Share

Para Monster

11. Para Monster

Aku terkesiap bangun menjelang subuh. Teringat seragamku yang rusak karena ditarik Bapak kemarin. Segera kuambil baju putih lusuh itu dan membawanya mendekati lampu. Kuambil benang dan jarum jahit. Namun sayang beberapa kancing yang terlepas tidak kutemukan. Aku berpikir keras, bagaimana caranya agar bajuku bisa dikancingkan. Hingga akhirnya kutemukan dua peniti berkarat di tembok.

Selesai!

Meski hanya dengan peniti, setidaknya seragam itu masih bisa kupakai. Namun semakin kutatap seragam itu, aku semakin ragu untuk pergi ke sekolah. Teringat Pak Doni, Tino, dan sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti.

Apa Pak Doni marah? Bagaimana kalau dia semakin nekat? Ah, aku mungkin bisa melapor pada guru yang lain.

Tentang Tino ... bagaimana kabarnya? Dia sakit apa, sih?

Pagi sekali sudah kubereskan rumah sebelum akhirnya memandikan Kinara dan diriku sendiri. Aku lantas bersiap ke sekolah. Sempat kulirik gorden kamar Ibu yang terbuka sedikit. Kelihatannya Ibu masih terlelap. Kaina pun tak bersuara, masih tidur. Aku lantas berpamitan pada nenek setelah kuberikan segelas air dan nasi sisa kemarin.

****

"Kau harus sekolah!"

Aku menghentikan langkah tak jauh dari depan rumah Tino. Di depan sana, Tino didorong dengan kuat oleh lelaki yang kemarin memperkenalkan diri sebagai bapaknya. Bocah lelaki itu bangkit dengan cepat dan segera mengenakan seragamnya yang belum terpakai dengan lengkap. Aku bisa melihat tubuh kurusnya yang seolah hanya tulang dibalut kulit tipis.

"Tino takut, Pak!"Tino sempat merengek sebelum akhirnya didorong ke halaman.

“Apa? Kalau tidak begitu darimana kita dapat duit, hah?"bentak bapak Tino dengan galak.

Tino memunguti tas buruk dan sepatunya yang dilempar ke tengah jalan. Aku menelan ludah memperhatikan dia yang melangkah pelan—sedikit kesulitan—memunguti perlengkapan sekolahnya.

"Apa kau lihat-lihat!"

Aku tersentak. Bapak Tino mendelik galak ke arahku. Aku segera menunduk dan berjalan melewati Tino yang masih mengenakan sepatu.

"Awas kalau kau tidak bawa uang ke rumah!"

Aku tak berani lagi menoleh.

****

Di sekolah, mataku tak henti memperhatikan Tino yang duduk diam di bangkunya. Dia menunduk, kadang menempelkan kening di meja, atau meremas tasnya. Saat pelajaran dimulai pun bocah lelaki itu tetap diam. Dia bahkan tidak mengeluarkan bukunya untuk mengikuti pelajaran.

"Oi, tidur aja kau!"

Tino yang menempelkan keningnya di meja terkejut dan nyaris jatuh saat siswa yang duduk di depannya iseng menendang kaki meja Tino. Tino mengangkat wajah, menatap si pengganggu.

"Apa? Nggak terima? Dasar miskin, huu!"

Lagi, kakinya jahil menendang meja Tino. Kali ini disertai dengan tarikan pada tas yang didekap Tino. Tino hanya diam kembali menarik tasnya.

"Apa kau lihat-lihat?"

Aku tersentak. Rupanya siswa bertubuh gemuk itu mengetahui jika aku memperhatikan Tino. Aku langsung melengos dan menundukkan kepala.

"Kalian pacaran aja! Cocok! Sama-sama miskin, haha ...."

Aku menelan ludah. Dalam hati berharap siswa itu tak menghampiriku untuk membully. Namun aku salah, dia mengajak satu temannya mendekatiku, berdiri tepat di samping mejaku.

"Oi, siapa namamu?"

Aku diam.

"Ish, udah miskin tuli, bisu pula!"

Keduanya tertawa terbahak-bahak.

