Share

Bab 2 Haris Mulai Sadar

“Bagi harta warisan sama rata?” Maksudnya apa, Bu? Membagi harta warisan sama rata, dengan siapa?”

Ibu mertuaku syok mengetahui siapa yang datang, dia berusaha berkilah agar anak lelakinya itu tak mencapnya buruk.

“Haris, kok, ka-kamu pulang sekarang? Emang hari ini gak ngajar, ya?”

“Ngajar, Bu. Tapi ponselku ketinggalan.Tak disangka, bang Haris kembali pulang untuk mengambil ponselnya yang tertinggal, tepat di saat ibunya menghardikku. "Tadi aku dengar, ibu bilang pembagian harta warisan sama rata, bisa jelaskan sama aku maksudnya apa, Bu?” tanya bang Haris sekali lagi.

“Enggak, enggak apa-apa, kok. Udah dulu, ya, ibu mau pulang aja. Lagian, kan, kalian mau berangkat kerja. Ternyata waktu ibu gak tepat untuk berkunjung ke sini. Ibu mau bantu adikmu jualan aja, ya. Assalamualaikum,” ucapnya lalu pergi.

Begitulah sikap mertuaku tiap dia hampir ketahuan oleh bang Haris. Hingga bang Haris menyangka bahwa akulah dalang yang mengadu domba antara ia dengan ibunya.

“Tadi ibu ngomong apa aja, Dek?”

Aku bingung mau jujur atau bual. Karena rasanya kejujuranku tak berbuah manis di mata suamiku.

“Kata ibu, dia mau kamu bagi harta warisan ladang itu sama rata dengan Hana.”

Suamiku membisu dan segera berlalu setelah aku mengucapkan kejujuran yang ada. Ia pergi melewatiku, mengambil ponselnya yang tertinggal di dalam kamar dan melaju dengan motor jadulnya.

***

Hari ini aku pulang lebih cepat tak seperti biasanya karena pasien tak begitu banyak. Kusempatkan pergi ke pasar lebih dulu untuk membeli sayur dan ikan untuk menu makan malam kami. Merupakan hal yang biasa bila di pasar terjadi tawar menawar antara penjual dan pembeli. Namun di saat aku menawar harga ikan, tiba-tiba datang seseorang yang mencercaku sebegitu hinanya.

“Heh, Yuk! Kok, iso pula kui nawar rega iwak koyok ngono? Kan, kui wis mangan harta warisan jatahku!” (Heh, Kak! Kok bisa pula kau nawar harga ikan kayak gitu? Kan, kau udah makan jatah harta warisanku!) Ya, wanita itu adalah Hana, adik iparku satu-satunya, dia memanggilku dengan julukan yayuk.

“Han, maksudmu apa makan harta warisan? Aku dan abangmu gak pernah makan harta warisan bagianmu sepeserpun. Lagian gak baik bicara masalah pribadi di tempat umum kayak gini,” ucapku yang segera bangkit dari tongkrongan saat memilih ikan.

“Ibu, bapak dan semua yang ada di pasar tradisional ini, dia ini kakak iparku satu-satunya. Kami hanya dua bersaudara, tapi taukah kalian, dia udah menghasut suaminya untuk mengambil hak harta warisan lebih banyak daripada bagianku. Padahal, kedua orang tuaku masih hidup dan masih sehat.” Ucapannya yang lantang terlontar sangat jelas di telingaku dan telinga semua orang yang ada di pasar itu. “Terus dia menawar harga ikan di pasar ini, seolah-olah dia adalah manusia yang paling melarat dan nelangsa hidupnya.”

“Hana, cukup! Hentikan fitnahanmu itu, aku gak pernah menghasut bang Haris sedikitpun dan aku juga gak pernah mengungkit-ngungkit masalah harta warisan kalian.”

“Alaaah ... pintar kali berkata bual, kamu, tuh, hanya ...”

“Aduh! Sakit!” Tiba-tiba perutku kontraksi. Beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu melarikanku ke Puskesmas terdekat. Aku yang sudah sangat kesakitan tak tahu lagi apa yang terjadi setelah berada di Puskesmas.

***

Tragedi yang terjadi di pasar teryata telah sampai ke telinga bang Haris. Segera dia datang menyusul dan melihat kondisiku.

“Dek, kamu baik-baik aja, kan?” tanyanya cemas.

“Alhamdulillah baik, Bang,” jawabku lemah.

