juga sibuk pasti papi tidak menjemput Dena .”“Nasib kita kok sama ya?” tanya Naya menatap sendu.“Kita tunggu di luar yuk!” ajak Dena kembali bersemangat.“Oke!”Mereka pun melangkah pergi untuk sampai di depan gerbang sekolah. Pak Agus melihat mereka berdua saling berpegangan tangan “Kalian berdua belum dije
Hari-hari berlalu dijalani oleh dua keluarga yang berbeda. Dena semakin akrab dengan Naya. Mereka begitu lengket bagaikan prangko, selalu bersama-sama. Dena pun memang tak pernah lagi ikut menertawakan Naya jika dia kena di bully malah Dena yang akan membela Naya jika asa yang berani mengganggu Naya. Aluna semakin sibuk dengan urusan warungnya karena semakin hari semakin banyak orderan yang datang untuknya. Aluna sampai kewalahan untuk mengatasinya sehingga Ardan pun memperkerjakan karyawan tetap untuk membantu Aluna. Ya berkat Ardan yang melobi ke sana kemari untuk memperkenalkan masakan Aluna sehingga banyak yang ingin mencobanya, ada juga yang memesan tiap hari untuk dijadikan menu makan mereka di kantin.Aluna menolak uang pemberian Ardan. Dia berdalih untuk kebutuhan Anaya tapi Aluna tidak mau memakai uang itu dan mengembalikannya kepada mantan suaminya itu. Ardan berpikir keras untuk bisa membantu perekonomian Aluna, sehingga timbul ide untuk membuat warung Aluna semakin dike