"Hei, kalian itu cocok!" ucapnya menatapku dan melirik Tino yang masih diam. "Pacaran aja kalian, haha!"

"Sstt, ada Pak Doni!"

Siswa gembul itu langsung ngibrit meninggalkanku. Juga Tino yang kini tampak gelisah. Benar, Pak Doni memasuki kelas kami. Senyum khasnya seolah menyatakan bahwa kemarin tidak terjadi apa-apa.

"Sudah sehat, Tino?" tanyanya langsung duduk di kursi depan Tino. Aku tak berani menoleh untuk melihatnya. Kuremas ujung rok dengan kuat, menahan takut.

"Gimana? Mau obat lagi?"

Kuberanikan diri menoleh. Kulihat Tino menggeleng kuat. Dia memeluk tasnya erat.

"Nggak apa-apa! Sebentar aja. Bapak kamu juga nyuruh, kan?"

Pak Doni mengusap kepala Tino pelan. Aku langsung menunduk saat tiba-tiba Pak Doni menoleh ke arahku. Jantungku langsung berdetak kencang dengan keringat yang mulai bermunculan.

Ayo, Kaleena, kabur!

Namun entah mengapa kakiku seolah lumpuh, tak mampu digerakkan. Hingga kemudian kulihat Pak Doni berdiri dan berjalan ke arahku.

"Kenapa Kaleena? Hem?"

Pak Doni mengusap kepalaku pelan. Jemarinya terus mengusap-usap rambut kusutku.

"Seragamnya kok nggak jadi diambil? Nggak suka, ya?"

Aku diam. Mataku mulai panas, menahan tangis. Sungguh, aku benar-benar takut. Bayangan tentang kejadian kemarin terbayang jelas.

"Atau mau seragam yang baru?" tanya Pak Doni mendekatkan wajah ke wajahku. Dia tersenyum lebar. Tidak! Tepatnya menyeringai!

"Dengar!" Pak Doni mencengkeram kepalaku dengan kuat. "Kalau kamu cerita ke orang lain, maka ...." Tatapan Pak Doni menelusuri wajahku lantas turun ke dadaku. Dia tersenyum sinis. "Tamat riwayatmu!" Aku menelan ludah, ketakutan. Tak terasa air mataku mengalir. "Paham?" tanyanya dengan suara sangat lembut. Aku mengangguk cepat.

Pak Doni menepuk pipiku sekali, mengusap rambutku dengan lembut, lantas meninggalkanku. Dia kembali mendekati Tino. Bocah itu bergerak-gerak gelisah, atau ... takut.

"Pulang sekolah langsung ke sana, Bapak tunggu!"

Pak Doni mengusap kepala Tino lantas pergi. Dia sempat melirikku yang masih ketakutan.

Sisa jam sekolah kuhabiskan dengan gemetar dan ketakutan. Sepertinya Tino juga begitu. Aku harus bagaimana? Melapor guru? Ah, mereka bahkan mungkin tidak mengenalku! Siapa yang akan peduli pada siswa miskin sepertiku? Mereka mungkin hanya akan menganggapku mencari perhatian.

****

Saat jam pulang, aku bergegas keluar kelas. Tidak ada kegiatan mengambil sampah hari ini. Aku harus segera pulang untuk menghindari Pak Doni. Namun kemudian ragu karena kulihat Pak Doni sudah berdiri di depan kelas. Dia tengah menunggu seseorang. Bukan aku, karena dia hanya diam saja saat aku melewatinya. Maka dengan cepat aku bersembunyi di balik tembok yang menuju gerbang.

Tino?

Kulihat Pak Doni menyambut Tino yang baru keluar kelas. Bocah itu terlihat pasrah. Tidak ada yang memperhatikan bagaimana kedekatan Tino dan Pak Doni. Semua seolah sibuk dengan urusan masing-masing, atau tak mau tahu.

Merasa penasaran, niatku untuk pulang kuurungkan. Aku memutuskan mengikuti Pak Doni yang membawa Tino. Benar dugaanku, Pak Doni membawa Tino ke ruangannya, lagi. Guru olahragaku itu mengunci pintu setelah celingukan memperhatikan sekitar.