“Tadi ada seorang wanita paruh baya yang nelpon aku lewat ponsel kamu. Apa yang sebenarnya terjadi, Dek?”

Belum sempat kujawab pertanyaannya, tiba-tiba kontraksi kembali terjadi. Rasa keram yang menerpa membuatku sangat sulit bernafas. Karena aku yang kesakitan, suamiku memanggil dokter yang bertugas.

“Pak, silakan ke luar dulu, ya. Biarkan ibu istirahat, karena kondisinya masih sangat lemah.” Dokter memberi pesan pada Haris yang masih penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya.

Haris dihampiri wanita paruh baya yang menelponnya dan tadi ikut mengantar ke rumah sakit.

“Haris, saya bukan bermaksud ikut campur dengan urusan keluarga kalian, namun saya hanya ingin memberikan bukti atas apa yang terjadi di pasar tadi.” Ia mengirimkan rekaman video kejadian di pasar. Betapa terkejutnya reaksi Haris melihat istrinya yang dicerca Hana sebegitu hinanya. Haris mengepalkan tangannya dan rasanya ingin membalas perlakuan adiknya itu. “Saran saya, selesaikan masalah ini baik-baik, permisi.”

***

Kondisiku, pun, mulai membaik. Aku sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Bang Haris memperlakukanku dengan sangat mulia. Dia memasakkanku bubur dan menyuapiku. Aku sangat senang bila perhatiannya ini selamanya ada untukku.

“Terimakasih, ya, Bang,” ucapku dengan senyuman paling manis untuknya.

“Sama-sama, Sayang. Aku minta maaf, ya, sudah salah menilai kamu selama ini.” Tiba-tiba air bening itu menetes dari pelupuk matanya.

“Bang, kenapa nangis?”

“Selama ini kubiarkan kamu seorang diri, padahal dulu aku udah berjanji dengan almarhum ayahmu untuk selalu menjaga dan melindungimu dari siapapun, termasuk dari keluargaku sendiri.” Ia menangis sesenggukan sambil menggenggam tanganku erat.

“Sekarang abang udah, tahu, kan, yang sebenarnya?” tanyaku pelan tanpa menyudutkannya.

“Iya, Dek. Besok aku ingin menemui Hana dan juga ibu di rumah mereka.”

“Gak usahlah, Bang. Aku gak mau menambah masalah. Kamu, kan, tau gimana tabiat suami Hana selama ini," cegahku.

“Gak! Aku gak datang ke rumah Hana, tapi aku akan datang ke rumah ibu, biar ibu tau bagaimana kelakuan anak kesayangannya itu.” Tampak rona kemurkaan dari raut wajah suamiku. Sungguh aku takut bila sampai ia berkelahi dengan keluarganya. Apalagi, ibu dan adik perempuannya selalu mengganggap akulah dalang dari renggangnya hubungan persaudaraan mereka.

***

“Assalamualaikum, Bu, Pak.”

“Waalaikum salam, Haris, kamu berkunjung ke rumah ibu. Ayo, Nak, masuk!” Painem sangat menyayangi anak lelakinya ini.

“Haris, mana Ratih? Kok, gak ikut?” tanya Juriono, bapak Haris.

“Iya, Pak, Ratih lagi hamil besar, jadi gak bisa pergi terlalu jauh.”

“Alaah ... gak bisa pergi terlalu jauh atau karena malas ketemu sama ibu?” cibir Painem.

“Bu, jaga bicaramu! Biar bagaimanapun, Ratih itu adalah menantu perempuan kita satu-satunya. Kau harus ingat itu!” sergah Juriono.

“Bu, Pak, aku ke sini mau tunjukkan video kejadian semalam di pasar.” Haris mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menunjukkan video itu. Betapa terkejutnya Juriono melihat kejadian itu.

“Itu ... itu!”

“Pak! Pak!” teriak suamiku ...

 

 

BERSAMBUNG

 

 

 

 

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Nayna aqila Syah fitri
alhamdulillah karna suaminya udah tau semua yang dilakukan ibunya
goodnovel comment avatar
Nuraini Aaini
ceritanya bikin greget
goodnovel comment avatar
Nabila Putri
sedikit agak lega sihh,, karena akhir nya suami sudah tau kelakuan ibu dan adik nya ke pada istri nya tiap" hari meghampiri istri nyaa ,yg selalu mengucapkan mengungkit" tentang harta warisan mereka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status