Aku lantas menuju halaman belakang ruang kerja Pak Doni. Aku ingat ada jendela di belakang sana yang mungkin bisa kugunakan untuk mengintip.

Kakiku gemetar saat berjinjit untuk mencapai tepi jendela yang sedikit tinggi. Jemarikupun berkeringat mencoba meraih tepi bingkai jendela untuk berpegangan. Ada celah gorden yang terbuka dan aku akan mengintip dari sana.

Ya Tuhan!

Aku membekap mulutku tak percaya. Aku menggeleng keras seolah hendak menyangkal apa yang dilihat mataku sendiri.

Air mataku perlahan mengalir ketika melihat bagaimana Tino meringis kesakitan. Dia berbaring tertelungkup di meja. Tubuhnya bergerak-gerak karena Pak Doni menghimpit bagian belakang tubuhnya dan mendorongnya berkali-kali.

Apa yang Pak Doni lakukan dengan celana yang sudah melorot hingga ke paha dan celana Tino yang terlepas di lantai?

Tuhan, apakah Pak Doni ...?

Tidak!

Dengan dada sesak menahan tangis aku meninggalkan tempat itu.

Aku harus melapor!

Beruntung aku bertemu satpam sekolah yang sepertinya sudah bersiap pulang. Aku langsung mendekatinya dan dengan napas tersengal mencoba untuk buka suara.

"Pak ...? To—tolong!"

Satpam dengan name tag Romli itu menatapku heran. Bukan karena aku yang ketakutan, tapi mungkin karena baru menyadari jika ada siswa selusuh aku di sekolah ini.

"Tolong temen saya, Pak!" ucapku menunjuk ke arah ruang kerja Pak Doni. "Temen saya anu ... temen saya dianuin sama Pak ...."

Aku urung melanjutkan laporan ketika Pak Romli berlalu melewatiku dan ....

"Pak?" Pak Romli menyapa Pak Doni yang berjalan bersama Tino. Ya, itu mereka.

"Bapaknya Tino sudah di depan," ucap Pak Romli.

Bapaknya Tino?

Pak Romli menunjuk pos satpam. Ternyata sudah ada Bapak Tino di dalam ruangan kecil itu.

"Sudah? Ayo, pulang!" tanya Bapak Tino mendekati putranya.

Tino didorong pelan oleh Pak Doni untuk mendekati bapaknya. Bocah itu terlihat menahan sakit dengan wajah pucat. Aku menelan ludah memperhatikan bagaimana dia berjalan. Sedikit mengangkang dan sangat pelan. Bayangan tentang apa yang dilakukan Pak Doni seketika kembali berputar.

"Ini!" Pak Doni menyalami Bapak Tino. Jelas kulihat jika ada sesuatu di tangan guru olahragaku itu. Bapak Tino terkekeh dan langsung memasukkan benda itu ke kantung bajunya.

"Ayo!"

Bapak Tino lantas membimbing putranya itu mendekati motor butut yang sudah terparkir. Mereka lantas meninggalkan sekolah.

Jadi?

Tidak!

Tidak mungkin Tino diperlakukan begitu oleh Bapaknya sendiri, tapi ....

"Kamu belum pulang, Leena?"

Aku terkejut setengah mati. Pak Doni tersenyum dan melangkah mendekatiku. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menjauhinya. Menuju gerbang yang terbuka sedikit dan terus melarikan diri hingga di belokam depan sekolah. Aku berhenti untuk mengatur napas yang semakin tersengal.

Tunggu!

Aku menoleh, tepatnya mengintip dari balik tembok, untuk meyakinkan penglihatanku yang seperti melihat seseorang di depan gerbang.

Bapak?

Iya. Itu Bapak. Pak Doni terlihat menemuinya. Mereka bersalaman dan saling bertukar senyum.

Bapak kenal Pak Doni?

Kulihat Pak Doni membisikkan sesuatu pada Bapak. Bapak mengangguk dan mengacungkan ibu jari seolah memberi tanda jika dia mengerti.

Apa yang mereka bicarakan?

....

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status